Thursday, April 10, 2014

cerpen: DISINI ADA YANG SEDANG PATAH HATI

Cerpen 

DISINI ADA YANG SEDANG PATAH HATI


Disini ada yang sedang patah hati. Kaki, tangan, air mata dan hatinya mulai beku perlahan-lahan.
Disini ada yang sedang patah hati. Dia tengelam didalam angan-angan masa lalu. Tentang cinta yang kelam dan tak pernah terselesaikan.
Disini ada yang sedang patah hati. Tiba-tiba merasa tua, rambutnya beruban dan mukanya keriput seperti jeruk purut.
Disini ada yang sedang patah hati. Tapi tidak bisa meratap, karena kegelisahannya tumpul di penggal logika.
Akulah yang sedang patah hati itu.


Langit malam ini memberiku kabar yang tidak menyenangkan. Dengan mendungnya yang pekat, dia berbisik pada angin untuk menyampaikan padaku tentang kegundahan dari kejauhan. Bahwa laki-lakiku esok hari akan menjemput sang pengantinnya.
Pengantin itu bukan aku. Tapi wanita tercantik yang sudah menjadi pilihan hatinya  sejak tujuh ratus tiga puluh hari yang lalu. Sejak aku jauh dengannya. Sejak dia tidak pernah mengirimiku kabar lagi setiap jam, menit dan detiknya. 
Aku terdiam dibawah bulan yang retak. Kusampaikan pada bulan bahwa aku tidak apa-apa. Tapi bulan bisa membaca pikiranku. Sambil timbul tenggelam didalam selimut mendung, dia mengatakan padaku bahwa hatiku sedang berkata lain. Memang.
Bulan yang retak lebih paham apa yang dikatakan hatiku daripada mulutku. Diriku yang diam pun masih bingung mau percaya yang mana. Mulutku atau hatiku. Ternyata diriku yang terdiam hanyalah seperti tong sampah. Berdiri dan menunggu sisa-sisa kenangan terlempar kedalamnya.
Aku turun dari tempat tidur dan bertanya pada bulan.
“Hai Bulan yang retak. Tidakkah dirimu sakit? aku saja yang sedang merasakan retaknya hati, sedang penahan pedih.”
Bulan tersenyum miring. Senyumnya tidak sempurna karena dia retak.
“Hai dirimu yang sedang terdiam seperti tong sampah! Masihkah kau pikirkan tentang segala ketidak sempurnaan? Semua yang sudah terjadi, maka pasti akan terjadi. Kau melaluinya, sebagai pertanda bahwa dirimu hanyalah manusia. Aku, langit, hujan, bahkan Matahari, tidak bisa melawan kehendak Tuhan. Jodohku bukanlah Matahari, tapi Bumi. Seindah apapun aku dan Matahari menyinari Bumi, tetap saja aku tidak bisa bersanding dengannya. Karena jika aku sampai bertemu dengannya, maka kegelapanlah yang akan di terima umat manusia.”
Aku terdiam didalam selimut awan kelam. Langit juga terdiam. Menyimak. Lalu Bulan yang retak melanjutkan.
“Aku hanya ingin menyampaikan padamu, bahwa duduk sejajar itu bukan berarti kau bisa meraihnya. Terbang bersama, bukan berarti kau bisa memegang tangannya. Karena sebenarnya cinta itu hanya ada tiga pelaku. Yaitu satu Pencipta dan dua hamba.”
Aku masih bingung. “Bulan, bukankah kau sendiri tidak bisa hidup tanpa Matahari? Tapi kenapa kau masih tetap memilih Bumi?”
“Aku dan Bumi adalah jodoh. Bukan Bumi yang memilihku, bukan  pula aku yang memilihnya, tapi Sang Pencipta-lah yang sudah menjodohkan kami.  Matahri hanya melakukan tugasnya, karena dia sudah di karuniai banyak kasih sayang dan harus menyebarkannya pada segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Dia tidak pernah meninggalkanku, tapi dia menghindariku. Dia melakukan itu untuk kebaikan banyak orang. Meskipun aku sakit karena tidak bisa bersamanya, dia tetap menyinariku dengan cintanya agar aku tetap bisa bertahan dengan terangku untuk menyinari Bumi. Keindahanku yang berasal dari cahayanya, akhirnya bisa membahagiakan banyak umat manusia.”
Langit menyela pembicaraan kami. Dengan halusnya dia berkata padaku melalui bisikan angin yang mendesau menyusup hangat kedalam sanubari.
“Bulan hanya ingin mengatakan padamu. Bahwa dia tidak sepenuhnya sempurna. Dia tidak terlihat indah ketika malam yang cerah menunjukkan cahanya kepada seluruh manusia. Bulan hanyalah Bulan, tidak seterang kelihatannya. Tapi dia bisa terlihat indah dan penuh dengan kecantikan karena Matahari memantulkan sinar padanya. Sinar cinta yang tak akan lekang oleh jaman. Kau adalah Matahari. Sinarmu tetap menyala-nyala seperti bara di langit yang kelam. Di banding hatimu yang patah, masih ada satu sisi dirimu yang terang benderang dan siap menjilatkan lidah apinya sejauh mungkin.”
“Apa itu artinya aku tidak akan berjodoh pada siapapun?” tanyaku dengan gundah. “Bukankah kau bilang kalau aku adalah Matahari?”
“Kau memang Matahari, tapi Matahari bagi dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu. Meskipun kau membara dengan suhu supernova, tapi kehadiranmu adalah kehangatan yang selalu di tunggu orang-orang yang membutuhkanmu. Jika bukan dia laki-lakinya, maka pasti ada laki-laki lain yang akan bertemu denganmu. Bukan hanya untuk membentuk gerhana total. Tapi sebuah gerhana indah dengan cincin pelangi sebagai tanda kekuasaan Tuhan. Jika lelaki itu tidak datang saat ini, mungkin dia akan datang nanti. Jika dia tidak datang di sini, maka dia akan datang dari tempat lain.”
“Bukankah itu pertanda buruk?” tanyaku dengan heran.
Langit kelam menggeleng. “Tidak, sayang. Kau salah besar. Banyak manusia yang salah besar. Itu adalah tanda Kekuasaan Tuhan. Bahwa hanya Tuhan yang bisa membuat hal-hal tidak mugkin seperti itu.”


