Monday, January 13, 2014

Shuzuhana Yuko Ft Wagakki Band - Tsuki.Kage. Mai. Hana

Cerpen: DILARANG LEWAT DI HATI INI, SEDANG DALAM PERBAIKAN

Cerpen


DILARANG LEWAT DI HATI INI, SEDANG DALAM PERBAIKAN



Jodohmu adalah cerminan dirimu. Jika dia masih dalam perbaikan diri, maka jodohmu juga pasti sama.

Sudah kuusahakan yang terbaik. Menjadi jodoh yang baik untuk calon jodohku. Tapi hingga usiaku mendekati tiga puluh tahun, jodoh itu masih belum datang juga. Hingga aku mati rasa.
Keluargaku sangat demokratis. Kecuali ayahku. Sejak usiaku masih dua puluh tahun, beliau selalu saja bertanya siapa pacarku, dia tinggal dimana, apa sukunya, bagaimana keluarganya, bagaimana akhlaknya. Tapi aku selalu melontarkan jawaban yang sama. Aku tak punya.
Ibuku tidak pernah bertanya apa-apa. Tentang jodoh atau tentang pacar. Hanya sesekali jika aku menyinggung tentang anak laki-laki tampan yang pernah aku temui, dia selalu saja bilang, “tapi nggak pernah ada yang kena!”
Aku hanya tersenyum saat Ibuku mengatakan hal yang sama. Karena memang nasibku selalu sama. Aku tidak pernah bisa menggaet laki-laki. Mungkin juga pesonaku sudah musnah di makan jaman. Aku bukan lagi Laila yang dulu. Laila yang ceria secara berlebihan. Suka mempermainkan laki-laki. Bahkan aku selalu membuat kesalahan. Merasa diri paling cantik dan populer. Tapi kini, aku tak bisa lagi merasa seperti itu. Aku sudah tua. Masih lajang.
Rasa percaya diriku sudah lenyap. Dilibas oleh perasaan yang selalu membuatku kesusahan melangkah ke masa depan. Laki-laki. Satu-satunya manusia yang sudah membuatku kehilangan akal ketika merindukannya setiap waktu. Melebihi Tuhanku.
Faruq namanya. Sembilan tahun lalu, aku mencintainya dan dia mencintaiku. Jika ada laki-laki terbaik di dunia ini, maka dialah salah satunya. Jika ada wanita terburuk di dunia ini, mungkin aku adalah salah satunya. Tapi pada akhirnya Tuhan memberikan dia padaku melalui do’a. Tapi mungkin juga melalui pandangan mata yang di kaburkan setan atas diriku.
Bukan waktu yang lama ketika aku bersamanya. Hanya tiga tahun dan semuanya menjadi hancur karena keburukan yang sudah ku ciptakan sendiri. Itu kesalahan pertama dan terakhir, mungkin yang terbesar. Ketika aku tak menyadari betapa cintanya sangat tulus untuk wanita sepertiku. Seseorang yang dia hormati dan hargai seperti Ibunya sendiri, ternyata sudah menghianatinya dengan keburukan.  Ada satu sisi diriku yang terus menggodaku untuk selingkuh dan membiarkan sebelah hatiku mencintai orang lain.
***
“Aku pergi.”
Matanya tidak menatapku. Aku juga tidak memandangnya. Mataku lebih sibuk menyembunyikan air mata yang terus saja mendobrak untuk keluar. Dia sedang pamitan untuk meninggalkanku mengejar cita-citanya. Juga pamit meninggalkanku yang sudah menyelingkuhinya. Perselingkuhanku terbongkar, dua hari lalu. Tapi dia tidak bicara apa-apa.
“Kalau aku bilang jangan pergi. Apa kau akan mendengarkanku?”
Kepalanya menggeleng. “Aku melakukan ini demi kita. Aku akan melakukan apapun demi masa depan kita. Cita-citaku akan terwujud dan aku akan melamarmu. Segera!”
Hatiku mengatakan lain meskipun kepalaku mengangguk. Naluriku mengatakan tidak yakin dengan apapun yang di katakannya. Sesuatu yang ku takutkan akhirnya terjadi. Dia meninggalkanku sebagai wujud penghukuman karena selama ini aku sudah menyakitinya.
“Maafkan aku,” kataku parau. Air mataku sudah meluncur keluar. Aku menyesal.
“Jangan menangis lagi. Aku mohon,” jempol tangannya mengusap air mataku. Tapi sia-sia. Air mataku terus keluar. Aku menangis tanpa bersuara. Seperti biasa.
“Aku harus pergi. Nanti kalau aku sudah di terima jadi Bintara, aku pasti mengunjungimu, oke?”
Hening. Kami terdiam. Hanya isak tangisku yang memenuhi ruangan kamar kos. Ada perasaan yang mengatakan padaku bahwa ini adalah air mataku yang terakhir.
“Aku nggak akan bikin kamu  nangis lagi. Aku janji. Jadi aku mohon, jangan pernah menangis lagi oleh sebab apapun.”
Aku juga tak akan memangis jika bukan karena penyesalan. Satu-satunya hal yang sangat kusesali, dia pergi. Meninggalkanku dengan cinta yang terlambat kusadari. Sebelumnya, aku memang mencintainya, tapi aku baru benar-benar sadar, bahwa cintaku tak biasa. Karena Faruq adalah laki-laki luar biasa.
Dia pergi. Akhirnya dia menginggalkanku dan tak menoleh kepadaku lagi. Bersama kepulan asap motor yang di kendarainnya, dia menghilang di dalam kegelapan malam. Tapi mataku terus memperhatikannya. Berharap yang baru saja terjadi hanyalah mimpi buruk. Aku hanya mengigau. Tapi sayangnya aku salah. Karena dia tak pernah kembali lagi padaku. Itu kenyataannya.
***
“Bagaimana kalau aku menyukaimu?”
Kutatap baik-baik mata itu. Mata yang tulus dan penuh dengan kasih sayang. Terkadang aku ingin bercanda dengan Tuhan, untuk apa wanita egois dan menyebalkan sepertiku ini selalu mendapatkan kado berupa orang-orang yang selalu menyayangiku dengan sepenuh hati, sedangkan mereka tahu kalau aku tak mungkin bisa membalasnya. Tapi sayangnya, Tuhan tidak bercanda.
Rasanya seperti bermain catur dengan Tuhan. Ketika Tuhan memajukan bidak-bidaknya, aku selalu mengambil jalan yang asal dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Yang ku tahu hanya memakan bidak itu. Menyakiti prajurit-prajurit kiriman Tuhan.
Tuhan sedang mengujiku dengan bidak-bidak itu. Kelihatannya aku menang banyak karena aku bisa membantai habis semua pion-pionnya. Tapi kenyataannya, aku kalah telak. Karena aku tidak pernah bisa menguasai zona daerahku sendiri. Aku tak bisa menguasai diriku. Hingga akhirnya aku skakmatt. Aku kalah.
Edison, salah satu pengagumku. Kusebut begitu karena dia selalu menyanjungku dan memberikan apapun yang kubutuhkan. Tapi sayangnya, ketika dia menyatakan perasaannya padaku, aku malah menalikannya pada tiang gantungan. Membunuh perasaannya pelan-pelan. Dia pergi juga kemudian hari. Mendapatkan kekasih yang lebih baik dariku. Sama baik dengannya. Dia bukan yang pertama menyatakan perasaannya padaku. Masih banyak yang lain. Rio, Evan, Edo, Nay, dan Widi. Tapi nasib mereka selalu sama. Mereka menyerah.
Aku tahu, aku yang salah. Aku memperlakukan mereka seolah-olah seperti mayat hidup yang lewat dan tak berharga. Tidak peduli seberapa besar pengaruh mereka, harta mereka, bahkan tampang mereka. Aku selalu melakukan hal yang sama. Menyakitinya.
Ketika aku menginjak usia 25 tahun. Seperempat abad. Baru kusadari sekelilingku mulai menua dan berubah. Semua laki-laki yang dulu pernah begitu baik padaku dan memujaku lalu ku abaikan, kini mereka semua sudah memiliki keluarga. Bahkan anak. Mereka bahagia. Aku iri. Menurutku, mereka memujaku lalu menjatuhkanku dengan cara sedemikian rupa. Mereka menikah. Menemui pasangan. Bahagia. Sedangkan aku, masih seorang jomblo seperempat abad yang tidak pernah tahu apa yang harus di lakukan. Ganti mereka yang meremehkanku. Mengataiku perawan tua dan tak laku. Tapi apa mereka tahu sebab kenapa aku seperti ini?
