Friday, November 22, 2013

Tentang VIOLEY

Tentang  VIOLEY



 VIOLEY

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih untuk kalian yang sudah sudi meluangkan waktu membuka blog ini. Meskipun masih sederhana dan berantakan. Tapi saya selalu berharap ada orang yang mau membaca naskah yang sudah saya buat dengan seluruh jiwa raga, dengan tetesan peluh dan air mata, dengan ingus yang meler-meler sewaktu mengeditnya menjadi sebuah cerita yang mungkin masih jauh dari sempurna.
VIOLEY tadinya adalah sebuah judul Novelet yang akan saya buat. Saya ingin membuat sebuah cerita mengenai tiga tokoh utama di dalamnya, yaitu Jolie yang kerap di panggil Jol, Avi yang memiliki banyak nama panggilan seperti anak anjing yang di temukan orang baru, dan Aju.
Masing-masing tokoh ini memiliki karakter yang dalam kisah nyatanya sangat membuat saya terkesan. Tidak ada foto atau spesifikasi sifat yang saya buat didalam VIOLEY. Ini semua karena saya ingin melindungi privasi tokoh-tokoh utamanya. Terlebih lagi saya tahu, saya masih belum cukup ‘umur’ untuk memiliki jam terbang menuliskan kisah tentang orang lain ke dalam suatu fiksi.
Tadinya memang VIOLEY ini hanya berupa novelet. Karena saya hanya berniat membuat satu tokoh saja. Tapi berhubung satu tokoh ini memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Akhirnya saya membuat per bagiannya denga tiga tokoh utama di dalamnya.
-                 Bagian satu VIOLEY 1 : JOLIE “VENUS SAGA”
Bagian ini bercerita tentang Jolie, seorang Butch senior pendiri Violey Cafe yang gigih memperjuangkan cintanya pada cewek yang sudah tinggal selibat dengannya selama satu bulan, Reta. Tapi sayangnya, orang Tua Reta ingin mempertunangkan anaknya dengan kakak iparnya sendiri, Vino. Dimana Vino disuruh untuk turun ranjang dan menikahi Reta. Tapi sebelum acara pertunangan itu, Reta malah sudah hamil lebih dulu. Ketika memperjuangkan cintanya, Jol tidak peduli dengan kondisi Reta yang sudah hamil lebih dulu. Jol bahkan melarang Reta untuk menggugurkan kandungannya. Jol bersedia menjadi orang tua bayi itu bagaimanapun caranya. Dan Jolie berhasil membuat Legenda Venus Saga, dimana dia berhasil menikah dengan Reta dan Reta melahirkan anak 'mereka' dengan selamat.
-                 Bagian dua VIOLEY 2 : AVI “SINCERELY”
Bagian ini bercerita mengenai Avi yang memiliki banyak nickname. Mulai dari Avril, Avi, hingga Hopi. Selain itu, Avi ini juga memiliki seorang adik yang sangat di manjanya yang bernama Esa. Dimana Esa ini paling sering bertengkar dengan pacar Avi yang tinggal selibat dengan mereka, Manda. Suatu hari Manda pergi dari rumah Avi dan tidak ada kabar, hingga kemudian kembali lagi. Tapi sayangnya, hati Avi sudah tertutup karena dia sadar bahwa Manda hanya memanfaatkannya saja. 
-                 Bagian tiga VIOLEY 3 : AJU “WORLD IN MY EYES”
Aju merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Dimana sejak SD dia sudah mengalami Sexual Deviant. Dimana dia lebih menyukai cewek. Setelah dia SMP, Aju menyukai teman kakaknya, Margaret. Sekaligus cewek yang menjadi cinta pertamanya. Saking sukanya Aju pada Margaret, bahkan Aju berani berhubungan dengan Margaret. Semua itu bukan tanpa alasan, karena Aju sangat penasaran dengan hubungan perselngkuhan Papanya, dan Aju juga sangat penasaran bagaimana rasanya mmemperkosa perempuan. Akhirnya hal itu dia praktekkan pada Margaret. Karena kebodohannya itulah, esoknya Aju memutuskan untuk bunuh diri. Tapi kenyataan lain membawanya ke Violey, dimana dia di temukan oleh Jolie melalui Takdir dan Mukjizat.
Entah kenapa, saya jadi merasa kalau sudah membuat novelet di dalam novel (*kepedean). Tadinya seperti itu. Tapi berhubung saya tidak ingin pembaca blog saya merasa pusing dengan naskah yang panjang lebar. Makanya semua harus saya potong per part. Saya ingin pembaca saya paham dengan apa yang saya sampaikan. Saya ingin, pembaca saya tahu point apa yang ada didalamnya. Meskipun sebenarnya, saya hanya ingin pembaca saya menikmati saja apa yang sudah saya berikan. Tanpa harus berpikir keras mencari kesalahan saya. Yaaaa... meskipun juga, saya tahu... masih banyak kesalahan yang bisa kalian temukan didalam VIOLEY.
Seperti yang kalian tahu, VIOLEY ini adalah sebuah kisah nyata yang saya fiksikan. Karena itu, harusnya saya membuat sebuah notice bahwa :

“Kisah nyata ini hanya fakta yang di fiksikan belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, kejadian dan tempat, itu semua hanya rekayasa yang di sempurnakan”
               Hehe...
Tapi itulah saya. Berawal dari sebuah waktu kosong yang bodoh. Akhirnya lahirlah VIOLEY. Dimana VIOLEY ini adalah salah satu nama sebuah komunitas butch yang ada di daerah Setia  Budi. Mungkin ada yang bakal nanya. “Komunitas beneran atau cuma fiktif?”
Hehe... saya sih pengennya beneran. Tapi berhubung oleh salah satu tokoh di dalam cerita ini di suruh untuk menyamarkan, maka saya samarkan-lah nama komunitasnya. Saya harap pembaca nggak kecewa. Tapi mengenai hal lain, seperti nama tokoh dan beserta orang-orang di sekelilingnya. Semua itu benar adanya. Juga mengenai beberapa point kejadian yang meskipun cara saya menggambarkannya sedikit absurd. Tapi itu juga benar adanya.
Tujuan mengapa saya menulis dengan tema ini karena :
1.              Saya cuma pengen ngajak pembaca saya untuk mengintip satu garis tipis mengenai sekelumit kisah para butch yang ada di sisi kanan-kiri kita.
2.       Saya cuma pengen menangkap ekspresi apa yang bisa kalian berikan ketika membaca cerita saya ini. Meskipun itu ekspresi terkecilpun. Baik itu hanya mengangkat alis saja, bibir mencebik, mencibir, ngantuk, atau yang paling ekstrim—muntah.
Cerita ini mungkin masih terkesan absurd. Nggak jelas. Nggak mutu. Bahkan nggak-nggak yang lain. Tapi jujur saya akui, ketika saya menulis kisah ini, saya tidak menggunakan kerangka cerita seperti para penulis pemula kebanyakan. Saya hanya mencoba fokus mengingat kejadian apa saja yang pernah terjadi. Mengambil point terbesar dan membiarkan otak dan jari saya bekerjasama secara liar.
Butuh waktu selama lima hari untuk menyelesaikan kisah ini. Tapi jika di tambah dengan proses editing dan upload di dalam blog, saya membutuhkan waktu hingga satu minggu. Karena naskah yang sudah saya hasilkan sebanyak 230 halaman Mic. Word itu akhirnya surut sedikit demi sedikit.  
Ketika menulis VIOLEY ini, bayangan saya hanya satu. Saya sangat ingin mengalahkan kisah tentang SISI yang di buat oleh Mira W (Relung Gelap Hati Sisi). Dan juga mengalahkan sosok butch  bernama JO yang ada di novel Albertine Endah (Di Cintai Jo) hingga sudah pernah di buatkan FTV. Juga kisah-kisah lainnya seperti Tiga Venus dan  Dimsum Terakhir milik Clara Ng. Juga Dua Sisi Bintang milik Dian Purnomo.
Yang namanya mimpi, saya hanya berpikir satu hal. Bagaimana kalau ketiga tokoh saya ini di buatkan FTV juga? apa itu akan jadi kontroversi? Secara, yang di angkat itu sudah jelas mengenai complicated-nya kehidupan para butch. Terutama di Indonesia. Tapi sudah banyak kan, buku-buku, kisah-kisah, film-film, dan juga FTV-FTV yang menceritakan tentang kaum homo? Saya hanya ingin menjadi salah satunya saja dengan kemampuan bercerita yang saya miliki. Dengan gaya yang apa adanya. Dengan apa yang sudah saya pahami dari mereka.
Dalam menceritakan mengenai VIOLEY. Terus terang, saya tidak memakai riset melalui artikel atau ilmu-ilmu Patologis dan Psikologis. Sama sekali. Karena kebetulan, ketiga tokoh itu sudah sangat memberikan kontribusi yang sangat besar pada saya mengenai apa itu ‘dunia sebelah’, atau biasa mereka sebut dengan 'Bumi Ungu'.
Tapi jika apa yang saya tulis ternyata masih ada yang kurang dan tidak sesuai dengan harapan pembaca. Saya mohon maaf, semua itu karena keterbatasan dunia dan pengetahuan saya. Point dalam VIOLEY ini adalah, saya hanya ingin menyampaikan bagaimana kehidupan mereka. Itu saja...
Mereka tidak berbeda dengan kita. Melakukan hal yang sama. Memiliki keinginan yang sama. Memiliki pemikiran yang sama. Juga masalah yang sama. Meskipun cara penuturan saya agak berlebihan, tapi saya harap... nggak ada satupun pembaca blog saya ini, baik laki-laki maupun perempuan yang akan mengalami homophobia.
"Homosexuality is assuredly no advantage, but it is nothing to be ashamed of, no vice, no degradstion. It cannot be classified as an illness...." Sigmund Freud
By Jeni Suhadi

