Cerpen
True Friend
Suatu hari, Di Perpustakaan.
"Ayolah, kita pulang kampung nanti setelah lo wisuda ya?"
Butuh kerja keras yang ekstra untuk membujuk makhluk manis di hadapannya ini agar mau pulang ke tanah kelahirannya, Malang. Tapi sepertinya usahanya sia-sia, si manis di hadapannya ini tidak bergeming sama sekali. Berkali-kali dia menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju dengan permintaan Yoki.
"Kenapa sih lo nggak pernah mau pulang? udah tiga tahun loh!"
Kali ini kesabaran Yoki sudah habis, dia sudah tidak bisa lagi menggunakan bujukan dan rayuannya. Jurus terakhhirnya adalah memberikannya iming-iming naik mobil mewah kalau mereka pulang kampung nanti.
"Kalau lo mau ke Malang, berangkat aja 'ndiri. Mau naik kereta, pesawat, bis atau bahkan mobil mewah sekalipun, gue nggak akan pernah ikut. Gue kasih alamat Ike aja."
"Yang bener aja, mana bisa kayak gitu?"
Braaakk
Si Manis mulai kehabisan kesabaran, Yoki sudah tahu bagaimana watak cewek seperti Kiran ini kalau sedang marah, semua benda yang ada di sekitarnya akan jadi sasaran amukan. Dari meja di gebrak, buku di lempar, kursi di tendang atau yang lebih ekstrim dari itu, meremukkan gelas. Untung saja kali ini tidak ada benda-benda yang bisa di remukkannya, kecuali meja yang baru saja di pukulnya dengan keras hingga menimbulkan perhatian semua orang yang sedang duduk di Perpustakaan.
"Lo apa-apa'an, sih?" bisik Yoki yang mulai kesal dengan sikap Kiran, karena cepat sekali marah.
"Gue udah hilang kesabaran," tukas Kiran dengan gigi gemeletuk.
Yoki bisa merasakan aura seram menghambur dari balik badan sahabatnya itu. Buru-buru di bereskan semua bukunya dari meja dan dimasukkan kedalam tas. Tanpa banyak ba-bi-bu, dia memilih untuk cari selamat saja dari pada dia harus di lempar Law Black Book yang lebih tebal dari kotak makan siangnya.
***
Esok harinya, Di taman dekat Auditorium.
"Nih !"
Kepala Yoki mendongak ke arah cewek yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya. Tangannya mengulurkan sebuah bungkusan. Dari baunya saja Yoki sudah bisa menebak itu apa, Sandwich.
"Gue udah kenyang," sahut Yoki datar, lalu kembali memalingkan wajahnya ke sebuah majalah otomotif yang ada di tangannya.
"Gue minta maaf soal kemarin," ujar Kiran seraya duduk di samping Yoki.
Wajah Yoki masih belum menampakkan sinar tertarik. Tatapan matanya masih juga tertumpu pada sebuah Bentley yang ada di majalah otomotif miliknya.
"Yoki!"
"Hmm...?"
"Sorry..."
"Udahlah, lo udah biasa bikin gue malu, kan?"
"Itu sebabnya gue minta maaf,"
Dipandanginya cewek manis ini. Tidak biasanya Kiran meminta maaf pada seseorang meskipun dia melakukan kesalahan besar sekalipun, dia akan terus membela diri mati-matian dan tidak peduli dengan penderitaan orang yang di akibatkan olehnya.
"Lo lagi seneng hari ini? nggak biasanya lo pake acara minta maaf, sampe bikinin sandwich lagi," pada akhirnya Yoki mengambil sandwich dari tangan Kiran juga.
"Jangan ajak gue pulang lagi, ya!" ujar Kiran dengan mimik muka yang tidak bisa di tebak. Tapi Yoki lebih suka menyebut Kiran sedang sedih atau semacamnya. Dia belum bisa peduli, perutnya lebih butuh perhatiannya saat ini karena tadi dia belum sarapan. Dan seperti biasa, Kiran memahami kondisinya. Setiap kali perutnya meronta minta makan, Kiran pasti akan selalu datang dengan bekal makanannya. Meskipun tadi dia sudah bilang kalau sudah kenyang, itu hanya basa-basi. Kenyataannya, perutnya sama sekali tak bisa bohong dan menampik sebuah sandwich buatan Si Manis.
