Thursday, December 19, 2013

Cerpen : Di Atas Awan Komulus

Cerpen 
DI ATAS AWAN KOMULUS




Aku dan Ayah berlarian menuju Gate 7 tempat kami seharusnya sudah masuk ke dalam pesawat menuju perjalanan dari Bali pulang ke Jakarta. Tapi berhubung tadi salah Gate, terpaksa kami harus memutar dan mencari gate 7. Ini semua gara-gara tiket terkutuk itu. Harusnya aku dan Ayah sudah duduk manis di kabin pesawat sejak tiga puluh menit yang lalu. Tapi apa yang terjadi kini? Aku dan Ayah berlarian seperti orang kesetanan karena takut ketinggalan pesawat. Terpaksa  ku jinjing sepatu dan mencengkeram ranselku asal. Sedangkan Ayah? sayangnya dia sudah lari duluan. Meninggalkanku.
Seorang pramugari bertampang manis menyambutku begitu masuk kedalam kabin. Kulihat Ayah sudah duduk dengan nafas yang tarik ulur di seat nomor 12 A. Dengan geram aku menghampirinya dan langsung meletakkan ranselku di rak. Jengkel, kubanting pantatku di kursi dekat Ayah.
“Udah ketahuan  ya, kesetiaan ayah  itu sampai dimana!” omelku dengan jengkel meskipun dengan nafas yang sama kembang-kempisnya karena terlalu lelah berlari dari gate masuk ke kabin.
Ayah hanya nyengir dan memamerkan gigi putihnya di hadapanku. Aku tidak mempedulikannya, karena tatapanku langsung beralih pada rombongan Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang baru datang dan duduk berderet di kursi depan kami. Perhatianku beralih pada mereka yang menimbulkan sedikit keributan karena kesalahan seorang penumpang yang membeli tiket ilegal di dalam pesawat.
Seorang pramugari datang dari arah belakang dan langsung menghampiri Bapak-bapak yang sedang sibuk memaki dan menyuruh penumpang lain yang sudah berani menduduki tempatnya tanpa ijin itu. Padahal yang di marahi adalah seorang  anak gadis yang usianya sekitar dua puluh empat tahun. Anak itu mengingatkanku pada Amel. Anak gadisku sendiri. Aku meninggalkan Amel sendirian di rumah bersama dengan Dita dan Rafa, adik-adiknya. Aku harap Amel menjaga rumah dengan baik, sementara aku menemani suamiku datang ke acara pelantikan Ketua Pengadilan Negeri yang baru di Bali.
Belum puas bapak-bapak itu memaki anak gadis itu, bapak-bapak itu juga  langsung memaki pramugari yang tadi mendatanginya. Mengatakan bahwa pelayanan di Pesawat yang terkenal murah itu sangat tidak memuaskan. Bagaimana bisa tempat duduknya di jual pada orang lain sedangkan pemilik asli tiketnya datang bersama rombongan meskipun terlambat lima menit. Akhirnya anak gadis itu terpaksa di turunkan begitu saja. Aku menatapnya miris.
Meskipun sudah duduk di tempatnya, Pramugari itu masih juga di maki oleh bapak-bapak itu. Bahkan  tidak tanggung-tanggung, kali ini teman-temannya yang satu rombongan juga ikut memakinya. Termasuk Ibu-ibunya. Cacian mereka lebih kasar dari yang aku duga. Aku gerah sendiri. Ayah juga begitu, tapi kami hanya bisa diam. Tidak mau terlarut dalam permasalahan teknis itu. Bisa-bisa terjadi kasus pembunuhan berantai kalau kami ikut campur.
Setelah ada salah satu petugas lagi yang datang untuk meredakan emosi penumpang komplain itu, akhirnya mereka diam juga seiring dengan berjalannya pesawat. Aku dan Ayah langsung membaca do’a perjalanan, berharap Tuhan melindungi kami sampai di Jakarta dengan selamat.