Depok, 23 November 2013
Ditulis dalam keadaan lega luar biasa karena hutang sudah terbayar pada Violet

VIOLEY 3 : AJU - "WORLD IN MY EYES" - Epilogue

EPILOG



Violey Cafe. 30 Desember 2011 : 20.28 WIB
Sebuah lagu lembut mengalun dari gitar akustik yang di petik oleh Aju di atas panggung. Cafe sedang ramai. Pengunjung yang datang dari kalangan yang bermacam-macam, mulai dari anak SMP hingga eksekutif muda. Aju senang melihat mereka berkumpul menjadi satu.
Di deretan meja bar, Jol sedang duduk bersama dengan Reta dan anak mereka, Andries. Hati Aju terasa sejuk melihat mereka bertiga seperti keluarga yang sesungguhnya. Di dunia luar sana, mungkin mereka akan melihat keluarga kecil Jol sangat aneh dan konyol. Tapi dimata Aju, sosok Jol merupakan inspirasi.
Setelah melayani pelanggannya, Aju langsung naik ke atas panggung dan meraih gitar sesuai permintaan Jol. Dengan keyakinan penuh, Aju membawakan satu lagu ciptaannya sendiri yang kemarin dia ciptakan. Lagu yang berjudul In My Bed dan sedang di nyanyikan Aju saat ini, merupakan lambang dari segala perasaannya. Cinta, benci, penghianatan, harapan dan juga persahabatan. Dunianya sudah mengajari Aju banyak hal. Mungkin hal-hal yang tidak pernah di pelajari oleh orang normal. Dunia yang membuat hatinya hanya menyimpan nama Margaret.

I woke up in the middle of the night
And saw you sleeping face
Finaly we meet in a dream
How much anxiety did the time when we didn’t meet cause me?
I swear this to you now, including a prayer,
to tomorrow that won’t come for you.
all I want to do is think of nothing and fall a sleep without worries
and ignore all the sensitivities I have
But I want be with you all the time
you are a special person that I love
I can't just admire others
I need to try hard too
if only I can express myself clearly
we will all get along
loneliness is what  I'm afraid on the most
but somehow I'm the one who isolated myself
I'm really stupid
When tomorrow comes, we won't see each other for a long time
But I'll never forget you
we walk alone on the roads we've chosen
Until the day we meet again, I'll keep walking
With the memories of the days I spent with you
Even when I lose my way, when I think of your smile
I feel like I can walk on

Dari kejauhan, Avi menatap Jol dengan senyum mengembang sambil bersendekap. Dalam hatinya terus mengatakan bahwa seorang jenius seperti Aju terkadang memang susah untuk menemukan cinta yang bisa mengisi ruang  kosong di dalam hatinya saat ini. Tapi hal itu akan segera terjadi, saat dimana Aju akan benar-benar berjuang dan membuat legenda seperti Jol Si Venus Saga.


