Sunday, October 27, 2013

Si Mas Burung Elang


Cerpen
Si Mas Burung Elang



Yogjakarta, Mei 2013

          Sampai saat ini aku masih kesulitan bernafas jika melihatnya. Padahal masa itu sudah lewat lebih dari lima tahun yang lalu, tapi tetap saja, saat wajahnya melintas di depan mataku, dadaku langsung sesak seperti digiring ribuan domba masuk kekandang. Rupanya memang sudah memudar daripada dulu ketika kami masih sama-sama duduk di bangku kuliah. Badannya masih sehat dan wajahnya masih manis berseri. Tapi kini, semua seolah terganti dengan raut seorang pekerja keras yang siap melakukan apapun untuk keluarganya. Salah, istri kesayangannya. 

***

Yogjakarta, Januari 2008

          "Aku kirimin materinya 'ntar lewat email ya, Ren!" ujar Hardi sambil memasukkan buku-buku catatannya kedalam tas.

            "Oke, sip. Jangan lupa di sertain pesenan gue yang kemarin, ya?"

           "Siap, Boss!" Hardi melangkah pergi dari sisiku setelah panjang lebar kami berdiskusi masalah presentasi Politik Hukum. Aku belum bisa menguasai materi itu sama sekali, karena itu aku membutuhkan otaknya untuk masuk dalam kelompokku. Setidaknya aku harus mencari 'aman' agar nilai-nilaiku bisa selamat dari kekejaman Pak Mastur yang selalu tanpa ampun dengan sistem pemberian nilainya yang kadang di luar logika Mahasiswa. 

           Di sebelahku ada Nia yang selalu setia menemaniku, biarpun kami berbeda jurusan. Aku ada di Fakultas Hukum dan dia ada di Fakultas Sastra Indonesia. Tapi anak ini tak pernah absen dari jadwal kebersamaannya denganku. Banyak hal yang selalu kami bicarakan sebagai sahabat, layaknya dua anak perempuan yang saling berteman dan mulailah segala hal yang berada di dunia ini menjadi topik bahasan kami. Terutama masalah laki-laki, cinta dan idola. Pembahasan mengenai kampus atau mata kuliah, selalu menjadi yang paling bontot. Mereka tidak pernah mendapat tempat paling utama saat ada dua perempuan membicarakan Sang Idola

           "Coba lihat!" kataku seraya menunjukkan hasil foto yang baru kuambil kemarin. 

       "Yang mana anaknya?" tanyanya antusias sambil merebut kamera digital dari tanganku.

          "Itu, yang pake kaos biru," sahutku cuek dan lebih fokus mencari posisi pe-we di lantai teras gedung bertingkat tiga ini.

          "Oh, yang ini ?" tunjuknya, sedangkan matanya masih juga menyelidiki sosok dalam foto itu dan tak memperhatikanku yang sudah duduk lesehan di bawahnya.

        "Manis juga," gumamnya, "sekarang gue udah tahu selera lo kayak gimana, Ren. Ternyata yang tambun-tambun model gitu. Tapi manis kok anaknya, suwer deh!" katanya seraya mengembalikan kamera digitalku lalu duduk di sampingku.

           Sama-sama lesehan dan menikmati udara sore di balkon samping kelas. Ini yang selalu kami lakukan sepulang kuliah, duduk-duduk bercengkerama dulu hingga toa di Masjid kampus kami menyerukan adzan Margib atau salah satu OB kampus mendatangi kami sambil mengatakan : "Permisi, Mbak. Mau di Pel!"

            "Itu sebabnya gue nggak pernah bisa konsen kuliah kalau ada dia di kelas," kataku setelah mematikan kamera, lalu memasukkan kembali kedalam tas. 

            "Yaaah, itu artinya lo berharap dia nggak masuk, dong. Jelek banget..."

         "Habis gimana, dong. Sejak dia konversi dan masuk di kelas gue, dunia gue yang tadinya adem ayem langsung berubah, Ni. Gue yang tadinya kuper abis, langsung berubah drastis. Jadi genit, jadi sok ceria, jadi banyak ketawa, jadi semangat ke kampus, tapi begitu gue ke kampus dan ngelihat dia, ampun... kaki gue langsung lemas dan gue nggak sanggup masuk kelas."

