Saturday, May 3, 2014

Cerpen: Diary Untuk Cinta Sejati

DIARY UNTUK CINTA SEJATI



Dear,
Aku hanya sedang bahagia. Karena itu aku tak mampu membendung tangis.
Setiap tengah malam datang, aku selalu ingin bersimpuh di hadapan Tuhan dan mengatakan pada-Nya bahwa aku sangat bersyukur dengan nikmat-Nya.
Aku bersyukur dengan diberikannya suami yang sangat perhatian dan pengertian. Mas Fanani begitu sabar dan menyayangiku. Aku tak ingin mendustakan nikmat-Nya. Karena itu aku selalu berharap, semoga Tuhan menerima setiap ibadahku.
Tadi, selepas sholat malam. Mas Fanani menghampiriku dan menghapus air mata yang terus saja mengalir seperti anak sungai. Aku tak bisa mencegahnya. Aku tak mampu.
Dia bertanya padaku, “sakitkah? Mana yang sakit? biar aku pijitin. Tiduran, ya!” pintanya halus.
Aku menggeleng. Aku bahkan tidak mampu berdiri. Aku terus menatapnya dengan mata yang kabur oleh air mata. Aku ingin memeluknya dan menangis di dadanya. Tapi aku tak mampu melakukan itu, padahal dia adalah suamiku. Aku terlalu hina dan sedikit berlebihan. Aku tidak mau bilang kalau ini bawaan bayi. Aku takut itu malah membuatnya berpikir jika aku benar-benar berlebihan.
Janin yang aku kandung tidak melakukan kesalahan selama enam bulan ini. Dia anteng dan tidak pernah atraktif. Bukan dia tidak agresif. Dia sehat, setidaknya aku selalu mendapat laporan itu ketika check up ke dokter. Terkadang dia menendang-nendang seperti janin-janin pada umumnya. Sangat terasa. Tapi dia tidak pernah membuatku ingin menangis. Yang membuat aku menangis adalah bapaknya. Perlakuan bapaknya yang halus dan lembut selalu membuatku merasa berdosa.
Kemana Mas Fanani selama tiga puluh tahun ini?
Aku sudah menunggunya sangat lama untuk menjemputku ke pelaminan. Tapi dia baru datang ketika usiaku tepat tiga puluh tahun. Dia ada di Makasar. Sedangkan aku ada di Jawa. Dia lahir dari rahim wanita Bugis. Sedangkan aku berasal dari rahim wanita Jawa pegunungan.
Mas Fanani...
Aku tidak tahu lagi apa yang ingin aku sampaikan. Tapi jika dia sampai menemukan diary ini, hal pertama yang ingin aku sampaikan padanya adalah rasa terima kasihku. Aku bahagia bisa dicintai lelaki yang sangat perhatian dan penyayang seperti dia. Lelaki yang aku impikan akhlak dan sifatnya. Terima kasih kamu sudah sampai disisiku. Terima kasih...
Hal kedua yang ingin kuberitahukan padanya adalah, bahwa aku sangat menyayangimu. Maafkan aku dengan segala  kekuranganku, Mas. Maafkan aku yang tidak bisa menutupi kekuranganmu. Aku menyesal tidak memiliki kelebihan. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Mas Fanani, aku tidak pernah berlebihan. Tapi harus aku katakan padamu, bahwa cintaku padamu memang kujunjung tinggi. Itu sebabnya aku selalu curiga terhadap lelaki selama ini. Padamu juga. Tapi aku bersyukur karena pernikahan  kita delapan bulan lalu terjadi juga. Kemudian akhirnya aku hamil. Aku tidak percaya, aku benar-benar hamil. Anak kita laki-laki. Jika kau tahu perasaanku sebagai wanita, aku sungguh bahagia. Sangat.
Impianku sejak dulu, aku ingin menikah dengan lelaki yang mencintaiku dan mau menerimaku apa adanya. Bukan karena terpaksa atau memang hanya akulah satu-satunya wanita yang masih tersisa di dunia. Tapi karena kau mencintaiku. Karena ada benang merah di antara kita.
Aku cinta padamu. Sungguh.