Lelakiku sedang menjemput pengantinnya. Bukan aku. Aku hanya akan berdiri disini sembari menatap bulan retak yang sedang bercinta dengan Bumi malam. Aku hanya bisa terpaku disini. tanpa ratapan dan tanpa kesedihan. Semua beku. Kelu.

-----END-----




Tuesday, April 8, 2014

Cerpen Horror: TOILET HANAKO SAN

Cerpen Horror 

TOILET HANAKO SAN


Megumi menarik rambut Atsuko dengan keras dan  membuat gadis itu tegadah kesakitan. Dua teman Megumi menertawakan kesakitan yang di derita Atsuko, gadis terlemah yang selalu menjadi sasaran mereka. Ketiga gadis yang selalu ingin di pandang cantik itu tertawa terbahak-bahak. Senang.
“Masukkan dia kedalam, Megu-Tan!” perintah salah satu kawannya pada Megumi.
“Jangan, aku mohon. Jangan masukkan aku kedalam!” Atsuko meronta lagi. Kali ini benar-benar membuat  perlawanan. Berusaha melepaskan diri dari Megumi dan kedua kawannya. “Megu-Chan. Aku takut.”
“Sama. Aku juga takut. Kalau begitu ketuk pintunya dulu. Agar kau bisa memastikan. Didalam sana ada Hanako San atau tidak,” ledek Megumi.
“Tidak, jangan!”
Tanpa ampun Megumi menyeret dan memasukkan Atsuko kedalam toilet tua yang sudah di tutup oleh pihak sekolah. Jeritan Atsuko tidak di dengar mereka. Setelah Atsuko masuk dengan dipaksa kedalam toilet tua itu, Megumi dan dua kawannya langsung menutup pintu dan menguncinya dari luar.
“Tapi Megu-Tan. Bagaimana kalau dia mati ketakutan didalam?” tanya salah satu kawannya.
 “Kecoa seperti Atsuko harus di beri pelajaran  karena dia sudah berani mendekati Yuji Kun. Di tambah lagi, aku memang ingin dia mati pelan-pelan.” Senyumnya langsung sinis. Megumi melihat kedua temannya sedikit khawatir.  “Dia tidak akan  mati. Aku sudah  bilang, dia itu sama dengan kecoa. Kotor, menjijikkan, tapi dia bisa bertahan hidup sangat lama. Dan dia hanya cocok berada di toilet. Bukan berada di sisi Yuji Kun.”
Dua temannya bergidik ngeri mendapati Megumi yang bersikap sangat dingin. Tidak salah jika  dia di kenal sebagai ‘Gadis Balok Es’. Benar-benar dingin dan beku. Megumi berteriak diluar pintu. Mengucapkan selamat tinggal  pada Atsuko dan disambut dengan tawa terkikik dua temannya. Didalam, Atsuko sudah berteriak histeris. Ketakutan.
Mereka pergi meninggalkan tempat itu.  Tapi belum jauh mereka berjalan, seseorang menabrak mereka dan membuat baju Megumi terciprat air kotor.
“Apa yang sudah kau  lakukan, Keiko Chan?!” dengan Marah Megumi berkacak pinggang . Badannya menjadi bau.
 “Maaf, Megu-Tan. Aku tidak sengaja. Tapi kalau kau tidak segera membersihkan seragammu. Bisa-bisa kau bau. Ini air kotor untuk praktek di laboraturium.”
Dengan geram Megumi langsung meraih kerah baju  Keiko dan membuat gadis kecil itu memandang wajahnya. “Aku akan membunuhmu juga, sama dengan Atsuko yang ada didalam sana. Tapi nanti, setelah aku membersihkan badanku,” bisik Megumi dengan geram.
Wajah Keiko sudah pucat pasi. Megumi tidak pernah menyalahi perkataannya. Sudah banyak anak di Teiko Gakuen yang menjadi korbannya. Di bully. Tapi sayangnya, prestasi bagus megumi dan pengaruh ayahnya yang selalu menjadi donatur tetap di sekolah, membuat Megumi menjadi gadis superior dan tidak ada satupun guru yang percaya jika Megumi sering menyiksa teman-temannya. Bahkan adik-adik kelasnya.
Dua tahun lalu, saat dia masih duduk di kelas satu. Dia pernah membuat senpainya yang ada di kelas tiga mati bunuh diri dari atap gedung sekolah. Semua karena Megumi yang sangat membenci gadis itu, karena sudah berani mendekati Yuji-Kun. Murid laki-laki yang sudah menjadi incaran Megumi sejak tahun pertama masuk SMU. Si tampan yang populer.
Keiko adalah salah satu di antara korban-korbannya. Tapi sepertinya tahun ini Megumi sengaja menyerang Atsuko habis-habisan. Karena dengan terang-terangan  ketika Valentine,  Miyamoto Yuji menyatakan perasaannya pada Atsuko Honda dan  saat  White Day tiba, mereka mulai mendeklarasikan diri sebagai sepasang kekasih. Megumi tahu itu. Dia cemburu.
“Atsuko Chan, kau  baik-baik saja?” tanya Keiko dari luar pintu begitu keadaan sudah sepi.
“Keiko! Keiko, kumohon tolong lepaskan aku. Aku takut...”
Keiko mengerutkan keningnya. Merasa miris dan kasihan. Baru  dua bulan Atsuko berkencan dengan Yuji, tapi nasibnya sudah sangat buruk di tangan Megumi.
“Keiko, aku takut ada hantu Hanako,” kata-kata Atsuko mulai melemah dan tangis menyertainya. “Keiko, tolong aku, cepat!”
“Tenanglah, Atsuko Chan. Hantu Hanako bukan hantu yang jahat. Dia tidak akan menakutimu. Dia baik.”
“Tetap saja aku takut. Tolong panggilkan Yuji kun. Aku mohon bukakan pintunya...”
Keiko terdiam di luar pintu. “Aku paham,” jawabnya lemah.