           Nia menghela nafas. Sadar kalau aku terlalu berlebihan. Tapi itulah aku, tidak ada yang berlebihan dalam kamusku, kupikir semua sama saja. Bahkan ketika aku bercerita, teman-temanku pasti akan berpikir kalau aku barusan sedang menghafal sebuah dialog drama. 

            " Udah pernah ngomong ama dia nggak sih?" tanya Nia sambil menatap kelangit sore yang mulai muncul semburat jingga. 

            Aku menggeleng. Nia hanya melirikku dari ekor matanya.

       "Coba ngomong, 'napa, Ren. Biasanya 'kan lo yang suka nyaranin orang buat berani ngomong duluan. Bahkan lo bilang, dari kesekian cowok-cowok yang pernah lo pacarin, semuanya tuh lo dulu yang nembak mereka. Makanya, kali ini coba lo tembak Si Mas Burung Elang itu!"

             Mana ada sih Burung Elang tapi tambun ?

          Aku tersenyum dalam hati. Sekalipun aku tak pernah menyebut anak laki-laki  dalam fotoku ini dengan yang seperti Nia sebutkan itu. Sebutan untuk "penyamaran" dalam dunia fantasi anak cewek itu memang sangat perlu, apalagi menyebut seorang laki-laki yang menjadi pujaan hatinya. 

          "Dia single?" tanya Nia tiba-tiba.

          Aku tersentak. Aku tak pernah tahu mengenai orang itu. Sudah hampir satu tahun aku mengenalnya dan kami duduk dalam satu kelas yang sama. Tapi aku sama sekali tidak tahu mengenai dirinya. Bagaimana kehidupannya, rumahnya, keluarganya, kesukaannya, bahkan yang paling dasar, dia masih jomblo atau sudah punya pasangan ?

          Lagi-lagi aku menggeleng. "Gue nggak tahu,"

        "What?" Nia merubah posisi duduknya dan langsung menghadapku, "Serius?" tanyanya dengan memainkan kepala seperti burung beo mengoceh.

             "Ayolah, Ni.... sejak kapan sih gue minat ama urusan orang lain?"

            "Ya tapi ini permasalahannya tuh dia Si Mas Burung Elang... dia itu cuma idola lo atau lo beneran naksir dia, nggak, sih?"

           "Gue nggak tahu, yang jelas kalau ngelihat dia, bawaannya badan gue lemes mulu. Apalagi waktu dia senyum. Dunia gue rasanya berhenti dan gue jadi.... lebay!" kepalaku menunduk lesu. 

          Lagi-lagi Nia menghela nafas, sepertinya merasa gemas denganku. Selama ini aku selalu bercerita tentang orang itu di hadapannya. Sedangkan aku masih tak tahu mengenai perasaanku. Sedikit miris memang, tapi itulah aku. Kadang jelas dan kadang tidak jelas. Entahlah, jelasnya aku masih bingung. Di tambah lagi, aku tidak tahu menahu tentang dia. 

            "Kalau seandainya dia ada rasa ama lo?"

             "Kayaknya itu nggak mungkn deh, Ni,"

      "Apapun bisa terjadi di dunia ini, Re.... na!" Nia memelankan suaranya dan pandangannya terlempar ke belakang punggungku.

          Pembicaraan kami segera berhenti. Kepalaku langsung menoleh kebelakang. Seseorang sudah berdiri di sana. Mataku terbelalak kaget. Tubuhku langsung lunglai seperti sayuran yang terlalu lama disimpan di dalam kulkas. Dingin dan layu. 

      "Des... ta...." aku tergagap. Jelas bisa kurasakan mataku membulat dan membesar seperti mata ikan koki salah menelan makanan.

          Dia mendekat. "Ren, bisa jawab gue jujur, nggak ?" tanyanya tiba-tiba dengan suara pelan sampai telingaku sedikit kesulitan untuk mendengarnya. 

           Dug, dug, dug, dug, dug .... 

          Jantungku berdegup kencang hingga aku bisa mendengar jelas getaran itu sampai di telinga. Sedangkan dia masih terus berdiri di tempatnya. 

