Friday, December 27, 2013

Puisi - REPUBLIK BEDEBAH

Puisi

REPUBLIK BEDEBAH



Republik Bedebah!!!
Aturan dan aparat salah kaprah
Orang kaya menaiki mobil mewah
Pejabat dan hukum hanya terserah
Pada Republik Bedebah

Republik Bedebah!!!
Masyarakat miskin makan sampah
Tak beruang tak mampu sekolah
Pendidikan dan makan jadi barang mewah
Di dalam Republik Bedebah

Republik Bedebah!!!
Kaya dan miskin tak bisa jadi kawan
Toleransi bukan lagi pengakuan
Rakyat kecil hanyalah kerikil jalanan
Di raya Republik Bedebah

Republik Bedebah!!!
Orang miskin jadi sapi perah
Lagi-lagi karena hukum yang makin parah
Keadilan di bayar dengan darah
Semua karena Republik Bedebah

Republik Bedebah!!!
Di kutuk ribuan sumpah serapah
Di caci maki tubuh yang lemah
Di lempar kotoran dan busuknya darah
Semua hanya untuk Republik Bedebah


*Sabtu Legi, kala hujan hinaan di Bumi Para Kafir Pancasila



Thursday, December 19, 2013

Cerpen : Di Atas Awan Komulus

Cerpen 
DI ATAS AWAN KOMULUS




Aku dan Ayah berlarian menuju Gate 7 tempat kami seharusnya sudah masuk ke dalam pesawat menuju perjalanan dari Bali pulang ke Jakarta. Tapi berhubung tadi salah Gate, terpaksa kami harus memutar dan mencari gate 7. Ini semua gara-gara tiket terkutuk itu. Harusnya aku dan Ayah sudah duduk manis di kabin pesawat sejak tiga puluh menit yang lalu. Tapi apa yang terjadi kini? Aku dan Ayah berlarian seperti orang kesetanan karena takut ketinggalan pesawat. Terpaksa  ku jinjing sepatu dan mencengkeram ranselku asal. Sedangkan Ayah? sayangnya dia sudah lari duluan. Meninggalkanku.
Seorang pramugari bertampang manis menyambutku begitu masuk kedalam kabin. Kulihat Ayah sudah duduk dengan nafas yang tarik ulur di seat nomor 12 A. Dengan geram aku menghampirinya dan langsung meletakkan ranselku di rak. Jengkel, kubanting pantatku di kursi dekat Ayah.
“Udah ketahuan  ya, kesetiaan ayah  itu sampai dimana!” omelku dengan jengkel meskipun dengan nafas yang sama kembang-kempisnya karena terlalu lelah berlari dari gate masuk ke kabin.
Ayah hanya nyengir dan memamerkan gigi putihnya di hadapanku. Aku tidak mempedulikannya, karena tatapanku langsung beralih pada rombongan Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang baru datang dan duduk berderet di kursi depan kami. Perhatianku beralih pada mereka yang menimbulkan sedikit keributan karena kesalahan seorang penumpang yang membeli tiket ilegal di dalam pesawat.
Seorang pramugari datang dari arah belakang dan langsung menghampiri Bapak-bapak yang sedang sibuk memaki dan menyuruh penumpang lain yang sudah berani menduduki tempatnya tanpa ijin itu. Padahal yang di marahi adalah seorang  anak gadis yang usianya sekitar dua puluh empat tahun. Anak itu mengingatkanku pada Amel. Anak gadisku sendiri. Aku meninggalkan Amel sendirian di rumah bersama dengan Dita dan Rafa, adik-adiknya. Aku harap Amel menjaga rumah dengan baik, sementara aku menemani suamiku datang ke acara pelantikan Ketua Pengadilan Negeri yang baru di Bali.
Belum puas bapak-bapak itu memaki anak gadis itu, bapak-bapak itu juga  langsung memaki pramugari yang tadi mendatanginya. Mengatakan bahwa pelayanan di Pesawat yang terkenal murah itu sangat tidak memuaskan. Bagaimana bisa tempat duduknya di jual pada orang lain sedangkan pemilik asli tiketnya datang bersama rombongan meskipun terlambat lima menit. Akhirnya anak gadis itu terpaksa di turunkan begitu saja. Aku menatapnya miris.
