Sunday, July 13, 2014

PARASIT LAJANG : SEMUA ORANG PUNYA CINTA

PARASIT LAJANG : SEMUA ORANG PUNYA CINTA



Aslinya gue nggak ada niat mau bikin review novel Si Parasit Lajang karyanya Ayu Utami. Biarpun gue ini salah satu penggemarnya. Kalau dibilang fanatik, enggak juga. Gue cukup disebut penggemar, itu saja. Tanpa embel-embel.

Kenapa harus Parasit Lajang? Kenapa bukan novel-novel Ayu Utami yang lain?

Jawabannya simpel. Karena dalam buku ini ada beberapa pemikiran gue juga. Jadi, ada pemikiran kita yang sama dalam memandang suatu pernikahan, tapi ada beberapa hal lain yang enggak.

Salah satu contoh kesamaan pemikiran kita adalah, dalam pemikirannya Ayu Utami: Pernikahan itu terlalu patriarkal. Bahwa lelaki itu superior. Itu ditunjukkan pula oleh undang-undang yang kurang memihak pada istri.

Menurut gue, Ayu Utami hanya melihat pada dua sisi, yaitu: Undang-undang dan sistem Patriarki yang sangat nggak dia sukai.

Sekali lagi, ini hanya menurut gue. Murni dari pandangan gue setelah baca bukunya.

Kalau gue, mungkin gue nggak segitu memandang secara cerdas tentang Undang-undang perkawinan. Karena Undang-undang itu memang penuh masalah. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bahkan semasa gue kuliah, mulai dari Dosen Pengantar Hukum Indonesia sampai ke Dosen Acara Perdata, mereka kompak bilang kalau Undang-undang itu begitu banyak celah dan masalah. Siapa sih yang udah bikin Undang-undang super konyol itu? pasti orang-orangnya juga konyol.

Mungkin, seiring dengan perkembangan jaman, pernikahan itu sudah mengalami banyak transformasi sosial maupun privasi. Makanya, Undang-undang itu jadi kelihatan konyol di mata seorang Ayu Utami yang notabene terkenal sebagai cewek cerdas.

Balik ke gue lagi. Gue nggak segitu peduli sama yang namanya Undang-undang perkawinan. Toh, setelah kawin, jarang ada suami maupun istri yang mikir soal undang-undang tertulis yang mengaturnya. Yang mereka pikir biasanya (menurut gue) ijab – kawin – beranak – punya anak – move masa depan. Nggak ada ceritanya mereka berkutat mempelajari undang-undang perkawinan dan segala tetek bengeknya. Bukan mereka nggak memandang cerdas pada sebuah peraturan tertulis yang baku nan ruwet, tapi karena hidup ini adalah bekerja keras demi keluarga.

Banyak hal yang gue tangkap dalam buku Si Parasit Lajang ini. Terutama bagi gue, seorang cewek yang sampai usia segini masih juga belum kepikiran soal nikah.

Teman-teman gue semua udah nikah. Ada juga yang belum. Tapi hanya segelintir. Selebihnya, mereka semua sudah punya anak juga, bahkan ada yang sudah nikah sampai tiga kali segala. Kadang gue sulit ngebayangin juga sih. Itu temen gue yang dulu polosnya minta ampun, eh pas udah nikah ternyata kawin-cerai. Lalu apa yang dia cari sebenarnya? Apa gunanya nikah kalau kemudian cerai?

Sebagai anak yang tumbuh dari keluarga broken home dan sekian  lama menjalani hidup nomad, berpindah tangan. Dari tangan satu ke tangan lain yang mau mengampu. Gue banyak melihat bentuk-bentuk pernikahan yang pada akhirnya ngasih gue pandangan tentang apa itu pernikahan dan pernikahan seperti apa yang gue mau.

Sama seperti halnya dengan Ayu Utami, gue juga nggak terlalu suka sama sistem patriarki. Nenek gue adalah korban dari sistem itu. Ibu gue juga. Tapi, Ibu gue adalah wanita yang paling cepat belajar dari keadaan. Ibu gue mungkin aja kebalikan dari Ayu Utami yang nggak suka (bahkan eneg) sama sistem patriarkal. Ibu gue adalah wanita yang netral. Dia nggak pernah memusingkan soal patriarkal atau matrialkal. Ibu gue dengan sadar diri menjadi wakil dari kepala keluarga. Dia menjalani perannya dalam keluarga dengan sebaik mungkin. Tapi bukan dengan cara diam. Ibu gue bukan orang yang suka diam dan dia bukan wanita yang gampang diatur. Ibu gue, bertindak, karena dia harus bertindak. Dan Ibu gue menunjukkan kecerdasannya di mata ayah gue (suami baru). Dan juga bokap gue (mantan suami).

Kalau boleh gue bilang, Ibu gue wanita terhebat yang pernah ada. Sama seperti Ayu Utami yang nggak bisa lepas dari pesona Ibunya, maka gue juga.

Ibu gue menganggap netral yang namanya cinta. Bisa jadi karena waktu dia muda (padahal sudah punya anak, yaitu gue. Cuman aja gue ada di kampung, jadi Ibu gue bisa bebas ngaku lajang di Ibu kota. Gue nggak nyalahin Ibu soal ini. Semua orang berhak punya cinta) Ibu gue sudah kenyang sama yang namanya pengalaman pacaran atau mengenal seluk-beluk cowok. Jadi dia nggak segitu berpengaruh sama yang namanya dongeng cinta sejati yang begitu banyak diidam-idamkan oleh kaum perawan.