Sebelum kamu datang. Aku tidak bisa lepas dari jerat dan penyesalan masa lalu. Bahkan aku selalu di bayang-bayangi lelaki yang jahat dan tidak mau menghargaiku. Setelah segala hal buruk yang aku lakukan pada Romi—mantanku dulu. Aku seperti mendapat kutukan, bahwa tidak mungkin ada lelaki baik yang akan meminangku. Aku takut. Karena itu aku menjaga jarak dari semua lelaki. Aku melepaskan ratusan kesempatan ketika begitu banyak lelaki baik yang datang dan mengajakku untuk berhubungan serius. Aku menolak mereka. Bukan karena aku sombong. Tapi karena aku sangat berpikir. Bahkan mungkin terlalu banyaknya aku berpikir sehingga kesempatan untuk melangkah ke pelaminan di  usia muda hilang begitu saja.
Sekarang aku baru tahu. Semua itu bukan karena kutukan. Semua itu adalah takdir. Tuhan tidak membiarkanku asal memilih orang, persis sesuai doaku. Tuhan ingin kamu yang datang meminangku. Dan ketika hari itu datang, bahkan Ibu dan Ayahku pun ikut membuka tangannya akan kehadiranmu. Padahal kalau dipikir lagi, kamu tidak lebih hebat dari mereka yang sudah pernah datang sebelumnya. Kamu tidak tampan dan hanya lumayan mapan. Setidaknya kamu mandiri dan tidak pernah berhutang. Mungkin Ayah dan Ibuku juga sudah lelah dengan penantiannya akan menantu ideal. Tapi, apakah jodoh itu cukup di kata dengan ‘mungkin’?
Aku tahu, jodohku memang bukan Romi. Seberapa lama pun aku menunggu. Aku tahu, pasti orang lain yang sebelumnya tidak aku kenal. Dan kamu pun datang. Terima kasih sudah datang. Terima kasih sudah menyayangiku.
Maaf kalau aku masih saja curiga pada lelaki. Aku masih sedikit belum bisa keluar dari jerat masa laluku akan sebuah perlakuan buruk lelaki dan penghianatan mereka. Bahkan aku terus berdoa kepada Tuhan agar menghapus seluruh kemungkinan-kemungkinan konyol yang selama ini berkutat di dalam kepalaku.
Aku selalu berpikir, mungkin rasa sayangmu akan bertahan hanya saat ini saja. Ketika aku hamil anakmu. Ketika kamu tahu jika janin yang aku kandung adalah anak laki-laki. Kamu menyayangiku dan memanjakanku seperti Ayahku memanjakan Ibuku saat dia hamil adik laki-lakiku. Tapi kemudian setelah aku melahirkan dan merawat anakmu, kamu akan pelan-pelan sedikit menjauhiku. Karena aku bau ompol anakmu. Karena badanku masih beleber selepas melahirkan. Karena dadaku tidak padat seperti sebelum hamil. Karena liang kewanitaanku kendor.
Pelan-pelan kamu akan melirik wanita yang usianya jauh lebih muda, atau mungkin juga sebaya tapi masih lajang. Kamu akan diam-diam berhubungan dengan mereka karena perhatian mereka tertuju padamu—hanya padamu. Karena aura kebapakanmu keluar dengan sangat natural. Apa kamu tahu? Laki-laki yang sudah beranak dan beristri itu sangat menarik. Kamu juga akan merasakan itu nanti. Merasakan detik-detik di mana kamu akan mendapatkan simpati dari wanita-wanita yang sebelumnya mengacuhkanmu. Karena kamu sudah jadi bapak. Karismamu sebagai Bapak yang pekerja keras dan sangat peduli, itulah yang disukai gadis-gadis lajang.
Ketika saat itu tiba. Aku hanya bisa berdoa. Semoga di mataku tidak tergambar jelas kecurigaan dan kecemburuanku. Semoga mentalku tidak musnah dalam sekejab. Semoga aku bisa sekuat ibu.
Yaa Rabb... betapa inginnya aku seperti ibu.