***
Ku bekukan hati dan air mata. Menembok perasaan dengan ketegaran. Mengaburkan mata dari segala pesona yang kelihatannya sempurna. Semua hanya demi satu hati yang kuimpikan. Berharap ruangan kosong itu bisa kuhuni lagi didalamnya. Faruq. Hatiku hanya untuknya. Tanpa meminta lebih, aku masih tetap mencintainya. Dengan cinta luar biasa yang terlambat, kucoba terus bertahan.
Hingga ketika di usiaku yang kedua puluh sembilan tahun, tepatnya kemarin. Tepat jam dua belas malam. Setelah sekian tahun dia baru menghubungiku.
“Kamu ternyata belum juga berubah.”
Dengan kata-kata seperti itu, dia akan memulai pada klimaks percakapan. Aku tertegun. Tanganku tergenggam erat. Mencoba menahan diri. Jika tidak begitu, kami akan mulai bertengkar. Aku tidak ingin kami akan melakukan hal konyol seperti ABG labil lagi. Setelah sekian tahun dia masih ingat dengan hari ulang tahunku.
 “Kenapa kamu belum menikah?” tanyanya dengan tegas dan nada suaranya sudah berbeda sejak terakhir kali kami bicara. Sembilan tahun lalu. Aku tidak tahu, dia ingin segera mengakhiri percakapan atau ingin mengalihkan pembicaraan.
“Aku menunggumu,” jawabku pelan.
Dengan jelas bisa kudengar suara Faruq yang tertawa kecil. Aku tahu itu bukan tawa lucu. Tapi dia menghina penantianku.
“Aku harap kamu bisa menemukan orang lain yang tepat,” katanya kemudian.
“Orang yang tepat untukku itu yang bagaimana? Bagiku, hanya kamu orang yang tepat.”
“Aku nggak bisa. Kita terlalu berbeda.”
Dengan impulsif, kepalaku mengangguk-angguk. Mencerna setiap kata-katanya. “Lalu apa maksudnya kamu meneleponku setelah sekian tahun? hanya untuk mengatakan ini? dengan nada yang berbeda dari janjimu dulu?”
Hening. Kami terdiam. Tapi aku bisa mendengar dengus nafasnya kembang kempis menderu di Hp.
“Aku tidak bisa pulang. Aku sedang ada di Papua.”
Mataku terbelalak. “Kenapa? Bukannya waktu itu kamu bilang akan jadi Bintara? Bagaimana mungkin bisa sampai ke Papua?”
“Aku memutuskan jadi TNI dan sudah hampir tiga tahun aku disini.”
Tubuhku langsung lemas. “Kapan kamu kembali?”
Tidak ada jawaban. Kupikir, mungkin saja dia menggeleng. “Aku tak akan kembali. Mungkin. Kalaupun aku kembali, mungkin aku tak akan bisa mewujudkan janjiku padamu.”
“Faruq, dengar! Aku menunggumu. Sembilan tahun. Aku masih menunggumu!”
Tidak ada jawaban lagi. Aku terus menunggu dia bicara. Kupasang baik-baik telingaku untuk memastikan dia masih hidup di seberang. Hingga kemudian kutangkap sebuah suara radio, TV, atau apalah itu seperti bunyi berisik.
“Apa kamu bisa tahu bagaimana rasanya membaca buku yang sama berulang-ulang?”
Dahiku mengekrut. “Jika aku menyukai buku itu, aku akan terus membacanya berulang-ulang hingga aku hafal bagaimana alurnya. Bahkan sampai aku bisa menemukan kesalahannya.”
“Aku nggak gitu. Aku merasa bosan karena terus membaca cerita yang sama berulang-ulang. Nggak ada tantangan. Itu sebabnya sekarang aku paham kenapa kamu dulu selingkuh. Mungkin karena aku yang terlalu lemah dan membosankan.”
Aku terdiam. Tapi kemudian aku segera bicara lagi sebelum hilang kesempatan. “Aku sudah bisa menangkap apa maksudmu. Sekarang berikan aku keputusan. Tunjukkan jika dirimu laki-laki dan bisa bersikap jantan. Jangan pernah menggantungkan statusku!”
“Statusmu sudah jelas. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi.”
“Begitu? Tapi ketika kamu dulu meninggalkanku, aku tidak menangkap apa-apa. Kecuali harapan palsu yang kamu berikan hingga sampai detik ini aku masih tetap menunggumu. Aku terus memperbaiki diri. Nggak selingkuh dan nggak menerima laki-laki lain dalam hatiku selama kamu pergi. Aku berusaha meletakkanmu di posisi paling tinggi. Aku nggak pernah membiarkan satu orang laki-lakipun lewat di hatiku, karena aku masih milikmu!”
“Kita nggak menikah, kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau. Seperti dulu. Laila yang kukenal adalah Laila yang sangat ceria dan bisa dengan mudah menemukan laki-laki baik di sekelilingnya. Tuhan membantumu. Memberikanmu keberuntungan berupa wajah cantik dan terus di cintai banyak orang.”
Tapi aku kehilanganmu. Tidak ada gunanya semua itu. Detik berikutnya aku merasa konyol. Sembilan tahun aku menunggunya dan dia memangkas harapanku dalam sembilan menit.
***
“Mbak Laila?”
Aku tertegun di balik pagar. Seorang laki-laki yang masih menggunakan seragam army loreng mendatangi rumahku. TNI. Setidaknya aku melihat band itu di dadanya.
“Saya Fajar,” katanya begitu aku kembali menatapnya. “Ada kiriman, dari Faruq.”
Di tangannya terdapat sebuah kotak sedikit besar. Aku tak bisa menduga apa isinya. Kelihatannya tidak begitu berat. Setidaknya di tangan Fajar yang jelas terlihat kekar. Aku menerimanya begitu Fajar menyerahkannya. Setelah berbasa-basi sedikit dengan Fajar, ternyata aku tak bisa membuatnya mampir. Dia memilih untuk segera pergi. Seolah takut kalau aku akan bertanya lebih banyak tentang Si Pengirim paket.
Jantungku berdetak tak biasanya. Karena semua terlihat tidak biasa. Mulai dari datangnya seorang lelaki, TNI. Fajar yang tiba-tiba mengantarkan paketan dari Faruq. Bungkusannya kotak berlapis kertas coklat. Perginya Fajar yang buru-buru. Semua ini baru kudapatkan setelah sembilan tahun berselang.
Tidak ada surat begitu aku membuka bungkusan kotak itu. Tapi isinya jelas membuatku terkejut. Tiga puluh delapan seri komik Samurai Deeper Kyo. Buku-buku itu tak bersampul. Kelihatan jelas kalau komik ini sering di baca. Dulu, komik itu selalu yang kuminta pada Faruq. Dia selalu memberikanku apapun. Termasuk komik. Itu jaman ketika aku masih labil dan suka membaca komik. Komik pertama, sekaligus yang kusukai. Faruq tahu itu. Aku rasa dia membeli ini untuk dirinya sendiri.
Halaman pertama dari seri komik pertama kubuka. Mataku di buat terbelalak. Ada tulisan di halaman pembukanya.  Tulisan tangannya.
Aku tak pernah bosan padamu seperti aku bosan pada cerita dalam komik-komik kesukaanmu ini. Bagaimana mungkin perasaan manusia bisa bosan pada manusia lain? karena cinta itu rumit dan tidak bisa di pikir menggunakan logika. Tidak ada rumusnya.
Aku tidak pernah melupakanmu, keceriaanmu, air matamu, hingga perselingkuhan yang sering kamu lakukan didepan mataku. Tapi hatiku selalu memaafkanmu. Aku tidak tahu apa sebabnya, mungkin karena cinta tidak ada rumusnya. Mungkin karena kamu bukan buku yang membuatku bosan ketika kubaca berulang-ulang.
Ketika aku menghubungimu kemarin, sebenarnya aku sudah ada di Jakarta. Aku dipulangkan karena mengidap Malaria. Sebenarnya tidak boleh. Tapi aku mengundurkan diri. Mungkin aku akan mati. Sebelum itu, aku ingin melihatmu. Tapi aku malu, bukan karena malaria. Tapi karena janji yang tak pernah bisa kuwujudkan ketika kepergianku dulu. Menjadi imammu. Maafkan aku.
Kututup lembarannya. Mataku kabur memandang jauh keluar menembus gawang pintu. Ada bayangan Faruq disana. Menungguku menghampirinya. Pelan kakiku menapak telanjang di atas ubin basah. Berjalan lurus tanpa alas.