Ibu gue juga muak dengan konsep patriarkal. Karena itu, ketika dia berada di Ibu Kota, meskipun dia bisa mengaku lajang, tapi dia nggak melakukan itu. Dia bilang ke semua cowok yang suka sama dia kalau dia sudah punya anak. Tentu saja nggak semua cowok percaya kalau dia sudah punya anak. Tapi begitu cowok-cowok yang mendekati dia itu dikasih lihat muka dan bentuk gue yang kucel kayak belalang asap, sebagian dari mereka mundur teratur. Tapi sebagian ada yang maju. Tapi hanya satu yang benar-benar berjuang dengan modal nekat sampai mereka jadi suami-istri, yaitu bokap tiri gue. Yang sampai detik ini gue panggil dia AYAH.

Ketika berumah tangga dengan Ayah, Ibu gue nggak kayak Ibu-ibu yang lainnya yang manut dan pasrah apa kata suami. Ibu gue, berusaha cerdas meskipun berada dibawah hirarki sebuah perkawinan. Menjadi seorang istri, Ibu gue dituntut mengikuti apa kata suami. Tapi, beruntungnya adalah, Ayah gue ini merupakan orang yang prodemokrasi. Dia memberi hak penuh pada Ibu untuk mengambil keputusan-keputusan penting kalau Ayah nggak ada.

Hidup nomad, ngajarin gue banyak hal. Banyak bentuk perkawinan yang gue lihat sejak gue kecil. Mulai dari bentuk patriarkal, hingga matriarkal. Mulai dari istri yang sering dianiaya suami, hingga suami-suami yang tunduk di bawah kaki istri. Tapi, lebih dari itu. Sebenarnya gue melihat lebih jauh dari apa yang seharusnya nggak gue lihat. Yaitu perselingkuhan.

Sembilan puluh persen orang-orang yang gue percayai (mereka sudah menikah) selalu melakukan perselingkuhan. Buruknya, perselingkuhan itu coba mereka lakukan dengan kerabat sendiri. Orang terdekat mereka—saudara dari keluarga pihak istri.

Banyak hal yang membuat gue nggak bisa percaya sama laki-laki. Tapi seperti layaknya lagu Megi Z: “tidak semua laki-laki bersalah padamu...”

Ya memang, tidak semua laki-laki bersalah sama gue. Malahan gue yang banyak salah sama laki-laki. Tapi hanya sebagian, selebihnya, mereka salah sama gue (gue nggak bisa bilang apa saja salah mereka. Nggak ada untungnya ngitung dosa orang).

Dari kesekian laki-laki, gue cuma percaya sama satu laki-laki saja sampai detik ini. Gue percaya sama dia. Itu saja.

Siapa dia?

Mantan gue. Meskipun bakal sulit dijelaskan, kalau mau bilang antara gue sama dia ini hubungannya masih rumit. Nggak bisa diperjelas. Nggak bisa dibahas. Bahkan kalau bisa, dilupain saja. Tapi gue nggak bisa. Soalnya gue sama dia sama-sama lagi menjalani yang namanya kebodohan—bisa disebut juga menghabiskan masa tua dengan sia-sia.

Gue nggak mau cerita banyak soal mantan gue. Yang jelas gue punya mantan. Itu aja. Titik.

Apa hubungannya sama parasit lajang?

Mungkin ada.

Di mananya?

Gue, sebelum ketemu yang namanya novel Parasit Lajang punya Ayu Utami ini, sering menyebut diri Parasit. Tanpa istilah lajang. Karena gue dulu nggak ada niat buat jadi lajang sampai usia 30 tahun.

Gue, pernah punya cita-cita mulia. Yaitu nikah  di usia 23 tahun. Masa itu udah lewat 3 tahun lalu. Sekarang usia gue sudah 26 tahun. Tepatnya Mei kemarin. Masa lewat 1 tahun dari target gue buat sukses. Gue pernah menargetkan, kalau gue harus sudah lulus kuliah dan sukses di usia 25 tahun. Tapi ternyata gagal. Gue terlalu lama ngulur waktu. Tepatnmya bukan ngulur, karena gue punya alasan. Alasan gue yang paling bisa diucapkan adalah, gue lagi belajar.

Belajar apa?

Gue belajar nulis.

Belajar nulis saja sampai segitunya?

Ya memang. Memang segitunya. Mungkin bagi kebanyakan orang, menulis itu suatu hal yang sangat sepele. Tapi gue baru menemukan jati diri gue justru ketika usia gue pas mantap di usia 25 tahun. Ironis memang. Mimpi gue sejak gue usia 10 tahun adalah gue mau jadi penulis. Prosesnya emang lama. Tapi itulah proses. Tergantung gimana cara kita menikmatinya saja. Dan gue memang menikmati itu. Proses belajar menulis hingga lupa waktu, lupa target, bahkan lupa skripsi.

Kenapa gue pernah target bakalan nikah di usia 23 tahun?

Karena di kampung, usia 23 tahun itu sudah mentog bagi mereka yang ngakunya perawan muda (seolah-olah kalau lewat dari usia itu, sari perawan bisa berubah ekstrak jadi nggak segar—mirip santan kelapa). Mereka harus cepat nikah di usia itu, karena kalau sampai lebih dari 23 tahun, lo bakal di cap sebagai PERAWAN TUA.

Tante gue, sering kali nyinyir  ke tetangga-tetangga gue yang punya anak perawan dan usianya sudah di atas 20 tahun. Dia selalu menyebut mereka perawan tua dan sudah waktunya buat nikah. Sementara, tante gue sendiri dikelilingi sama keponakan cewek (gue) yang waktu itu usianya lagi 20 tahun dan dua anak cewek Tante sendiri yang waktu itu masih SD dan TK.