Meskipun sudah duduk di tempatnya, Pramugari itu masih juga di maki oleh bapak-bapak itu. Bahkan  tidak tanggung-tanggung, kali ini teman-temannya yang satu rombongan juga ikut memakinya. Termasuk Ibu-ibunya. Cacian mereka lebih kasar dari yang aku duga. Aku gerah sendiri. Ayah juga begitu, tapi kami hanya bisa diam. Tidak mau terlarut dalam permasalahan teknis itu. Bisa-bisa terjadi kasus pembunuhan berantai kalau kami ikut campur.
Setelah ada salah satu petugas lagi yang datang untuk meredakan emosi penumpang komplain itu, akhirnya mereka diam juga seiring dengan berjalannya pesawat. Aku dan Ayah langsung membaca do’a perjalanan, berharap Tuhan melindungi kami sampai di Jakarta dengan selamat.
Tapi ternyata perjalanan kami tidaklah  mulus. Cuaca buruk menerpa Bali. Entah sudah berada di berapa ribu kaki. Tiba-tiba saja mulai turbulensi. Semua awak pesawat mulai merasa tidak nyaman, begitu pula denganku. Aku paling benci saat pesawat menabrak awan komulus. Meskipun tidak berbahaya dan hanya menghasilkan gemuruh dan juga petir, tapi tetap saja, hal yang tidak aku suka adalah ketika pesawat turbulensi. Kepalaku langsung sakit karena getaran. Telingaku mendengung karena tekanan udara.
Kami pikir pesawat hanya bergetar sebentar. Tapi ternyata tidak. Cuaca buruk sangat mempengaruhi dan rasanya benar-benar seperti di film Flightyang di bintangi Denzel Washington. Dimana pesawatnya mengalami gagal mesin, kemudian terbalik dan jatuh. Melalui jendela kaca yang ada di samping ayah, aku rasa cuaca  di luar benar-benar buruk dan aku sangat tidak suka untuk melihatnya. Bisa kubayangkan, pasti kondisi pesawat saat ini seperti layang-layang yang putus tali benangnya.
“Yaa Allah... Yaa Allah... Yaa Allah...!!!”
Begitulah ibu-ibu rombongan yang tadi berisik memaki-maki pramugari pesawat. Mereka panik. Mereka menangis. Ada yang merapalkan do’a, ada  yang kebingungan ingin menelepon saudaranya, ada yang  menghawatirkan anak-anaknya, ada yang bingung dengan pekerjaannya, ada juga yang memikirkan harta bendanya. Beberapa dari bapak-bapak rombongan itu memanggil pramugari yang telat datang dan  minta bantuan untuk di pasangkan rompi keselamatan. Pesawat terus bergetar dan berguncang. Awan gelap terlihat sangat negerikan dengan cahaya yang berkilat-kilat di sisi kiri dan kanan. Meskipun lampu kabin tidak padam, tapi jelas terlihat semua awak sedang panik.
Ibu-ibu rombongan yang duduk di depanku  terus saja panik. Pramugari yang lain datang dan berusaha menenangkan mereka. Jelas terdengar di telingaku bahwa para Ibu-ibu itu meminta maaf karena sudah berlaku kasar pada pramugari-pramugari tadi. Begitu juga dengan bapak-bapak yang tadi. Mereka semua seolah bersiap untuk mati.
"Maafin kami ya, Mbak... maaf..." suara mereka memelas dengan derai air mata yang tak ada habisnya.
Aku sendiri juga panik. Ku cengkeram erat-erat bahu kursi yang ada di hadapanku. Berharap bisa meredakan goncangan yang sedang terjadi. Aku benar-benar panik, tapi berusaha untuk ku tahan. Sekelebat dalam benakku, muncul wajah anak-anakku sebelum  ku tinggalkan. Juga Amel, anak pertamaku. Tepatnya anakku dengan suamiku terdahulu. Sekarang aku sudah menikah lagi—empat belas tahun lalu, dengan laki-laki yang sedang duduk tenang tak terpengaruh dengan situasi sekitarnya.