           Puuukkk!!

          Nia menepuk bahuku. Kesadaranku langsung pulih seketika. Kusadari kalau ini bukan mimpi dan yang di hadapanku ini benar-benar dia. Pertanyaan barusan tadi itu adalah benar. Dia meminta apa ? 

          " Sini deh, duduk di sebelah gue!" kataku yang seketika sudah bisa menguasai diri.

          Kutepuk-tepuk tempat kosong tepat di sebelahku. Seperti bocah enam tahun yang menginginkan kue temannya, dia langsung datang dan duduk di sebelahku. Ini untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir sejak aku putus dengan pacarku, aku duduk dengan seorang anak laki-laki lain hingga sedekat ini. Bisa kurasakan lenganku menempel di lengannya. Nyawaku seperti tercabut dari ubun-ubun saat kulihat matanya ternyata sedang memandangku. 

          Oh My God .... aku benar-benar sudah mati dan kini sedang berada di Surga.

             "Apa yang harus gue jawab?" tanyaku memulai percakapan.

          Nia duduk diam di sampingku. Gayanya sok cuek dan tidak peduli denganku yang sedang kebat-kebit di buat meriang oleh pesona manusia tambun tapi nggak gendut di sebelahku ini.

          "Gimana sih caranya nunjukin rasa sayang ke orang yang kita sayang?" tanyanya to te point.

          "Hah?" 

          Menunjukkan rasa sayang ke orang yang di sayang? apa dia nyindir gue? gue kan suka ama dia, sayang malah. Tapi gue nggak bisa nunjukin ke dia kalau gue sayang ama dia...

          "Harus banget gue jawab, ya?"

          "Iya, dong!"

          "Maunya jawaban model gimana?" tanyaku lagi. Pertanyaan bodoh!

          Bukan cara yang bagus memang untuk mendekati seseorang, sedangkan kita sudah bawel duluan dengan berbagai pertanyaan yang tidak segera di jawab. Pendek kata, cowok lebih suka cewek yang pikirannya langsung tepat sasaran dan nggak lemot. Dan aku sudah melakukan kesalahan pertama. Lemot !

          "Kalau kamu sendiri, gimana?" 

          Dug, dug, dug, dug, dug .... jantungku berdebar makin keras. 

           " Kalau gue ..."

          Aduuuh, rasa sayang gue ke lo itu ya kayak sekarang ini... gue.... aahk !

          Aku terkejut, rasanya seperti di sengat lebah. Perih, ngilu, langsung panik seketika. Tiba-tiba saja kulihat tangan kanannya sudah merangkul bahuku dan mengguncangnya sedikit. Kepalaku kaku dan aku tak bisa menoleh ke arahnya. Bisa kubayangkan betapa bodohnya aku saat ini. Duniaku benar-benar berhenti. Aku mati !

          "Jadi gimana?"

          "A...pa?" aku mulai berubah gagap.

       "Jawab jujur, dong !" jawabnya tetap dengan suara lembut yang terus menggelitik telingaku.

          "Iya .... gue ... pokoknya ... cara nunjukin.... rasa .... sayang.... ke orang yang... disayang ... itu.... kayak.... sekarang ... ini.... antara.... elo...."

           "Sayang!!"

          Jantungku dikejut sekali lagi, kepalaku dan kepalanya sontak menoleh ke satu sisi, tiba-tiba saja di lengannya yang satunya bergelayut seorang gadis dengan wajah indo dan hidung mancungnya yang menjulang seperti penangkal petir. Gadis itu tersenyum dengan riangnya seolah senang bisa menemukan sosok yang ada di sebelahku ini, dengan tangan Si Mas Burung Elang yang masih menyangkut di bahuku. 

          "Hey..."

        Dengan vulgarnya dia langsung mencium kening gadis itu tepat di depan mataku. Hatiku tertohok sakit dengan pemandangan itu. Tapi aku bisa apa ?

          "Ren, kenalin. Ini Maris!" katanya seraya menunjuk gadis indo itu.