Mungkin Tante waktu itu nggak sadar tentang yang namanya masa depan. Mungkin waktu itu Tante gue sudah sesumbar kalau keponakannya ini (gue) bakal dinikahi sama pacarnya. Tapi sayangnya, keponakan kesayangannya ini ditinggal pacarnya gitu saja tanpa sebab yang jelas. Gue sih mikirnya waktu itu, bisa jadi pacar gue muak sama tingkah keluarga gue yang sangat penuntut atau dia memang mendadak terserang alzeimer pas lagi pendidikan di Bali. Jadi pas pulang-pulang, dia lupa sama siapa gue.

Dulu memang nyeseg abis. Tapi sekarang sudah biasa. Karena kenyataannya, baik gue maupun pacar gue itu (gue sebut dia mantan aja, dari pada ribet) sama-sama belum nikah. Gue nggak tahu apa yang dia tunggu, tapi yang jelas, dia nggak mungkin nungguin gue. Ini bukan curhat!

Kalau alasan gue belum nikah, banyak. Mulai dari alasan rasional hingga irasional, gue punya semuanya—tapi nggak bakal gue bilang semuanya. Tapi yang jelas juga, gue nggak ada dendam sama cowok atau semacamnya sehingga gue menutup pintu hati rapat-rapat sama yang namanya cowok. Enggak. Gue masih waras kok buat milih cowok jadi pasangan gue. Sesuai dengan fitrah.

Tapi waktu gue kuliah dulu, beberapa tahun lalu. Gue pernah ditanya sama salah satu cowok yang dia naksir gue, sering telepon gue setiap malam buat manfaatin bonusan operator—tapi tetap gue terima teleponnya meskipun harus cekakak-cekikik di dalam kamar pas tengah malam.

Inisialnya R (aslinya, gue paling sering bermasalah sama cowok dengan inisial R. Rata-rata cowok-cowok yang deketin gue juga punya inisial R. Bahkan mantan gue juga punya inisial R).

R nanya gue, “kamu sudah punya cowok?”

Ini pertanyaan klise yang langsung nembak. Maksudnya langsung kena sasaran tanpa pakai tedeng aling-aling.

Waktu itu gue jawab, “gue nggak demen sama cowok!”

R bilang, “jangan gitu ah. Entar kejadian beneran loh!”

Dan benar saja—bukan gue berubah jadi penyuka sesama jenis. Hanya saja, gue sempat dibuat terpesona sama seorang butchi—yang pada akhirnya kita malah temenan akrab kayak saudara. Inisialnya H.

Lagi-lagi merujuk pada novel Si Parasit Lajang. Di sana juga terbahas soal homo.

Sedikit gue ngasih pemikiran gue nih. Dulu, gue belum begitu pintar beranalisa. Gue cuma mikir kalau homo sama dengan cowok vs cowok. Sementara yang cewek vs cewek namanya lesbi. Tapi, setelah gue bergulat dan berkumpul sama temen butchi gue itu, si H. Dia membuat pemikiran gue rada lurus. Mungkin tepatnya, gue banyak terpengaruh sama pemikirannya.

“Homo itu ya homo. Bisa merujuk pada gay atau lesbian. Homo itu ya penyuka sesama jenis. Kalau cowok vs cowok, itu disebutnya gay. Kalau cewek vs cewek, itu disebutnya lesbi. Itu kalau menyekat identitas orientasi seksualnya. Tapi di Jepang, homo itu sama dengan gay. Tapi aslinya kalau di pikir lebih jelas lagi, mereka menyebut istilah homo itu adalah untuk penyuka sesama jenis. Bukan gay aja. Tapi justru buat lesbian, mereka hampir nggak pernah nyebut istilah homo. Itu sebabnya, orang jadi menafsirkan kalau homo itu ya gay. Padahal salah.”

H, mengajari gue banyak hal tentang dunia yang tadinya nggak pernah gue sentuh sama sekali. Dunia yang tadinya dipandang tabu  bahkan terkutuk oleh kaum yang mengaku orientasi seksualnya waras.

Gue pikir, gue dulu bakal takut, lalu kabur begitu punya teman lesbian. Ternyata biasa saja. Tanpa gue sadari, pemikiran waras gue dengan lantangnya bilang dihadapan H, “gue berteman sama elo, karena memandang elo sebagai manusia. Terlepas dari identitas seksual lo. Gue nggak peduli sama sekali. Mari kita berteman dan memperindah pertemanan kita karena kita adalah manusia sosial yang menyukai  pertemanan. Bukan manusia sosial yang saling merendahkan.”

 Gue ngomong kayak gitu, karena terkadang banyak orang yang merendahkan martabatnya sebagai seorang butchi, tanpa mau memandang status kemanusiaannya.

Bagi mereka yang ngaku fanatik religi dengan dalil-dalil kitab suci, jelas menyebut orang-orang kayak H adalah manusia terkutuk, karena dia termasuk dalam golongan kaum Nabi Luth dan Nabi Nuh. Seolah-olah kalau kita dekat sama dia, kita bisa ketularan dosa. Mungkin dosa itu bisa mewabah. Tapi apa kita nggk bisa menghargai hak hidupnya sebagai manusia yang punya derajat sama dengan kita (yang ngaku orientasi seksualnya benar) di hadapan Tuhan? Toh urusan dia terkutuk atau bukan kan itu sama sekali bukan masalah dan urusan kita. Itu urusan dia sama Tuhan. Kita cukup berteman saja secara wajar. Kalau nggak mau berteman, ya jangan menghina atau mencaci dan menganggap diri paling benar dan nggak punya dosa. 

Dalam satu sisi juga, Banyak yang memandang dia aneh dan sering pula menyebut dia banci. Banci adalah kategori tidak jantan. Biasanya merujuk pada istilah waria.