"Udah tiga tahun dan lo belum pulang ke kampung sama sekali, Ran. Apa lo nggak kangen ama keluarga lo disono ? kakek, nenek, semuanya!"
Tanpa diduga, Kiran menggeleng. "Kakek ama nenek gue udah lama nggak ada. Gue nggak punya keluarga dekat lagi sekarang. Oom gue udah pindah ke Surabaya. Di Malang udah nggak ada siapa-siapa. Cuma temen-temen gue sekolah dulu aja."
"Ya udah, nggak apa. Kalau gitu kita jalan-jalan aja ke Malang. Gue pengen deh jalan-jalan ke pantai selatan yang ada di Malang. Terus kita ke Bromo, deh!"
Air muka Kiran menyiratkan wajah sendu yang seolah-olah mengatakan kalau dia benar-benar tidak ingin pulang ke kampung. Dia sudah tidak punya kampung dan dia tidak tahu lagi dimana kampung kelahirannya.
"Pokoknya gue nggak mau lagi denger segala hal soal Malang. Itu bikin gue sesak nafas!"
Yoki tambah tidak paham dengan Kiran, cewek itu berbeda dengan kebanyakan cewek-cewek yang lain di kelas. Jika mereka semua sangat menggebu-gebu menceritakan tentang kampung halaman masing-masing, tapi Kiran akan menghindar dari obrolan itu. Bukan karena ingin sok Metro sekarang, tapi sepertinya lebih dari itu, Kiran memiliki kenangan yang tidak menyenangkan dari kampungnya, dari kota kelahirannya, Malang.
***
Sore harinya, di rumah Yoki.
"Emangnya kenapa sama temen-temennya?" tanya Yoki sambil garuk-garuk kepala. Terlalu bingung.
"Nggak tahu, Mas. Pokoknya Mbak Kiran itu tiba-tiba bakar semua buku-buku kelulusan jaman sekolahnya dulu. Dari buku kelulusan SMP sampe SMA."
"Dia nggak dibikin patah hati sama cowok, kan?"
"Nggak tahu juga, Mas. pokoknya Mbak Kiran itu nggak mau lagi kalau aku nyebut-nyebut soal temen-temennya, semua!"
"Jadi bukan masalah dia nggak punya tempat pulang? tapi cuma masalah temen-temennya?"
"Kayaknya sih gitu."
Biipp. Sambungan terputus setelah Yoki mengucapkan terima kasih pada Ike, adik sepupu Kiran yang ada di Malang sana. Kepala Yoki dibuat berputar-putar oleh masalah Kiran yang sama sekali belum di ketahuinya. Berbagai macam tebakan dan perkiraan mengenai Kiran yang tidak mau pulang kampung membuat lubang penasaran tersendiri di dada Yoki.
***
Esok harinya, di kantin.
"Kenal yang namanya Deki Kusuma Mulya?" tanya Yoki tiba-tiba disela acara makan siangnya dengan Kiran.
Sontak kepala Kiran mendongak dan sorot matanya berubah setajam elang. Yoki mulai mencari-cari sesuatu yang terjadi dari mata Kiran. Di tatapnya cewek itu baik-baik.
"Dia temen lo, kan?" tanya Yoki lagi.
"Darimana lo tahu dia?" tanya Kiran mulai penasaran.
Yoki kembali pada Mie ayamnya, dilahapnya santai helaian mie itu hingga tertelan dengan lancar masuk kerongkongannya.
"Twitter," jawab Yoki singkat. Lagi-lagi mulutnya terbuka lalu melahap Mie ayamnya lagi. Tapi Yoki segera di buat kaget oleh sikap Kiran yang langsung berubah aneh, disorongkan mangkuk Mie Ayamnya itu menjauh dari hadapannya. "Kenapa?" tanya Yoki bingung.
"Udah kenyang," jawabnya singkat seraya berdiri dan mengambil lembaran dua puluh ribu dari sakunya. "Pas kan, Bang?" tanya Kiran berbasa basi pada si penjual Mie ayam. "Sekalian ama dia!" tunjuk Kiran pada Yoki yang masih melongo menatapnya.