Tapi ternyata perjalanan kami tidaklah  mulus. Cuaca buruk menerpa Bali. Entah sudah berada di berapa ribu kaki. Tiba-tiba saja mulai turbulensi. Semua awak pesawat mulai merasa tidak nyaman, begitu pula denganku. Aku paling benci saat pesawat menabrak awan komulus. Meskipun tidak berbahaya dan hanya menghasilkan gemuruh dan juga petir, tapi tetap saja, hal yang tidak aku suka adalah ketika pesawat turbulensi. Kepalaku langsung sakit karena getaran. Telingaku mendengung karena tekanan udara.
Kami pikir pesawat hanya bergetar sebentar. Tapi ternyata tidak. Cuaca buruk sangat mempengaruhi dan rasanya benar-benar seperti di film Flightyang di bintangi Denzel Washington. Dimana pesawatnya mengalami gagal mesin, kemudian terbalik dan jatuh. Melalui jendela kaca yang ada di samping ayah, aku rasa cuaca  di luar benar-benar buruk dan aku sangat tidak suka untuk melihatnya. Bisa kubayangkan, pasti kondisi pesawat saat ini seperti layang-layang yang putus tali benangnya.
“Yaa Allah... Yaa Allah... Yaa Allah...!!!”
Begitulah ibu-ibu rombongan yang tadi berisik memaki-maki pramugari pesawat. Mereka panik. Mereka menangis. Ada yang merapalkan do’a, ada  yang kebingungan ingin menelepon saudaranya, ada yang  menghawatirkan anak-anaknya, ada yang bingung dengan pekerjaannya, ada juga yang memikirkan harta bendanya. Beberapa dari bapak-bapak rombongan itu memanggil pramugari yang telat datang dan  minta bantuan untuk di pasangkan rompi keselamatan. Pesawat terus bergetar dan berguncang. Awan gelap terlihat sangat negerikan dengan cahaya yang berkilat-kilat di sisi kiri dan kanan. Meskipun lampu kabin tidak padam, tapi jelas terlihat semua awak sedang panik.
Ibu-ibu rombongan yang duduk di depanku  terus saja panik. Pramugari yang lain datang dan berusaha menenangkan mereka. Jelas terdengar di telingaku bahwa para Ibu-ibu itu meminta maaf karena sudah berlaku kasar pada pramugari-pramugari tadi. Begitu juga dengan bapak-bapak yang tadi. Mereka semua seolah bersiap untuk mati.
"Maafin kami ya, Mbak... maaf..." suara mereka memelas dengan derai air mata yang tak ada habisnya.
Aku sendiri juga panik. Ku cengkeram erat-erat bahu kursi yang ada di hadapanku. Berharap bisa meredakan goncangan yang sedang terjadi. Aku benar-benar panik, tapi berusaha untuk ku tahan. Sekelebat dalam benakku, muncul wajah anak-anakku sebelum  ku tinggalkan. Juga Amel, anak pertamaku. Tepatnya anakku dengan suamiku terdahulu. Sekarang aku sudah menikah lagi—empat belas tahun lalu, dengan laki-laki yang sedang duduk tenang tak terpengaruh dengan situasi sekitarnya.
Sejak duduk tadi, aku tidak begitu memperhatikannya. Hatiku sedang dongkol karena dia tadi sempat meninggalkanku. Bahkan sejak di perjalanan dari Hotel menuju ke Bandara, dia terus memarahiku karena tiket kami sempat terselip di koper. Setelah turun dari mobil pengantar dan sampai di bandara, dia yang boardingpass lebih dulu juga. Meninggalkanku. Setelah masuk gate dan menuju kabinpun, dia berlari mendahuluiku. Meninggalkanku yang berlarian sambil membawa ransel dan koper kami berdua. Aku seperti babu. Tapi setelah mengomelinya  tadi, aku tidak menghiraukannya lagi. Lelah.
Akan tetapi kini, aku ingin melihat wajah tenang itu. Wajah suami yang amat kucintai dan selalu ku banggakan. Pria yang sudah menerimaku apa adanya. Ketika itu, aku adalah seorang janda berusia dua puluh enam tahun yang sudah memiliki  seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun. Dulu aku menikah muda dengan suami pertamaku.