Ibuku adalah wanita yang sangat kuat. Dia perkasa. Ibuku juga pernah cemburu pada wanita-wanita di sekeliling ayahku. Tapi ibuku bisa menahannya dengan sangat baik. Ibuku menyerahkan kembali segala hal kepada ayah. Betapa ingatnya aku dulu ketika ibu mengatakan kepada ayah. “Kalau ayah mau selingkuh, silakan! Segala keputusan ada di tangan Ayah. Ayah adalah kepala keluarga bagi kami. Surga-neraka Ayah yang junjung. Pemimpin adalah dia yang bisa bersikap adil dan bijaksana. Semoga bukan wanita lain yang membuat pengabdian Ayah pada keluarga menjadi runtuh.”
Mas Fanani, kamu tahu apa yang ingin aku lakukan saat itu?
Saat itu juga aku benar-benar ingin berubah menjadi masyarakat barbar. Aku ingin membakar semua wanita yang sudah menggoda ayahku dan membuat Ibuku menjadi sedih.
Bagiku, lelaki yang sudah berani menyematkan sebuah cinta di jari manis wanitanya itu pertanda komitmen. Bukan hanya sekedar cinta yang beralasan. Tapi karena dia sudah memilih satu untuk seumur hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Begitu banyak tugas-tugas seorang lelaki yang akhirnya berubah jabatan menjadi seorang suami. Lelaki itu tidak sendiri, tapi berdua. Hingga kemudian buah cinta mereka lahir dan tumbuh. Mereka akan membentuk sebuah masyarakat kecil yang baru dan suami itu berubah jabatan lagi menjadi bapak. begitulah seterusnya. Dia akan terus memimpin.
Mas Fanani... kamu laki-laki. Kamu tidak pantas untuk disakiti. Begitu pula dengan wanita. Lelaki tidak patut membuatnya menderita. Lelaki sudah diberikan derajat yang tinggi. Kamu ditinggikan karena sebuah tanggung jawab yang luar biasa. Di tanganmu tergenggam surga. Tapi dibahumu, terpikul neraka. Kamu yang membawanya.
Yaa Rabb... betapa cintanya aku pada suamiku. Betapa aku ingin memeluk kakinya dan menumpahkan segala penyesalanku dimasa lalu karena sudah menyakiti lelaki yang aku cintai pada saat itu, Romi.  
Meskipun itu adalah sebuah masa lalu. Tapi aku harap Mas Fanani mampu membuatku tidak menyesal lagi. 
Tapi mungkin Tuhan ingin membuatku selalu berkaca pada masa lalu. Mungkin Tuhan tidak ingin melepaskan bayangan itu dari benakku, agar aku senantiasa mengabdi pada masa depanku. Selalu takut pada-Mu, Tuhan. Selalu menyayangi dan menghormatimu, Mas.
Ahc... anakmu meninju perutku. Rasanya geli tapi sedikit  sakit. Setelah aku mengelusnya, dia langsung reda. Mungkin ini pertanda kalau dia merasakan emosi yang sama denganku. Tapi mungkin juga dia tidak suka jika aku memikirkan lelaki lain selain bapaknya. Mas, anak ini juga menyayangiku. Sama sepertimu.
Mas... ketika anak kita sudah lahir nanti. Ayo kita ke Makasar. Kita harus mengunjungi ibu di sana. Meskipun dia masih belum bisa menerimaku. Tapi semoga setelah anak kita lahir nanti, beliau sudah bisa sedikit lunak. Tidak ada orang tua baik yang bisa terus-menerus marah pada anaknya. Jika memang masih juga seperti itu, kita patut meminta maaf lebih dulu. Aku sudah merasakannya, Mas. Menjadi calon ibu. Aku bisa merasakan bahwa Tuhan akan segera memberiku mantra yang sangat ajaib, yaitu mantra agar tetap perkasa dalam kelembutan. Aku juga bisa merasakan bahwa Tuhan akan segera menanamkan surga di telapak kakiku.
Mas... kita harus mencium kaki ibu kita dan memeluk bahu ayah kita.
Mas... aku mencintaimu.
Sekian diaryku. Semoga Tuhan menitipkan keindahan di sela-sela dengkuranmu. Semoga Tuhan menyelipkanku di antara mimpi-mimpimu. Semoga Tuhan selalu memberimu kesehatan, keselamatan, kekuatan, kebijaksanaan, dan juga kasih sayang.
Terima kasih sudah menjadi suamiku, Mas Fanani sayang...

Jakarta, 5 Mei 2014