-----END AJU-----

VIOLEY 3 : AJU - "WORLD IN MY EYES" - Tujuh

 TUJUH



Violey Cafe. 11 Oktober 2011 : 13.23 WIB

Brrrddd... Brrrddd...
Aju meletakkan tiga gelas kopi yang sudah di hias itu ke atas nampan. Dia langsung meraih ponsel yang ada di celemeknya dan melihat ada satu nama sangat sakral muncul di layarnya. Margaret. Aju menoleh ke arah Avi terlebih dulu sebelum mengangkat ponselnya dan bicara dengan Si penelepon. Memberikan isyarat untuk Avi agar membantunya memberikan pesanan kopi itu untuk tiga pelangannya ABG-nya yang selalu setia datang akhir-akhir ini.
Meskipun dengan setengah dongkol karena sejak tadi Aju menyuruhnya terus, tapi Avi mengangkat kopi itu juga dan membawanya ke meja tempat tiga anak SMP itu duduk. Sedangkan Aju menepi. Mencari tempat yang aman di ruang penyimpanan.
“Hallo?” sapa Aju begitu Avi sudah berlalu dari hadapannya.
“Hey!” sapa  suara dewasa di seberang. “Sibuk?”
Aju melihat ke arah jam dinding. Dia baru sadar kalau sudah waktunya makan siang. “Enggak. Barusan habis nge-art. Are you oke?
I’m fine.” Jawab Margaret. “Aju, aku mau ke Jakarta!”
Aju terperangah. “What? Padahal aku yang mau kesana. Aku udah ijin sama Kak Jol,”
Terdengar suara tawa kecil Margaret. “Kalau gitu aku ke Violey aja, ya!”
“Hah?”
“Pesan capuchino. Motif apa yang sederhana tapi paling cantik?”
Aju mengerutkan keningnya. Heran dengan pertanyaan dan telepon Margaret yang tiba-tiba. sudah hampir dua tahun ini dia dan Margaret menjalani hubungan yang tidak bisa di namai. Meskipun Aju mengatakan pada Dena bahwa dia pacaran dengan Margaret, tapi kenyataannya Margaret tidak pernah memberikan jawaban atau penyataan bahwa dia mau menerima Aju.
“Selamat datang!”
Terdengar suara Avi yang menggema sampai di dalam bilik penyimpanan barang.
“Mana nih baristanya? Kok hilang?” tanya Margaret di telepon.
Aju terkesiap. Dengan cepat dia langsung berlari keluar dari bilik penyimpanan dan mendapati Margaret sudah duduk di deretan meja bar dan tersenyum padanya. Berkali-kali Aju mengerjab seperti bintang tua. Memastikan kalau dia tidak salah lihat. Dan itu memang Margaret. Aju langsung berlari ke arahnya dan memeluk Margaret dengan erat.
Tawa Margaret membahana karena senang bisa bertemu Aju lagi setelah sekian lama, begitupula dengan Aju. Margaret tidak pernah di perbolehkan Dena untuk menemui Aju lagi. Sedangkan Aju sendiri di sibukkan dengan berbagai kegiatannya di Jakarta. Mulai dari sekolah hingga bekerja di Cafe. Meskipun sebenarnya Aju bisa menyusul Margaret dan tinggal di Bali. Tapi Aju hanya memilih hubungan yang aman saja dengan Margaret melalui telepon. Hampir setiap hari Aju menelepon Margaret atau sebaliknya.
“Surprise!” seru Margaret seraya melepas pelukan Aju. Tapi Aju masih tetap memeluk pinggang Margaret.
“Kita bicara di atas!” ajak Aju yang langsung menyambar tangan Margaret dan membawanya naik menyusuri anak tangga. Lalu memasukkan Margaret di dalam kamar yang ada di lantai dua. Bekas kamarnya saat pertama kali dia datang ke Violey dulu.
Dalam kamar itu, Aju tak bisa menahan dirinya lagi dan langsung menubruk Margaret. Memeluknya dengan erat dan tidak mau melepaskan cewek itu.
“Aku mau merrid, Ju!”
Aju terhenyak. Waktu serasa berhenti mendadak. Sejak Aju bertemu Margaret beberapa menit lalu. Semua panca indra Aju sangat sensitif. Tapi ketika mendengar kalimat yang di ucapkan Margaret barusan, sepertinya Aju akan pergi mengunjungi Dokter THT dalam waktu dekat.
Margaret pasti salah bicara.
“Aku udah ketemu sama cowok yang cocok buatku dan mau menerimaku apa adanya!”
Aju mulai gelagapan. Apa yang di dengarnya barusan itu nyata dan benar adanya. Telinganya tidak sedang sakit. “A-a-a-apa? coba ulangi?”
Margaret menatap Aju dengan lembut. Berusaha terlihat bijak di hadapan anak itu. Telapak tangan Margaret membelai pipi Aju. Kini Aju sudah sedikit lebih tinggi darinya.
“Sorry. Tapi aku rasa selama ini kamu salah paham sama aku.”
“SALAH PAHAM GIMANA??” Aju mulai naik darah. “Kamu suka aku, kan? Kamu cinta aku, kan? Bukannya kamu bilang gitu? delapan tahun lalu. Bukannya kamu bilang gitu sebelum balik ke Bali? Dan dua tahun lalu bukannya kamu juga bilang hal yang sama lagi?”
Margaret menatap Aju dengan bingung. “Kapan?”
Aju mencengkeram telapak tangan Margaret yang sedang membelai pipinya. “Lalu selama ini apa? kita berhubungan melalui telepon dan kita... kita...”
Kita tidur bersama!
Aju menepuk keningnya. Merasa konyol.
“Aju. Maksud kamu apa? yang mana?” Margaret masih tetap memandang Aju dengan bingung. “Selama ini kita terus intens komunikasi karena kamu udah aku nggap adikku sendiri. Nggak lebih, dan mengenai... hubungan waktu itu... kamu salah paham. Aku sama sekali nggak menikmatinya. Female couples aren’t normal, right?
Kali ini gantian Aju yang kebingungan. Bahkan Aju tidak bisa melihat mana itu kebenaran dan mana itu yang di sebut dengan kemunafikan. Aju yakin betul saat itu Margaret tidur dengannya dan mereka menikmatinya. Aju memang menyebut diri mereka couples. Aju mengatakan itu pada Dena dan Papanya juga tahu mengenai hal ini. Bahkan selama ini Aju menahan diri untuk tidak pacaran dengan cewek lain selain Margaret karena Aju tahu, hanya Margaret yang mampu membuatnya utuh.
But in my world, female couples are normal!” jawab Aju dingin. Suaranya tiba-tiba serak dan dia tidak mampu menatap mata Margaret lagi. “Kalau kamu bilang nggak menikmatinya. Apa mau aku ingatkan lagi dengan rasa yang waktu itu?” tanya Aju seraya meraih pinggang Margaret dan menariknya dalam pelukannya. “Udah delapan tahun, kan? I’ll help you remember the taste of it until you’re satisfied!
“Aju, jangan lagi!” kata Margaret. Kali ini dia tegas dan ketus.
Aju bisa melihat bara amarah di mata Margaret. Dimana mata cantik itu dulu tidak pernah menampakkan kemarahan seperti yang di lihatnya saat ini. Bahkan Aju harus melihat kedua bola mata itu secara bergantian untuk memastikan bahwa itu mata Margaret. Bukan mata orang lain yang bisa saja mentransformasi amarahnya pada Margaret.
“Lepasin!” kata Margaret lagi seolah benar-benar mengintimidasi.
Aju melepaskannya tanpa sadar. Jantungnya terasa merosot hingga ke perut dan membuatnya kehilangan satu-satunya alat untuk memompa darah. Aju mati rasa. Bahkan dia tidak bisa merasakan apa-apa saat Margaret mendorong tubuhnya hingga minggir di pinggir pintu.
Disaat yang sama, terdengar ketukan dari luar. Suara Jol terdengar kecil dari arah luar. Margaret memandangi Aju sesaat, melihat rasa frustasi yang tergambar jelas di wajah itu. Tapi seolah tidak peduli, Margaret membuka pintu kamar dan mendapati Jol sudah berdiri di luar pintu seraya tersenyum padanya.
“Margaret?” tanya Jol seolah berusaha menebak. Karena sebelumnya belum pernah bertemu dengan cewek bernama Margaret sama sekali.
Margaret tersenyum ramah. Lalu menganggukkan kepalanya. Tapi sebentar kemudian dia langsung melangkah pergi melintasi Jol. Sayangnya sebelum Margaret menjauh, Jol langsung menangkap lengan Margaret.
“Tunggu di bawah dulu. Ada yang perlu aku omongin. Bisa?” tanya Jol dengan mimik muka yang serius.
Margaret melepaskan tangan Jol yang sedang memegangnya. “Pesawatku jam tiga. Aku harus cepat-cepat ke bandara.” Kata Margaret. “Oh, iya!” katanya lagi seraya meraih sesuatu dari dalam tasnya. “Ini buat kalian. Jol, Avi dan Aju. Aku mau merrid dua minggu lagi.” Margaret menyerahkan tiga buah undangan berwarna perak ke tangan Jol.
Dengan tatapan dungu, Jol membiarkan Margaret menuruni anak tangga. Tapi ketika dia mencapai tangga kedua, langkahnya terhenti karena sebuah teriakan Aju yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar.
Margaret! You the same. Abnormal, distorted, and mistake!
Margaret menoleh ke belakang dan menatap Aju tanpa ekspresi. “I gotta go. Bye!
Aju menatap ke arah Margaret dengan pandangan sakit. Lututnya mendadak lemas dan Aju terjatuh di lantai begitu saja. Jol langsung membantu Aju berdiri dan memasukkan anak itu lagi ke dalam kamar. Membiarkan Margaret pergi begitu saja.
Lima menit kemudian Avi masuk dan sudah mendapati Aju terbaring di tempat tidur dengan sangat menyedihkan. Tapi anak itu tidak menangis. Aju hanya diam seperti manekin tanpa ekspresi.
“Siapa yang mau ikut gue perggi ke Bali?” tanya Aju datar.
“Gue mau ikut. Asal di sana lo nggak boleh bikin kacau!” jawab Avi dengan tangan bersendekap memperhatikan Aju.
“Gue nggak bisa jamin!” jawab Aju seraya memiringkan tubuhnya.