Sementara butchi? Dia juga adalah waria—menurut gue. Kepanjangan dari waria ya WANITA-PRIA. Mau dibolak-balik, tetap saja sama. Meskipun ada istilah tandingan, PRIAWAN. Yaitu PRIA-WANITA. Kalau dibolak-balik, tetap sama saja toh? Banci. Bencong. Belok. Koleb.

Oke, untuk hal di atas itu, yang mengaku anak LGBT boleh lah langsung nyantet gue kalau memang salah. Karena menurut gue, itu cuma perkara membolak-balik logika plus estetika dan membuat sebuah pembenaran-pembenaran baru saja.

Lebih dari itu, gue masih sahabat H dan kami akan selamanya berteman tanpa peduli dengan sekat identitas itu. Anggap saja, ini salah satu contoh bentuk prodemokrasi gue. Tapi H malah sering nyebut gue liberal. Aslinya, gue nggak segitu banyak paham mana bagian gue yang lagi demokratis atau mana sisi gue yang liberal.

Kenyataannya, gue masih juga menolak diadakannya hukum yang mengatur tentang perkawinan sejenis di negeri ini dan gue menyuarakan itu di hadapan H dan teman-temannya.

“Gue menghargai kalian dengan identitas seksual yang sudah kalian pilih. Tapi gue nggak setuju kalau di negeri ini ada perkawinan sejenis. Alasannya banyak. Sudah jelas sekali kalau negara kita ini bukan liberal dan norma yang tertanam di negara ini sangat  kental. Anggap saja pemikiran gue masih konservatif, tapi begitulah kenyataannya, anak muda di negara kita masih jauh dari yang namanya kelayakan untuk menerima ‘persaingan’ bebas dunia kapitalis.”

Kalau ngomongin hal yang di atas itu memang rada lucu sih, karena kenyataannya, gue lagi proses nulis satu kisah tentang teman dari H yang juga seorang butchi. Gue juga nulis novelet trilogi VIOLEY yang gue post di blog ini juga. Gue juga punya koleksi novel yang rata-rata nyeritain tentang lesbian juga. Bahkan ada satu novel yang sampai detik ini ngiler banget pengen gue dapetin tapi gue nggak tahu lagi harus nyari kemana. Karena itu novel kayaknya nggak bakal di copy lagi: DICINTAI JO miliknya Albertine Endah.

Lucu kan, diam-diam gue baca novel dengan kisah-kisah lesbian. Terlepas kisah-kisah itu bercerita sesuai kenyataan atau hanya sebuah fantasi yang dibuat penulisnya belaka. Tapi yang jelas, gue  nguber kisah-kisah kayak gitu. Karena apa? karena  gue pengen jadi penulis dan gue nggak mau berkutat hanya dengan buku-buku ‘suci’ saja.

Korelasi antara Si Parasit Lajang à H à R (mantan) à Ibu, semua ada hubungannya.

Coba gue urai dengan sangat sederhana:

Kalau ada orang yang nanya, kenapa gue masih lajang dan belum juga nikah?

Jawabannya ada banyak:

1.                        Gue nggak punya calon dan gue paling benci sama yang namanya DIJODOHIN.

2.                       Gue lagi menunggu sesuatu (untuk alasan yang ini, gue nggak bakal cerita. Yang jelas, orang pasti mikir kalau gue nggak rasional)

3.                       Gue belum sukses.
Kenapa harus nunggu sukses? Bukannya nanti juga bakal nikah? Berkeluarga, kan?

Tinggal sama suami juga pasti dia yang bakal ngasih sebagian penghassilannya dan kita nggak perlu repot-repot mikir kerja.

Iya, memang. Tapi coba lihat sekeliling kita. Semua kapitalis. Kalau kita nggak melihat itu secara kapital, bisa jadi kita bakal skak mat dan jalan di tempat tanpa bisa move ke kehidupan selanjutnya. Karena hidup butuh sandang, pangan dan papan. Iya kalau gaji dan tabungannya terjamin sampai tujuh turunan... kalau enggak?

Belum lagi kita harus membiayai anak yang kelak pasti juga sekolah. Kebutuhan di masa depan, jelas semakin mahal. Kalau kita nggak berpikir buat sukses (meskipun gue cewek), gue takut bakal banyak masalah keluarga yang timbul cuma gara-gara masalah ekonomi. Karena, gue nggak mau bergantung ekonomi sama suami. Gue harus punya penghasilan sendiri. Buat jaga-jaga. Aslinya, gue belajar ini dari R (mantan) dan Ibu gue. Cewek itu harus fight.

4.                       Sebagai korban dari keluarga broken home, jelas gue paling takut dan benci sama yang namanya perceraian. Ini jujur.
Gue cuma mau nikah sekali untuk seumur hidup. Bukan menikah untuk bercerai. Lagian, siapa juga yang mau nikah cuma buat cerai? Gue  yakin, semua orang yang berpikiran waras, pasti menginginkan pernikahan yang menganut asas monogami. Dengan alasan yang konkrit dan semua itu dilakukan karena ibadah. Demi Tuhan.

5.                       Menikah membutuhkan komitmen.
Aslinya gue nggak segitu ngerti juga sih sama komitmen dalam rumah tangga. Toh buktinya masih banyak juga orang berumah tangga yang tadinya mengagungkan pernikahan dan berjanji untuk saling komitmen, tapi ujung-ujungnya malah banyak yang selingkuh. Alasan halusnya, karena masing-masing sibuk kerja. tapi alasan kasarnya adalah bosan dengan pasangannya (yang katanya ngaku selalu ketemu 24 jam, padahal aslinya belum tentu selalu ketemu 24 jam, karena waktu kita lebih banyak berada di tempat kerja atau di kemacetan jalan—bersama dengan orang lain,  bukan dengan pasangan atau keluarga)

6.                       Gue nggak tega ninggalin Ibu gue sendirian
Alasan ini rada klise memang. Gue selalu menggunakan nyokap sebagai alasan. Padahal aslinya, gue rada ngeri kalau harus tinggal bareng mertua.