         "Hay.... Rena!" kataku sambil mengulurkan tangan ke arah cewek indo itu dan tetap dengan senyum yang sama, dia menjabat tanganku dengan hangat. Aku harap dia tidak melihat gurat cemburu yang membayang disetiap jengkal wajahku.

           "Maris, ini teman sekelasku. Rena. Dia juga sahabatku!" ujarnya sambil mengguncang bahuku sekali lagi dengan lengan kokohnya yang masih bersarang di situ.

       Mataku membulat lagi. Kali ini sebesar bola pimpong atau sebesar bolam listrik di taman, yang jelas aku terkejut saat dia menyebutku 'sahabat'. Begitukah ?

       "Iya, tahu kok," dengan polosnya gadis cantik indo itu mengangguk. "Ayo pergi sekarang!" katanya seraya bangkit dari duduknya, lalu menarik tangan orang yang sedang memelukku ini. 

          "Ren, gue pergi dulu, ya!" ujarnya sambil menepuk celananya untuk menghilangkan debu yang menempel disana.

          Aku mengangguk bodoh. "Oke," Tanpa beban dan perasaan, dia meninggalkanku begitu saja. Mataku masih mengerjab seperti bintang tua yang siap pudar. Seperti mimpi saja rasanya adegan barusan. Tapi ini bukan mimpi, karena wangi parfumnya masih menempel di lengan kiriku. Wangi Opium. 

            "Heh, udah dong ... orangnya udah pergi ini!" Suara Nia menyentakkanku.

          Pandanganku kembali galau lagi. Akan lebih baik kalau yang barusan itu hanya mimpi, jadi akan lebih baik kalau aku hanya delusi. Tapi justru itu, ternyata sebuah kenyataan yang tak disangka-sangka akan begini ceritanya. Sangat aneh dan terlalu mendadak.

          "Si Mas Burung Elang ..." gumamku sedih.

          "Uuh... cayang .... sini Mami peluk!"

          Selalu begitu, Nia berusaha menghiburku dengan candaannya. Tapi tetap saja, wangi Opium itu belum bisa hilang dan masih terus menggoda indra penciumanku. Sakit rasanya jika harus terus menghirup aroma ini. Karena aku sangat menyukainya. Lebih dari sebuah delusi. Lebih dari sebuah rasa yang sulit untuk di mengerti.

***

Yogjakarta, 11 Juni 2013

           "Mas Desta, ini !" kataku sambil meletakkan sebuah tas kecil di atas menjanya. 

          Sengaja dia kupanggil dengan sebutan 'Mas' dan bukan menyebut namanya langsung. Aku menghormatinya sebagai laki-laki yang sudah menikah dan dia juga menjabat sebagai Manager lain divisi denganku. 

          Tangannya langsung berhenti dari kegiatan mengetik. Dilemparkan pandangannya ke arahku yang masih juga berdiri mematung di depan mejanya. 

          "Apa ini, Ren?" tanyanya sambil melongok isi dalam tas kecil itu.

          "Selamat Ulang Tahun, ya... maaf... telat ngucapin dan telat ngadonya,"

        Tanpa kuduga, dia tak bereaksi. Hanya diam dan dan langsung melipat tas kecil itu dengan hati-hati lalu di dekapnya. 

          "Thanks banget, ya!"

          Guratan wajah-wajah tua sebelum waktunya tergambar jelas di kulitnya yang halus tapi sudah sedikit keriput. Senyuman itu bahkan kurang menarik lagi di mataku, tapi entah kenapa, hatiku tetap saja masih sesak jika melihatnya tersenyum. Setiap kali memandang wajahnya, selalu saja ada perasaan yang sejak dulu belum bisa di ungkapkan. Dan perasaan itu bertambah hari, bertambah bulan dan bertambah tahun malah semakin menjadi.