Bali. 28 Desember 2011 : 10.34 WIB

Setelah sekian lama Aju pergi meninggalkan rumah. Baru kali ini dia bisa bertemu lagi dengan Mama dan Papanya di ruang terbuka. Juga saat yang tepat sekaligus merayakan Natal yang sebelumnya selalu terlewat tanpa mereka. Meskipun tanggal 25 juga sudah lewat tiga hari lalu.
Aju menatap mereka berdua bergantian, tapi tidak lama kemudian Papanya pergi meninggalkan Aju bersama Mamanya. Dalam keramaian itu, Aju masih merasa sendiri dan sama sekali tidak begitu bahagia bertemu dengan Papaanya lagi. Sejak masuk kedalam acara pernikahan dengan konsep garden party di sebuah Hotel itu, Aju tidak menemukan Avi. Entah dimana anak itu, tapi Aju pasti bisa segera menemukannya.
Mama Aju sangat bahagia bisa melihat anaknya lagi. Aju hanya menatap Mamanya dengan perasaan miris. Bagaimana tidak, meskipun sama-sama tinggal di Jakarta, tapi baik Aju maupun Mamanya sama-sama tidak ada yang mau berusaha untuk saling bertemu satu sama lain. Mereka hanya menitipkan pesan dan kado melalui kurir atau melalui Dena.
Tentang Dena sendiri. Aju melihat kakaknya itu berdandan cantik seperti bidadari hari ini, dengan gaun putih untuk pengiring mempelai wanita. Kakaknya tadi sempat melambai begitu melihat Aju berdiri di barisan paling belakang saat upacara pernikahan Margaret. Ketika upacara tadi selesai, Dena langsung menghampirinya dan seperti biasa, marah. Dena mengomeli Aju karena adiknya datang dengan pakaian yang terlihat sangat mengganggu. Hanya sebuah kemeja dan celana skinny dan di padu dengan blazer saja. penampilannya sangat sederhana, terlalu butch dan Dena tidak menyukainya.
“Mau ketemu Margaret?” tanya Mamanya begitu melihat anaknya celingak-celinguk mencari seseorang.
Aju menatap Mamanya lembut lalu menggeleng. “Enggak. Aju nyari temen Aju. Kayaknya dia lagi nyari minuman, deh.”
“Kamu nggak pengen ketemu Papa?”
Kali ini Aju benar-benar memperhatikan Mamanya. Wanita itu terlihat lebih tua dan ringkih. Padahal dia Dokter. Aju tidak tahu kalau Mamanya bisa berubah sangat drastis seperti ini. Tapi Dena bilang, bahwa Mamanya sedang melakukan diet.
“Aku nggak ada kepentingan sama Papa.” Jawab Aju dingin.
Mamanya menepuk bahu Aju lembut. “Ju. Kamu bisa janji sama Mama, nggak?”
Aju menatap Mamanya datar. “Apa?”
“Kamu pulang ke rumah jika waktunya nanti tiba.”
“Mama mau cerai sama Papa?”
Mamanya menggeleng. “Mama sayang kamu. Apapun yang terjadi dalam diri kamu. Mama tetap sayang kamu. Jadi tolong, kamu pulang...”
“Aku udah janji sama Papa. Aku nggak akan pulang, Ma!”
Mamanya menundukkan wajah. “Apa dalam duniamu. Semua menjadi tampak egois?”
Aju mengangguk. “Iya. Sangat. Aku bahkan nggak tahu lagi siapa orang yang bisa aku percaya. Aku hanya percaya pada diriku sendiri. Karena satu persatu orang yang berada di dekatku dan aku sayangi malah menghianatiku. Bersikap seolah nggak ada apa-apa, tapi ternyata mereka sangat munafik. Papa, Margaret, teman-teman di kelasku. Mereka semua munafik.”
“Lalu gimana sama dua teman kamu itu? kamu percaya sama mereka?”
Aju ragu-ragu untuk menjawab. Tatapannya kosong.  Tiba-tiba saja Aju seperti di lempar ke masa lalu kembali. Pada hari-hari dimana dia, Jol dan Avi saling bercanda dan bercerita. Mereka saling berbagi keluh kesah dan saling membantu satu sama lain seperti saudara. Jol selalu ada untuk Aju. Avi juga selalu datang di saat Aju memikirkannya dan membutuhkan bantuan. Jol seperti kakaknya yang selalu melindunginya. Avi seperti adiknya yang selalu melengkapi kebahagiaannya. Apapun masalah yang ada pada diri Avi, Aju tahu. Aju memahami anak itu seperti memahami hatinya sendiri. Ketika Jol ada masalah, Aju akan selalu menjadi orang pertama yang di beri tahu. Begitu pula sebaliknya. Bukan hanya duka yang mereka bagi. Tapi juga bahagia. Entah sudah berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk tertawa dan menangis bersama. Dari mereka, Aju belajar tentang apa yang namanya empati dan juga simpati.
“Ma, aku harus pergi!” kata Aju seolah baru menyadari sesuatu.
“Aju, mau kemana? Mama masih mau ngomong!”
Aju meremas tangan Mamanya. “Ma, aku janji. Setelah pulang ke Jakarta nanti. Aju bakal nemuin Mama. oke?”
“Kamu janji?”
Aju tersenyum meyakinkan. “Janji. Sekarang Aju harus nyari teman Aju dulu!” katanya seraya menjauh pergi meninggalkan Mamanya.
“Kamu nggak mau ketemu Margaret?”
Aju menggeleng dari kejauhan. “Margaret udah nggak penting lagi!” jawabnya seraya melambaikan tangannya ke arah Mamanya.
Setelah Aju pergi, Mamanya berdiam diri di tempatnya. Terpaku menatap kepergian anaknya yang hilang begitu saja di balik kerumunan tamu. Tapi dari balik kerumunan yang lain, Avi muncul dan langsung mendekati wanita baya itu seraya menepuk bahunya.
“Tante!” sapa Avi dengan memamerkan senyumannya pada wanita baya itu.
“Avi...”
“Tante jangan khawatir. Aju aman kok sama kami. Saya dan Kak Jol bakal jagain Aju. Jadi Tante maupun Dena jangan khawatir. Oke?” katanya dengan ceria.
Mamanya Aju tersenyum lega. “Tante nggak tahu pemikiran Aju sekarang itu seperti apa. Tapi Tante yakin kalau kalian nggak bakal berbuat yang aneh-aneh. Terima kasih selama ini sudah mau jagain anak Tante. Tolong, ya...”
“Tante jaga diri aja baik-baik. Berat badan Tante harus naik. Jangan banyak makan yang manis-manis. Jangan banyak pikiran juga. Tante bebasin aja pikiran Tante. Tante harus sehat dan jangan pernah khawatir sama Aju.”
“Sejak kenal kamu beberapa tahun lalu. Tante yakin kalau kamu bisa jadi teman yang baik buat Aju. Tolong bilang permintaan Tante ke Aju. Bilang sama dia mengenai pernikahan Margaret itu sebenarnya...”
“Tante!” potong Avi. “Jangan sampai Aju tahu kalau pernikahan ini idenya dari Tante dan Dena. Meskipun saya juga marah karena Tante dan Dena udah memutus harapan Aju. Tapi kalau ini memang demi kebaikan Margaret, saya rasa...”
Mama Aju langsung meraih baju Avi dan menundukkan wajahnya di dada anak itu. Avi sangat terkejut dan hanya bisa berdiri mematung. Wanita itu menangis.
“Margaret harus nikah. Semua demi masa depannya biar nggak di ganggu dengan perasaan Aju terus. Gimanapun juga, Margaret itu anak dari keluarga terpandang. Kalau sampai ketahuan Margaret berhubungan dengan Aju, mau di taruh mana muka Papa Aju dan Papa Margaret?”
Avi menghela nafasnya. Tangannya memegang lembut bahu Mama Aju. “Perasaan orang-orang seperti kami memang selalu di pandang salah, Tante. Mereka semua selalu berpikir bahwa cinta yang kami punya adalah sesuatu hal yang mengada-ada. Nggak realistis dan konyol. Tapi bagi kami. Dalam dunia yang kami pandang, cinta itu tidak berarti harus antara laki-laki kepada perempuan.”
Mama Aju terdiam dan menatap ke lantai yang di injaknya. Memikirkan anaknya yang mungkin saja suatu hari nanti akan membencinya karena dia sudah memutus satu-satunya harapan anaknya untuk bahagia. Kini, Mamanya merasa tidak lebih baik dari Papa Aju. Sama-sama menjadi penghianat.
Tanpa mereka sadari, Aju yang berada di balik kerumunan orang-orang di dekat mereka. Memandang Avi dan Mamanya dengan geram.




Jakarta, Ancol : 17.12 WIB

“Woy, kok kita kesini, sih?” tanya Avi dengan gusar setelah mendapati dia dan Aju duduk di pinggir pantai.
“Nikmatin Sunset Beach, brai!” jawab Aju datar. Tatapannya mengarah ke garis horizon yang membentangkan panorama alam berwarna jingga.
Avi menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue nggak percaya. Harusnya kita di Kuta, tanah lot atau dimana gitu, kek. Bukannya di Ancol!”
“Sama-sama pantai. Sama-sama bisa lihat laut. Kenapa elo bawel banget, sih?”
“Masalahnya elo aneh. Ngapain kita jauh-jauh ke Bali kalau ujung-ujungnya malah duduk di pantai Ancol?”
“Biar deket dari rumah.”
Avi mulai frustasi. “Cukup. Gue bisa gila dadakan kalau lo kayak gini terus. Setidaknya lo marah, kek. Atau maki gue!”
Aju menggeleng. “Sekali-kali gue juga pengen kayak kalian. Kayak elo, Papa, Mama, teman-teman gue di kelas atau orang-orang lain yang gue percaya tapi malah jadi penghianat.”
Avi menghela nafasnya. Saat di acara pernikahan tadi, ketika Avi dan Mama Aju sedang membicarakan masalah Margaret yang menikah karena ide dari Mama Aju dan hal itu di rahasiakan. Aju tiba-tiba datang menemui Mamanya kembali dan sempat mendengar tentang obrolan antara Avi yang ternyata ikut andil dalam rencana itu. Aju sangat kecewa. Marah bahwa ternyata Avi juga ikut andil dalam hal ini. Karena itu, Aju segera memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan Avi juga ikut kembali bersama Aju. Hingga mereka terdampar di pantai yang penuh sesak dengan rombongan wisatawan Jakarta saat weekend itu.
“Margaret cewek normal, Ju. Lo harus bisa melupakan dia.”
Aju mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gue bisa lupa, kok. Bahkan udah sejak enam jam lalu gue lupa sama dia.”
“Lalu? rencana lo sekarang apa?” tanya Avi di tengah hembusan angin pantai yang membelai lembut di sore hari.
“Gue nggak punya rencana. Gue cuma pengen menikmati hidup kayak elo. Tapi mungkin juga gue pengen kayak Kak Jol. Suatu hari nanti ketemu cewek normal yang bisa gue pacarin, lalu merrid deh. Tapi ntar gue ngajak honey moon-nya bukan ke Belanda, Bangkok atau bahkan Kanada. Tapi gue mau ngajak dia ke tembok besar china. Gue kan orang Tionghoa. Seenggaknya gue harus sowan ke Negeri Nenek Moyang!”
Bibir Avi membentuk huruf O. “Lo tremor, ya? butuh gue bawa ke Rumah Sakit? atau mungkin elo bakal baikan kalau ketemu Dokter Nathalie!”
Aju menatap sinis ke arah sahabatnya. “Gue emang gerontophobia. Tapi gue nggak demen-demen banget sama yang udah punya suami dan anak. Gue lebih milih Lori!”
“Hah? Mantan Kak Jol mau lo embat juga?”
“Dia guru gue, Men!”
“Jadi?”
“Tahun baru ntar gue mau ikut Kak Jol ke Belanda. Gue mau ketemu Lori disana. Gue yakin... dia pasti suka ketemu gue!”
Avi menatap Aju tanpa ekspresi. Anak itu sudah mulai sinting. Lori memang orang yang sangat penting dalam kehidupan Aju. Tanpa Lori yang dengan suka rela mengajarkan Aju mengenai teknik art coffee, tidak mungkin Aju bisa melangkah hingga sejauh ini. Setelah Lori putus dengan Jol dan memilih untuk kembali ke Belanda. Aju mulai di beri kepercayaan Jol untuk menggantikan Lori menjadi barista Violey Cafe. Meskipun sudah pindah ke Belanda, tapi hubungan Aju dan Lori sangat intens di telepon. Karena itu, Aju hanya memiliki tiga nomor kontak cewek di ponselnya. Yaitu Margaret, Dena dan Lori. Selebihnya adalah deretan butchi-butchidalam komunitas Violey. Termasuk Avi dan Jol. Aju tidak akan pernah menyimpan nomor femme lain. Apalagi anak ABG yang usianya baru di bawahnya.
Dengan tatapan penuh simpati, Avi mencoba untuk memahami apa yang ada dalam kepala Aju. Tapi anak itu balik memandangnya. Avi jadi salah tingkah.
“Kenapa?” tanya Aju.
“Lo beneran nggak mau marah?”
Aju menghela nafasnya. Matanya menatap jauh ke ujung lautan, melihat matahari yang mulai tenggelam di makan samudera. “Setelah gue pikir-pikir lagi. Gue juga salah. Gue juga bukan orang baik, dan di dunia ini nggak ada satupun orang yang nggak bersalah. Gue nggak bener-bener bersih, jadi kenapa gue harus marah?”
“Serius lo nggak marah?”
Aju tertawa kecil seraya mendongakkan kepalanya. “Bohong!” jawabnya, kali ini sambil memandang Avi. “Gue marah. Gue pengen banget gamparin lo saat ini, Vi. Tapi sayangnya gue nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena lo soib gue. Karena elo dan Kak Jol itu separuh dari diri gue. Mana mungkin gue menyakiti kalian? Itu sama juga menyakiti diri gue sendiri. Bukannya yang namanya sahabat seperti itu?”
“Apa dengan begini lo mulai bisa belajar tentang arti penghianatan?”
Aju mengangguk. “Penghianatan itu nggak selalu buruk. Apa yang di lakukan Mama, semua demi masa depan Margaret. Mungkin Mama udah memperhitungkan semuanya. Termasuk sexual deviant gue yang di anggap kayak terror buat Margaret. Tapi karena cinta gue ke Margaret, gue rela dia merrid. Itu karena gue masih punya kalian. Elo dan Kak Jol. Dan bisa aja di masa depan nanti masih banyak penghianat-penghianat lain yang bisa menyebabkan kesakitan berlebih selain hari ini ke gue. Karena itu, akan lebih baik kalau gue belajar jadi orang yang nggak terlalu naif lagi. Kali ini, gue bener-bener nggak mau percaya sama orang lain. Meskipun itu elo atau Kak Jol sekalipun.”