Keiko berjalan menyusuri lorong lantai tiga dan menuju kelasnya yang ada di lantai dua. Tapi belum sampai dia menaiki anak tangga, sebuah tangan merengkuhnya dari belakang dan menyeretnya masuk ke dalam kamar toilet perempuan. Mulutnya di bekap oleh sosok yang lebih besar badannya dari dia. Meskipun Keiko meronta, dia tidak di lepaskan. Tapi begitu sudah berada di dalam kamar kecil, badannya di lempar hingga terpental ke tembok, lalu dia jatuh terduduk di bawah wastafel. Belum selesai dia memahami apa yang terjadi, seseorang sudah menuangkan cairan dalam botol kebadannya. Bau busuk menyeruak dari tubuhnya begitu air itu membasahi badannya.
 “Megu-Tan. Aku mohon keluarkan Atsuko Chan!”
Megumi mengerutkan alisnya. Merasa heran, sekaligus aneh. “Kenapa hari ini kau banyak membantahku? Padahal biasanya kau seperti anjing pengikut yang selalu mengekor di belakang Atsuko dan Yuji Kun.”
“Atsuko Chan itu temanku!”
“Benarkah? Kalau begitu coba  lepaskan sendiri saja,” jawab Megumi dengan tawa berderai yang di ikuti oleh kedua temannya. “Kalau kau mengatakan ini pada Yuji Kun, aku akan membunuhmu!” ancamnya dengan nada serius.
Sudah kedua kalinya dalam satu hari ini dia menerima ancaman itu. Keiko mulai merasa harus waspada. Jika tidak, selain Megumi yang akan mewujudkan kata-katanya. Pasti Keiko juga akan di keluarkan dari sekolah ini. Megumi bisa melakukan apapun. Bahkan membunuh tanpa senjata sekalipun.

Cklack!
Atsuko mendapati sosok itu begitu menyilaukan dan berwibawa. Dia langsung menubruk orang yang sudah membukakan pintu toilet itu untuknya setelah jam sekolah berakhir. Tapi sosok yang di peluknya tidak memberikan reaksi. Hanya mematung. Di tanganya terjulur sebuah botol air mineral dan langsung di serahkan pada Atsuko.
“Minumlah, kau pasti haus.”
Tanpa banyak bicara, Atsuko langsung meneguk minuman itu . Tapi belum sampai minumannya habis, terdengar suara gaduh di luar yang berasal dari ujung lorong.
“Megumi...” bisik Atsuko.
“Kalau begitu cepat masuk ke bilik sana. Dia pasti akan kesini dan memastikanmu masih ada di dalam atau tidak.”
“Tapi, bukannya akan lebih baik kalau kita cepat kabur?”
Tidak ada jawaban. Orang itu mendorong Atsuko hingga masuk ke dalam bilik keempat toilet, kemudian merebut botol minuman yang di berikannya pada Atsuko. Lalu dia cepat-cepat keluar dari toilet dan kembali menguncinya dari luar. Sebelum tiga gadis superior itu sampai di toilet, orang itu secepat kilat menyelinap masuk ke dalam ruangan kelas yang sudah kosong di dekat kamar mandi.
Suara berisik tiga gadis itu menggema sekali lagi. Terdengar suara gembok yang di buka. Pintu berderit dan ketiga gadis itu masuk.  Orang tadi buru-buru keluar dari kelas dan berlari tanpa suara meninggalkan sekolah.
***