Kucoba menoleh ke arahnya, berharap bisa menemukan wajah teduhnya. Aku ingin memandangnya untuk yang terakhir kalinya jika memang pesawat dengan pelayanan murah ini tidak bisa menyelamatkan nyawa kami sampai ke Jakarta. Tapi sayangnya, yang kulihat kemudian bukan wajah teduh nan tenang seperti yang sering ku perhatikan setiap kali dia tidur. Tapi wajah pucat pasi. Keringat dingin mengucur deras dari dahi dan mengalir ke leher. Mata yang di pejamkan rapat-rapat. Tangan yang mencengkeram erat lengan kursi hingga buku-buku jarinya memutih. Suamiku sedang panik. Dia takut.
“Ayah!” kucoba memanggil namanya. “Ayah takut, ya?” tanyaku sambil memperhatikan wajahnya.
Tidak ada jawaban. Hanya anggukan kepala. Aku pikir dia akan muntah karena terlalu tegang dan tidak bisa menahan goncangan pesawat. Kuraih tangannya. Mencoba mengalihkan rasa takutku dengan berusaha menenangkannya. Berharap kami bisa sama-sama tenang.
“Coba buka matanya,” kataku halus. Dia membuka mata. Aku tersenyum padanya. Matanya merah karena terlalu erat terpejam. Kubelai tangannya dan meremasnya. Tangannya dingin. “Ayah, minta maaf  dong sama Ibu. Salah Ayah kan banyak. Ayah tadi udah ninggalin Ibu,” ujarku seolah kami memang sudah siap mati.
Ayah mengangguk. “Hu’um. Maafin Ayah ya, Bu. Sekarang ini Ayah malah kepikiran anak-anak. Kepikiran Amel, Dita, Rafa. Gimana nasib mereka nanti kalau ternyata pesawat ini nggak bisa nyampe ke Jakarta dengan selamat?”
“Jangan ngomong gitu. Allah pasti bantu kita,” lagi-lagi kataku lembut. Berharap membuatnya tenang.  “Ibu sayang sama Ayah,” kepalaku bersandar di bahunya.
Otot-otot saraf Ayah terlihat mulai mengendur. Dia menarikku kedalam pelukannya. Kami memejamkan mata bersama. Berharap kami selamat dan pulang dalam keadaan utuh. Cuaca buruk itu seperti monster yang sedang mengintai kami. Aku berterima kasih pada suamiku. Kedongkolanku menguap. Berganti dengan rasa sayang yang sangat berlebihan. Aku terlalu mencintainya.
Awan gelap diluar masih juga belum berubah warna. Getaran juga belum mereda. Beberapa Pramugari sudah datang dan menenangkan penumpang. Ibu-ibu rombongan tadi tangisnya masih juga belum reda. Tapi beberapa penumpang yang lain sudah banyak yang berkomat-kamit. Dzikir. Hingga akhirnya entah berapa puluh menit kemudian, getaran mereda. Langit berubah warna. Tidak terlalu gelap. Hanya mendung. Melalui kaca jendela dekat tempat duduk Ayah, kulihat jauh tempat di ujung sana awan sedang menurunkan hujan di suatu daerah. Air itu terlihat turun seperti kelambu abu-abu yang menyelimuti kota. Mungkin juga hanya kelurahan. Aku tak peduli.

Tangan Ayah masih memelukku erat. Kali ini aku yakin, dia tak akan meninggalkanku lagi. Dia tak akan berlari lebih dulu dan membiarkanku panik sendirian. Bahunya hangat memelukku. Aku cinta Ayah. Aku sayang anak-anakku. Aku akan pulang untuk mereka. Tuhan  masih menyayangi kami, aku dan suamiku. Karena itu kami di biarkan pulang. Mendapat kesempatan hidup lebih lama lagi untuk saling berkasih sayang satu sama lain. Apa yang lebih berharga daripada ini? jawabannya adalah nyawa, suamiku dan anak-anakku.

----- END -----


No comments:

Post a Comment