Wednesday, January 8, 2014

SAJAK UNTUK SANG BUNGA MATAHARI

Cerpen 

SAJAK UNTUK SANG BUNGA MATAHARI


Meskipun yang lain mengaku memiliki banyak waktu untukku, tapi hanya kau yang selalu memberiku waktu di sela kesibukanmu. Entah itu sedetik atau sampai lima menit, kau  selalu menyempatkan diri untuk bertanya apa kabarku hari ini. Entah aku sedang minum kopi atau aku akan berangkat ke toilet, kusempatkan pula untuk menjawabmu.
Aku tak suka mereka yang selalu bicara, bahwa mereka akan selalu ada untukku saat di butuhkan. Tapi nyatanya waktu mereka habis untuk orang lain, bukan aku. Terlalu Tuan Putri kah aku?
Tapi hanya kau yang mampu meredam semua kerinduanku pada arti sahabat. Mungkin karena kita pernah berbagi tempat tidur, karena itulah kau sangat mengenalku dan aku juga sangat mengenalmu, bahkan pada kebiasaan buruk paling kecil sekalipun. Kau kentut setelah membuka mata di pagi hari.
Aku ingat dulu ketika Dee menangis di pelukanku, saat kita berlima akan berpisah. Katanya, dia akan sangat  merindukanku setelah pulang ke Solo nanti. Tapi ternyata, dia seolah memiliki dunianya sendiri. Sudah sibuk dia dengan calon suaminya. Aku ikut senang. Itu jujur.
Kusebut kalian Pai-Se. Kunamai kita dengan SHB, Sekte Hati Beku. Karena hati kita sudah beku, atau mungkin hanya hatiku saja? tapi meski begitu, harus kita akui, di antara kita berlima, hanya Nana Sang Putri Bulan yang bisa mendapatkan pacar. Sedangkan aku, kau, Icha dan Dee. Kita hanya bisa terpaku memandang penuh harap pada lelaki idaman masing-masing. Aku masih dengan cinta lamaku yang tak bisa kulupakan. Aku sungguh sial. Kau yang dulu masih terpaku pada hubungan terlarangmu dengan  saudaramu. Lalu Icha yang ikutan membuat skandal cinta terlarang dengan Sang Frater. Kemudian Dee yang kala itu masih naif dan lebih menyukai pria beristri.
Maaf, aku dulu meninggalkanmu lebih dulu. Kau pasti sendirian di tempat yang dingin dan lembab itu. Mungkin sepeninggalku, kamar kita dulu masih sama. Lembab dan bau lumut. Toh kehidupanku setelah meninggalkanmu tidak bagus-bagus amat. Aku lebih tidak bahagia di banding kala kita berlima berkumpul bersama. Disini aku memang memiliki sayap. Aku boleh terbang kemanapun. Tapi aku adalah burung yang di ikat dengan rantai aturan penguasa. Aku harus hormat dan tunduk padanya.
Aku selalu percaya, shioku adalah Naga Tanah. Oleh sahabat baru yang kutemui, dia seorang lesbi. Dia mengatakan padaku, bahwa karakter Naga Tanah dapat menjadi Pemimpin besar karena mereka berwatak praktis. Berkepala dingin. Memiliki kemampuan untuk mengorganisir. Tapi aku juga masih memiliki kebutuhan untuk di kagumi. Namun aku juga ramah dan mendukung. Katanya aku juga lebih cepat mengontrol diri. Naga tanah selalu menjunjung respek pada keinginannya. Naga tanah selalu bekerja keras dengan rajin untuk menyelesaikan tujuan hidupnya. Nagaku, selalu memandang tanggung jawab atas kehidupan dan romantismeku cukup serius.
Kau lihat itu? Shioku sangat bagus. Teman baruku itu namanya Clay. Bukan capo. Tapi dia Cina. Matanya sipit dan banyak gadis yang mengaguminya, menyebut bahwa dia mirip model dari Korea. Mungkin karena badannya tinggi. Dia mirip laki-laki, sangat. Kalau kau kelak bertemu dengannya, aku mohon jangan jatuh cinta. Karena kau pasti akan kesulitan lepas darinya. Pesonanya sangat kuat, dulu itu kupikir dia pakai susuk atau apapun sejenisnya yang berasal dari tanah nenek buyutnya, Tiongkok. Tapi ternyata, memang dia sangat memesona. Aku dulu sempat suka padanya. Tapi kemudian Nagaku mengendalikanku. Tidak, mungkin imanku. Karena dia perempuan, sama denganku. Hanya saja, dadanya rata. Mungkin sewaktu kecil, dia sering memakai korset bebat perut milik Ibunya. Makanya dia tidak punya payudara.
Tujuh tahun lalu, apa kita pernah bertengkar? Kalau pernah, tolong ingatkan padaku apa yang menjadi pertengkaran kita? Karena aku lupa. Mungkin aku mulai demensia, atau bisa saja aku sedang mengidap skizofrenia. Tapi dari yang paling kuingat, aku tak pernah merasa kita bertengkar.
Masih ingatkah kau saat kita tidur bersama? mungkin orang lain yang berpikiran kotor akan berimajinasi yang tidak alim. Tapi seingatku, kala itu kau dulu selalu tidur seperti kucing yang mati terlentang. Tidak bergerak, bahkan untuk sekedar memiringkan badan. Apa kita dulu pernah kepanasan? Sepertinya setiap hari.