Sejak duduk tadi, aku tidak begitu memperhatikannya. Hatiku sedang dongkol karena dia tadi sempat meninggalkanku. Bahkan sejak di perjalanan dari Hotel menuju ke Bandara, dia terus memarahiku karena tiket kami sempat terselip di koper. Setelah turun dari mobil pengantar dan sampai di bandara, dia yang boardingpass lebih dulu juga. Meninggalkanku. Setelah masuk gate dan menuju kabinpun, dia berlari mendahuluiku. Meninggalkanku yang berlarian sambil membawa ransel dan koper kami berdua. Aku seperti babu. Tapi setelah mengomelinya  tadi, aku tidak menghiraukannya lagi. Lelah.
Akan tetapi kini, aku ingin melihat wajah tenang itu. Wajah suami yang amat kucintai dan selalu ku banggakan. Pria yang sudah menerimaku apa adanya. Ketika itu, aku adalah seorang janda berusia dua puluh enam tahun yang sudah memiliki  seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun. Dulu aku menikah muda dengan suami pertamaku.
Kucoba menoleh ke arahnya, berharap bisa menemukan wajah teduhnya. Aku ingin memandangnya untuk yang terakhir kalinya jika memang pesawat dengan pelayanan murah ini tidak bisa menyelamatkan nyawa kami sampai ke Jakarta. Tapi sayangnya, yang kulihat kemudian bukan wajah teduh nan tenang seperti yang sering ku perhatikan setiap kali dia tidur. Tapi wajah pucat pasi. Keringat dingin mengucur deras dari dahi dan mengalir ke leher. Mata yang di pejamkan rapat-rapat. Tangan yang mencengkeram erat lengan kursi hingga buku-buku jarinya memutih. Suamiku sedang panik. Dia takut.
“Ayah!” kucoba memanggil namanya. “Ayah takut, ya?” tanyaku sambil memperhatikan wajahnya.
Tidak ada jawaban. Hanya anggukan kepala. Aku pikir dia akan muntah karena terlalu tegang dan tidak bisa menahan goncangan pesawat. Kuraih tangannya. Mencoba mengalihkan rasa takutku dengan berusaha menenangkannya. Berharap kami bisa sama-sama tenang.
“Coba buka matanya,” kataku halus. Dia membuka mata. Aku tersenyum padanya. Matanya merah karena terlalu erat terpejam. Kubelai tangannya dan meremasnya. Tangannya dingin. “Ayah, minta maaf  dong sama Ibu. Salah Ayah kan banyak. Ayah tadi udah ninggalin Ibu,” ujarku seolah kami memang sudah siap mati.
Ayah mengangguk. “Hu’um. Maafin Ayah ya, Bu. Sekarang ini Ayah malah kepikiran anak-anak. Kepikiran Amel, Dita, Rafa. Gimana nasib mereka nanti kalau ternyata pesawat ini nggak bisa nyampe ke Jakarta dengan selamat?”
“Jangan ngomong gitu. Allah pasti bantu kita,” lagi-lagi kataku lembut. Berharap membuatnya tenang.  “Ibu sayang sama Ayah,” kepalaku bersandar di bahunya.
Otot-otot saraf Ayah terlihat mulai mengendur. Dia menarikku kedalam pelukannya. Kami memejamkan mata bersama. Berharap kami selamat dan pulang dalam keadaan utuh. Cuaca buruk itu seperti monster yang sedang mengintai kami. Aku berterima kasih pada suamiku. Kedongkolanku menguap. Berganti dengan rasa sayang yang sangat berlebihan. Aku terlalu mencintainya.
Awan gelap diluar masih juga belum berubah warna. Getaran juga belum mereda. Beberapa Pramugari sudah datang dan menenangkan penumpang. Ibu-ibu rombongan tadi tangisnya masih juga belum reda. Tapi beberapa penumpang yang lain sudah banyak yang berkomat-kamit. Dzikir. Hingga akhirnya entah berapa puluh menit kemudian, getaran mereda. Langit berubah warna. Tidak terlalu gelap. Hanya mendung. Melalui kaca jendela dekat tempat duduk Ayah, kulihat jauh tempat di ujung sana awan sedang menurunkan hujan di suatu daerah. Air itu terlihat turun seperti kelambu abu-abu yang menyelimuti kota. Mungkin juga hanya kelurahan. Aku tak peduli.