Dalam sengatan surya, aku berlari di atas bara aspal yang mengganas. Bahkan aku tak peduli jika kakiku harus terbakar. Mata Faruq dalam bayang-bayang telah menarikku jauh melintasi jalan raya dan menjemput angin. Hingga tak kusadari sesuatu yang keras menyentuhku dengan kasar. Kemudian melemparkanku keujung jalan yang panasnya seperti penggorengan. Pipiku menyentuh aspal. Rasanya aku matang. Kepalaku membentur aspal seperti piring yang jatuh dari ketinggian. Tulangku berderak dan menimbulkan rasa ngilu. Tak tahu apa yang masih bisa kurasakan. Hanya terasa panas, pusing, dan wajahku basah lengket bau anyir. Kemudian gelap.

-----FIN-----


Saturday, January 11, 2014

Cerpen: True Friend


Cerpen 

True Friend



Suatu hari, Di Perpustakaan.

"Ayolah, kita pulang kampung nanti setelah lo wisuda ya?"
Butuh kerja keras yang ekstra untuk membujuk makhluk manis di hadapannya ini agar mau pulang ke tanah kelahirannya, Malang. Tapi sepertinya usahanya sia-sia, si manis di hadapannya ini tidak bergeming sama sekali. Berkali-kali dia menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju dengan permintaan Yoki. 
"Kenapa sih lo nggak pernah mau pulang? udah tiga tahun loh!"
Kali ini kesabaran Yoki sudah habis, dia sudah tidak bisa lagi menggunakan bujukan dan rayuannya. Jurus terakhhirnya adalah memberikannya iming-iming naik mobil mewah kalau mereka pulang kampung nanti. 
"Kalau lo mau ke Malang, berangkat aja 'ndiri. Mau naik kereta, pesawat, bis atau bahkan mobil mewah sekalipun, gue nggak akan pernah ikut. Gue kasih alamat Ike aja."
"Yang bener aja, mana bisa kayak gitu?"
Braaakk
Si Manis mulai kehabisan kesabaran, Yoki sudah tahu bagaimana watak cewek seperti Kiran ini kalau sedang marah, semua benda yang ada di sekitarnya akan jadi sasaran amukan. Dari meja di gebrak, buku di lempar, kursi di tendang atau yang lebih ekstrim dari itu, meremukkan gelas. Untung saja kali ini tidak ada benda-benda yang bisa di remukkannya, kecuali meja yang baru saja di pukulnya dengan keras hingga menimbulkan perhatian semua orang yang sedang duduk di Perpustakaan. 
"Lo apa-apa'an, sih?" bisik Yoki yang mulai kesal dengan sikap Kiran, karena cepat sekali marah.
"Gue udah hilang kesabaran," tukas Kiran dengan gigi gemeletuk.
Yoki bisa merasakan aura seram menghambur dari balik badan sahabatnya itu. Buru-buru di bereskan semua bukunya dari meja dan dimasukkan kedalam tas. Tanpa banyak ba-bi-bu, dia memilih untuk cari selamat saja dari pada dia harus di lempar Law Black Book yang lebih tebal dari kotak makan siangnya. 
***
Esok harinya, Di taman dekat Auditorium.