Sementara tatapan Yoki masih bingung, Kiran sudah berlalu dari hadapannya dengan cepat dan Yoki jadi tambah jengkel oleh sikap Kiran yang tiba-tiba. Buru-buru diselesaikan acara makan siangnya, mubadzir kalau sampai Mie ayam itu dingin dan mengembang. Rasa lapar membuatnya tergoda untuk memasukkan sisa Mie ayam Kiran yang tidak habis ke dalam mangkuknya. Sayang kalau Mie ayam itu di buang begitu saja, Si Abang penjual Mie ayam juga pasti jengkel karena makanan buatannya tidak di hargai, meskipun sudah ada harga tersendiri untuk seporsi Mie ayam.
***
Sore harinya, di Perpustakaan.
"Bisa nggak sih, lo cerita ama gue apa yang udah terjadi, Ran?" tanya Yoki yang mulai gemas dengan sikap Kiran. Tapi cewek itu masih tetap fokus pada layar laptopnya. "Lo aneh tahu, nggak?"
"Biasa kan kalau gue di sebut aneh. Malah akan lebih baik kalau gue di sebut aneh."
"Oke, cukup. Mungkin gue emang sekedar Soib buat lo. Tapi bisa nggak sih lo hargain gue dikit aja ?"
"Maksud lo apa?"
"Lo selalu aneh setiap kali gue ngajak pulang ke kampung lo dan kemarin gue baru aja telpon Ike, dia bilang nggak ada masalah tuh sama keluarga. Apa ini masalah temen-temen lo?"
Tangan Kiran berhenti dari kegiatan mengetiknya. Ditatapnya Yoki dengan pandangan yang sama sewaktu di kantin tadi. Tapi kali ini pandangan itu diselingi dengan tatapan sengit dan juga jengah. "Kalau gue cerita ke elo, apa lo akan tetep mikir kalo gue ini patut di jadiin temen?"
"Emang kenapa?"
"Gue bukan orang yang gampang percaya ama orang lain, Yok. meskipun sekarang kita bisa seperti ini .... maksudnya kayak soib," Kiran terkesan kurang yakin, " tapi dalam hati gue, sama sekali nggak ada kepercayaan kalau kita bisa jadi sahabat sampai ntar tua," Yoki memiringkan kepalanya, masih belum paham. "Sahabat yang gue mau itu, adalah sahabat yang bisa bener-bener nganggep gue ada. Itu aja dan nggak lebih."
"Lo bener-bener ada masalah ama semua temen-temen lo dulu?"
Kiran memalingkan mukanya. Tebakan Yoki tepat sasaran. "Gue nggak pernah punya temen waktu gue sekolah dulu. Semua orang punya pikiran kalau gue ini aneh dan nggak patut buat di jadiin temen, setidaknya itu waktu gue SMP. Dan ironisnya, waktu itu dengan polosnya gue masih tetep mau berteman sama mereka biarpun gue sering di bully dan di anggap rendah."
Kening Yoki berkerut, pikirannya masih belum bisa menerima dan mencerna maksud dari perkataan Kiran. Seorang Kiran yang jenius di mata Yoki, ternyata pernah mengalami pengalaman buruk, di rendahkan dan di bully teman-temanya. Seorang Kiran yang mengaku sudah menguasai ilmu bela diri Karate. Yoki tidak percaya.
"Lo ngggak pernah ngelawan mereka?"
"Kalau bully-an itu sifatnya fisik, mungkin gue bisa berontak. Tapi gue di bully dengan cara di sabotase sana-sini dan gobloknya, gue masih tetep aja sabar ngadepin mereka."
Kening Yoki berkerut lebih dalam. Masih belum bisa percaya dengan ucapan Kiran.
"Gue tahu, lo sama aja kayak yang lainya. Nggak bakal bisa percaya ama semua cerita gue. Kalian semua cuma nganggep gue ini pendongeng. Karena kalian nggak pernah ngerasain apa yang gue rasain. Itu sebabnya gue masuk Hukum. Itu sebabnya gue pengen jadi pengacara. Gue pengen jadi pengacara yang membela kasus-kasus penganiayaan. Meskipun kelihatannya sepele, tapi jika jiwa gelap si korban ini hidup, hal yang lebih buruk bisa terjadi."