“Keiko-chan, apa kau melihat Atsuko?”
Pagi-pagi sekali Yuji Kun sudah menunggu Keiko di depan sekolah dan menghampiri gadis itu saat baru saja sampai. Keiko menggeleng dan berjalan secepat mungkin mendahului Yuji.
 “Keiko-chan. Bisa bicara sebentar?”
Keiko dan Yuji sama-sama menoleh ke satu arah. Mamoru Sensei. Wali kelas Keiko dan Atsuko. Dengan langkah gontai Keiko mengikuti Mamoru Sensei yang menggiringnya. Awalnya Keiko berpikir kalau dia akan di bawa ke ruang Guru, tapi ternyata dia di ajak  menepi di samping sekolah dan berbicara berdua saja.
“Semalam Ibu Atsuko meneleponku. Dia bilang kalau anaknya pulang dalam keadaan  kacau balau. Tapi tadi pagi dia telepon lagi, katanya anaknya sudah tidak ada di tempat tidur. Padahal semalam dia menunggui anaknya tidur di kamarnya. Dia sangat khawatir dengan keadaan Atsuko-chan,” terang Mamoru Sensei. Keiko tidak menyahut. Tangannya meremas tas dengan sangat erat.  “Apa kau tahu  hal apa yang sudah terjadi pada Atsuko? Ibunya bilang, kemarin sore dia pulang dan mengatakan hal yang janggal.”
“Janggal?” Keiko nampak bingung.
“Aku juga tidak begitu jelas. Ibu Atsuko bercerita seperti melompat dari cerita satu ke cerita yang lain. Dia juga menyebutkan bahwa Atsuko pulang karena kebaikan dari Hanako San.”
Mata Keiko langsung terbelalak kaget. “Ha-Han-Hanako... San?” gagapnya. Bibirnya langsung bergetar. Tapi detik berikutnya, mendadak kepalanya langsung tegak.  “Sensei, aku rasa kita harus cepat kesana!”
“Kemana?”
“Ke Toilet lantai tiga!” dengan tak sabar Keiko menggandeng tangan gurunya dan berjalan cepat menuju ke lantai tiga gedung sekolah.
Nafas mereka terengah-engah menaiki anak tangga menuju ke lantai tiga. Ketika berada di lantai dua, mereka berpapasan dengan  Yuji yang akan berbelok ke kelasnya. Tapi begitu melihat Mamoru Sensei dan Keiko  terburu-buru. Dia langsung menghadang mereka.
Keiko menjelaskan apa yang sudah di ceritakan mengenai telepon Ibu Atsuko pada Mamoru Sensei dan perilaku aneh Atsuko kemarin sore.
“Cerita tentang hantu Hanako itu, apa kalian mempercayainya?” tanya Keiko begitu mereka bertiga berhadapan. “Dia hanya akan datang  jika di panggil. Tapi menurut mitos juga, banyak anak yang hilang jika masuk ke toilet di lantai tiga dan dibilik keempat. Aku tidak tahu apakah Atsuko masuk kesana. Tapi yang jelas, kemarin aku melihat Megumi dan dua temannya mengunci Atsuko disana.”
“Anak yang hilang itu akan kembali ke rumahnya ketika sore. Tapi kemudian dia akan menghilang lagi keesokan harinya,” sambung Yuji dengan bergumam. “Tapi apa yang sudah di lakukan Atsuko sampai Megumi mengurungnya?”
“Jika kau tahu tabiat asli Megumi, mungkin kau akan tahu penderitaan macam apa yang sudah di timbulkannya pada Atsuko. Semua itu karenamu. Karena dia menyukaimu!”
“Tunggu, kalian ini bicara apa?” Mamoru Sensei menengahi pembicaraan Keiko dengan ekspresi bingung. “Keiko-chan, kau tahu sesuatu. Ceritakan lebih dulu!”
Mata Keiko memandang ragu ke arah Yuji dan Mamoru Sensei. “Kemarin, aku tidak sengaja melihat Atsuko di masukkan oleh Megumi dan dua temannya kedalam toilet di lantai tiga.  Aku tahu karena aku tidak sengaja menyiram seragam Megu-Tan dengan air  kotor untuk praktek biologi. Aku ingin menolong Atsuko Chan. Tapi sayangnya saat aku akan memanggil guru piket, malah aku disiram balik oleh Megumi dengan air kotor yang sama. Badanku basah semua dan aku terpaksa harus membersihkan diri dulu.”
“Setelah itu kau tidak menolong Atsuko? Kenapa kau tidak meneleponku? Aku masih menunggu Atsuko sampai jam tiga di taman dekat sekolah!” omel Yuji dengan gusar.
“Aku pikir waktu itu sudah ada yang menolong Atsuko. Karena itu aku  pergi lebih dulu. Ada seseorang yang masuk ke toilet, aku pikir itu guru piket. Meskipun aku  tidak melihatnya secara jelas dari kejauhan, tapi sepertinya pintu toilet sudah terbuka. Aku tidak bisa mendekat, karena gerombolan  Megumi tiba-tiba datang. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku juga tidak memastikan apa yang terjadi kemudian.”
“Kenapa kau tidak memastikannya, Keiko Chan?” tanya Mamoru Sensei.
“Aku tidak mau berurusan dengan Megumi lagi, Sensei. Karena dia sudah dua kali mengancam akan membunuhku  kalau aku nekat ikut campur urusannya lagi,” keluh Keiko dengan lemah.
“Tunggu, jadi maksudmu...” Yuji mulai berkutat dengan pikirannya.
“Jangan-jangan Atsuko... tidak mungkin!” Mamoru Sensei langsung berlari lebih dulu menuju ke kamar mandi lantai tiga.
Mereka bertiga langsung melesat  menuju  ruang kamar mandi yang sudah tidak terpakai lagi disana. Pintu itu masih sama seperti kemarin. Terkunci. Bibir Keiko mulai bergetar. Badannya tiba-tiba dingin dan darah seolah surut dari wajahnya. Pintunya masih terkunci. Feelingnya mulai terasa aneh dan tidak enak.
Yuji mengajak Mamoru Sensei untuk mendobrak pintu itu. Tapi Keiko menyarankan agar membuka pintu itu dengan kunci. Dengan badan gemetaran, Keiko mengetuk pintu kamar mandi yang terkunci itu sebanyak tiga kali.
“Hanako San, apa kau ada di dalam?” tanya Keiko dengan  getar suara  ketakutan dan ragu.
“Kau bodoh, ya? kenapa bertanya pada hantu? Memangnya dia bisa membukakan pintu dari dalam?!” bentak Yuji dengan kesal. “Pacarku ada didalam dan kita tidak tahu apa yang sudah terjadi dengannya!”
“Tunggu disini, biar aku mengambil kunci dari guru piket,” ujar Mamoru Sensei seraya berlari meninggalkan Keiko dan Yuji berdua.
“Aku benci menunggu!” dengan tak sabar Yuji mencoba mendobrak pintu kamar mandi itu dengan sekuat tenaga. Keiko menahan agar Yuji tidak sampai menyakiti dirinya sendiri. Tapi karena pintu itu sudah tua, akhirnya ada salah satu engsel yang copot. Keiko dan Yuji berseru senang. Mereka berdua langsung membuat inisiatif untuk mendobrak pintu itu sekali lagi. Kali ini terbuka. Pintu itu rusak.
“Tapi Yuji-Kun, bagaimana kalau Hanako-San  marah karena pintu kamar mandi ini kita rusak?” tanya Keiko dengan ragu-ragu di ambang pintu.
“Kau lebih peduli dengan pintu itu atau temanmu?”
Seolah tidak memedulikan  Keiko, Yuji lantas berjalan menuju bilik kamar mandi dan di bukanya pintu  itu satu persatu. Saat berada di depan bilik keempat, pintu itu sedikit susah di buka hingga dia perlu untuk mendorongnya. Saat pintu terbuka, Yuji langsung terjatuh lemas di tempat. Keiko segera menghampiri murid laki-laki paling populer di sekolahnya itu.
“Yuji-kun ada ap— ” Keiko lemas. Perutnya langsung teraduk. Ingin muntah, tapi yang keluar dari mulutnya kemudian malah sebuah teriakan yang kencang dan nyaring. “Atsukooo...!!!”
Seorang murid perempuan dengan seragam  lusuh dan kumal kekuningan  terbujur kaku seraya memegangi lehernya. Posisinya sedikit ganjil dengan kaki terlentang dan kepala yang masuk ke lubang toilet. Kulitnya pucat. Badannya kaku. Rambutnya menutupi seluruh mukanya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Sepatunya berserakan. Murid perempuan  itu sepertinya sudah mati sangat lama. Atsuko mati dengan cara yang tidak wajar.
***