Terus terang, gue bukan orang yang gampang bergaul. Tapi kalau gue sudah bergaul, gue pasti menganggap orang yang gue gauli itu (baca: teman) adalah saudara gue, bahkan keluarga gue. Tergantung bagaimana lingkungan baru itu bisa menerima gue. 

Karena hal yang paling gue benci dari dunia luar adalah adaptasi. 
Gue paling benci bertemu dengan lingkungan dan suasana baru. 
Meskipun gue mengaku nomad, tapi gue selalu didampingi dengan orang-orang terdekat gue sehingga gue masih merasa ada yang melindungi.

7.                       Gue mau diterima apa adanya.
Tentang hal ini, ternyata bukan cuma gue saja yang ngerasa begitu. Bahkan adik angkat gue juga mau diperlakukan seperti itu. Adik angkat gue cowok dan usianya 24 tahun. Usia yang hampir sama dengan adik gue yang satu bapak sama gue. Dengan usia yang sama dan kelamin yang sama, ternyata mereka juga mengharapkan pendamping yang punya kesadaran sama. Mencintai pasangannya apa adanya. Ah... kita bicara cinta!

Kalau gue, pengen pasangan gue menerima gue apa adanya karena gue punya banyak banget kekurangan dan gue nggak mau, kekurangan gue itu menjadi tuntutan di masa depan. Kekurangan gue, bisa ada di fisik dan bisa ada juga di mental gue.

Sementara menurut adik angkat dan adik satu bapak sama gue. Mereka berpikir kalau banyak cewek masa kini yang matre. Nggak munafik sih, gue sendiri kalau ngelihat cowok yang banyak duitnya memang selalu ngerasa kalau mereka mendadak kelihatan ganteng, meskipun aslinya tonggos atau bahkan juling sekalipun.

Waktu gue bilang sama mereka: “tergantung di mana kalian menemukan wanita itu.”

Gue berusaha sok bijak dengan ngomong kayak gitu, tapi mereka pesimis. Mereka tetap beranggapan kalau cewek cakep itu pasti matre. Karena mereka harus membiayai perawatan kecantikan mereka, dan ini, dan itu. Akhirnya malah menghabiskan anggaran rumah tangga. Yang harusnya bisa buat tabungan masa depan anak, tapi malah habis buat pergi ke salon kecantikan langganan istrinya.

Kalau begitu yang jadi pemikiran mereka, gue menyarankan sama mereka: “Nikah aja sama pemilik salon kecantikan. Enak kan, nggak perlu dibiayai lagi masalah salonnya! Jadi, satu masalah kelar perkara.”

Nah, kan... itu sebabnya gue nggak mau buru-buru nikah. Bahkan saudara gue satu bapak dan saudara angkat gue saja berpikiran kalau tabungan di masa depan itu penting.

Itu sebabnya, gue mau sukses dulu, biar gue nggak kelihatan matre di mata para cowok atau orang yang mau menjadikan gue istri.

Tapi pada akhirnya, banyak orang yang kenal gue berasumsi kalau gue nggak buru-buru nikah bukan lantaran 7 hal di atas. Tapi karena:

1.                        Gue trauma sama perceraian orang tua gue.
Aslinya masalah kayak gini nggak segitu berdampak juga sih sama gue.  Soalnya tergantung sama kesadaran kita sendiri aja. Masalah perceraian itu memang menimbulkan korban, anak yang jadi korban. Jelas. Tapi aslinya yang lebih nggak gue sukai itu adalah, asumsi orang luar yang menganggap anak broken home itu pasti kacau pakai balau. Pokoknya hancur dan derajat sosialnya setara sama anak-anak badung, gelandangan, bahkan perek sekalipun yang ada di luar sana. Karena apa? karena anak-anak broken home ini di anggap nggak terdidik sama orang tuanya.

Gue sering dipandang kayak gitu sama orang lain. Minimal gue masih mendapat belas kasihan dari mereka yang ngelihat kalau gue ini anak broken home. Padahal aslinya gue biasa aja sih.

Perceraian kedua orang tua gue itu nggak pernah jadi masalah buat gue. Toh yang tahu alasan kenapa mereka bercerai itu ya gue dan keluarga gue.

Ibu gue berhak bahagia dari hasil perceraian itu (Ibu gue adalah korban sistem patriarkal). Meskipun lingkungan menuduh gue yang jadi korban.

Padahal sebenarnya, gue paling kasihan sama orang yang mikir kalau anak hasil broken home itu pasti salah kaprah. Nggak terdidik dan berkelakuan nggak wajar (Itu mah tergantung bocahnya aja. Kalau bocahnya labil, ya jelas dia  bakal bikin sensasi. Tapi gue beda lagi. gue nggak ada waktu buat labil).

Balik ke orang yang mandang gue kasihan. Aslinya gue kasihan balik sama dia, karena dia nggak pernnah ngerasain apa yang gue rasain. Jadi solusinya, mendingan dia ngerasain apa yang gue rasain dulu. Baru deh tahu, apa yang enak dan nggak  enak dari yang namanya broken home. Jadi dia bisa berasumsi sendiri, mau kayak gimana dia membentuk masa depan anaknya kelak.