"Kalian?" tanya Yoki malah tambah bingung.
Kiran mengangguk, "Kalian! orang-orang terdekat gue. Elo, kakak sepupu gue, Nyokap-bokap gue, bahkan semua keluarga gue juga semua orang yang mengaku teman-teman gue. Gue nggak punya satu orangpun yang mau percaya ama semua kata-kata gue."
Yoki menggaruk-garuk kepalanya. Rasa bingung membuat kepalanya menjadi gatal dan detik itu juga dia sangat ingin menggunduli rambutnya. Sebelum ini, Yoki tidak pernah tahu apa motif Kiran mengambil Hukum, dia hanya berpikir kalau Kiran ingin berada dalam satu jalur dengan Ayahnya yang seorang Jaksa. Tapi ternyata dia memiliki pandangan lain.
"Jiwa gelap apa?" tanya Yoki penasaran.
Kiran menutup Laptopnya. Setelah menghela nafas panjang, kini pandangannya terfokus pada Yoki yang sedari tadi masih dengan tatapan yang sama melihat Kiran, bingung.
"Manusia hanya makhluk biasa. Dalam setiap diri manusia ada banyak sisi yang sama sekali tidak bisa di pahami oleh nalar mereka sendiri. Itu sebabnya mereka sering bertindak diluar kendali. Begitupula dengan korban penganiayaan, selagi jiwa gelap mereka belum terbangun, mereka akan tetap mencari pembelaan dan keadilan dengan cara apapun yang masih bisa di tempuh dengan cara yang manusiawi. Tapi jika tak ada satu orangpun mengindahkannya, maka hal yang lebih buruk bisa terjadi,"
"Misal?"
"Simpel, Pembunuhan, pembantaian, mutilasi atau sejenisnya bisa menjadi jalan terakhir."
Bulu kuduk Yoki berdiri. Dengan santainya Kiran bisa menyebut deretan bentuk kejahatan itu. Meskipun semua orang bisa mengatakannya, tapi entah kenapa kali ini ketika Kiran yang mengucapkannya, semua menjadi terasa berbeda di telinga Yoki. Dia seakan sedang di hadapkan dengan narapidana kasus pembantaian.
"Masih mau denger lagi soal gue?" tanya Kiran. Kali ini dengan gaya yang sedikit berbeda dengan yang tadi. Sekarang lebih santai dan seolah tidak peduli orang mau percaya pada ceritanya atau tidak.
Yoki hanya menganggukkan kepalanya, seolah dihipnotis oleh intonasi suara Kiran yang pelan, santai, tapi banyak hal yang terjadi disana.
"Di kampung, gue biasa di didik dengan cara yang Militan sama kakek gue. Beliau seorang Banser. Tahu Banser?" Kiran menatap Yoki dengan serius. Yoki menggeleng. "Barisan Anshor Serbaguna. Kakek gue sampai usia lima puluh tahun masih aktif disana. Gue dididik dengan cara Militan. Sedikit kesalahan, gue pasti dipukul, dihajar atau apappun yang lebih dari itu. Tapi nggak ada masalah, mentognya paling gue cuma nangis. Tapi dari situ gue dididik buat nggak cengeng. Kalau gue cengeng, nggak ada yang mau berteman ama gue. Tapi semua tetap aja salah. Setelah gue masuk SMP, meskipun gue nggak cengeng dan gue bisa karate, tetep aja nggak ada yang mau berteman sama gue. Dunia terlihat aneh dan nggak seperti yang gue pikir. Pergaulan itu juga aneh, ada anak-anak yang membuat kelompok seperti gugusan bintang agar mereka bisa saling melindungi dan ada pula yang menyendiri dan dikucilkan seperti alien."
"Elo termasuk anak yang individual," tebak Yoki.