"Nih !" 
Kepala Yoki mendongak ke arah cewek yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya. Tangannya mengulurkan sebuah bungkusan. Dari baunya saja Yoki sudah bisa menebak itu apa, Sandwich
"Gue udah kenyang," sahut Yoki datar, lalu kembali memalingkan wajahnya ke sebuah majalah otomotif yang ada di tangannya.
"Gue minta maaf soal kemarin," ujar Kiran seraya duduk di samping Yoki.
Wajah Yoki masih belum menampakkan sinar tertarik. Tatapan matanya masih juga tertumpu pada sebuah Bentley yang ada di majalah otomotif miliknya.
"Yoki!"
"Hmm...?"
"Sorry..."
"Udahlah, lo udah biasa bikin gue malu, kan?"
"Itu sebabnya gue minta maaf,"
Dipandanginya cewek manis ini. Tidak biasanya Kiran meminta maaf pada seseorang meskipun dia melakukan kesalahan besar sekalipun, dia akan terus membela diri mati-matian dan tidak peduli dengan penderitaan orang yang di akibatkan olehnya. 
"Lo lagi seneng hari ini? nggak biasanya lo pake acara minta maaf, sampe bikinin sandwich lagi," pada akhirnya Yoki mengambil sandwich dari tangan Kiran juga. 
"Jangan ajak gue pulang lagi, ya!" ujar Kiran dengan mimik muka yang tidak bisa di tebak. Tapi Yoki lebih suka menyebut Kiran sedang sedih atau semacamnya. Dia belum bisa peduli, perutnya lebih butuh perhatiannya saat ini karena tadi dia belum sarapan. Dan seperti biasa, Kiran memahami kondisinya. Setiap kali perutnya meronta minta makan, Kiran pasti akan selalu datang dengan bekal makanannya. Meskipun tadi dia sudah bilang kalau sudah kenyang, itu hanya basa-basi. Kenyataannya, perutnya sama sekali tak bisa bohong dan menampik sebuah sandwich buatan Si Manis.
"Udah tiga tahun dan lo belum pulang ke kampung sama sekali, Ran. Apa lo nggak kangen ama keluarga lo disono ? kakek, nenek, semuanya!"
Tanpa diduga, Kiran menggeleng. "Kakek ama nenek gue udah lama nggak ada. Gue nggak punya keluarga dekat lagi sekarang. Oom gue udah pindah ke Surabaya. Di Malang udah nggak ada siapa-siapa. Cuma temen-temen gue sekolah dulu aja."
"Ya udah, nggak apa. Kalau gitu kita jalan-jalan aja ke Malang. Gue pengen deh jalan-jalan ke pantai selatan yang ada di Malang. Terus kita ke Bromo, deh!"
Air muka Kiran menyiratkan wajah sendu yang seolah-olah mengatakan kalau dia benar-benar tidak ingin pulang ke kampung. Dia sudah tidak punya kampung dan dia tidak tahu lagi dimana kampung kelahirannya. 
"Pokoknya gue nggak mau lagi denger segala hal soal Malang. Itu bikin gue sesak nafas!" 
Yoki tambah tidak paham dengan Kiran, cewek itu berbeda dengan kebanyakan cewek-cewek yang lain di kelas. Jika mereka semua sangat menggebu-gebu menceritakan tentang kampung halaman masing-masing, tapi Kiran akan menghindar dari obrolan itu. Bukan karena ingin sok Metro sekarang, tapi sepertinya lebih dari itu, Kiran memiliki kenangan yang tidak menyenangkan dari kampungnya, dari kota kelahirannya, Malang.
***
Sore harinya, di rumah Yoki.

"Emangnya kenapa sama temen-temennya?" tanya Yoki sambil garuk-garuk kepala. Terlalu bingung.
"Nggak tahu, Mas. Pokoknya Mbak Kiran itu tiba-tiba bakar semua buku-buku kelulusan jaman sekolahnya dulu. Dari buku kelulusan SMP sampe SMA."
"Dia nggak dibikin patah hati sama cowok, kan?"
"Nggak tahu juga, Mas. pokoknya Mbak Kiran itu nggak mau lagi kalau aku nyebut-nyebut soal temen-temennya, semua!"
"Jadi bukan masalah dia nggak punya tempat pulang? tapi cuma masalah temen-temennya?"
"Kayaknya sih gitu."
Biipp. Sambungan terputus setelah Yoki mengucapkan terima kasih pada Ike, adik sepupu Kiran yang ada di Malang sana. Kepala Yoki dibuat berputar-putar oleh masalah Kiran yang sama sekali belum di ketahuinya. Berbagai macam tebakan dan perkiraan mengenai Kiran yang tidak mau pulang kampung membuat lubang penasaran tersendiri di dada Yoki. 
***
Esok harinya, di kantin.

"Kenal yang namanya Deki Kusuma Mulya?" tanya Yoki tiba-tiba disela acara makan siangnya dengan Kiran.
Sontak kepala Kiran mendongak dan sorot matanya berubah setajam elang. Yoki mulai mencari-cari sesuatu yang terjadi dari mata Kiran. Di tatapnya cewek itu baik-baik. 
"Dia temen lo, kan?" tanya Yoki lagi. 
"Darimana lo tahu dia?" tanya Kiran mulai penasaran.
Yoki kembali pada Mie ayamnya, dilahapnya santai helaian mie itu hingga tertelan dengan lancar masuk kerongkongannya.
"Twitter," jawab Yoki singkat. Lagi-lagi mulutnya terbuka lalu melahap Mie ayamnya lagi. Tapi Yoki segera di buat kaget oleh sikap Kiran yang langsung berubah aneh, disorongkan mangkuk Mie Ayamnya itu menjauh dari hadapannya. "Kenapa?" tanya Yoki bingung.
"Udah kenyang," jawabnya singkat seraya berdiri dan mengambil lembaran dua puluh ribu dari sakunya. "Pas kan, Bang?" tanya Kiran berbasa basi pada si penjual Mie ayam. "Sekalian ama dia!" tunjuk Kiran pada Yoki yang masih melongo menatapnya.
Sementara tatapan Yoki masih bingung, Kiran sudah berlalu dari hadapannya dengan cepat dan Yoki jadi tambah jengkel oleh sikap Kiran yang tiba-tiba. Buru-buru diselesaikan acara makan siangnya, mubadzir kalau sampai Mie ayam itu dingin dan mengembang. Rasa lapar membuatnya tergoda untuk memasukkan sisa Mie ayam Kiran yang tidak habis ke dalam mangkuknya. Sayang kalau Mie ayam itu di buang begitu saja, Si Abang penjual Mie ayam juga pasti jengkel karena makanan buatannya tidak di hargai, meskipun sudah ada harga tersendiri untuk seporsi Mie ayam. 
***
Sore harinya, di Perpustakaan.