VIOLEY 3 : AJU - "WORLD IN MY EYES" - Enam

ENAM



Mangga Dua. 12 Juni 2004 : 14.46 WIB

Plang pada bangunan itu bertuliskan SUPA TAEKWONDO CLUB. Aju mengerutkan alisnya. Dari dalam mobil, Aju bisa melihat jelas bengunan satu lantai dan memanjang ke belakang. Ragu-ragu Aju membuka pintu mobilnya. Tapi tangan Jol menepuk bahunya.
“Kalau ragu, mending nyari tempat lain. Mungkin lo butuh Thai Boxing,”
“Emang harus banget gue latihan karate atau sejenisnya ya, Kak?”
Jol terkekeh. “Gue tahu, yang menarik buat lo itu cuma buku dan pengetahuan. Dan lo ngerasa nggak perlu dengan yang namanya sportatau bahkan bela diri. Padahal, kalau lo pengen jadi butchi sejati. Maka lo harus mempelajari apa yang ada sama cowok. Katanya pengen maskulin. Gimana mau maskulin kalau otot aja nggak punya?”
Aju melenguh. Dia tidak begitu tertarik dengan bela diri. Bahkan tidak pernah menganggap hal itu perlu sama sekali. Satu-satunya hal yang dia butuhkan hanya rasa nyaman dan aman saja. Tapi ketika mengingat perlakuan Bimo, Aju sama sekali bingung bagaimana harus membalasnya. Namun kini Aju bisa mencoba untuk memantapkan diri.
“Semua itu bukan buat elo doang, Ju. Tapi nanti hal itu pasti akan elo  butuhkan. Suatu hari. Buat elo, teman lo  and you’re girlfriend!”
My girlfriend?”  gumam Aju dengan mata menerawang. Bayangan Margaret melintas di benaknya.
Let’s go! Aku antar kamu masuk. Kita daftar dulu,”
Tanpa membuang waktu. Jol segera membuka pintu mobilnya dan berjalan lebih dulu. Dengan hati yang sedikit ragu, Aju akhirnya luluh juga dan mau ikut Jol masuk ke dalam bangunan bercat putih itu. Bangunan sederhana dan terlihat tidak begitu istimewa. Tapi tampak bersih dan benar-benar berbau korea dengan beberapa ornamen-ornamen khas korea saat Aju dan Jol masuk ke lobi.
Mereka langsung di sambut seorang  wanita dengan rambut sebahu dan penampilannya sangat biasa. Aju memilih duduk di ruang tunggu, sementara Jol yang mengurus semuanya. Ketika Jol memberikan lembaran formulir pendaftaran, perhatian mereka langsung tertuju pada satu sosok tinggi, putih, wajah yang ceria dan terlebih lagi dia lebih baik di sebut tampan daripada cantik atau mirip cewek.
Mulut Aju membentuk huruf O menatap anak itu. Aju bisa menduga bahwa usia mereka sepantaran. Anak itu melenggang dengan tenang dan biasa masuk ke dalam sanggar dan di sambut oleh resepsionis sanggar taekwondo itu. Jol tersenyum saat anak itu melintas di sampingnya dan bersikap cuek.
“Dia...” Jol memulai percakapan dengan resepsionis sambil menunjuk anak yang baru saja masuk itu.
“Oh, namanya Avril,” sahut resepsionis  dengan tersenyum. “Dia murid juga. Masih sabuk merah.”
Aju membelalakkan matanya. “Masih sabuk merah?” tanyanya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah kenapa Aju merasa anak itu lebih hebat darinya.
Look, you have a friend!” kata Jol saat menoleh ke arah Aju.
Aju mengangguk. Mungkin dia bisa mencoba berteman dengan anak itu. Jika anak itu mau. Aju cepat-cepat mengisi formulir pendaftarannya dan langsung menyerahkan pada Jol sekalian dengan persyaratan lain berupa foto berukuran 4x6.
“Bisa ikut latihan hari ini kalau mau,” kata si resepsionis.
Jol melihat ke arah Aju. Tapi Aju menggeleng. Dia masih terlalu malu untuk terjun langsung ke medan yang sebelumnya belum pernah dia jamah. Jol tersenyum ke arah resepsionis. Dan menggelengkan kepalanya.
“Kalau gitu bisa langsung latihan minggu depan. Nanti langsung di kasih seragamnya,”
Jol dan Aju kompak menganggukkan kepalanya. Tapi sebelum pergi, Jol mengajak Aju untuk melihat-lihat keadaan didalam sanggar terlebih dulu. Tanpa di duga Aju, sanggar itu masih sepi dan tidak terlihat satupun anak yang latihan. Jol melirik jam tangannya dan dia baru sadar kalau sudah jam tiga sore. Sejak tadi Aju dan jol berkeliling Jakarta untuk mencari tempat latihan bela diri yang cocok untuk Aju. Tapi sayangnya Aju seolah tidak begitu tertarik. Tapi Jol sudah bertekad akan memasukkan anak itu ke dalam sangggar bela diri agar Aju bisa terlihat lebih sempurna dengan penampilannya. Baik dari luar maupun dalam.
“Dia juga butchi,” kata Jol begitu memperhatikan anak yang sedang menendang samsak. Anak yang tadi bertemu dengan mereka di lobi.
Jol tersenyum begitu melihat anak itu ternyata lebih kuat dari yang di bayangkannya. Aju juga ikut memperhatikan anak itu. Bisa di lihatnya bahwa anak itu sangat luar biasa dan terlihat... nasionalis. Mungkin karena seragam putihnya berpadu dengan sabuk  merah yang di kenakannya.
“Dia latihan sendiri?” tanya Aju keheranan karena tidak melihat partner anak itu.
Jol menggeleng. “Pasti ada. Mungkin belum datang,” jawabnya datar. “Malah bagus, kan?” tanyanya seraya menoleh pada Aju. “Lo bisa latihan jam segini sama dia.”
Aju tersenyum. Lalu menganggukkan kepalanya. “Aku mau!”