          Didepannya setiap waktu seperti ini, selalu saja aku ingin mengatakan : " Ijinkan kita untuk bersama. Aku akan merawatmu, aku tak akan menyuruhmu bekerja hingga terlalu lelah seperti ini. Aku tak akan memintamu untuk membelikanku cincin berlian puluhan karat. Aku juga tak akan memintamu untuk memenuhi segala keinginanku. Kecuali satu, waktu, itu saja... "

          Kubalikkan badan. Tak mampu aku berlama-lama menatapnya yang seperti itu. Tidak ada lagi Desta yang dulu. Kini di depanku hanya ada Desta seorang Manager Penerbitan yang selalu bekerja keras siang dan malam. Usai menjadi manager di kantor, dia akan menjadi seorang Guru Privat Bahasa Inggris di sebuah bimbel milik temannya. Kemudian membagi waktunya juga sebagai seorang makelar mobil. Setidaknya sekarang dia sudah hidup dengan lebih baik dengan berbagai macam pekerjaan sampingan. Tapi tetap saja, semakin hari aku tak melihat badannya semakin terlihat baik, tapi malah memburuk. 

          Sejak anaknya yang masih berusia satu tahun meninggal karena penyakit kelainan jantung, kehidupannya mulai berubah drastis. Maris mulai berubah menjadi orang lain yang tidak di kenali Desta. Bahkan sebelum itupun Desta sudah tidak bisa mengenali Maris yang dulu. Maris yang aku kenal juga, Maris yang penuh senyum. Maris yang kami kenal saat dia masih pacaran dengan Desta. Tapi kemudian Maris menjadi sangat mengerikan setelah mereka menikah. Dia mulai bertingkah dengan gelar suaminya yang hanya S1 Sarjana Hukum dan bekerja di sebuah Kantor Pengacara. Hingga tahun berikutnya Desta pindah bekerja karena mendapat pekerjaan yang lebih layak dengan bakat dan tentu saja, gaji yang dia inginkan untuk menyenangkan istrinya.

            Sedangkan aku sudah lebih dulu berada di Kantor ini, hanya saja kami berbeda bagian. Semua ini berkat Nia yang sudah memasukkan Desta disini. Hingga sampai detik ini aku masih bisa melihatnya. Aku merindukan Desta yang dulu. Desta yang masih merdeka. Desta yang masih kuat dan Desta yang ceria dalam kepribadiannya yang introvert di mata teman-teman yang lain. Desta yang pernah memelukku dan Desta yang masih bisa kusebut Si Mas Burung Elang.