2.                       Gue trauma sama cowok gara-gara pernah ditinggalin gitu aja sama mantan.
Sebenernya nggak juga sih. Meskipun gue sering gagal membina hubungan setelah gue putus dari mantan gue, aslinya gue nggak segitu terpengaruh juga. Gue lebih cuek dan gue lebih banyak menikmati masa muda gue sekarang. Karena pacaran itu cuma mengganggu waktu. Mengganggu waktu gue sama teman, mengganggu waktu gue sama keluarga dan mengganggu waktu belajar gue. Jadi, aslinya gue bersyukur nggak bisa pacaran lagi.

3.                       Sebagian teman kampus gue mikir kalau orientasi seksual gue mulai mengarah ke jalur yang ngawur.
Ini gara-gara gue temenan sama H. Orang yang tahu gue temenan sama dia, jadi mikir kalau gue punya orientasi seksual yang salah. Padahal, gue cuma temenan sama H. Kita sahabat. Biarpun orang lain nggak percaya, gue nggak peduli juga sih.

4.                       Nggak bisa mandiri. Karena udah keenakan tinggal sama orang tua.
Seperti apa kata Parasit Lajang. Tinggal sama orang tua memang nggak harus mikir soal uang belanja, nggak mikirin tagihan listrik dan air, nggak mikirin pajak dan nggak mikirin ngasih makan anak. Bahkan nggak perlu repot2 bagun pagi cuma buat bikinin sarapan suami.

Tapi beberapa waktu lalu gue sempat bilang sama sahabat-sahabat gue di SHB. Gue bilang sama mereka, “guys, gue mau kencan sama Y!”

Beberapa waktu lalu, gue memang lagi mengincar salah satu cowok yang tipe gue banget. Inisialnya Y. Dia kelihatan bukan tipe cowok penuntut dan lumayan humoris. Gue suka sama cowok humoris dan nggak penuntut. Dia juga kelihatan lebih dewasa dibanding gue. Itu sebabnya mungkin dia nggak jadi cowok penuntut.

Dan gue adalah tipe cewek agresif, katakanlah gitu. Soalnya gue lebih milih nembak cowok duluan ketimbang ditembak cowok duluan. Kalau yang nembak gue itu cowok yang gue demen, pasti gue mau (contoh kasusnya kayak jaman gue sama R—mantan dulu waktu SMA). Tapi kalau gue ditembak sama cowok yang gue nggak suka, apalagi udah gue anggap sahabat, gue pasti langsung ngibrit. Bingung jawabnya, Bro. Entar jadinya malah simalakama. Iya kalau itu cowok tipe yang dewasa dan gampang melupakan ‘masa lalu’. Tapi gimana kalau dia labil dan ngarepin gue terus (meskipun gue merasa nggak pantes juga sih di harapkan secara berlebihan), bisa-bisa gue bikin dosa anak orang. Soalnya gue udah bikin dia lupa sama Tuhan dan yang dia ingat itu malah gue terus.

Oke, balik lagi masalah kencan gue sama Y.

Yang jelas, akhirnya gue nggak jadi kencan. Soalnya gue mendadak merasa takut buat menghubungi Y. Meskipun waktu itu Y udah ngasih sinyal kalau dia juga lagi single. Tapi, malah gue yang ngebatalin duluan. Alasan gue waktu itu, gue nggak enak badan. Padahal aslinya, gue mendadak ragu sama diri gue sendiri. Lebih tepatnya, minder lah. Karena ya itu  tadi, gue takut dia nggak bisa terima gue apa adanya. Padahal gue udah dengan pedenya mau nembak dia.

Tiba-tiba gue terbayang sama sesuatu yang berbau pernikahan. Pikiran gue waktu itu rada kejauhan. Kebablasan.

Gue mikirnya gini:

Kalau gue jadi kencan sekarang sama Y. Terus kita jalan. Terus jadian. Terus pacaran. Habis itu Y memutuskan buat ngelamar gue. Terus gue harus jawab apa? gue harus berekspresi kayak gimana?

Itu pikiran konyol gue. Karena mendadak gue membayangkan jadi istrinya Y dan kami hidup dalam satu atap. Nggak ada ibu gue, nggak ada ayah, nggak ada adik-adik gue yang berisik kayak pasar malam. Yang ada cuma gue sama Y. Terus ngapain?

Aaa... gue parno. Jantung gue mendadak kebat-kebit. Mungkin itu yang namanya kalau dunia hanya milik berdua. Gue dan Y. Waktu itu R terlupakan sejenak. Tapi kemudian bayangan R balik lagi buat gangguin fantasi gue sama Y yang lagi asik berdua.

Tiba-tiba gue teringat sama R (mantan). Kalau gue sama Y, itu artinya gue harus melupakan R. Apa Y juga punya mantan kayak gue yang punya R dengan status hubungan yang awet ruwetnya?

Apa yang bakal R lakukan kalau ngerti gue bakal milih Y yang ternyata adalah jodoh gue? Kira-kira gimana ekspresi R kalau tahu gue bakal nikah sama Y, cowok yang nggak R kenal sama sekali sebelumnya? Apa R juga bakal nikah sama cewek yang dia temui kemudian hari?

Lalu bayangan H juga ikutan muncul, tapi cuma buat ngasih selamat ke gue. Soalnya gue nggak jadi kayak dia dan gue udah lulus dari Akademi Parasit Lajang. Gue bisa merid dan gue punya Y.

Tapi sayangnya. Itu cuma khayalan seorang parasit lajang kayak gue.