"Bisa nggak sih, lo cerita ama gue apa yang udah terjadi, Ran?" tanya Yoki yang mulai gemas dengan sikap Kiran. Tapi cewek itu masih tetap fokus pada layar laptopnya. "Lo aneh tahu, nggak?"
"Biasa kan kalau gue di sebut aneh. Malah akan lebih baik kalau gue di sebut aneh."
"Oke, cukup. Mungkin gue emang sekedar Soib buat lo. Tapi bisa nggak sih lo hargain gue dikit aja ?"
"Maksud lo apa?"
"Lo selalu aneh setiap kali gue ngajak pulang ke kampung lo dan kemarin gue baru aja telpon Ike, dia bilang nggak ada masalah tuh sama keluarga. Apa ini masalah temen-temen lo?"
Tangan Kiran berhenti dari kegiatan mengetiknya. Ditatapnya Yoki dengan pandangan yang sama sewaktu di kantin tadi. Tapi kali ini pandangan itu diselingi dengan tatapan sengit dan juga jengah. "Kalau gue cerita ke elo, apa lo akan tetep mikir kalo gue ini patut di jadiin temen?"
"Emang kenapa?"
"Gue bukan orang yang gampang percaya ama orang lain, Yok. meskipun sekarang kita bisa seperti ini .... maksudnya kayak soib," Kiran terkesan kurang yakin, " tapi dalam hati gue, sama sekali nggak ada kepercayaan kalau kita bisa jadi sahabat sampai ntar tua," Yoki memiringkan kepalanya, masih belum paham. "Sahabat yang gue mau itu, adalah sahabat yang bisa bener-bener nganggep gue ada. Itu aja dan nggak lebih."
"Lo bener-bener ada masalah ama semua temen-temen lo dulu?"
Kiran memalingkan mukanya. Tebakan Yoki tepat sasaran. "Gue nggak pernah punya temen waktu gue sekolah dulu. Semua orang punya pikiran kalau gue ini aneh dan nggak patut buat di jadiin temen, setidaknya itu waktu gue SMP. Dan ironisnya, waktu itu dengan  polosnya gue masih tetep mau berteman sama mereka biarpun gue sering di bully dan di anggap rendah."
Kening Yoki berkerut, pikirannya masih belum bisa menerima dan mencerna maksud dari perkataan Kiran. Seorang Kiran yang jenius di mata Yoki, ternyata pernah mengalami pengalaman buruk, di rendahkan dan di bully teman-temanya. Seorang Kiran yang mengaku sudah menguasai ilmu bela diri Karate. Yoki tidak percaya.
"Lo ngggak pernah ngelawan mereka?"
"Kalau bully-an itu sifatnya fisik, mungkin gue bisa berontak. Tapi gue di bully dengan cara di sabotase sana-sini dan gobloknya, gue masih tetep aja sabar ngadepin mereka."
Kening Yoki berkerut lebih dalam. Masih belum bisa percaya dengan ucapan Kiran.
"Gue tahu, lo sama aja kayak yang lainya. Nggak bakal bisa percaya ama semua cerita gue. Kalian semua cuma nganggep gue ini pendongeng. Karena kalian nggak pernah ngerasain apa yang gue rasain. Itu sebabnya gue masuk Hukum. Itu sebabnya gue pengen jadi pengacara. Gue pengen jadi pengacara yang membela kasus-kasus penganiayaan. Meskipun kelihatannya sepele, tapi jika jiwa gelap si korban ini hidup, hal yang lebih buruk bisa terjadi." 
"Kalian?" tanya Yoki malah tambah bingung.
Kiran mengangguk, "Kalian! orang-orang terdekat gue. Elo, kakak sepupu gue, Nyokap-bokap gue, bahkan semua keluarga gue juga semua orang yang mengaku teman-teman gue. Gue nggak punya satu orangpun yang mau percaya ama semua kata-kata gue."
Yoki menggaruk-garuk kepalanya. Rasa bingung membuat kepalanya menjadi gatal dan detik itu juga dia sangat ingin menggunduli rambutnya. Sebelum ini, Yoki tidak pernah tahu apa motif Kiran mengambil Hukum, dia hanya berpikir kalau Kiran ingin berada dalam satu jalur dengan Ayahnya yang seorang Jaksa. Tapi ternyata dia memiliki pandangan lain.
"Jiwa gelap apa?" tanya Yoki penasaran.
Kiran menutup Laptopnya. Setelah menghela nafas panjang, kini pandangannya terfokus pada Yoki yang sedari tadi masih dengan tatapan yang sama melihat Kiran, bingung. 
"Manusia hanya makhluk biasa. Dalam setiap diri manusia ada banyak sisi yang sama sekali tidak bisa di pahami oleh nalar mereka sendiri. Itu sebabnya mereka sering bertindak diluar kendali. Begitupula dengan korban penganiayaan, selagi jiwa gelap mereka belum terbangun, mereka akan tetap mencari pembelaan dan keadilan dengan cara apapun yang masih bisa di tempuh dengan cara yang manusiawi. Tapi jika tak ada satu orangpun mengindahkannya, maka hal yang lebih buruk bisa terjadi,"
"Misal?"
"Simpel, Pembunuhan, pembantaian, mutilasi atau sejenisnya bisa menjadi jalan terakhir."
Bulu kuduk Yoki berdiri. Dengan santainya Kiran bisa menyebut deretan bentuk kejahatan itu. Meskipun semua orang bisa mengatakannya, tapi entah kenapa kali ini ketika Kiran yang mengucapkannya, semua menjadi terasa berbeda di telinga Yoki. Dia seakan sedang di hadapkan dengan narapidana kasus pembantaian.
"Masih mau denger lagi soal gue?" tanya Kiran. Kali ini dengan gaya yang sedikit berbeda dengan yang tadi. Sekarang lebih santai dan seolah tidak peduli orang mau percaya pada ceritanya atau tidak.
Yoki hanya menganggukkan kepalanya, seolah dihipnotis oleh intonasi suara Kiran yang pelan, santai, tapi banyak hal yang terjadi disana.
"Di kampung, gue biasa di didik dengan cara yang Militan sama kakek gue. Beliau seorang Banser. Tahu Banser?" Kiran menatap Yoki dengan serius. Yoki menggeleng. "Barisan Anshor Serbaguna. Kakek gue sampai usia lima puluh tahun masih aktif disana. Gue dididik dengan cara Militan. Sedikit kesalahan, gue pasti dipukul, dihajar atau apappun yang lebih dari itu. Tapi nggak ada masalah, mentognya paling gue cuma nangis. Tapi dari situ gue dididik buat nggak cengeng. Kalau gue cengeng, nggak ada yang mau berteman ama gue. Tapi semua tetap aja salah. Setelah gue masuk SMP, meskipun gue nggak cengeng dan gue bisa karate, tetep aja nggak ada yang mau berteman sama gue. Dunia terlihat aneh dan nggak seperti yang gue pikir. Pergaulan itu juga aneh, ada anak-anak yang membuat kelompok seperti gugusan bintang agar mereka bisa saling melindungi dan ada pula yang menyendiri dan dikucilkan seperti alien."
"Elo termasuk anak yang individual," tebak Yoki.