ME & KHO



Cerpen
ME & KHO


Pegang gitar, di kata jari-jari gue terlalu pendek. Pegang drum, katanya gue nggak ada bakat. Pegang Bass, kata mereka, gue ini nggak cocok. Jadi vokalis, katanya suara gue terlalu ancur. Terakhir, gue nyoba belajar keyboard, tapi yang ada malah di ledek sama Emak gue, dia bilang kalau gue ini nggak becus.
Gue suka musik. Dan gue sering iri pada semua orang yang bisa bermain musik. Gue nggak pernah percaya sama yang namanya bakat. Karena bakat bisa di kalahkan dengan rajin belajar. Dan terlebih lagi, gue paling suka nyanyi. Waktu masih umur sepuluh tahun, gue pernah menang lomba karaoke se-RT di kampung gue.
Tapi sayang, kemenangan itu pada akhirnya nggak berlaku lagi untuk saat ini. Emak gue, orang tua gue sendiri malah bikin down mental gue waktu bilang suara gue hancur lebur.  Emak gue lebih banyak membanggakan adik-adik gue yang penuh prestasi. Dari perastasi jadi runner up taekwondo dan ada juga yang punya bakat jadi atlet volly. Sedangkan gue?
          Gue payah...
          Gue lemah...
          Gue selalu kalah...
          Sebaik apapun yang gue usahain, orang tua gue nggak pernah melihat gue. Karena itu, gue nggak tahu, apa itu yang namanya MINAT dan BAKAT dalam sebuah kolom survei atau formulir pendaftaran seuatu organisasi.
          Kemarin, gue bener-bener di bikin nangis sama Emak. Hati gue sakit. Gimana mungkin dia bilang  kalau gue ini nggak bisa di banggakan? Dan itu yang terus-terusan bikin gue berpikir kalau gue ini bener-bener payah.
          Tapi, belakangan ini gue kenal satu anak di komunitas jepang yang gue ikuti juga, dia anak baru gue rasa. Namanya Kho. Dia cewek dan gayanya tomboy abis. Sebelum gue tahu dia masuk di komunitas gue, rasanya gue pernah lihat anak itu di Plaza yang ada di dekat rumah gue. Gue menatap anak itu lama. Gue taksir usianya dua tahun di bawah gue. Tapi ternyata, kami sepantaran.
          Beberapa  hari ini gue banyak cerita sama Kho. Gue cerita masalah gue baik di rumah atau di kampus. Dengan sangat saktinya, dia bisa tahu kalau gue ini orang yang sensitif. Iya, itu benar. Dia juga bilang kalau gue bukan orang yang bisa di tekan. Dan gue ini Plegmatis. Kami jadi teman dekat. Gue rasa sih gitu. Nggak tahu kenapa kepala gue rasanya ringan banget kalau cerita sama Kho. Dia pendengar yang baik dan lebih mengutamakan solusi dari pada berkutat menganalisa masalah gue. Dia pintar. Super pintar gue rasa.
          Suatu hari, Kho nanya ke gue, jika disuruh milih antara objek dan bayangan, mana yang gue pilih. Dengan yakinnya, gue jawab Objek.
           “Orang tanpa bayangan akan seperti zombi. Berjalan tanpa arah tujuan. Hampa dan sendirian. Dia tidak tahu kalau sudah mati,”
          Gue memperhatikan dia baik-baik, kemudian dia melanjutkan,  “Bayangan akan selalu mengikuti objeknya. Menjadi penanda kalau objek itu nyata. Bayangan  tanpa objek, dia akan menjadi ilusi. Tapi aku suka menjadi bayangan. Aku akan selalu mengikutimu kemanapun. Dan aku akan selalu membantumu, itupun kalau kamu butuh bantuanku”
          Begitulah Kho, terkadang ucapannya sangat filosofis. Tapi justru itu yang kusuka darinya. Jujur meskipun agak lebay. Selain itu pula, gue baru tahu kalau Kho itu seorang penyuka sesama jenis. Tapi aku  tidak peduli, aku tidak mau terlalu ikut campur dengan urusannya. Aku hanya akan menjadi aku dan dia akan tetap menjadi dia. Meskipun dia menyebut bahwa aku adalah objek dan dia adalah bayanganku.
           Setelah berkata seperti itu, sejak seminggu ini gue mulai aktif belajar musik di studio sewaan dengan Kho. Aku langsung memilih drum. Aku suka gebukan suara drum yang menghentak. Seolah aku bisa meluapkan stress ku dengan memukul stick drum hingga bisa menimbulkan bunyi berdebam.
          Kho bukan orang yang banyak bicara, tapi sekalinya bicara, dia langsung menyadarkanku akan satu hal...
          “Aku iri padamu. Kamu bisa bebas melakukan apapun. Sedangkan aku enggak. Sejak dulu, aku selalu di atur-atur. Orang tuaku super protektif. Dia selalu membatasiku. Melarangku ini dan itu atau menyuruhku melakukan ini dan itu. Hingga aku nggak punya waktu untuk diriku sendiri,”
          Waktu Kho menatap ke arah gue, jantung gue langsung deg-degan, “Orang tuamu diam, bukan berarti mereka tidak mau tahu. Tapi mereka ingin kamu dewasa secara sendirinya. Mereka ingin tahu seberapa jauh kamu berkembang,”
          Pikiran gue melayang jauh. melambung dan terlempar ke masa lalu. Saat gue masih kecil hingga gue masuk SMP. Orang tua gue perhatian juga ke gue. Hanya saja, gue nggak pernah maksimal mengembangkan diri. Padahal kesempatan begitu besar. Gue mulai berpikir lagi, apa saja yang gue lakuin di masa lalu? Kenapa waktu gue bisa terbuang sia-sia? Bukankah harusnya gue udah bisa main musik?
          Gue sendiri yang memutuskan untuk keluar dari eskul taekwondo, semua gara-gara gue males hari minggu gue terganggu. Waktu itu, gue pengen diam di rumah dan nonton kartun aja. Gue nggak mau kelewatan Inuyasha di setiap episodenya. Gue nggak mau ketinggalan aksinya Pokemon. Sekarang, apa yang gue dapat? Penyesalan.
          Kho benar, gue harus dewasa.