Wednesday, December 18, 2013

Cerpen : MAMA MINTA BH

Cerpen
 MAMA MINTA BH



“Ma, beliin aku BH!”
Riska berbisik pelan di telinga Mamanya. Dengan sedikit terkejut, Mamanya melihat ke arah putrinya yang kini sudah berusia tiga belas tahun. Mata Mamanya mengarah ke bagian dada anaknya, sudah tumbuh kuncup di balik baju seragamnya. Mamanya langsung tersenyum.
“Iya, nanti Mama belikan.”
“Kata Fitri, nggak boleh pake BH dulu ya, Ma? Kata Fitri, di suruh pake Miniset dulu. Bener nggak sih?”
“Ntar mama ukur dada kamu.”
“Loh, kok di ukur? Emangnya lingkar BH ada ukurannya, ya?”
“Ya ada. Tergantung sama ukuran lingkar dada kamu.”
“Kalau kayak Riska gini, ukurannya udah berapa? Tiga puluh dua C? Tiga puluh empat B?”
Kening Mamanya berkerut. “Kamu tahu darimana itu semua?”
“Fitri sama temen-temen cewek Riska di kelas yang cerita. Katanya kalau yang paling gede itu tiga puluh enam. Big Boob!”
“Husshh!!” Mamanya tersenyum.
“Tapi kenapa Mama niat mau ngukur dada Riska? Fitri nggak pake di ukur tuh sama Mamanya. Dia langsung di beliin BH sama Miniset. Katanya biar bisa buat ganti. Temen-temen Riska yang lain juga udah banyak yang pake Bra. Cuma Riska doang yang pake kaos dalem...” ujar Riska dengan merengut.
“Ya udah, nanti Mama belikan BH sama Mini Set. Biar kamu bisa ganti buat olah raga.”
“Bener ya, Ma!”
Mamanya mengangguk serius. “Udah, berangkat sekolah dulu sana!”
Riska langsung meraih tas sekolahnya dan membenahi seragamnya lebih dulu. Tidak lupa dia meraih telapak tangan Mamanya dan menciumnya.
“Assalammualaikum!”
“Wa’alaikumsalam...” jawab Mamanya dengan bibir terkembang.

***

Riska melirik kesamping. Dimana Tania dan Irma sedang membicarakan  Selly yang duduk di bangku paling depan. Sayup-sayup Riska bisa mendengar percakapan antara Tania dan Irma. Mereka sedang membicarakan Selly yang seragamnya kelihatan tipis dan kaos dalamnya yang berwarna pink terlihat menerawang. Riska juga bisa mendengar dengan jelas jika Tania mengatakan bahwa Selly yang dadanya sudah besar itu tidak memakai BH. Lantas mereka berdua terkikik geli.
Kepala Riska tertunduk. Pelan-pelan matanya mengarah ke dadanya. Lalu pelan-pelan juga tangannya mulai menyentuh dadanya. Ada sedikit tonjolan disana.
“Kenapa?”
Riska terkesiap. Kepalanya menoleh ke samping, ke arah Fitri yang menjadi teman sebangkunya sejak pertama kali masuk SMP. Mata anak itu menatapnya bingung dan heran.
“Kenapa?” tanya Fitri lagi mengulang.
Riska menggeleng. “Nggak ada. Cuman aja... lo lihat nggak sih kalau dada gue udah gede? Kelihatan, nggak?” tanya Riska seraya menegakkan tubuhnya.
Fitri memperhatikan dada sahabatnya. “Hmmm... sedikit.”
Mata Riska terbelalak. “Menurut lo, gue perlu pake BH nggak sih?”
“Ya perlu lah. Meskipun nggak sekarang makenya. Tapi ntar juga harus pake. Cewek kok nggak pake BH!”
“Eh, tahu nggak. Irma sama Tania lagi ngomongin Selly, tuh. Katanya, Selly dadanya udah gede dan nggak pake BH. Masih pake kaos dalem.”
“Selly itu belum ngerti berapa ukuran BH yang cocok buat dia. Makanya belum mau pake BH. Alesannya banyak. Mulai dari takut sesak, takut gatel, takut aliran darahnya nggak normal dan macem-macem. Dia udah punya BH, kok.”
Riska manggut-manggut. Jelas saja Fitri tahu lebih banyak mengenai Selly, karena rumah mereka berdekatan. Badan Selly memang lebih bongsor di bandingkan murid-murid perempuan yang ada di kelas Riska. Dia juga jago olahraga dan sangat lincah. Tiba-tiba dalam kepala Riska memikirkan suatu hal mengenai Selly.
“Selly apa nggak risih ya. Badannya kan gede. Otomatis dadanya juga cepet numbuh gede. Udah gitu kalau lari-larian, apa nggak sakit tuh dadanya kalau dia nggak pake BH?”
Fitri tersenyum. “Lo sendiri BH-nya ukuran berapa? Kenapa lo nggak nyoba pake Miniset?”
Riska cemberut. “Gue udah minta sama  Mama. Katanya mau di beliin.”
“Pakai Mini Set aja dulu. Kayaknya lo masih belum butuh pakai BH. Ntar aja pakenya kalau udah gedean dikit dadanya!” ujar Fitri sambil menulis catatannya kembali.
“Jadi menurut lo, dada gue masih baby, gitu?”
Fitri mengangguk sambil menahan tawanya.