Tangan Ayah masih memelukku erat. Kali ini aku yakin, dia tak akan meninggalkanku lagi. Dia tak akan berlari lebih dulu dan membiarkanku panik sendirian. Bahunya hangat memelukku. Aku cinta Ayah. Aku sayang anak-anakku. Aku akan pulang untuk mereka. Tuhan  masih menyayangi kami, aku dan suamiku. Karena itu kami di biarkan pulang. Mendapat kesempatan hidup lebih lama lagi untuk saling berkasih sayang satu sama lain. Apa yang lebih berharga daripada ini? jawabannya adalah nyawa, suamiku dan anak-anakku.

----- END -----


Wednesday, December 18, 2013

Cerpen : MAMA MINTA BH

Cerpen
 MAMA MINTA BH



“Ma, beliin aku BH!”
Riska berbisik pelan di telinga Mamanya. Dengan sedikit terkejut, Mamanya melihat ke arah putrinya yang kini sudah berusia tiga belas tahun. Mata Mamanya mengarah ke bagian dada anaknya, sudah tumbuh kuncup di balik baju seragamnya. Mamanya langsung tersenyum.
“Iya, nanti Mama belikan.”
“Kata Fitri, nggak boleh pake BH dulu ya, Ma? Kata Fitri, di suruh pake Miniset dulu. Bener nggak sih?”
“Ntar mama ukur dada kamu.”
“Loh, kok di ukur? Emangnya lingkar BH ada ukurannya, ya?”
“Ya ada. Tergantung sama ukuran lingkar dada kamu.”
“Kalau kayak Riska gini, ukurannya udah berapa? Tiga puluh dua C? Tiga puluh empat B?”
Kening Mamanya berkerut. “Kamu tahu darimana itu semua?”
“Fitri sama temen-temen cewek Riska di kelas yang cerita. Katanya kalau yang paling gede itu tiga puluh enam. Big Boob!”
“Husshh!!” Mamanya tersenyum.
“Tapi kenapa Mama niat mau ngukur dada Riska? Fitri nggak pake di ukur tuh sama Mamanya. Dia langsung di beliin BH sama Miniset. Katanya biar bisa buat ganti. Temen-temen Riska yang lain juga udah banyak yang pake Bra. Cuma Riska doang yang pake kaos dalem...” ujar Riska dengan merengut.
“Ya udah, nanti Mama belikan BH sama Mini Set. Biar kamu bisa ganti buat olah raga.”
“Bener ya, Ma!”
Mamanya mengangguk serius. “Udah, berangkat sekolah dulu sana!”
Riska langsung meraih tas sekolahnya dan membenahi seragamnya lebih dulu. Tidak lupa dia meraih telapak tangan Mamanya dan menciumnya.
“Assalammualaikum!”
“Wa’alaikumsalam...” jawab Mamanya dengan bibir terkembang.