Esoknya, Megumi menjalani pemeriksaan oleh Polisi yang mendatanginya ke sekolah. Terkait dengan  kematian Atsuko yang berada di tiolet lantai tiga. Mayat Atsuko tidak segera di makamkan, tapi menjalani autopsi lebih dulu. Meskipun gossip tentang hantu Hanako-San  sudah beredar dengan cepat keseluruh penjuru sekolah, tapi tetap saja pihak kepolisian dan keluarga Atsuko memeriksa kematiannya.
Setiap anak yang lewat di depan toilet itu tidak berani menoleh. Biasanya juga seperti itu. Bahkan sebelum toilet itu di nyatakan rusak sekalipun, tidak ada anak yang berani masuk kesana. Mereka tahu sejarah dari gedung sekolah yang mereka tempati itu. Sebuah gedung tua yang sudah di pugar belasan kali setiap tahunnya. Dulunya gedung itu adalah bekas Sekolah Dasar yang pernah mengalami kebakaran di tahun 1987. Hingga kemudian gedung itu di pugar, lalu berubah menjadi sekolah SMU baru.
Meskipun kasus kematian di dalam  toilet Teiko Gakuen baru pertama kali, tapi kasus kematian di Teiko Gakuen yang melibatkan anak kelas 3-B bukan kali pertama. Disekolah itu, sudah ada enam kali kasus kematian. Mulai dari kasus bunuh diri dari atap gedung, tenggelam di kolam renang sekolah, hingga kematian Atsuko.
Ditoilet lantai tiga itu, terpasang garis polisi sebagai pembatas dan  penanda bahwa tempat itu sedang dalam pemeriksaan. Keiko, Yuji dan Mamoru Sensei juga tidak lepas dari pemeriksaan saksi.
***

Sesorang murid laki-laki berbadan tinggi dan tampan memaksa masuk toilet kumuh dan kotor yang sudah lama tidak terpakai itu. Sebisa mungkin badannya yang  ramping tidak menyentuh garis polisi. Langkah kakinya berjalan pelan tanpa sepatu. Hanya menggunakan kaus kaki. Tampangnya  kaku. Akan tetapi dalam  hatinya menertawai apa yang baru saja terjadi di toilet ini. Seorang gadis mati konyol. Di dalam toilet. Pacarnya.
Dengan pelan dan cermat tangannya mengambil sesuatu dari dalam kantungnya. Sarung tangan. Setelah mengenakan benda itu, dia langsung menuju ke arah wastafel dan membuka saluran pipanya. Senyumnya sedikit mengembang begitu mendapati pipa itu tidak ada tanda-tanda dibuka oleh orang lain.
Dua butir kapsul bersarang didalam pipa itu. Sianida. Langsung dimasukkannya kapsul-kapsul itu dengan hati-hati kedalam plastik. Kemudian dimasukkannya kedalam  saku dengan sangat teliti. Setelah mengembalikan pipa wastafel dalam kondisi semula, dia langsung beranjak ke bilik toilet paling ujung. Nomor empat.
Tok, tok, tok!
“Hanako-San, apa kau ada di dalam?” tanya murid tampan itu dengan suara sepelan dan senyaring mungkin.
Terdengar suara air menyala dan masuk kedalam lubang toilet. Murid itu berdiri kaku seketika di luar pintu. Senyumannya sirna. Sosok anak kecil dengan pakaian serba putih dan kepala penceng  dan pecah penuh darah yang lengket di rambutnya, berdiri di depan bilik pertama dengan menatap lurus ke mata murid tadi.


“Maaf mengirimimu teman tanpa ijin. Aku hanya ingin mengurangi penderitaannya. Karena pacaran denganku, dia menjadi sasaran Megumi. Setidaknya jika dia mati, maka Megumi juga bisa belajar untuk bertanggung jawab dengan semua kesalahannya selama ini. Tapi mungkin lain kali akan giliran Megumi yang aku kirim untuk menjadi temanmu.”

Sosok anak kecil penuh darah  dan berbau anyir itu tidak bereaksi. Hanya memandang Yuji dengan dingin di balik rambut lepek dan mata gelapnya.

-----END-----


Cerpen Horror: MIDNIGHT PRAGUE

Cerpen Horror

MIDNIGHT PRAGUE 



“Pemuda itu bertekad mencari kekasihnya melalui lorong bawah tanah. Dia ingin menemukan kekasihnya yang sudah menjadi biarawati dengan cara menggali lorong yang bisa menembus ke ruang bawah tanah gereja tempat kekasihnya di sekap. Tapi dia ketahuan oleh pihak gereja. Akibatnya, pemuda itu di eksekusi mati karena di anggap telah melakukan pencemaran nama baik terhadap gereja. Sang biarawati sendiri di kurung kembali di ruang bawah tanah. Tapi dia mati di hari yang sama saat pemuda yang menjadi kekasihnya itu di bunuh.”
Suasana tetap hening. Beberapa turis malah sibuk memotret suasana di sekeliling gereja. Lalu pemandu tur itu melanjutkan ceritanya. “Terkadang ada beberapa jemaat yang mendengar tangisan sedu dari bawah lorong. Konon katanya itu adalah arwah biarawati yang mati. Terkadang juga ada yang melihat roh biarawati itu berkeliaran di sekitar gereja.”
Aku dan Noa sudah mendengarkan cerita demi cerita dari satu tempat ke tempat lain melalui serangkaian wisata hantu yang disediakan oleh pariwisata di Praha. Tadi guide tour menceritakan tentang hantu kekasih yang di hianati dan ini yang terakhir—hantu biarawati. Sang pemandu wisata horor menutup tur tepat di depan gereja tempat hantu biarawati tersebut dipercaya tinggal. Para peserta pun dibebaskan untuk bepergian ke mana saja setelah tur tersebut berakhir. Tapi aku dan Noa memutuskan untuk kembali ke Hotel saja.