"Tadinya, sampai gue menemukan teman-teman yang bisa menerima gue tanpa melihat siapa gue. Gue punya teman-teman yang banyak, tapi lambat laun, sikap mereka berubah. Mereka mulai manfaatin gue. Gue disuruh ini dan itu yang bikin gue muak. Tapi gue nggak bisa nolak mereka. Karena mereka itu teman-teman gue. Gue sayang sama mereka. Tapi kebalikannya, mereka membalas semua rasa sayang gue dengan sabotase-sabotase yang pada akhirnya membuat gue menjadi makhluk individu lagi. Tapi semua nggak berakhir, semakin gue jauh dari mereka, ada saja kelakuan mereka. Dari menghilangkan salah satu ban sepeda gue hingga terpaksa gue pulang sekolah dengan jalan kaki. Ngumpetin buku PR gue, hingga gue harus dihukum guru. Hormat di bawah tiang bendera waktu matahari lagi kentang-kentangnya. Sampai botol minum gue diisi dengan air got. Tapi waktu itu gue masih mikir kalau mereka manusiawi. Hingga suatu hari dengan jelas mereka menyebut gue anak orang gila dan gue nggak lebih dari seekor keledai yang nggak punya otak!"
Lagi-lagi Yoki memiringkan kepalanya, bingung. "Lo marah?"
Tanpa di duga Yoki, Kiran menggeleng dan malah kembali melanjutkan ceritanya.
"Mereka berpikir kalau kakek gue itu orang tua gue. Mereka nggak pernah tahu dimana orang tua gue yang sebenarnya. Mereka nggak tahu kalau orang tua gue ada di Jakarta dan hidup enak disini. Mereka juga nggak pernah percaya kalau gue ini anak Jaksa. Tapi itu lebih baik, lebih baik kalau mereka nggak percaya. Tapi buruknya, mereka menganggap gue gila karena keturunan, mereka bilang kalau kakek gue adalah orang gila dan itu sebabnya gue di bully. Karena di kampung gue, semua anak bebas mem-bully orang gila."
Mulut Yoki melongo. 
Kiran meneruskan ceritanya. "Gue lulus dengan nilai bagus. Tapi mereka bilang gue nyontek dan itu sebabnya gue lebih di jauhin sama mereka. Gue nggak punya teman-teman SMP. Mereka semua sudah mati di mata gue!" ujar Kiran dingin.
Seolah di lempar bola salju di tengkuknya, Yoki gemetar saat melihat ekspresi Kiran yang berbeda dari biasanya. 
"Waktu SMA, beda lagi ceritanya. Pelan-pelan gue di paksa berubah oleh keadaan. Gue harus berubah menjadi seorang cewek yang feminim. Minimal gue bisa nyisir rambut dengan rapi dan membuat garis lurus tepat di tengah kepala."
Dari merasakan ngeri, Yoki dibuat terkikik geli.
"Gue pengen punya cowok. Itu sebabnya gue dandan. Kakak sepupu gue bilang, kalau gue mau punya cowok, gue harus bisa dandan. Dengan begitu setiap cowok bisa menganggap kalau gue ini cewek dan bukan orang gila yang nggak jelas jenis kelaminnya. Tapi semua itu cuma impian gue. Biarpun kata kakak gue, kalau gue ini ibarat mawar yang sedang mengembang, tapi kenyataannya lain. Mereka semua masih bersikap sama dengan teman-teman SMP gue dulu. Gue nggak tahu salah gue dimana. Sampai suatu hari seorang cowok membuat keajaiban dalam kehidupan gue. Berawal dari dia, gue mulai mengenal apa itu rok cewek, tentunya selain rok sekolah. Gue mulai berubah dan lahirlah Kirana Putri Dewi yang sebenarnya. Bahkan gue juga kaget sama perubahan gue. Ternyata cewek itu bisa sangat cantik kalau dia bisa menemukan dirinya."
Senyum Yoki terkembang. Pandangan simpatiknya terlempar begitu saja ke arah Kiran. Memang disadarinya betul, wajah Kiran tidak bisa membuat orang bosan. Biarpun sehari-hari ketika ke kampus dia hanya mengenakan kaos oblong dan celana denim biasa. Tapi rasa manisnya masih tetap bisa mempengaruhi pikiran setiap orang yang melihatnya. Kiran memiliki pesona tersendiri.
"Dan cowok itu adalah Deki Kusuma Mulya," Yoki berusaha menebak.
Kiran mengangguk pelan. "Tapi, waktu gue duduk di semester pertama. Itu pertama kalinya gue pulang ke kampung setelah gue menetap disini. Gue berusaha menemui teman-teman SMA gue yang dulu pernah baik ama gue. Termasuk dia. Tapi satu kalimat yang sampai detik ini nggak bisa gue lupa, dia bilang gue terlihat lebih tua dari pada beberapa bulan yang lalu."
"Hahh?" 
"Nggak ada satupun cewek didunia ini yang suka di komentari kayak gitu. Biarpun cowok itu pernah baik sama lo dan mau berteman sama lo. Kalau kalian mengaku sebagai cowok yang memahami cewek, jangan pernah sekali-kali menyebut cewek itu terlihat lebih tua dari usianya saat itu. Karena sama saja kalian sudah membunuh semangat hidupnya,"
"Cuma karena masalah sepele seperti itu?"
"Masalah sepele?" tanya Kiran balik seraya mencondongkan badannya lebih dekat dengan Yoki. "Lo pikir kenapa banyak produk make-up yang menjual obat anti penuaan dini? lo pikir kenapa ada slogan 'karena wanita begitu berharga'? lo pikir kenapa ada obat pemutih wajah dan berset-set produk kecantikan agar kulit wanita tetap terawat? semua karena wanita nggak mau kelihatan jelek. Sayang aja lo cowok. Lo nggak pernah tahu gimana rasanya sakit tertohok waktu ada cowok yang dengan gamblangnya ngatain lo kayak gitu. Akan lebih baik kalau lo di kata miskin dari pada lo dikata tua sebelum waktunya!"
"Jadi itu sebabnya lo nggak mau pulang? lo nggak mau ketemu temen-temen lo dan di kata tua?" Yoki menahan tawanya agar jangan sampai meledak saat itu juga.
"Gue miris ama cara berpikirnya cowok soal cewek. Mereka selalu melihat cewek dari fisiknya. Dari wajahnya dan bukan dari otaknya atau yang lebih dalam dari itu, hatinya, mungkin juga etikanya. Kalian para cowok lebih suka memilih cewek yang bertampang Dewi, tapi berkelakuan seperti binatang. Tidak punya etika, tidak punya otak dan tidak punya hati."
"Gue lebih bingung lagi sama cewek. Mereka selalu mengatakan sama kayak yang lo bilang. Kenapa? apa karena dalam dunia cewek itu saingannya lebih berat?" kali ini kata-kata Yoki keluar di barengi dengan tawa yang sudah tak bisa di tahannya lagi.
 "Tentu saja, itu karena jumlah cewek yang lebih banyak dari pada cowok. Sedangkan cowok bisa memilih cewek yang lebih baik dari apa yang hanya menjual wajahnya saja."
Senyum Yoki terumbar hingga memenuhi seluruh mata Kiran. "Sekarang gue udah tahu apa masalah lo, Ran. Karena itu, ayo pulang ke kampung. Sayang banget kota lo yang indah itu nggak lo sambangi. Lupakan soal mereka, kalau bisa, bunuh saja semua teman-teman SMA lo itu sama seperti teman-teman SMP lo itu yang udah mati di mata lo."
"Gue nggak mau membunuh siapapun, Yok. Gue cuma mau menjadi diri gue sendiri."
"Menjadi diri sendiri dengan pemahaman yang sudah lo dapat dan lo pegang sebagai pandangan hidup."