***

Riska melirik kesamping. Dimana Tania dan Irma sedang membicarakan  Selly yang duduk di bangku paling depan. Sayup-sayup Riska bisa mendengar percakapan antara Tania dan Irma. Mereka sedang membicarakan Selly yang seragamnya kelihatan tipis dan kaos dalamnya yang berwarna pink terlihat menerawang. Riska juga bisa mendengar dengan jelas jika Tania mengatakan bahwa Selly yang dadanya sudah besar itu tidak memakai BH. Lantas mereka berdua terkikik geli.
Kepala Riska tertunduk. Pelan-pelan matanya mengarah ke dadanya. Lalu pelan-pelan juga tangannya mulai menyentuh dadanya. Ada sedikit tonjolan disana.
“Kenapa?”
Riska terkesiap. Kepalanya menoleh ke samping, ke arah Fitri yang menjadi teman sebangkunya sejak pertama kali masuk SMP. Mata anak itu menatapnya bingung dan heran.
“Kenapa?” tanya Fitri lagi mengulang.
Riska menggeleng. “Nggak ada. Cuman aja... lo lihat nggak sih kalau dada gue udah gede? Kelihatan, nggak?” tanya Riska seraya menegakkan tubuhnya.
Fitri memperhatikan dada sahabatnya. “Hmmm... sedikit.”
Mata Riska terbelalak. “Menurut lo, gue perlu pake BH nggak sih?”
“Ya perlu lah. Meskipun nggak sekarang makenya. Tapi ntar juga harus pake. Cewek kok nggak pake BH!”
“Eh, tahu nggak. Irma sama Tania lagi ngomongin Selly, tuh. Katanya, Selly dadanya udah gede dan nggak pake BH. Masih pake kaos dalem.”
“Selly itu belum ngerti berapa ukuran BH yang cocok buat dia. Makanya belum mau pake BH. Alesannya banyak. Mulai dari takut sesak, takut gatel, takut aliran darahnya nggak normal dan macem-macem. Dia udah punya BH, kok.”
Riska manggut-manggut. Jelas saja Fitri tahu lebih banyak mengenai Selly, karena rumah mereka berdekatan. Badan Selly memang lebih bongsor di bandingkan murid-murid perempuan yang ada di kelas Riska. Dia juga jago olahraga dan sangat lincah. Tiba-tiba dalam kepala Riska memikirkan suatu hal mengenai Selly.
“Selly apa nggak risih ya. Badannya kan gede. Otomatis dadanya juga cepet numbuh gede. Udah gitu kalau lari-larian, apa nggak sakit tuh dadanya kalau dia nggak pake BH?”
Fitri tersenyum. “Lo sendiri BH-nya ukuran berapa? Kenapa lo nggak nyoba pake Miniset?”
Riska cemberut. “Gue udah minta sama  Mama. Katanya mau di beliin.”
“Pakai Mini Set aja dulu. Kayaknya lo masih belum butuh pakai BH. Ntar aja pakenya kalau udah gedean dikit dadanya!” ujar Fitri sambil menulis catatannya kembali.
“Jadi menurut lo, dada gue masih baby, gitu?”
Fitri mengangguk sambil menahan tawanya.

***

“Itu BH-nya. Coba dulu pakai!” seru Mama Riska begitu melihat anaknya pulang sekolah dan langsung ngeloyor ke kamar.
Riska segera meraih bungkusan kantung hitam dan mengeluarkan semua isinya. Ketika melihat benda-benda berbahan katun dan memiliki aneka warna itu, hati Riska langsung berbunga-bunga. Benda-benda itu memang sederhana, tapi terlihat sangat berharga di mata Riska. Seperti anak yang menemukan mainan baru, Riska langsung meraih sebuah BH dengan kuncup yang tidak begitu menggembung. Buru-buru di lepaskan pakaiannya dan langsung mencoba menempelkan BH itu di dadanya, kemudian di pakainya. Riska tersenyum melihat dirinya di pantulan kaca. Mirip orang dewasa. Kelihatan seksi. Dadanya tertutup dengan benda yang sangat menarik dan sakral di pakai semua wanita.
“Gimana? Pas?” tanya Mama Riska yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar.
Buru-buru Riska menutupi dadanya. Malu. “Mama bikin kaget, Iiihh!”
Mamanya tidak mempedulikan Riska yang sedang malu. Dia langsung menghampiri anaknya dan melihat bentuk dada anaknya dengan teliti.
“Bagus. Kamu suka?”
Riska mengangguk dengan muka yang merah padam. “Tapi kata Fitri, Riska make Mini set aja dulu.”
Mamanya tersenyum. “Emang lebih bagus make miniset dulu. Soalnya dada kamu belum kelihatan terlalu gede. Mungkin karena badan kamu yang kecil. Jadinya dada kamu masih belum begitu kelihatan gede. Pakainya ntar aja kalau kamu udah kelas tiga SMP.”
Riska melotot. “Hah, kelas tiga? Lama amat, Ma...”
“Loh, kenapa? Lagian dada kamu belum kelihatan gede, kok. Pakai Mini Set aja dulu. Nggak ada masalah. Sama-sama bisa nutupin dan kainnya nyerap keringat, kok!”
“Pakai BH aja, Ma...”
“Ntar malah kelihatan aneh, Riska. Mending mini set aja. Lebih nyaman buat kamu.”
“Gimana kalau pakai mini set dan dada Riska malah nggak numbuh?”
Mamanya tersenyum. “Ya pasti numbuhlah!”
Meskipun cemberut, akhirnya Riska menurut apa kata Mamanya. Besoknya, Riska pergi ke sekolah dengan rasa percaya diri yang penuh. Meskipun hari ini dia memakai mini set, tapi Riska merasa lebih nyaman dari biasanya. Ada sesuatu yang sangat ketat dan rapat menutupi dadanya. Dia merasa aman secara tiba-tiba.

