Cerpen
ME & KHOPegang gitar, di kata jari-jari gue terlalu pendek. Pegang drum, katanya gue nggak ada bakat. Pegang Bass, kata mereka, gue ini nggak cocok. Jadi vokalis, katanya suara gue terlalu ancur. Terakhir, gue nyoba belajar keyboard, tapi yang ada malah di ledek sama Emak gue, dia bilang kalau gue ini nggak becus.
Gue suka musik. Dan gue sering iri pada semua orang yang bisa bermain musik. Gue nggak pernah percaya sama yang namanya bakat. Karena bakat bisa di kalahkan dengan rajin belajar. Dan terlebih lagi, gue paling suka nyanyi. Waktu masih umur sepuluh tahun, gue pernah menang lomba karaoke se-RT di kampung gue.
Tapi sayang, kemenangan itu pada akhirnya nggak berlaku lagi untuk saat ini. Emak gue, orang tua gue sendiri malah bikin down mental gue waktu bilang suara gue hancur lebur. Emak gue lebih banyak membanggakan adik-adik gue yang penuh prestasi. Dari perastasi jadi runner up taekwondo dan ada juga yang punya bakat jadi atlet volly. Sedangkan gue?
Gue payah...
Gue lemah...
Gue selalu kalah...
Sebaik apapun yang gue usahain, orang tua gue nggak pernah melihat gue. Karena itu, gue nggak tahu, apa itu yang namanya MINAT dan BAKAT dalam sebuah kolom survei atau formulir pendaftaran seuatu organisasi.
Kemarin, gue bener-bener di bikin nangis sama Emak. Hati gue sakit. Gimana mungkin dia bilang kalau gue ini nggak bisa di banggakan? Dan itu yang terus-terusan bikin gue berpikir kalau gue ini bener-bener payah.
Tapi, belakangan ini gue kenal satu anak di komunitas jepang yang gue ikuti juga, dia anak baru gue rasa. Namanya Kho. Dia cewek dan gayanya tomboy abis. Sebelum gue tahu dia masuk di komunitas gue, rasanya gue pernah lihat anak itu di Plaza yang ada di dekat rumah gue. Gue menatap anak itu lama. Gue taksir usianya dua tahun di bawah gue. Tapi ternyata, kami sepantaran.
Beberapa hari ini gue banyak cerita sama Kho. Gue cerita masalah gue baik di rumah atau di kampus. Dengan sangat saktinya, dia bisa tahu kalau gue ini orang yang sensitif. Iya, itu benar. Dia juga bilang kalau gue bukan orang yang bisa di tekan. Dan gue ini Plegmatis. Kami jadi teman dekat. Gue rasa sih gitu. Nggak tahu kenapa kepala gue rasanya ringan banget kalau cerita sama Kho. Dia pendengar yang baik dan lebih mengutamakan solusi dari pada berkutat menganalisa masalah gue. Dia pintar. Super pintar gue rasa.
Suatu hari, Kho nanya ke gue, jika disuruh milih antara objek dan bayangan, mana yang gue pilih. Dengan yakinnya, gue jawab Objek.
“Orang tanpa bayangan akan seperti zombi. Berjalan tanpa arah tujuan. Hampa dan sendirian. Dia tidak tahu kalau sudah mati,”
Gue memperhatikan dia baik-baik, kemudian dia melanjutkan, “Bayangan akan selalu mengikuti objeknya. Menjadi penanda kalau objek itu nyata. Bayangan tanpa objek, dia akan menjadi ilusi. Tapi aku suka menjadi bayangan. Aku akan selalu mengikutimu kemanapun. Dan aku akan selalu membantumu, itupun kalau kamu butuh bantuanku”
Begitulah Kho, terkadang ucapannya sangat filosofis. Tapi justru itu yang kusuka darinya. Jujur meskipun agak lebay. Selain itu pula, gue baru tahu kalau Kho itu seorang penyuka sesama jenis. Tapi aku tidak peduli, aku tidak mau terlalu ikut campur dengan urusannya. Aku hanya akan menjadi aku dan dia akan tetap menjadi dia. Meskipun dia menyebut bahwa aku adalah objek dan dia adalah bayanganku.
Setelah berkata seperti itu, sejak seminggu ini gue mulai aktif belajar musik di studio sewaan dengan Kho. Aku langsung memilih drum. Aku suka gebukan suara drum yang menghentak. Seolah aku bisa meluapkan stress ku dengan memukul stick drum hingga bisa menimbulkan bunyi berdebam.
Kho bukan orang yang banyak bicara, tapi sekalinya bicara, dia langsung menyadarkanku akan satu hal...
“Aku iri padamu. Kamu bisa bebas melakukan apapun. Sedangkan aku enggak. Sejak dulu, aku selalu di atur-atur. Orang tuaku super protektif. Dia selalu membatasiku. Melarangku ini dan itu atau menyuruhku melakukan ini dan itu. Hingga aku nggak punya waktu untuk diriku sendiri,”
Waktu Kho menatap ke arah gue, jantung gue langsung deg-degan, “Orang tuamu diam, bukan berarti mereka tidak mau tahu. Tapi mereka ingin kamu dewasa secara sendirinya. Mereka ingin tahu seberapa jauh kamu berkembang,”
Pikiran gue melayang jauh. melambung dan terlempar ke masa lalu. Saat gue masih kecil hingga gue masuk SMP. Orang tua gue perhatian juga ke gue. Hanya saja, gue nggak pernah maksimal mengembangkan diri. Padahal kesempatan begitu besar. Gue mulai berpikir lagi, apa saja yang gue lakuin di masa lalu? Kenapa waktu gue bisa terbuang sia-sia? Bukankah harusnya gue udah bisa main musik?
Gue sendiri yang memutuskan untuk keluar dari eskul taekwondo, semua gara-gara gue males hari minggu gue terganggu. Waktu itu, gue pengen diam di rumah dan nonton kartun aja. Gue nggak mau kelewatan Inuyasha di setiap episodenya. Gue nggak mau ketinggalan aksinya Pokemon. Sekarang, apa yang gue dapat? Penyesalan.
Kho benar, gue harus dewasa.
No comments:
Post a Comment