***

“Itu BH-nya. Coba dulu pakai!” seru Mama Riska begitu melihat anaknya pulang sekolah dan langsung ngeloyor ke kamar.
Riska segera meraih bungkusan kantung hitam dan mengeluarkan semua isinya. Ketika melihat benda-benda berbahan katun dan memiliki aneka warna itu, hati Riska langsung berbunga-bunga. Benda-benda itu memang sederhana, tapi terlihat sangat berharga di mata Riska. Seperti anak yang menemukan mainan baru, Riska langsung meraih sebuah BH dengan kuncup yang tidak begitu menggembung. Buru-buru di lepaskan pakaiannya dan langsung mencoba menempelkan BH itu di dadanya, kemudian di pakainya. Riska tersenyum melihat dirinya di pantulan kaca. Mirip orang dewasa. Kelihatan seksi. Dadanya tertutup dengan benda yang sangat menarik dan sakral di pakai semua wanita.
“Gimana? Pas?” tanya Mama Riska yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar.
Buru-buru Riska menutupi dadanya. Malu. “Mama bikin kaget, Iiihh!”
Mamanya tidak mempedulikan Riska yang sedang malu. Dia langsung menghampiri anaknya dan melihat bentuk dada anaknya dengan teliti.
“Bagus. Kamu suka?”
Riska mengangguk dengan muka yang merah padam. “Tapi kata Fitri, Riska make Mini set aja dulu.”
Mamanya tersenyum. “Emang lebih bagus make miniset dulu. Soalnya dada kamu belum kelihatan terlalu gede. Mungkin karena badan kamu yang kecil. Jadinya dada kamu masih belum begitu kelihatan gede. Pakainya ntar aja kalau kamu udah kelas tiga SMP.”
Riska melotot. “Hah, kelas tiga? Lama amat, Ma...”
“Loh, kenapa? Lagian dada kamu belum kelihatan gede, kok. Pakai Mini Set aja dulu. Nggak ada masalah. Sama-sama bisa nutupin dan kainnya nyerap keringat, kok!”
“Pakai BH aja, Ma...”
“Ntar malah kelihatan aneh, Riska. Mending mini set aja. Lebih nyaman buat kamu.”
“Gimana kalau pakai mini set dan dada Riska malah nggak numbuh?”
Mamanya tersenyum. “Ya pasti numbuhlah!”
Meskipun cemberut, akhirnya Riska menurut apa kata Mamanya. Besoknya, Riska pergi ke sekolah dengan rasa percaya diri yang penuh. Meskipun hari ini dia memakai mini set, tapi Riska merasa lebih nyaman dari biasanya. Ada sesuatu yang sangat ketat dan rapat menutupi dadanya. Dia merasa aman secara tiba-tiba.

***


Riska sekarang jauh lebih percaya diri. Bahkan ketika pelajaran olahraga di lapangan, Riska langsung bisa bergerak dengan lincah dan cekatan. Ketika ganti baju seragam di kelas, Riska menceritakan pada Fitri bahwa dia sudah hampir tiga hari ini memakai miniset dan rasanya lebih nyaman. Tapi sayangnya saat itu Fitri sedang tidak mood menanggapi ceritanya. Wajahnya pucat. Keringatnya mengucur banyak. Sejak pagi tadi dia lebih banyak diam.
“Lo kenapa, Fit? Mau ke UKS?” tanya Riska begitu mereka selesai ganti seragam. Tapi Fitri menggeleng dan malah sibuk memegangi perutnya. “Kenapa?” tanya Riska lagi. Fitri tetap diam dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lengannya yang tertangkup di meja. Kepalanya hanya menggeleng.
“Fit, lo PMS, ya?” tiba-tiba Irma datang menghampiri dan sudah berdiri di pinggir bangku Fitri.
Riska menatap Irma bingung. Dia tahu istilah itu. Tapi tidak pernah tahu bagaimana gejalanya secara nyata. Begitu melihat Fitri yang tersiksa, Riska langsung bingung dan merasa ngeri.
“Gue ada pembalut di tas. Lo mau?” tanya Irma lagi dengan penuh perhatian. Tiba-tiba kepala Fitri mengangguk.
Irma berjalan ke arah  bangkunya dan mengambil pembalut dari dalam tasnya. Ketika mendapati benda putih tipis itu, dia langsung menghampiri Fitri kembali dan menyerahkannya. Riska memperhatikan betul-betul benda putih pipih seperti kapas itu. Dia belum pernah memakainya, apalagi tahu bentuknya. Selama ini dia hanya tahu melalui iklan.
“Itu yang ada wings-nya, ya?” tanya Riska sambil menunjuk pembalut yang baru saja di terima Fitri.
Irma menggeleng. “Enggak, gue masih belum perlu yang pakai wings. Kan keluarnya masih sedikit. Baru permulaan.”
“Kalau udah bisa haid, itu artinya kita udah bisa hamil juga, ya?”
Irma mengangguk. “Kata Mama gue sih gitu.”
“Kalau orang haid, pasti jadi kayak Fitri gini ya?”
“Enggak juga, cuma sebagian cewek yang kayak gini. Gue dulu nggak pakai acara kayak Fitri gini. Tapi gue dulu secara tiba-tiba dan nemu flek di celana. Gue pikir itu apa, tapi setelah tanya Mama, ternyata itu haid. Haid pertama gue cuma sedikit. Jalan tiga hari, langsung kelar. Tapi banyak juga yang sampai seminggu.”
Riska pernah mendengar itu semua. Tapi sampai detik ini, dia sama sekali belum haid. Mamanya bilang, mungkin Riska akan mendapat haid pertama saat usianya empat belas tahun. Saat itu Riska bertanya pada Mamanya, apa ketika dia mendapat haid pertama nanti akan mendapat hadiah. Karena kalau di pikir-pikir lagi, haid itu sama dengan masa balig perempuan, sama seperti anak laki-laki ketika sunat. Anak laki-laki saja kalau sunat di kasih hadiah, kenapa anak perempuan yang mendapat haid pertama tidak pernah mendapat hadiah? Kalaupun dapat hadiah, pasti itu hanya softek.