***


Riska sekarang jauh lebih percaya diri. Bahkan ketika pelajaran olahraga di lapangan, Riska langsung bisa bergerak dengan lincah dan cekatan. Ketika ganti baju seragam di kelas, Riska menceritakan pada Fitri bahwa dia sudah hampir tiga hari ini memakai miniset dan rasanya lebih nyaman. Tapi sayangnya saat itu Fitri sedang tidak mood menanggapi ceritanya. Wajahnya pucat. Keringatnya mengucur banyak. Sejak pagi tadi dia lebih banyak diam.
“Lo kenapa, Fit? Mau ke UKS?” tanya Riska begitu mereka selesai ganti seragam. Tapi Fitri menggeleng dan malah sibuk memegangi perutnya. “Kenapa?” tanya Riska lagi. Fitri tetap diam dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lengannya yang tertangkup di meja. Kepalanya hanya menggeleng.
“Fit, lo PMS, ya?” tiba-tiba Irma datang menghampiri dan sudah berdiri di pinggir bangku Fitri.
Riska menatap Irma bingung. Dia tahu istilah itu. Tapi tidak pernah tahu bagaimana gejalanya secara nyata. Begitu melihat Fitri yang tersiksa, Riska langsung bingung dan merasa ngeri.
“Gue ada pembalut di tas. Lo mau?” tanya Irma lagi dengan penuh perhatian. Tiba-tiba kepala Fitri mengangguk.
Irma berjalan ke arah  bangkunya dan mengambil pembalut dari dalam tasnya. Ketika mendapati benda putih tipis itu, dia langsung menghampiri Fitri kembali dan menyerahkannya. Riska memperhatikan betul-betul benda putih pipih seperti kapas itu. Dia belum pernah memakainya, apalagi tahu bentuknya. Selama ini dia hanya tahu melalui iklan.
“Itu yang ada wings-nya, ya?” tanya Riska sambil menunjuk pembalut yang baru saja di terima Fitri.
Irma menggeleng. “Enggak, gue masih belum perlu yang pakai wings. Kan keluarnya masih sedikit. Baru permulaan.”
“Kalau udah bisa haid, itu artinya kita udah bisa hamil juga, ya?”
Irma mengangguk. “Kata Mama gue sih gitu.”
“Kalau orang haid, pasti jadi kayak Fitri gini ya?”
“Enggak juga, cuma sebagian cewek yang kayak gini. Gue dulu nggak pakai acara kayak Fitri gini. Tapi gue dulu secara tiba-tiba dan nemu flek di celana. Gue pikir itu apa, tapi setelah tanya Mama, ternyata itu haid. Haid pertama gue cuma sedikit. Jalan tiga hari, langsung kelar. Tapi banyak juga yang sampai seminggu.”
Riska pernah mendengar itu semua. Tapi sampai detik ini, dia sama sekali belum haid. Mamanya bilang, mungkin Riska akan mendapat haid pertama saat usianya empat belas tahun. Saat itu Riska bertanya pada Mamanya, apa ketika dia mendapat haid pertama nanti akan mendapat hadiah. Karena kalau di pikir-pikir lagi, haid itu sama dengan masa balig perempuan, sama seperti anak laki-laki ketika sunat. Anak laki-laki saja kalau sunat di kasih hadiah, kenapa anak perempuan yang mendapat haid pertama tidak pernah mendapat hadiah? Kalaupun dapat hadiah, pasti itu hanya softek.