Violey Cafe. 17 Juni 2004 : 21.00 WIB

Jol memotivasi Aju dengan kata-katanya. Banyak sekali hal yang di pelajari Aju dari orang yang sudah menolong sekaligus membantunya dengan kehidupan barunya itu. Jol juga sepertinya tidak menganggap Aju sebagai orang lain. Karena dia memperlakukan Aju seperti adiknya sendiri dengan benar-benar total.
Aju melewati masa-masa SMP-nya dengan sangat baik setelah insiden pelecehan itu. Terlebih lagi, Aju berhasil menyabet juara umum sekolah di ujian akhir. Nilainya sempurna. Jika ada pertemuan wali murid, Aju hanya menelepon kakaknya dan meminta Dena untuk datang. Bukan Mama atau Papanya.
Seiring dengan itu, Dena mulai menyadari kedekatan Aju dan Jol lebih dari sekedar sahabat. Jol bertindak sebagai kakak jauh lebih baik dari pada Dena sendiri. Karena itu, terkadang Dena mengunjungi Aju di rumah kontranya yang sudah di carikan Jol sejak Aju memutuskan untuk tinggal di tempat lain dan bukan di Cafe. Tapi begitu melihat kenyataan bahwa adiknya bekerja di sebuah Cafe, dimana Aju harus total berpenampilan butchi, Dena benar-benar marah. Bahkan ketika Aju mengatakan pada kakaknya bahwa dia memiliki seorang  girlfriend, Dena langsung datang ke kontrakan Aju dan memaksa adiknya untuk pulang ke rumah. Tapi sayangnya, Aju tidak akan pernah lagi menginjakkan kakinya di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan antara dia dengan Papanya.
Ketika Aju memutuskan ingin masuk ke sebuah Sekolah Kejuruan, Jol menyambut baik keinginan Aju. Tapi tidak dengan Dena yang lebih menyuruh adiknya masuk di SMA biasa saja dan mengambil jurusan IPA. Dena tetap ingin adiknya ikut menjadi generasi dokter dalam keluarganya. Tapi Dena tahu, hal itu tidak akan pernah terjadi. Aju sudah keluar dari garis lurus yang di tetapkan keluarganya. Dia lebih memilih kehidupannya dan Jol dari pada Dena dan keluarganya. Juga masa depannya sebagai Dokter.
Dalam dua tahun terakhir saat Aju sudah nyaman dengan kehidupan dan kegiatannya. Juga nyaman dengan pelajaran bartender Coffee-nya bersama Lori, Aju mulai melirik kegiatan lain selain membuat Art Coffee dan belajar Taekwondo setiap akhir pekan bersama Avril, teman yang sudah membantunya untuk latihan selama ini. Aju ingin membuat perpustakaan di Cafe itu. Tapi sayangnya Jol tidak mengijinkan.
Saat dia menginjak usia tujuh belas tahun, Aju mendapat sebuah kado dari Mama dan kakaknya. Jol merayakan ulang tahun Aju seolah tidak pernah mengadakan acara ulang tahun sebelumnya. Jol mengundang semua teman-temannya di Cafe dan membuat acara pesta untuk Aju. Dan itu menjadi acara party sekaligus deklarasi komunitas lesbian yang di dirikan oleh Jol. Komunitas dengan nama yang sama dengan nama Cafe Jol. Violey.
“Violey itu sebenarnya hanya plesetan dari violet. Karena Mamaku suka Lavmder,” kata Jol saat sedang duduk bertiga dengan Aju dan Lori.
“Bunga lavender berwarna ungu. Ungu adalah violet. Sederhana saja!” tambah Lori sambil mengendikkan bahunya.
Aju menatap mereka berdua. Masih belum paham.
You know what, Aju. Lavender itu juga terkenal dengan identitas kaum lesbian.”
Aju membelalakkan matanya. Cakupan pengetahuannya tentang dunia ‘sebelah’ ini benar-benar masih sempit. Tidak ada yang Aju pahami selain istilah-istilah medis. Tapi selama hampir dua tahun ini dia di paksa untuk memahami istilah lain dari ‘dunia lain’.
“Masihkah kita terpaku pada hal-hal semacam itu?” tanya Aju datar.
Jol menggeleng. “Nggak juga. Sebenarnya Cafe ini aku bangun atas cintaku pada Mama. Juga cinta Papaku pada Mama. Tapi... aku juga ingin menemukan pasanganku melalui Cafe yang aku dirikan ini,” kata Jol dengan tatapan sedih.
“Pasti nanti akan bertemu yang terbaik, darling.” Kata Lori seraya memeluk Jol.
Aju memandang mereka dengan tersenyum. Hubungan Jol dengan Lori, hampir seperti pertemanan Aju dengan Tika. Meskipun sebenarnya antara Jol dan Lori hubungannya lebih complicated. Terkadang bisa jadi teman, dna terkadang bisa menjadi pacar. Terkadang mengakui kalau mereka pacaran, tapi terkadang juga menolak untuk di sebut pasangan satu sama lain. Setidaknya itulah yang di pikirkan Aju. Dan mengenai Tika sendiri, sayangnya Aju sudah tidak bertemu dengan Tika lagi setelah Aju memutuskan untuk masuk ke Sekolah Kejuruan. Sedangkan Tika memilih pindah ke Bandung. Ikut dengan kakaknya. Karena itu, sejak tidak bisa mengobrol dengan Tika, Aju sedikit merasa kesepian.
Meskipun ada Jol dan Lori yang biasa menemaninya. Tapi kehidupan Aju seolah hanya berkutat dengan mereka berdua. Selebihnya, Aju menjalani hari-harinya di sekolah seperti masa yang sudah-sudah dia lewati. Tidak ada perubahan. Jika ada teman lain, itupun adalah Avril yang masih bisa dia temui setiap minggu ketika mereka latihan dan mereka akah sharing mengenai kehidupan masing-masing. Tentu saja beserta suka dukanya.
“Ju, bukannya lo punya teman anak taekwondo itu? kenapa nggak di undang?” tanya Jol tiba-tiba.
Aju tersentak. Dia melewatkan seseorang yang selama ini sudah menjadi temannya di sanggar Taekwondo. Aju memang tidak begitu dekat sebagai sahabat dengan Avril. Aju hanya menganggap teman biasa. Selebihnya, Aju sama sekali tidak peduli. Tapi hati kecilnya merasa sangat menyesal juga karena sudah melewatkan anak itu.
“Namanya siapa, Ju. Gue lupa... Avi?”
“Avril!” ralat Aju.
“Avril.” Ulang Jol.
“Undang dia ke sini kapan-kapan.”
Aju meneguk minuman sodanya. “Boleh.”
Lori mencondongkan tubuhnya pada Aju. “Hadiah apa yang kamu dapat dari Mamamu?”
Aju meletakkan minumannya dengan pelan. Matanya menatap tajam ke arah Lori. “Belum gue buka.” Jawabnya seraya berdiri. “Kak, gue naik dulu.”
Jol mengangguk. Jarum pendek  jam di dinding Cafe itu menunjuk ke arah angka  tiga. Jol langsung menatap ke sekitarnya. Kearah tamu-tamu sekaligus teman-teman yang dia himpun untuk masuk ke dalam komunitasnya agar para Lesbian di Jakarta memiliki wadah untuk bertukar informasi. Dan terlebih lagi, Jol ingin mengajarkan pada mereka untuk tidak lupa pada lingkungannya dan menghentikan heterophobia mereka. Jol ingin mengajarkan pada mereka apa itu dewasa. Meskipun dengan orientasi yang menyimpang, Tapi Jol ingin mereka tetap hidup sehat. Jauh dari free seks.
Kali ini Aju sengaja menginap di Cafe dulu untuk semalam. Diia ingin menikmati pestanya bersama dengan Jol dan Lori. Meskipun Meti tidak ikut karena paling benci dengan suasana party. Tapi Aju tetap ingin di Violey dulu.
Di dalam kamarnya, Aju membuka dua bungkus kotak yang di kirimkan Dena tadi siang melalui kurir. Sebuah kotak berwarna biru cerah adalah kado dari Dena, Aju membukanya dan matanya langsung bersinar saat membentangkan sebuah jaket hoody berwarna senada dengan bungkus kado milik Dena, sky blue.
Kemudian Aju beralih pada sebuah kotak berwarna merah pemberian dari Mamanya. Kotak itu lebih kecil dan hanya sebesar genggaman telapak tangan. Saat Aju membukanya, Aju mendapati kotak beludru berwarna merah. Ketika Aju membukanya. Isinya berupa anting dari emas putih dan bermata hitam. Aju tidak tahu batu apa yang menjadi matanya. Tapi bentuknya yang bulat membuat Aju tertarik untuk langsung memakainya. Saat anting itu tersemat di telinganya, Aju langsung tersenyum. Kemudian menyentuh mata anting itu. Terlihat cocok dengan kulitnya yang putih dan juga penampilannya.
Saat Aju mengemasi bungkus kado itu, sebuah amplop berwarna putih melompat keluar dari kotak pembungkus kado dari Dena. Aju langsung memungut dan membukanya. Sebuah surat dan Aju langsung membukanya. Sambil berdiri Aju membacanya.