"Tadinya, sampai gue menemukan teman-teman yang bisa menerima gue tanpa melihat siapa gue. Gue punya teman-teman yang banyak, tapi lambat laun, sikap mereka berubah. Mereka mulai manfaatin gue. Gue disuruh ini dan itu yang bikin gue muak. Tapi gue nggak bisa nolak mereka. Karena mereka itu teman-teman gue. Gue sayang sama mereka. Tapi kebalikannya, mereka membalas semua rasa sayang gue dengan sabotase-sabotase yang pada akhirnya membuat gue menjadi makhluk individu lagi. Tapi semua nggak berakhir, semakin gue jauh dari mereka, ada saja kelakuan mereka. Dari menghilangkan salah satu ban sepeda gue hingga terpaksa gue pulang sekolah dengan jalan kaki. Ngumpetin buku PR gue, hingga gue harus dihukum guru. Hormat di bawah tiang bendera waktu matahari lagi kentang-kentangnya. Sampai botol minum gue diisi dengan air got. Tapi waktu itu gue masih mikir kalau mereka manusiawi. Hingga suatu hari dengan jelas mereka menyebut gue anak orang gila dan gue nggak lebih dari seekor keledai yang nggak punya otak!"
Lagi-lagi Yoki memiringkan kepalanya, bingung. "Lo marah?"
Tanpa di duga Yoki, Kiran menggeleng dan malah kembali melanjutkan ceritanya.
"Mereka berpikir kalau kakek gue itu orang tua gue. Mereka nggak pernah tahu dimana orang tua gue yang sebenarnya. Mereka nggak tahu kalau orang tua gue ada di Jakarta dan hidup enak disini. Mereka juga nggak pernah percaya kalau gue ini anak Jaksa. Tapi itu lebih baik, lebih baik kalau mereka nggak percaya. Tapi buruknya, mereka menganggap gue gila karena keturunan, mereka bilang kalau kakek gue adalah orang gila dan itu sebabnya gue di bully. Karena di kampung gue, semua anak bebas mem-bully orang gila."
Mulut Yoki melongo.
Kiran meneruskan ceritanya. "Gue lulus dengan nilai bagus. Tapi mereka bilang gue nyontek dan itu sebabnya gue lebih di jauhin sama mereka. Gue nggak punya teman-teman SMP. Mereka semua sudah mati di mata gue!" ujar Kiran dingin.
Seolah di lempar bola salju di tengkuknya, Yoki gemetar saat melihat ekspresi Kiran yang berbeda dari biasanya.
"Waktu SMA, beda lagi ceritanya. Pelan-pelan gue di paksa berubah oleh keadaan. Gue harus berubah menjadi seorang cewek yang feminim. Minimal gue bisa nyisir rambut dengan rapi dan membuat garis lurus tepat di tengah kepala."
Dari merasakan ngeri, Yoki dibuat terkikik geli.
"Gue pengen punya cowok. Itu sebabnya gue dandan. Kakak sepupu gue bilang, kalau gue mau punya cowok, gue harus bisa dandan. Dengan begitu setiap cowok bisa menganggap kalau gue ini cewek dan bukan orang gila yang nggak jelas jenis kelaminnya. Tapi semua itu cuma impian gue. Biarpun kata kakak gue, kalau gue ini ibarat mawar yang sedang mengembang, tapi kenyataannya lain. Mereka semua masih bersikap sama dengan teman-teman SMP gue dulu. Gue nggak tahu salah gue dimana. Sampai suatu hari seorang cowok membuat keajaiban dalam kehidupan gue. Berawal dari dia, gue mulai mengenal apa itu rok cewek, tentunya selain rok sekolah. Gue mulai berubah dan lahirlah Kirana Putri Dewi yang sebenarnya. Bahkan gue juga kaget sama perubahan gue. Ternyata cewek itu bisa sangat cantik kalau dia bisa menemukan dirinya."
Senyum Yoki terkembang. Pandangan simpatiknya terlempar begitu saja ke arah Kiran. Memang disadarinya betul, wajah Kiran tidak bisa membuat orang bosan. Biarpun sehari-hari ketika ke kampus dia hanya mengenakan kaos oblong dan celana denim biasa. Tapi rasa manisnya masih tetap bisa mempengaruhi pikiran setiap orang yang melihatnya. Kiran memiliki pesona tersendiri.
"Dan cowok itu adalah Deki Kusuma Mulya," Yoki berusaha menebak.