***


Pagi-pagi subuh Mama Riska di kejutkan oleh suara teriakan anaknya dari lantai dua. Buru-buru Mamanya lari dengan masih menggunakan mukena selepass sholat subuh. Papa Riska ikut menyusul istrinya ke kamar anaknya. Ketika Mamanya masuk, Riska terduduk lesu di tempat tidur, matanya basah berair. Mukanya sembab. Raut wajahnya ketakutan. Selimutnya menutup rapat di pangkuannya.
Buru-buru Mamanya menghampiri dengan panik. “Kamu kenapa, Ris?”
“Mama...” Riska mulai mewek. “Aku berdarah...”
Mamanya langsung panik. Di dongakkan wajah anaknya. Di perhatikan hidung Riska baik-baik, tapi tidak ada bekas darah keluar dari sana. Papanya menghampiri.
“Apanya yang berdarah? Kamu kenapa?” Papanya ikutan panik melihat putri satu-satunya menangis tidak jelas sebabnya. “Dimana yang berdarah? Coba Papa lihat!” Papanya menggeser tubuh Riska.
“Iiih, Papa. Jangan!” tukas  Riska sambil mendorong papanya pergi. Papanya menatap bingung ke arah Riska. Tapi pandangan Riska langsung beralih ke arah Mamanya. “Ma... darahnya di pantat...” bisik Riska di telinga Mamanya.
Mama Riska memandang anaknya sekilas. Kemudian di bukanya selimut Riska hingga tersibak agak lebar sampai Mamanya bisa jelas melihat apa yang terjadi.
“Alhamdulillah... anak Mama udah dapet!” seru Mamanya kegirangan.
Papanya langsung bernafas lega. “Papa pikir apa. Kamu itu bikin panik aja!”
Riska menatap orang tuanya secara bergantian. “Aku berdarah, kok kalian malah Alhamdulillah, sih?”
“Riska, itu darah haid!” seru Papanya dengan wajah berseri.
Riska masih tertegun. “Tapi, aku kok nggak kesakitan kayak Fitri. Aku juga nggak ngerasain apa-apa waktu darahnya keluar?”
Mama Riska langsung tersenyum, begitupula dengan Papanya. Riska tambah menatap mereka dengan bingung.
“Anak Papa udah perawan, nih. Sebentar lagi pasti puber, kalau udah puber, pasti udah ngerti cowok ganteng, terus belajar pacaran deh!” goda Papanya sambil menowel dagu Riska.
Riska tersipu. Ada rasa malu dalam satu bagian dirinya. Tapi bagian lain dirinya merasa bangga. Senang. Karena itu tandanya dia perempuan normal. Bisa haid, yang artinya juga bisa punya anak. Sekarang dia sama status dengan teman-temannya yang kebanyakan sudah haid. Riska gembira. Karena dia sekarang berubah menjadi perawan. Itu tandanya, sekarang dia harus menjaga baik-baik dirinya dari pergaulan. Sebisa mungkin, dia tidak boleh sembarangan dan harus bisa mawas diri. Dunianya kini akan lebih berwarna.
 "Oh iya, siap-siap juga jerawatan, ya!" goda Mamanya ganti.
Mata Riska langsung terbelalak. OH NO!!!

 ----- END -----


Sunday, December 15, 2013

Sajak "Bertemu Cinta"


Sajak


BERTEMU CINTA

aku tak tahu kalau aku bisa sangat memenuhi hatimu
seperti kuncup mawar yang mulai bermekaran
ternyata itulah artiku untukmu
aku bahagia, sangat bahagia dan aku tak bisa melukiskannya

ketika aku pergi meninggalkanmu
sorot matamu selalu tak bisa membuatku lupa
betapa aku merasa ada yang tertinggal disini, didalam hatiku
dan kaupun memanggil namaku, menyentuh tepat di dalam sanubariku

tak akan kulepaskan, rasa rindumu yang sudah bergemuruh itu
menyatu dalam hembusan angin dan berubah menjadi lingkaran topan
siapa yang sangka akan jadi begini, rasa rindumu begitu dalam
hingga aku terkejut betapa berharganya aku untukmu

aku tak tahu kalau aku sangat memenuhi hatimu
seperti kembang api yang meletup-letup di langit malam
begitu indah dan membuat pipiku merona
hatiku bergemuruh melihat bara cinta yang sepanas sengatan Matahari itu

akan ku raih senja dan kukantongi di dalam relung hatiku
ketika kita bertemu, akan kuberikan lengkap dengan cahaya emasnya
sebagai rasa terima kasih karena telah mencintaiku
kau selamanya, yang terindah dan luar biasa...