Dear My Aju
Cece senang kamu sekarang udah 17 tahun. Cece senang Aju udah bisa kerja dan ngebiayain sekolah Aju sendiri. Meskipun itu artinya kita harus jauh dan Aju memutuskan untuk pergi dari rumah.
Setelah Aju pergi, Cece kesepian. Beberapa kali Margaret telepon Cece dan dia nanya soal kamu. Cece kaget waktu dia bilang kalau udah... sama kamu. Terus terang Cece shock. Adek Cece yang udah di didik dengan keras. Ternyata malah jadi bumerang buat keluarga. Yang masih belum bisa Cece percaya, kenapa kamu nggak bilang Cece dulu apa sebab kamu keluar dari rumah. Kalau udah kayak gini, Cece terpaksa harus menanggung semua sendiri. Kamu egois. Kamu memutuskan pilihan kamu sendiri dan nggak pernah diskusi sama Cece. Kamu anggap Cece ini apa? satpam?
Tapi mau gimana lagi, Cece harus tetap jagain Mama. Dan asal kamu tahu, Cece udah tahu mengenai perselingkuhan Papa  sejak lama. Mama juga tahu. Tapi kami diam. Mungkin kesannya bodoh dan nggak masuk akal. Tapi kami cuma pengen melindungi keutuhan rumah tangga Mama. Kata Mama, itu demi kita. Agar kita nggak di pandang sebelah mata sama calon mertua kalau sampai kita ntar mau merrid.
Kamu tahu kan kalau perceraian itu nggak baik dan di benci Tuhan. Tapi ternyata... adik Cece udah menjadi satu makhluk yang di benci Tuhan. Cece menyesal karena selama ini Cece terlalu keras sama kamu. Mama juga sama. Bahkan Mama nggak pernah berhenti nangis kalau lewat depan kamar kamu. Papa juga sekarang lebih banyak diam, tapi lebih sering tepat waktu di rumah. Tanpa kami sadari, kamu itu ternyata salah satu kunci segel keluarga. Cece kangen kamu. Sangat. Dan kamu mau sampai kapan berada di dunia sana? Dunia yang nggak pernah kamu pahami. Dunia yang di pandang rendah oleh masyarakat. Dunia yang ada di matamu sendiri.
Rumah selalu terbuka buat kamu, Ju. Cece mau kamu pulang. Ini semua mim;pi buruk buat Cece. Tapi kamu sepertinya nggak pernah paham. Tapi bagaimanapun juga, Cece percaya. Kamu selalu berada dalam lindungan Tuhan. Dan Tuhan akan selalu tetap menyayangi kamu selama kamu nggak melakukan perbuatan yang di bencinya. Satu pesan Cece, jangan lupa selalu ibadah. Jangan tinggalkan gereja agar Tuhan tetap mengampuni kamu.
Cece mohon, kembalilah pulang...

Aju menitikkan air matanya. Surat itu terlalu keras menohok jantungnya. Hingga membuat dada Aju berdarah-darah. Dalam sekejab, Aju jatuh lemas di lantai dan menangis tanpa suara. Tapi Aju tidak bisa menghianati dirinya dan jalan yang sudah di pilihnya. Dalam persimpangan itu, Aju memilih untuk belok ke arah lain. Sebuah sisi lain dunia yang di pandang rendah orang berkaca mata normal. Butchi.
But, this is world in my eyes, Ce!



Mangga Dua. 3 Juli 2004 : 15.11 WIB

Aju memasang sabuknya baik-baik.  Di hadapannya sudah berdiri lawan yang penampilannya sama dengan dia. Rambut cepak dan lebih kelihatan maskulin. Hanya saja anak itu tumbuh sedikit lebih tinggi darinya. Sabuknya sudah berwarna hitam, dia sudah memasuki tingkat DAN. Aju tersenyum dan memasang kuda-kudanya. Kini Aju sudah memiliki sabuk biru  strip merah. Sedikit lagi  dia pasti akan bisa menyusul anak itu. Aju menatap anak itu dan tersenyum. 
“Udah siap, Vril?” tanya Aju begitu melihat Anak di depannya itu sedang membenahi sabuknya karena dia datang telat ke sanggar.
“Udah, maju aja. Nggak perlu sungkan,” ujar lawan bicaranya itu dengan nada cuek.
Aju menyukai anak itu. Dia teman yang selama ini ikut melatih dan memberikan bimbingan mengenai dasar-dasar Taekwondo. Bahkan dia dulu mengajari  Aju beberapa jurus yang seharusnya di dapat Aju pada tingkat Geup lima.  Meskipun terkadang Aju merasa anak itu sedikit angkuh dengan apa yang di kuasainya, apalagi saat ini anak itu sudah memiliki sebutan Master, Aju tetap menganggapnya sebagai teman yang sepantaran dengannya. Walaupun Aju tahu dengan jelas sejak dua tahun lalu bahwa Avril usianya dua tahun di bawahnya. Anak itu saat ini baru menginjak usia lima belas tahun. Dan dia mengerikan.
Aju memulai langkahnya dengan langsung menyerang. Mereka berdua sengaja tidak menggunakan pelindung. Avril mengatakan pada Aju bahwa pelindung itu hanya di gunakan oleh anak-anak kecil yang sedang menyandang Geup sepuluh hingga sembilan. Avril juga mengajari Aju agar berani untuk merasakan sakit. Akan lebih baik jika rasa itu menjadi sahabatnya. Dengan begitu, Aju bisa menikmati bagaimana dunia itu bermain dan apa itu Taekwondo yang sebenarnya.
Kaki Aju terus menendang dengan menggunakan berbagai teknik jurus yang sudah di ajarkan Avril. Tapi anak itu dengan sigap bisa menangkisnya. Mendadak pikiran Aju terasa terbang dan bebas. Dia seolah bisa bebas mengendalikan semuanya. Tubuhnya, tangannya, kakinya, bahkan udara yang berhenbus di sekitarnya. Aju bisa merasakannya. Satu penyesalan yang ada di dalam hati Aju ketika dia sedang melakukan latihan dengan Avril. Kenapa dia tidak mengenal anak itu sepuluh tahun lebih cepat? Kenapa dia tidak mau belajar Taekwondo atau seni bela diri lainnya sejak dulu? dan dia baru menyadari bahwa Taekwondo itu indah. Sangat indah. Hingga Aju bisa menyatu dengannya. Seperti tarian.
Son!” seru Avril begitu Aju terus melayangkan tendangannya.
Aju langsung mengganti serangannya dengan tangan.
Wen!” seru Avril lagi. Menyuruh Aju mengarahkan serangannya ke kiri. Aju mengikutinya. “Oreon!” perintah Avril. Menyuruh Aju mengarahkan serangannya ke kanan sementara Avril terus menangis dan menahan.
Avril terus memberikan perintah kepada Aju dengan bergantian menggunakan anggota tubuhnya untuk menyerang. Mulai dari kepala, hingga kaki. Aju mengikuti intruksi itu dengan cepat dan secepat itu pula Avril menangkis dan menahannya. Tapi terkadang Avril juga terpojok hingga ke sudut ruangan dan Aju masih terus dengan serangannya. Apalagi Avril makin terpojok saat Aju menggunakan pukulan oreon jireugi. Sebuah pukulan sambil menendang. Jika sudah begitu, Aju akan tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Tapi bukan Avril namanya jika tidak bisa menghindar. Bahkan terkadang memberikan pukulan Are Jireugi untuk sekedar menahan atau membalas serangan Aju agar serangannya  longgar. Tapi kali ini Avril tidak bisa mengelak saat Aju tiga-tiba melayangkan Palkup pyojeok chigi, sebuah sabetan memutar dengan siku tangan. Avril terkejut dan tidak sepat mengelak dan sabetan keras itu mengenai pipinya. Avril terhuyung ke samping. Tapi Aju tidak mau kehilangan kesempatan dan langsung menyerang Avril dengan dwi changi, sebuah tendangan belakang. Avril langsung jatuh bersimpuh membelakangi Aju. Dalam sekejab Aju langsung menghentikan serangannya.
“Lo nggak apa?” tanya Aju dengan nafas terengah-engah tapi menatap khawatir ke arah Avril.
Avril membalikkan tubuhnya. Senyumannya mengembang. Tapi Aju lebih senang menyebut senyuman itu sebuah seringai. Karena jika memang itu senyuman, Aju tidak tahu makna senyuman Avril. Karena Aju tidak bisa membaca raut ‘baik-baik saja’ dari senyuman itu.
“Kita istirahat, Ju.” Kata Avril begtu bangkit dan berjalan ke arah kursi. Mengambil handuk dan mengelap keringatnya.
Aju mengikuti langkah Avril dan melakukan hal yang sama. Meskipun tidak  memperhatikan banyak sikap Avril hari ini, tapi Aju bisa menebak jika anak itu sedang ada masalah. Bahkan Avril melakukan hal yang tidak biasa. Jika setelah latihan mereka akan duduk berdua sambil minum di rest area. Tapi kali ini Avril lebih memilih pergi ke ruangan sebelah di mana terdapat samsak di tengah ruangan. Aril langsung melayangkan tendangannya kesana. Menggunakan berbagai teknik jurus yang dia kuasai. Aju hanya memperhatikan anak itu dari kejauhan. Tendangannya bukan seperti latihan. Tapi lebih pada rasa frustasi.
“Ada masalah?” tanya Aju dengan seluruh rasa simpatinya. Meskipun sebelumnya dia tidak pernah melakukan itu ke semua orang yang ada di sekelilingnya.
Avril menggeleng. Tendangan dan pukulannya terhenti. Tangannya langsung memeluk samsak dan membenturkan kepalanya berkali-kali kesana.
“Gimana rasanya jadi butchi?” tanya Avril tiba-tiba.
Aju melongo. “Elo...”
“Selama ini kita teman, kan?”
Aju lebih melongo lagi. Masih terlalu terkejut dengan pertanyaan Avril. “Iya.” Jawab Aju akhirnya. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Kemarin. Cewek sekaligus motivator gue pergi ninggalin gue. Dia balik ke Palembang.”
“Apa?”
Avril mengangguk. “Ya karena kami udah lulus. Dia balik ke Palembang. Padahal selama ini kami tinggal selibat.”
Aju membungkam mulutnya. Dia tidak percaya. Kenyataan dan istilah  tinggal selibat itu di dapat Aju dari Jol pada awalnya. Dimana Jol memilih seorang girlfrienddari teman yang dia kenal dan mau jadi pacar Jol. Tapi Aju bisa maklum karena mereka sudah dewasa dan usianya sudah di atas kepala dua. Jadi Aju berpikir jika hal itu sah-sah saja. Tapi Aju tidak menyangka jika Avril sudah melakukan hal yang sama dengan Jol disaat dia masih SMP.
“Udah berapa lama?” tanya Aju akhirnya.
“Apanya?”
“Pacaran kalian—tinggal selibat maksud gue.”
Avril memutar matanya ke arah kanan atas. Seolah mengingat-ingat. “Dua tahun, mungkin.”
Aju mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mau ikut gue? Dari dulu gue pengen ngenalin lo sama seseorang.”
“Siapa?”
“Kak Jol!”
Avril mengeryitkan alisnya.