Kiran mengangguk setuju dengan ucapan Yoki. Merasa benar dan di benarkan. Itu sebabnya meskiupun Kiran mengatakan kalau dia tidak percaya dengan teman-teman yang selalu dia temui, tapi dalam hatinya yang paling dalam, Kiran mempercayai Yoki sepenuhnya. Bahwa cowok satu ini bisa di andalkan sebagai sahabat. Tidak perlu terlalu banyak berkomentar sebagai teman. Hanya cukup percaya dan mendengarkan saja. Itu sudah lebih dari cukup dari seorang sahabat yang di butuhkannya. Tapi tetap saja, Kiran masih menginginkan sahabat sampai dia tua nanti. Bukan hanya untuk saat ini, besok atau lusa. Dan ketika mereka wisuda nanti, maka persahabatan mereka juga berakhir. Tapi persahabatan yang kekal dan sampai salah satunya ada yang mati.

-----FIN-----


Wednesday, January 8, 2014

SAJAK UNTUK SANG BUNGA MATAHARI

Cerpen 

SAJAK UNTUK SANG BUNGA MATAHARI


Meskipun yang lain mengaku memiliki banyak waktu untukku, tapi hanya kau yang selalu memberiku waktu di sela kesibukanmu. Entah itu sedetik atau sampai lima menit, kau  selalu menyempatkan diri untuk bertanya apa kabarku hari ini. Entah aku sedang minum kopi atau aku akan berangkat ke toilet, kusempatkan pula untuk menjawabmu.
Aku tak suka mereka yang selalu bicara, bahwa mereka akan selalu ada untukku saat di butuhkan. Tapi nyatanya waktu mereka habis untuk orang lain, bukan aku. Terlalu Tuan Putri kah aku?
Tapi hanya kau yang mampu meredam semua kerinduanku pada arti sahabat. Mungkin karena kita pernah berbagi tempat tidur, karena itulah kau sangat mengenalku dan aku juga sangat mengenalmu, bahkan pada kebiasaan buruk paling kecil sekalipun. Kau kentut setelah membuka mata di pagi hari.
Aku ingat dulu ketika Dee menangis di pelukanku, saat kita berlima akan berpisah. Katanya, dia akan sangat  merindukanku setelah pulang ke Solo nanti. Tapi ternyata, dia seolah memiliki dunianya sendiri. Sudah sibuk dia dengan calon suaminya. Aku ikut senang. Itu jujur.
Kusebut kalian Pai-Se. Kunamai kita dengan SHB, Sekte Hati Beku. Karena hati kita sudah beku, atau mungkin hanya hatiku saja? tapi meski begitu, harus kita akui, di antara kita berlima, hanya Nana Sang Putri Bulan yang bisa mendapatkan pacar. Sedangkan aku, kau, Icha dan Dee. Kita hanya bisa terpaku memandang penuh harap pada lelaki idaman masing-masing. Aku masih dengan cinta lamaku yang tak bisa kulupakan. Aku sungguh sial. Kau yang dulu masih terpaku pada hubungan terlarangmu dengan  saudaramu. Lalu Icha yang ikutan membuat skandal cinta terlarang dengan Sang Frater. Kemudian Dee yang kala itu masih naif dan lebih menyukai pria beristri.
Maaf, aku dulu meninggalkanmu lebih dulu. Kau pasti sendirian di tempat yang dingin dan lembab itu. Mungkin sepeninggalku, kamar kita dulu masih sama. Lembab dan bau lumut. Toh kehidupanku setelah meninggalkanmu tidak bagus-bagus amat. Aku lebih tidak bahagia di banding kala kita berlima berkumpul bersama. Disini aku memang memiliki sayap. Aku boleh terbang kemanapun. Tapi aku adalah burung yang di ikat dengan rantai aturan penguasa. Aku harus hormat dan tunduk padanya.
Aku selalu percaya, shioku adalah Naga Tanah. Oleh sahabat baru yang kutemui, dia seorang lesbi. Dia mengatakan padaku, bahwa karakter Naga Tanah dapat menjadi Pemimpin besar karena mereka berwatak praktis. Berkepala dingin. Memiliki kemampuan untuk mengorganisir. Tapi aku juga masih memiliki kebutuhan untuk di kagumi. Namun aku juga ramah dan mendukung. Katanya aku juga lebih cepat mengontrol diri. Naga tanah selalu menjunjung respek pada keinginannya. Naga tanah selalu bekerja keras dengan rajin untuk menyelesaikan tujuan hidupnya. Nagaku, selalu memandang tanggung jawab atas kehidupan dan romantismeku cukup serius.
Kau lihat itu? Shioku sangat bagus. Teman baruku itu namanya Clay. Bukan capo. Tapi dia Cina. Matanya sipit dan banyak gadis yang mengaguminya, menyebut bahwa dia mirip model dari Korea. Mungkin karena badannya tinggi. Dia mirip laki-laki, sangat. Kalau kau kelak bertemu dengannya, aku mohon jangan jatuh cinta. Karena kau pasti akan kesulitan lepas darinya. Pesonanya sangat kuat, dulu itu kupikir dia pakai susuk atau apapun sejenisnya yang berasal dari tanah nenek buyutnya, Tiongkok. Tapi ternyata, memang dia sangat memesona. Aku dulu sempat suka padanya. Tapi kemudian Nagaku mengendalikanku. Tidak, mungkin imanku. Karena dia perempuan, sama denganku. Hanya saja, dadanya rata. Mungkin sewaktu kecil, dia sering memakai korset bebat perut milik Ibunya. Makanya dia tidak punya payudara.
Tujuh tahun lalu, apa kita pernah bertengkar? Kalau pernah, tolong ingatkan padaku apa yang menjadi pertengkaran kita? Karena aku lupa. Mungkin aku mulai demensia, atau bisa saja aku sedang mengidap skizofrenia. Tapi dari yang paling kuingat, aku tak pernah merasa kita bertengkar.
Masih ingatkah kau saat kita tidur bersama? mungkin orang lain yang berpikiran kotor akan berimajinasi yang tidak alim. Tapi seingatku, kala itu kau dulu selalu tidur seperti kucing yang mati terlentang. Tidak bergerak, bahkan untuk sekedar memiringkan badan. Apa kita dulu pernah kepanasan? Sepertinya setiap hari.
Kau berbeda dari yang lain. Apa boleh kubicarakan tentang keburukanmu dan kukatakan pada dunia? Kupikir kau akan setuju jika ada orang lain yang akan terhibur mendengarnya. Tapi sepertinya tidak, aku tak akan mengatakan apa-apa hingga kau membubuhkan tanda tanganmu pada kontrak kerjasama kita yang tanpa materai dan tanpa tulisan.