***


Pagi-pagi subuh Mama Riska di kejutkan oleh suara teriakan anaknya dari lantai dua. Buru-buru Mamanya lari dengan masih menggunakan mukena selepass sholat subuh. Papa Riska ikut menyusul istrinya ke kamar anaknya. Ketika Mamanya masuk, Riska terduduk lesu di tempat tidur, matanya basah berair. Mukanya sembab. Raut wajahnya ketakutan. Selimutnya menutup rapat di pangkuannya.
Buru-buru Mamanya menghampiri dengan panik. “Kamu kenapa, Ris?”
“Mama...” Riska mulai mewek. “Aku berdarah...”
Mamanya langsung panik. Di dongakkan wajah anaknya. Di perhatikan hidung Riska baik-baik, tapi tidak ada bekas darah keluar dari sana. Papanya menghampiri.
“Apanya yang berdarah? Kamu kenapa?” Papanya ikutan panik melihat putri satu-satunya menangis tidak jelas sebabnya. “Dimana yang berdarah? Coba Papa lihat!” Papanya menggeser tubuh Riska.
“Iiih, Papa. Jangan!” tukas  Riska sambil mendorong papanya pergi. Papanya menatap bingung ke arah Riska. Tapi pandangan Riska langsung beralih ke arah Mamanya. “Ma... darahnya di pantat...” bisik Riska di telinga Mamanya.
Mama Riska memandang anaknya sekilas. Kemudian di bukanya selimut Riska hingga tersibak agak lebar sampai Mamanya bisa jelas melihat apa yang terjadi.
“Alhamdulillah... anak Mama udah dapet!” seru Mamanya kegirangan.
Papanya langsung bernafas lega. “Papa pikir apa. Kamu itu bikin panik aja!”
Riska menatap orang tuanya secara bergantian. “Aku berdarah, kok kalian malah Alhamdulillah, sih?”
“Riska, itu darah haid!” seru Papanya dengan wajah berseri.
Riska masih tertegun. “Tapi, aku kok nggak kesakitan kayak Fitri. Aku juga nggak ngerasain apa-apa waktu darahnya keluar?”
Mama Riska langsung tersenyum, begitupula dengan Papanya. Riska tambah menatap mereka dengan bingung.
“Anak Papa udah perawan, nih. Sebentar lagi pasti puber, kalau udah puber, pasti udah ngerti cowok ganteng, terus belajar pacaran deh!” goda Papanya sambil menowel dagu Riska.
Riska tersipu. Ada rasa malu dalam satu bagian dirinya. Tapi bagian lain dirinya merasa bangga. Senang. Karena itu tandanya dia perempuan normal. Bisa haid, yang artinya juga bisa punya anak. Sekarang dia sama status dengan teman-temannya yang kebanyakan sudah haid. Riska gembira. Karena dia sekarang berubah menjadi perawan. Itu tandanya, sekarang dia harus menjaga baik-baik dirinya dari pergaulan. Sebisa mungkin, dia tidak boleh sembarangan dan harus bisa mawas diri. Dunianya kini akan lebih berwarna.
 "Oh iya, siap-siap juga jerawatan, ya!" goda Mamanya ganti.
Mata Riska langsung terbelalak. OH NO!!!

 ----- END -----


No comments:

Post a Comment