Violey Cafe. 19.18 WIB

“Jadi gitu... emangnya kemarin kalian berantem, apa?” tanya  Jol begitu Avril duduk di deretan meja barnya.
Avril menggeleng. “Nggak pernah. Sama sekali nggak pernah. Hubungan kami selama ini baik-baik aja. Mungkin lebih karena dia nggak bisa mandiri di sini. Karena kami nggak ada yang jagain,”
“Nggak ada yang jaga?” Aju terkejut.
“Gue sama dia dia tinggal selibat. Di rumah punya bokap gue. Setelah bonyok gue cerai, bokap lebih milih ngurusin bisnisnya di Kalimantan dan rumah itu di biarin gitu aja. Lalu nyuruh temennya buat nge-handle bisnis meubelnya. Tapi setelah gue SMP kelas tiga kemarin, bisnis itu di awasi sama anaknya temen Papi gue itu. Namanya Daniel. Dan berhubung kata Daniel kalau gue udah cukup umur. Makanya gue di ajarin buat bisnis.  Atas instruksi bokap gue, Daniel ngajarin gue bisnis ala orang Tionghoa. Sebagai keturunan Tionghoa yang baik, makanya gue belajar bisnis bener-bener.” Ujar Avril sambil menyeringai lebar.
Jol terkekeh geli mendengar Avril yang menceritakan kehidupan pribadinya dengan sangat gamblang. Bahkan seolah tidak di tutupi.
“Lo nggak pernah nutupin rahasia lo ya?” tanya Aju dengan heran.
Avril mengerutkan dahinya. “Rahasia? Rahasia apa?”
“Y-y-yaaa rahasia kalau lo itu butchi dan... dan elo tinggal selibat sama GF lo... dan elo juga punya bisnis punya bokap... dan...”
“Gue nggak pernah mau nutupin apa yang seharusnya nggak gue tutupin. Hidup gue terbuka dan gue nggak pernah ngelarang orang lain buat tahu. Asal jangan banyak tanya dan nggak ikut campur urusan gue aja. Mereka cukup sekedar tahu aja gue kayak gimana. Di tambah lagi ini bukan rahasia. Bahwa gue butchi dan gue bangga!”
Jol menatap tajam ke arah Avril. Melihat jauh kedalam mata anak itu, dan untuk kesekian kalinya setelah bertemu muka dengan Avril sejak setengah jam lalu, Jol kagum padanya.
“Vi, mau kerja di Cafe gue?” tanya Jol tiba-tiba.
Avril menatap Jol sambil menautkan alisnya. Begitu pula dengan Aju. Tapi tatapan tak percaya Avril malah langsung di iringi tawa besar hingga membuat Jol dan Aju saling melemparkan pandangan. Bingung.
“Tadi lo manggil gue apa?” tanya Avril dengan mata yang masih menyipit karena tawanya belum bisa reda.
Jol menoleh ke arah Aju sekali lagi. Lalu menatap polos ke arah Avril. “Avi!” ulangnya.
Mungkin Aju tidak tahu banyak apa yang membuat Avril tertawa. Tapi pada akhirnya Aju ikut tertawa terbahak-bahak. Hingga Lori yang sedang ada di dapur langsung keluar untuk melihat apa yang terjadi.
What’s the matter?” tanya Lori dengan tatapan bingung. “Jolie, what happend?” ulang Lori. Tapi hanya di sambut Jol dengan angkat bahu.
Nothing!” jawab Aju sambil menatap lori dan mengibaskan tangannya di depan muka cewek indo itu.
“Emangnya apa yang lo ketawain, Ju?” tanya Jol bingung.
“ Kak, lo biasa salah sebut nama orang, ya?” tanya Avril begitu tawanya reda. “Nama gue Avril! A-V-R-I-L! AVRIL!! Bukan AVI!”
“Oh, sorry... sorry, habis lidah gue kadang suka belibet. Lebih enak manggil Avi, sih.”
Di luar dugaan. Aju mengarahkan jempolnya pada Jol. “Sipp, Kak. Aku juga lebih suka nyebut gitu. Nggak ribet.”
“Daripada gitu. Mending kalian manggil gue Lea,” sahut Avril dengan wajah cemberut. “Nama gue, Kiera Asa Avrilea. Lea!”
“Lea?” Jol terlihat berpikir keras. “Bagus. Tapi kok aneh ya?”
“Boleh juga. Lea... tapi kenapa harus Lea? Kenapa bukan Kiera?”
“Lea itu nama panggilan gue kalau gue pulang ke Palembang. Di jakarta, panggilan gue Avril. Lagian nama Kiera itu kesannya cewek banget, ogah gue. Tapi kalau udah nyebut nama Avril, pasti semua orang yang denger nama gue itu langsung nyanyi lagunya Avril Lavigne. Itung-itung numpang nyeleb, lah!”
Jol menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan Avril. “No, no, no... you’re nickname is Avi and welcome to Violey Caffe!”

Avril menatap Jol bingung. Suka tidak suka. Hati kecilnya mengatakan ‘tidak apa-apa’ dengan julukan Avi yang di berikan Jol. Entah itu terlepas dari Jol yang sedikit susah menyebut huruf  R atau memang nama itu terlihat cocok untuknya. Tapi pada akhirnya Avril tidak pernah menggunakan nama aslinya sejak saat itu. Dia menggunakan nama Avi. Kemanapun. Dimanapun. Selama itu di Jakarta. Tapi juga tidak pernah melarang orang lain memanggilnya dengan nama Avril atau Lea. Asal bukan Kiera.