***

Comeone, Sugar. Tidak ada dongeng tentang hantu disini, yang di katakan guide tour hantu itu hanya bohong!” kataku pada Noa saat melihat dia tidak berani pergi ke kamar mandi sendirian.
“Terserah, tapi aku tadi benar-benar bisa merasakan kalau hantu biarawati itu ada. Juga tentang cerita hantu kekasih yang di hianati itu, aku sangat percaya. Banyak turis yang membuat kesaksian kalau dia benar-benar melihat hantu dengan gaun putih itu berkeliaran di kota dengan kepala yang terpenggal. Konon katanya yang memenggal kepala pengantin perempuan itu adalah mantan kekasihnya yang cemburu. Kekasihnya itu telah lama pergi. Saat kekasihnya itu kembali, si perempuan malah menikah dengan pria lain. Mereka ada, Jesse!”
“Itu hanya rekayasa. Kalau memang hantu pengantin yang kepalanya di penggal itu ada, harusnya kita tur ke makamnya. Bukan malah ke Kota Tua!”
 “Kau belum tahu apa yang terjadi sebelum kau bertemu dengannya.”
“Orang hiduplah yang perlu di waspadai. Bukan hantu!” tukasku.
Tidak ada tour  paling aneh selain paket wisata hantu yang disediakan oleh kota ini. Noa yang memilih paket wisata kami, Gosht Tour. Katanya dia tidak ingin kehilangan sedikitpun momen untuk berwisata di kota tua Eropa, Praha. Sebenarnya aku juga suka dengan tempat ini, ada hal yang sangat menarik yang bisa kurasakan di negeri seribu dongeng.
Aku bisa menikmati pemandangan kota tua dari balik jendela kaca hotel yang mungil berbentuk persegi, memamerkan keindahan Old Town Square yang di terangi cahaya lampu jingga. Aku suka Praha. Tapi sekaligus merasa sedikit ngeri ketika membayangkan bagaimana dulu kota ini jatuh bangun berabad-abad silam oleh perang. Tapi masih tetap bisa berdiri kokoh hingga saat ini. Jika Noa mau, aku ingin menikah di sini. Bukan di Den Haag, tempat kelahiranku hingga aku tumbuh sematang ini.


Noa memutuskan tidur lebih dulu setelah dia mandi. Sedangkan aku memilih keluar untuk berjalan-jalan di sekitar hotel, berharap bisa menemukan bar atau kafe yang bisa memberikanku sesuatu untuk menghangatkan badan. Meskipun musim dingin sudah berlalu dan musim semi sudah dekat, tapi ternyata udara di Praha tidak sama dengan udara di Belanda. Kabut menghujam datang ketika aku keluar dari pintu hotel dan mendapati beberapa pasang kekasih berlalu-lalang kembali ke tempat menginap masing-masing.
Penjaga pintu hotel bilang kalau aku bisa menemukan bar dengan kualitas yang bagus dan harga yang terjangkau di seberang bangunan tua yang ada di depan hotel. Tapi aku harus cepat pulang sebelum jam dua belas malam, terkadang banyak orang jahat berkeliaran dan mereka tidak segan-segan akan merampok turis dari luar negeri. Meskipun ada polisi, tapi sepertinya keamanan disini masih belum bisa mengatasi kejahatan lokalnya.
Sebuah tulisan “Velvet Gate” terpampang di sebuah bangunan kecil mirip kedai.  Seorang gadis dengan penampilan menarik langsung menyambutku dengan senyumannya di meja bar. Aku hanya perlu menunjukkan tanda “V” pada jariku, gadis itu langsung paham apa yang kupesan. Vodka. Aku perlu menghangatkan badan.
Gadis itu bertanya padaku dengan bahasa inggris yang luwes. Apakah aku menikmati liburanku, aku tersenyum padanya dan kukatakan kalau aku sangat menyukai Praha. Dia bisa menebak darimana asalku. Aku senang, setidaknya orang Belanda memiliki ciri khas di matanya. Sepertinya dia penjual yang ramah, dia selalu berusaha membuat obrolan menarik di sela-sela pekerjaannya, setidaknya itu membuat pelanggan atau turis asing tidak merasa bosan.
“Anda sudah berkunjung ke Prague Castile?”
Aku menggeleng. “Besok!” jawabku singkat.
Aku lebih suka mendengarkannya bercerita. Sama halnya ketika aku suka mendengarkan Noa bercerita dengan menggebu-gebu. Gadis ini juga bertanya padaku apa kesanku dengan Kota Tua. Aku jawab, Praha sangat keren. Kesan yang aku tangkap ketika berada disini adalah, aku seperti diseret ke kota abad pertengahan yang masih bisa berdiri dengan megah dan gagah. Belum lagi unsur mistis dan senyap yang di tawarkan kota ini. Di Praha, aku seperti hidup dalam masa lalu dan menjadi salah satu rakyat dari Raja Charles IV di abad pertengahan.
Setelah puas minum dan membayarnya. Dengan sedikit mabuk, aku keluar dari bar. Payahnya, saat sudah berada di luar, aku lupa harus berjalan ke arah mana. Jalanan sudah sangat lengang dan hanya tersisa lampu-lampu jalan yang membisu. Dengan langkah gontai, aku terus berjalan tak tentu arah, berharap bertemu dengan seseorang yang menuju arah yang sama denganku, hotel.
Didepan, jalanan semakin gelap.  Bangunan-bangunan tua  terlihat tinggi menjulang seperti monster raksasa hitam yang siap menelanku hidup-hidup. Disisi kiri dan kanannya terdapat banyak bar dan restoran yang sudah tutup, mereka  seperti membentuk sebuah lorong kematian. Aku terus berjalan melewati lorong gelap dengan tiang-tiang lampu yang hanya hidup beberapa.


Dari balik sebuah tiang bata yang sudah tua, kulihat tiga orang laki-laki dengan celana belel dan kaos yang bau mendekatiku. Tangan mereka menarikku kesebuah lorong yang jauh lebih gelap di antara bangunan tinggi. Aku tak bisa melawan. Masing-masing dari mereka melekatkan sebuah pisau dengan ujung yang runcing ke leher dan ulu hatiku. Saat  mereka mengambil dompet dan ponselku, kurasakan sebuah hantaman keras mengenai kepalaku. Terakhir yang bisa kudengar adalah, denting suara jam yang berbunyi sekali. Selanjutnya, yang kurasakan hanya gelap. Perih. Dingin.