Pada kenyataannya, kemarin Mei. Tepat mendekati hari ultah gue yang ke-26. Tepat banget sama even Ennichisai di Blok M. Dan niat gue waktu itu adalah, gue pengen ngajak Y jalan keluar—kalau bisa nembak dia sekalian di even itu—kali ini gue mantab 100%. Gue sih pengen berasa rada romantis aja nembak cowok yang gue suka di even gede nan rame. Terus kita jalan-jalan berdua kayak sepasang kekasih di jepang sono yang hang outdi acara bunkasai. Tapi, ngayal ya tetap saja ngayal.

Kenyataanya, pas gue ketemu Y tepat sebelum hari H even Ennichisai. Gue lihat Y datang gandeng cewek pas nemuin gue. Ternyata itu ceweknya Y. Dia baru saja jadian beberpa minggu lalu. Sial, gue telat!

Even akhirnya berjalan apa adanya. Tanpa Y yang menemani gue. Tapi gue tetap puas dengan even itu, karena gue ngumpul sama semua teman-teman gue yang datang dari jauh. Kayak lagunya SADEN: “Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku (sayangnya, bahkan gue belum sempat jadian sama Y), masih banyak teman-temanku di sini menemaniku...”

Di Ennichisai tanpa Y, gue malah menggila sama anak-anak. Dan gue lupa umur... dan gue lupa kalau gue hampir punya uban... dan gue hampir nggak ingat kalau gue ini parasit lajang.

Setiap gue gagal membina hubungan (aslinya gue selalu gagal, bahkan sebelum bisa membina sebuah hubungan yang namanya pacaran), gue selalu pulang ke rumah dengan keadaan lemas, letih, lesu, lunglai dan linglung. Gue pulang ke haribaan Emak. Sambil mengenang R yang sudah lama nggak gue tahu kabarnya. Dan mengingat H dengan ribuan wejangannya tentang dunia ‘sebelah’ yang ditinggalinya. Dan kemudian, gue pulang ke SHB = Sekte Hati Beku—ke pelukan sahabat-sahabat gue yang selalu menerima gue apa adanya. Membekukan hati dari segala macam bentuk cinta-cintaan cengeng yang pada akhirnya nggak bisa gue jalani.

Pacar terakhir gue tetaplah R Sang Mantan yang awet ruwetnya. Selain itu nggak ada sama sekali. Bahkan hingga detik ini, R sama sekali nggak terganti dengan apapun dan siapapun. Setiap kali gue berniat ganti suasana dan mencoba hubungan baru sama seseorang, bayangan R selalu mengganggu. Gue selalu mikirin dia. Apa dia juga lagi mencoba hal seperti apa yang lagi gue coba? Apa R udah bisa nyoba pacaran sama cewek lain selain gue?

Kenyataannya, gue sama sekali nggak pernah bisa mau percaya kalau R berusaha pacaran sama cewek lain selain gue. Gue selalu percaya, kalau satu-satunya cewek penghuni hatinya itu cuma gue. Nggak ada yang lain.

Ketika gue mikir kalau seandainya R punya cewek lain yang dia suka, nggak tahu kenapa tiba-tiba gue selalu mengutuk R dengan sebutan JAHAT. Padahal, R juga manusia. Dia juga cowok yang pasti juga punya keinginan berpasangan sama lawan jenisnya. Iya, akan lebih menyenangkan dan melegakan kalau R bisa menemukan pasangan dan membina hubungan dengan lawan jenisnya. Dari pada dia harus berpasangan dan membangun hubungan dengan sesama jenisnya.

Lagi-lagi gue teringat sama H yang sering ngeledekin gue kalau lagi naksir sama cowok. Dia selalu bilang kalau cowok yang  gue taksir itu pasti gay. Buktinya, mereka nggak pernah ngasih respon balik ke gue. Kalaupun ada respon, pasti responya selalu bersikap memanfaatkan. Itu yang gue benci dan kasusnya sudah banyak.

Gue nggak mau cerita siapa saja cowok-cowok itu. Tapi kenyataannya, mereka memang nggak pernah tertarik sama gue karena gue cewek. Tapi tertariknya malah sama temen gue yang cowok. Itu sebabnya H selalu bilang kalau beberapa persen cowok yang gue suka itu gay. Meskipun kadang gue nggak mau percaya kalau di sekitar gue ada gay.

Gue percaya ada gay di sekitar gue ya sejak gue temenan sama H. Dia ngasih gue klasifikasi gay. Meskipun gue nggak mau percaya sama teorinya mentah-mentah. Karena orientasi seksual itu nggak bisa ditebak dengan mata telanjang. Apalagi di tempat yang sarat norma seperti lingkungan gue. H adalah pengecualian. Dia bisa menembus penghalang dan batasan yang dibuat lingkungan gue, bukan karena dia kuat, tapi karena gue yang ngajak dia masuk dan menembus batasan itu.

Gara-gara gue yang sering kesusahan melupakan bayangan R setiap kali pengen deketan sama cowok lain, pelan-pelan gue diterapi sama H. Dengan berbagai cara dia membuat gue lupa sama yang namanya R. Bukan dengan hipnoteraphy. Tapi dengan cara-cara yang nggak masuk akal. Bukan dengan terapi homo. Justru H menjauhkan gue dengan dunianya dan segala macam pengaruh buruk yang bakal gue terima kalau gue terlalu banyak bergaul sama orang-orang kayak dia.

Dia percaya, orang bisa jadi homo karena lingkungan. Bukan karena keturunan. Gen sama sekali nggak ambil peran dalam orientasi seksual seseorang—meskipun ada sih beberapa. Tapi dikit. Meskipun gue masih tetap pengen belajar banyak tentang orintasi seksual. Meskipun H ini orang yang pintar, tapi gue nggak mau dipintari dengan cara yang mentah.