Kau sahabat di antara surga dan nerakaku. Kalian berlima. Semuanya. Kau sahabat di antara helaan nafasku. Kau sahabat yang sering duduk menemaniku. Mendengarkan omelanku. Ocehanku. Suara kaleng rombengku. Kau sahabat yang selalu melihatku terlebih dulu. Memastikan hidungku tidak pernah tertinggal di kamar, menyelamatkan rahasiaku, menyembunyikan keburukanku, memarahi laku sembarangku, dan memelukku disaat lelah. Kita tertawa. Bersama. mengusih jenuh, mengusir bosan. Kau sahabat, separuh dari diriku yang sedang jalan-jalan.
Apa yang terjadi selama aku pergi meninggalkanmu? Kau sakit? kau merindukanku? Kau membandingkanku dengan teman-teman sekamarmu yang lain? kau makan teratur? Kau sering pulang menengok Ibumu? Kau masih suka membeli cemilan di Toko Pak Tamin?
Kau tak pernah marah. Meskipun kau marah, kau hanya diam. Menuntutku untuk tahu diri. Berpikir tentang apa salahku. Kalian diam ketika aku mulai memprovokasi untuk melakukan sesuatu. Aku gila, kan? Tapi aku sadar tentang penyakit gilaku. Karena itu kau menyembunyikannya dari yang lain. Kau perlihatkan pada mereka, aku yang biasa. Aku yang waras.
Jika nagaku benar sesuai kata Si Cina itu, katanya aku bisa menjadi pemimpin besar. Kala itu, terbukti kan aku bisa menjadi pemimpin. Sekaligus provokator. Kuhancurkan teman sekamarku sendiri saat itu. Si genit yang selalu membuat badanku gatal-gatal. Kubuat dia yang sudah berlaku tak senonoh di belakangku dengan membayar malu. Semua orang tahu, aku otaknya. Tapi kalian diam. Masih tetap diam hingga sekarang. Bukankah aku gila?
Semua yang ada pada aku, kalian tak pernah peduli. Kau tak pernah mau tahu. Aku tetap saudaramu meskipun aku munafik. Entah harus kugulirkan berapa cinta yang bisa kuberikan, kau yang bisa menerimaku apa adanya. Di sela-sela waktumu dengan teman-temanmu yang lain. Di sela-sela rasa dukamu karena kini kau jauh di ujung mata. Di sela-sela rasa lelahmu karena di rendahkan. Di sela-sela bungkammu pada paksaan.
Tuhan melihatmu wahai, sahabatku. Tuhan tahu apa yang terjadi padamu, karena itu adalah sebagian dari sekenarionya. Karena itu, berperanlah yang baik. Jangan mengeluh. Kau boleh lelah, tapi kau tak boleh menangis. Kau boleh tersandung, tapi kau tak boleh mengaku sakit. Kau harus kuat. Kubur semua kelemahanmu. Kunci dia jauh di bagian paling dalam hatimu. Jangan biarkan keangkuhan dunia menampar-nampar mukamu  yang halus. Jangan biarkan kesombongan mereka yang berharta mencacimu dalam ketidakberdayaan.
Ada doaku di setiap derak tulangmu. Ada cintaku di setiap pandangan matamu. Ada rinduku di setiap denyut jantungmu. Ada harapanku di setiap helah nafasmu. Juga ada cinta Ibumu yang terus hangat memeluk dari kejauhan.
Akan kusampaikan pada alam yang terkena sentuhan tanganku. Ku kabarkan pada mereka bahwa aku sangat menyayangimu. Akan ku bisikkan pada angin yang lewat tentang kerinduanku padamu yang berada di menara kolong langit. Biar angin-angin itu mengatakan padamu, aku masih hidup. Aku masih bisa menebar rindu. Dan aku ingin menangis karena mengingatmu. Aku terlalu menyayangimu. Mencintai kalian.
Terakhir kali saat aku meninggalkanmu. Kusadari banyak hal. Kita tak berpelukan untuk terakhir kalinya. Kita tak mengucapkan salam perpisahan. Kita tak saling melambaikan tangan. Kau tak mengantarkanku hingga ke gerbang. Kau sedang mencari sebutir nasi di tempat mantan penjajah negeri kita. Aku meninggalkanmu, terkurung dalam ruang lembab dan berdebu. Dingin. Sendiri. Apa kau sakit? apa kau menangis?
Kapan bisa kulihat kita berkumpul bersama lagi, berjajar seperti gugusan bintang yang menampakkan diri. Kapan bisa kudengar lagi, tawa kalian yang menggema hingga ke dalam hati.
Maafkan aku. Aku pergi seorang diri. Dengan dalih mengejar mimpi, tapi aku mengorbankan dan membiarkanmu terlantar pada daun hidup yang bergoyang-goyang kesedihan. Aku jahat. Aku gila. Aku sakit. Tapi lebih sakit lagi ketika kuingat bahwa aku sudah begitu kejam meninggalkanmu sendiri. Bukankah kita sahabat? Bukankah kau separuh dari diriku?
Kau pasti sakit. Kau pasti sepi. Kau pasti mengutukku di tengah malam. Kau pasti meratap karena kau sadar, kau sendiri. Maafkan aku. Aku tak pernah memikirkan kebosananmu. Tapi asal kau tahu, disinipun aku sendiri. Meratapi sebuah ketidak adilan yang meraja. Kedinginan.
Kau air yang menjadi darah dalam diriku. Membentuk pola butiran merah dan pada akhirnya ikut mengantarkan oksigen masuk ke salah satu kutub jantungku, hingga aku bisa bernafas. Kalian. Air yang sudah menjadi darah dalam tubuhku.
Nanti, ketika Tuhan mempertemukan kita kembali. Kuharap kau bisa memaafkanku. Jika kelak kau ingin balas dendam atas semua kesedihan yang sudah kuciptakan, maka lakukanlah. Pukul aku. Hajar aku. Tapi jangan pernah sekalipun kau meninggalkanku. Jika separuh diriku pergi, itu pertanda aku akan strooke. Dan pelan-pelan akan mati.
Kau sahabatku. Setenang rembulan yang merangkak naik keujung malam. Menenangkan setiap jiwa yang kelaparan. Memberi harapan pada hati yang akan padam.
Kau sahabatku. Sejernih embun di ujung pagi. Memangkas dahaga dini hari. Menyejukkan hati di kala sepi. Kau tahu, kau adalah bunga Matahari. Kuning terang dan hanya menatap kesatu arah. Meskipun kau adalah satu di antara yang lain, tapi kau punya kwaci. Kuingat kau suka kwaci.

Kau bunga Matahari. Selalu mengikuti kemana arah cahaya pergi. Meskipun ada saat kau tertunduk pilu, tapi kau adalah Bunga Matahari yang masih tetap setia menunggu sinar bulan yang di pantulkan oleh Matahari. Kau bunga Matahari. Besar. Kuat. Kokoh. Berusaha mencari terang. Kau akan menjadi seperti itu. Selamanya. 

-----FIN-----