Kegelapan itu membuatku makin sesak dan lemah. Aku tidak ingat apa yang sudah terjadi beberapa saat lalu setelah kepalaku di hantam seseorang dari belakang. Sepertinya terjadi sesuatu, tapi aku tidak peduli lagi. Aku harus lapor polisi dan mengatakan bahwa aku baru saja kerampokan. Tapi begitu keluar dari lorong gelap itu, aku tidak bisa menemui satu orangpun. Cahaya juga makin muram di terpa kabut yang mulai rendah. Hanya cahaya lampu jalan berpendar kemuning saja yang bisa membuatku tahu kalau di depan sana masih ada jalan. Kuputuskan berlari untuk mencapai tempat terdekat yang ada petugas keamanannya, berharap aku tidak bertemu dengan perampok lagi. Tapi jalanku masih gontai. Aku lemah.
Sebuah hawa dingin menerpa bersamaan dengan rendahnya kabut. Semakin aku berjalan maju, semakin hawa dingin itu menjalar hingga menusuk ke setiap pori-pori kulitku. Dari balik kabut, kulihat seorang perempuan dengan gaun putih panjangnya berjalan di depanku.
Excuse me, Miss!” sapaku padanya. Tapi dia tidak menoleh dan terus saja berjalan. “Miss!” panggilku lagi. Kali ini dia berhenti, menolehku sedikit, lalu dia berjalan lagi. Sepertinya terjadi sesuatu dengannya. Jadi kuputuskan untuk terus mengikutinya. Aku khawatir, dia juga adalah korban perampokan, sama sepertiku. Selain itu, aku juga berharap bisa menemukan polisi jika berjalan bersamanya. Tapi jalannya terlalu cepat, dia mendahuluiku.
Aku masih bisa melihat dia, perempuan dengan gaun putih panjang yang menjuntai hingga ke tanah. Dia terus berjalan menuju kesebuah bangunan yang tadi siang tidak pernah kulihat. Mungkin karena kabut yang pekat di pergantian musim ini, sehingga mengaburkan pandanganku untuk melihat bangunan apa yang berdiri seratus meter dari tempatku berpijak.
Perempuan itu membelakangiku, tapi langkahnya tampak mantap menuju ke sebuah kapel. Namun tiba-tiba terdengar suara ringikan kuda yang melengking dari arah belakangku, aku segera minggir, meskipun dalam hati aku merasa heran sekaligus kesal. Ini bukan waktu yang tepat dan tempat yang benar untuk berkuda. Tidak ada kereta lagi yang berkeliling di sekitar Old Town Square. Tapi tanpa kuduga, perempuan itu sempat menolehkan wajahnya padaku meskipun hanya selintas. Matanya biru, aku bisa melihat sinarnya dari cahaya bulan yang menentang. Dia langsung lari begitu suara ringikan kuda makin jelas terdengar.


Tidak ada orang di sekelilingku saat ini, jalanan ini begitu sepi dan gelap, hanya cahaya bulan yang menerangi sudut jalan ini. Perempuan itu terus berlari dengan gaun putihnya yang menjuntai. Aku dengan seluruh rasa penasaranku, mengejarnya. Tidak ada pengendara berkuda yang lewat di sekelilingku meskipun suara itu jelas terdengar di telingaku. Tapi perempuan itu sepertinya ketakutan dan larinya makin kencang. Dia menghilang.
Jalanan semakin gelap dan sepi. Aku bingung harus mencarinya kemana lagi. Tapi suara tapak kaki kuda yang berjalan ke arahku makin jelas dari arah depan. Sepertinya dia kembali. Sekarang pilihanku hanya dua, kembali atau sembunyi. Tapi akhirnya kuputuskan untuk sembunyi.
Dari balik dinding tua ini aku bisa mengamati apa yang terjadi. Perempuan itu seperti diseret oleh sesuatu yang tidak tampak. Dia menangis. Gaunnya koyak. Suara ringikan kuda makin jelas terdengar di telingaku, seolah makhluk itu berada tepat di dekatku. Aku ingin menolong perempuan bermata biru itu. Tapi sayangnya,  sesuatu terjadi dengan sangat cepat. Sebuah kilatan lurus dan berkilau, berkelebat cepat di kegelapan. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi tubuh bergaun putih itu ambruk dan ada sesuatu yang hilang. Kepalanya.
Kepala itu menggelinding tepat di bawah kakiku. Dengan tubuh yang masih bergetar hebat, kulihat benda bulat berwarna hitam dengan rambut panjangnya berada tepat di antara sela kakiku. Mata yang tadinya tertutup, kini terbuka lebar dan menatapku tajam. Bibirnya biru karena tidak ada darah yang mengalir diwajahnya langsung membuka dan tersenyum, menampakkan sebuah lubang kecil yang hitam dan mengeluarkan aroma  busuk.
Aku langsung berlari menjauhi benda bulat itu. Tapi sayangnya kakiku tidak bertenaga dan lariku jadi sangat lamban. Di belakang sana, masih terdengar suara ringikan kuda yang berjalan mendekat ke arahku. Aku terus berlari dengan kaki lemah, berharap bisa menemukan orang lain yang bisa menolongku dari kepala menggelinding dan suara kuda dengan pengendara yang tak kasat mata yang sepertinya sudah memenggal perempuan tadi.
Aku terus berlari dengan kaki yang lemah, tapi dari arah yang berlawanan denganku, berdiri sosok bergaun putih di bawah kapel yang sudah tua. Aku terus mendekat ke arahnya seperti didorong oleh suatu kekuatan yang aneh. Semakin dekat dengannya, semakin bisa kulihat jelas yang berdiri itu tidak memiliki kepala. Dia menghentikanku, hingga kini aku berdiri tepat berhadap-hadapan dengannya. Masih dengan kepanikan yang sama seperti tadi, kuperhatikan baik-baik gaunnya yang putih. Sebuah gaun yang cantik dan menjuntai hingga ke bawah. Di tangannya tergenggam sebuah buket yang tertutup kain putih. Tapi begitu kain putih itu tersibak, sebuah kepala muncul disana dengan matanya yang menatap tajam kearahku. Kakiku lemas. Tapi disaat yang sama juga suara kuda itu makin mendekat. Bayangan putih itu mendadak hilang.
Aku tidak ingin membuang kesempatan. Kukerahkan tenaga yang masih tersisa. Aku harus lari, setidaknya itulah yang bisa kulakukan. Langkahku terus maju dan tidak berani menoleh ke belakang, berharap kepala itu tidak mengikutiku. Suara ringikan kuda itu masih juga terdengar jelas di telingaku, tapi lamat-lamat suara itu menjauh pergi seiring dengan langkahku yang berlari menuju cahaya terang di dekat Old Town Orloj—Atronomical Clock. Jam astronomi.