Tapi pada akhirnya, gue tetap pengen nikah. Meskipun gue mengaku masih nggak mau nikah dengan 7 alasan standart yang udah gue kemukakan.

Belakangan ini, gue pengen nikah karena menyadari banyak hal yang terjadi dalam kehidupan gue. Tentu saja R, H dan Ibu berpengaruh dalam hal ini.

1.                        Gue pengen nikah karena gue pengen punya anak.
Gue iri sama teman-teman gue yang sering pamer anak-anaknya di FB. Dengan riangnya mereka menyebut anak-anak mereka ‘jagoan neon’. Teman-teman cowok gue yang ada di SD, SMP dan SMA—yang tadinya gue anggap nggak berguna, ternyata bisa juga menghasilkan ‘buah karya’.

Mereka punya anak, jadi bapak, sayang keluarga. Sulit dibayangkan kalau dulu mereka bandel banget dan sering berantem sama gue. Ada juga beberapa dari mereka yang selalu menghina gue dan menyebut gue ‘aneh’.  Ternyata gue memang aneh. Buktinya, gue belum mau nikah juga sampai detik ini. 

2.                       Gue pengen nikah karena gue nggak mau lajang seumur hidup.
Gue nggak mau lajang seumur hidup. Di tempat gue magang, ada seorang nenek-nenek yang usianya mendekati 60  tahun. Jalannya udah sempoyongan, tapi dia tetap bekerja gara-gara masa pensiunnya masih 2 tahun lagi. Dia masih tetap kenes, galak dan bermental senior—apalagi sama anak magang kayak gue yang notabene baru paham dunia lapangan kemarin hari. Tapi ada beberapa hal yang nggak enak terjadi sama nenek itu. Dia melajang sampai usianya 55 tahun.

Dia baru nikah dengan suaminya—suaminya juga udah kakek-kakek dan lebih tua dua tahun dari dia, kena stroke pula—suami orang pula. Jadi si suami ini kabur dari rumahnya gara-gara nggak dirawat lagi sama anak dan istrinya. Dia pergi ke rumah nenek ini lantaran mereka dulu cukup dekat, nggak jelas juga sebagai apa. Yang jelas, pendek kata. Mereka nikah dan mereka hidup jadi suami istri di usia yang sudah di ambang batas.

Kalau gue perhatiin, si nenek ini sering banget telepon-teleponan sama suaminya dan saling rayu. Manis banget sih kalau dengerin. Tapi bayangin deh. Ini nenek-nenek. Kalau yang saling rayu itu tante-tante girang model gue ini sama brondong, mungkin masih masuk tahap toleransi. Tapi kalau nenek itu... ya sudahlah... semua orang berhak punya cinta. Bahkan nenek itu dan suaminya juga.

Tapi yang jelas, romansa mereka harusnya udah berakhir sejak dua dekade lalu. Tapi ternyata... bahkan manula pun masih bisa bercinta. Yang manula yang bercinta...

Dan gue cuma bisa melongo kalau si nenek udah mulai ketawa-ketawa genit sambil godain suaminya, terus mereka sayang-sayangan. Sambil gue bayangin, suaminya yang stroke lagi pengan Hp dengan sebelah tenaganya yang setengah hidup. 

3.                       Gue pengen nikah karena gue nggak mau nyusahin orang tua gue seumur hidup.
Gue nggak mau nyusahin bonyok gue. Udah cukup sampai setua ini gue masih dibiayai kuliahnya. Bahkan gue kalah sama adik angkat gue yang bisa biayain kuliahnya dengan hasil keringatnya. Itu sebabnya, bonyok  gue sayang banget sama adik angkat gue gara-gara dia masuk kategori cowok lajang yang bisa diandalkan—lajang gesit. Sementara gue, lajang parasit.

4.                       Gue pengen nikah karena gue pengen ibadah.
Gue muslim, woy!

Nggak usah banyak ngasih dalil hadist atau ngasih dalil Al-Qur’an.

Yang jelas, nikah itu ibadah dan Nabi Muhammad juga menganjurkannya. Bagi mereka yang mampu. Gue masih belum mampu. Jadi gue masih belum masuk kategori siap nikah. Lagian, gue masih bisa kok menahan hawa nafsu. Gue nggak heboh-heboh banget kalau lihat cowok telanjang... dada. Tapi kalau ngelihat cowok telanjang semuanya, jelas gue langsung heboh. Langsung baca ayat kursi maksudnya. Biar setannya pergi!

Jadi, apa hubungannya sama Si Parasit Lajang. Ya itu hubungannya... gue ini Parasit Lajang...

Dan apakah gue bangga?

Bisa iya, bisa juga enggak sih.

Bangganya?

Gue masih bisa keluyuran rame-rame sama teman-teman—bagi yang mau berteman sama gue saja. Parasit lajang. Kalau nggak ada yang mau berteman sama gue gara-gara gue ketahuan sebagai makhluk parasit? Ya sudahlah... apa boleh buat. Gue bikin aja sekte baru. Persekutuan Single Parasit. PSP.

GUE PARASIT LAJANG, DAN GUE SETENGAH BANGGA!!!

“Gue tetap menganggap pernikahan itu sesuatu yang sakral. Bukan hanya formal. Tapi gue bukan cewek yang mengagungkan pernikahan. Gue tetap menganggap pernikahan itu sebagai sesuatu yang diperlukan dan dibutuhkan. Bukan berarti setelah nggak butuh, lantas kita bisa cerai. Tapi pernikahan diperlukan untuk menjaga kita dari hal-hal buruk sesuai dengan perintah Tuhan. Ini pandangan gue tentang pernikahan.”


-----FIN-----








No comments:

Post a Comment