Kiran mengangguk pelan. "Tapi, waktu gue duduk di semester pertama. Itu pertama kalinya gue pulang ke kampung setelah gue menetap disini. Gue berusaha menemui teman-teman SMA gue yang dulu pernah baik ama gue. Termasuk dia. Tapi satu kalimat yang sampai detik ini nggak bisa gue lupa, dia bilang gue terlihat lebih tua dari pada beberapa bulan yang lalu."
"Hahh?"
"Nggak ada satupun cewek didunia ini yang suka di komentari kayak gitu. Biarpun cowok itu pernah baik sama lo dan mau berteman sama lo. Kalau kalian mengaku sebagai cowok yang memahami cewek, jangan pernah sekali-kali menyebut cewek itu terlihat lebih tua dari usianya saat itu. Karena sama saja kalian sudah membunuh semangat hidupnya,"
"Cuma karena masalah sepele seperti itu?"
"Masalah sepele?" tanya Kiran balik seraya mencondongkan badannya lebih dekat dengan Yoki. "Lo pikir kenapa banyak produk make-up yang menjual obat anti penuaan dini? lo pikir kenapa ada slogan 'karena wanita begitu berharga'? lo pikir kenapa ada obat pemutih wajah dan berset-set produk kecantikan agar kulit wanita tetap terawat? semua karena wanita nggak mau kelihatan jelek. Sayang aja lo cowok. Lo nggak pernah tahu gimana rasanya sakit tertohok waktu ada cowok yang dengan gamblangnya ngatain lo kayak gitu. Akan lebih baik kalau lo di kata miskin dari pada lo dikata tua sebelum waktunya!"
"Jadi itu sebabnya lo nggak mau pulang? lo nggak mau ketemu temen-temen lo dan di kata tua?" Yoki menahan tawanya agar jangan sampai meledak saat itu juga.
"Gue miris ama cara berpikirnya cowok soal cewek. Mereka selalu melihat cewek dari fisiknya. Dari wajahnya dan bukan dari otaknya atau yang lebih dalam dari itu, hatinya, mungkin juga etikanya. Kalian para cowok lebih suka memilih cewek yang bertampang Dewi, tapi berkelakuan seperti binatang. Tidak punya etika, tidak punya otak dan tidak punya hati."
"Gue lebih bingung lagi sama cewek. Mereka selalu mengatakan sama kayak yang lo bilang. Kenapa? apa karena dalam dunia cewek itu saingannya lebih berat?" kali ini kata-kata Yoki keluar di barengi dengan tawa yang sudah tak bisa di tahannya lagi.
"Tentu saja, itu karena jumlah cewek yang lebih banyak dari pada cowok. Sedangkan cowok bisa memilih cewek yang lebih baik dari apa yang hanya menjual wajahnya saja."
Senyum Yoki terumbar hingga memenuhi seluruh mata Kiran. "Sekarang gue udah tahu apa masalah lo, Ran. Karena itu, ayo pulang ke kampung. Sayang banget kota lo yang indah itu nggak lo sambangi. Lupakan soal mereka, kalau bisa, bunuh saja semua teman-teman SMA lo itu sama seperti teman-teman SMP lo itu yang udah mati di mata lo."
"Gue nggak mau membunuh siapapun, Yok. Gue cuma mau menjadi diri gue sendiri."
"Menjadi diri sendiri dengan pemahaman yang sudah lo dapat dan lo pegang sebagai pandangan hidup."
Kiran mengangguk setuju dengan ucapan Yoki. Merasa benar dan di benarkan. Itu sebabnya meskiupun Kiran mengatakan kalau dia tidak percaya dengan teman-teman yang selalu dia temui, tapi dalam hatinya yang paling dalam, Kiran mempercayai Yoki sepenuhnya. Bahwa cowok satu ini bisa di andalkan sebagai sahabat. Tidak perlu terlalu banyak berkomentar sebagai teman. Hanya cukup percaya dan mendengarkan saja. Itu sudah lebih dari cukup dari seorang sahabat yang di butuhkannya. Tapi tetap saja, Kiran masih menginginkan sahabat sampai dia tua nanti. Bukan hanya untuk saat ini, besok atau lusa. Dan ketika mereka wisuda nanti, maka persahabatan mereka juga berakhir. Tapi persahabatan yang kekal dan sampai salah satunya ada yang mati.
-----FIN-----
No comments:
Post a Comment