Excuse me!” seruku pada sosok laki-laki bermantel hitam yang akan mengendarai Roll Royce-nya. Tapi dia tidak mengindahkanku. “Sir!” sapaku setelah aku agak dekat dengannya. Tapi dia tak kunjung menolehkan kepalanya padaku. Kutepuk bahunya. Dia menoleh. Tapi hanya memperhatikanku sekilas. Kemudian tidak lagi. Dia buru-buru masuk kedalam mobilnya. Dia melewatiku yang sedang tertegun memandangnya.
Di jalanan dekat dengan jam astronomi itu, jantungku di kejutkan dengan suara jarum jam yang selalu berbunyi setiap satu jam sekali. Lengkap dengan boneka-boneka di sisi jam bergerak-gerak yang konon ada roh yang masih menghuni disana, bulu kudukku meremang lagi. Seolah aku merasakan hantu pengantin tadi masih menguntitku. Aku tidak tahu sekarang jam berapa, tapi Old  Town Square sudah sepi dan hampir tidak ada yang melintas. Atronomical Clock berdentang tiga kali.
Ada seorang Pria yang kulihat dari kejauhan. Badannya tegap dengan mantel bulu coklat  sedang berdiri di depan Municipal House. Dia satu-satunya manusia yang bisa kutemui untuk saat ini. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Tapi dia malah berjalan ke arah lain. Aku mengejarnya, berharap mendapatkan teman seperjalanan untuk kembali ke hotel.


Aku bersumpah, ini akan menjadi yang terakhir kalinya bagiku untuk berwisata di Praha. Jika bukan karena Noa yang tergiur paket liburan murah ke Praha, aku tidak mungkin mengikutinya. Aku terlalu mencintainya, tidak ada alasan buatku menolaknya untuk datang ke Kota Tua ini dengan segala macam keindahannya. Meskipun aku juga suka Praha. Tapi dengan kejadian barusan, aku memilih untuk segera mengakhiri liburan ini.
Dari jauh, aku melihat bangunan dengan tulisan “KAFKA’S HOTEL”. Lariku berubah kecil-kecil saat pria itu masuk kedalam Hotel. Dia menginap di tempat yang sama denganku. Setidaknya aku masih memiliki sedikit keberuntungan. Ketika masuk, petugas di lobi Hotel sedang tidak ada. Terpaksa aku harus menunda laporan dulu.
Rasanya lega sekali bisa mendapati Hotel lagi. Aku ingin istirahat. Semoga besok pagi aku bisa melihat Matahari yang cerah di Old Town Square bersama dengan Noa. Aku harap tunanganku itu masih tidur di kamarnya dengan lelap, sehingga dia tidak perlu khawatir mendapatiku yang tiba-tiba menghilang semalaman dan bertemu dengan sosok hantu yang tadi siang kami dengar ceritanya melalui guide tour. Hantu pengantin kekasih yang di hianati.

***


Noa mendadak menghilang. Entah apa yang sudah kulakukan semalaman, sehingga aku tidak tahu  tunanganku pergi kemana. Sepertinya aku ketiduran. Namun sepertinya juga aku tidak tidur. Tapi pergi entah kemana. Sekarang kepalaku terasa sangat ringan dan aku bisa berjalan seringan kapas. Rasanya seperti tidak ada beban.
Agak lama kutunggu Noa, tapi dia tidak kunjung datang. Kuputuskan untuk turun dari kamar dan memastikan kalau tidak ada yang terjadi padanya.
Tidak ada yang tahu kemana Noa pergi. Padahal aku ingin mengatakan padanya kalau lebih baik untuk mengakhiri rangkaian tur ini dan kembali ke Den Haag. Aku tidak bisa bertanya pada beberapa petugas hotel, sepertinya mereka sedang sibuk sendiri. Meskipun ada seorang petugas kebersihan Hotel yang melihatku dengan tatapan heran, tapi aku tidak mungkin bertanya padanya. Dia tidak mungkin tahu kemana perginya tunanganku.
Tidak berapa lama saat aku turun ke lobi, kulihat sebuah mobil patroli Polisi berhenti di depan hotel. Noa keluar darisana dengan wajah yang layu dan sembab. Wajahnya merah dan dia terlihat sangat terguncang.
“Noa, Wat is er gebeurt?” tanyaku padanya apa yang sudah terjadi. Tapi sepertinya dia tidak bisa menjawabku. Kuminta dia dari tangan para petugas, tapi sepertinya petugas-petugas itu tidak memedulikanku. “Hey, beraninya kalian! Wie bent u?”tanyaku dengan marah.
Mereka naik ke lantai atas, aku mengikuti mereka dari belakang sambil menahan panik. Ada apa dengan tunanganku?
“Tenanglah, Miss. Polisi akan mengusut kasus ini secepatnya. Sementara ini, sebaiknya anda mempersiapkan upacara kematian tunangan anda. Kami akan memberi fasiltas untuk mengantar jenazah hingga kembali ke Den Hag,” seorang polisi wanita menenangkan tunanganku dan memeluknya erat setelah mereka sampai di kamar.
Siapa yang mati?
“Dia keluar semalam, dia tidak bilang apa-apa saat pergi...” tangis Noa pecah lagi.
Polisi wanita itu mengelus bahu tunanganku. “Dia pergi ke bar, setidaknya ada yang bisa mengenali mayat tunangan anda ketika dia di temukan, yaitu gadis bar yang sebelumnya sempat bercengkrama dengannya. Anda harus bersyukur karena masih ada yang bisa menemukannya. Tidak ada identitas sama sekali saat dia di temukan dengan kondisi organ dalam yang sudah hilang.”
“Kalian harus menangkap perampok keji itu. Orang yang sudah membuat tubuh tunanganku berantakan. Ginjalnya pasti sudah di jual di pasar gelap. Oh...” lagi-lagi Noa menangis dengan ratapan yang memilukan.

Kakiku lemas. Aku masih belum tahu apa yang terjadi. Tapi aku sudah tidak bisa lagi merasakan kakiku menyentuh tanah. Saat kepalaku menoleh ke sebuah cermin di meja rias, bayanganku tidak memantul disana. Aku hilang.


-----END-----