Kau berbeda dari yang lain. Apa boleh kubicarakan tentang keburukanmu dan kukatakan pada dunia? Kupikir kau akan setuju jika ada orang lain yang akan terhibur mendengarnya. Tapi sepertinya tidak, aku tak akan mengatakan apa-apa hingga kau membubuhkan tanda tanganmu pada kontrak kerjasama kita yang tanpa materai dan tanpa tulisan.
Kau sahabat di antara surga dan nerakaku. Kalian berlima. Semuanya. Kau sahabat di antara helaan nafasku. Kau sahabat yang sering duduk menemaniku. Mendengarkan omelanku. Ocehanku. Suara kaleng rombengku. Kau sahabat yang selalu melihatku terlebih dulu. Memastikan hidungku tidak pernah tertinggal di kamar, menyelamatkan rahasiaku, menyembunyikan keburukanku, memarahi laku sembarangku, dan memelukku disaat lelah. Kita tertawa. Bersama. mengusih jenuh, mengusir bosan. Kau sahabat, separuh dari diriku yang sedang jalan-jalan.
Apa yang terjadi selama aku pergi meninggalkanmu? Kau sakit? kau merindukanku? Kau membandingkanku dengan teman-teman sekamarmu yang lain? kau makan teratur? Kau sering pulang menengok Ibumu? Kau masih suka membeli cemilan di Toko Pak Tamin?
Kau tak pernah marah. Meskipun kau marah, kau hanya diam. Menuntutku untuk tahu diri. Berpikir tentang apa salahku. Kalian diam ketika aku mulai memprovokasi untuk melakukan sesuatu. Aku gila, kan? Tapi aku sadar tentang penyakit gilaku. Karena itu kau menyembunyikannya dari yang lain. Kau perlihatkan pada mereka, aku yang biasa. Aku yang waras.
Jika nagaku benar sesuai kata Si Cina itu, katanya aku bisa menjadi pemimpin besar. Kala itu, terbukti kan aku bisa menjadi pemimpin. Sekaligus provokator. Kuhancurkan teman sekamarku sendiri saat itu. Si genit yang selalu membuat badanku gatal-gatal. Kubuat dia yang sudah berlaku tak senonoh di belakangku dengan membayar malu. Semua orang tahu, aku otaknya. Tapi kalian diam. Masih tetap diam hingga sekarang. Bukankah aku gila?
Semua yang ada pada aku, kalian tak pernah peduli. Kau tak pernah mau tahu. Aku tetap saudaramu meskipun aku munafik. Entah harus kugulirkan berapa cinta yang bisa kuberikan, kau yang bisa menerimaku apa adanya. Di sela-sela waktumu dengan teman-temanmu yang lain. Di sela-sela rasa dukamu karena kini kau jauh di ujung mata. Di sela-sela rasa lelahmu karena di rendahkan. Di sela-sela bungkammu pada paksaan.
Tuhan melihatmu wahai, sahabatku. Tuhan tahu apa yang terjadi padamu, karena itu adalah sebagian dari sekenarionya. Karena itu, berperanlah yang baik. Jangan mengeluh. Kau boleh lelah, tapi kau tak boleh menangis. Kau boleh tersandung, tapi kau tak boleh mengaku sakit. Kau harus kuat. Kubur semua kelemahanmu. Kunci dia jauh di bagian paling dalam hatimu. Jangan biarkan keangkuhan dunia menampar-nampar mukamu  yang halus. Jangan biarkan kesombongan mereka yang berharta mencacimu dalam ketidakberdayaan.
Ada doaku di setiap derak tulangmu. Ada cintaku di setiap pandangan matamu. Ada rinduku di setiap denyut jantungmu. Ada harapanku di setiap helah nafasmu. Juga ada cinta Ibumu yang terus hangat memeluk dari kejauhan.
Akan kusampaikan pada alam yang terkena sentuhan tanganku. Ku kabarkan pada mereka bahwa aku sangat menyayangimu. Akan ku bisikkan pada angin yang lewat tentang kerinduanku padamu yang berada di menara kolong langit. Biar angin-angin itu mengatakan padamu, aku masih hidup. Aku masih bisa menebar rindu. Dan aku ingin menangis karena mengingatmu. Aku terlalu menyayangimu. Mencintai kalian.
Terakhir kali saat aku meninggalkanmu. Kusadari banyak hal. Kita tak berpelukan untuk terakhir kalinya. Kita tak mengucapkan salam perpisahan. Kita tak saling melambaikan tangan. Kau tak mengantarkanku hingga ke gerbang. Kau sedang mencari sebutir nasi di tempat mantan penjajah negeri kita. Aku meninggalkanmu, terkurung dalam ruang lembab dan berdebu. Dingin. Sendiri. Apa kau sakit? apa kau menangis?
Kapan bisa kulihat kita berkumpul bersama lagi, berjajar seperti gugusan bintang yang menampakkan diri. Kapan bisa kudengar lagi, tawa kalian yang menggema hingga ke dalam hati.
Maafkan aku. Aku pergi seorang diri. Dengan dalih mengejar mimpi, tapi aku mengorbankan dan membiarkanmu terlantar pada daun hidup yang bergoyang-goyang kesedihan. Aku jahat. Aku gila. Aku sakit. Tapi lebih sakit lagi ketika kuingat bahwa aku sudah begitu kejam meninggalkanmu sendiri. Bukankah kita sahabat? Bukankah kau separuh dari diriku?
Kau pasti sakit. Kau pasti sepi. Kau pasti mengutukku di tengah malam. Kau pasti meratap karena kau sadar, kau sendiri. Maafkan aku. Aku tak pernah memikirkan kebosananmu. Tapi asal kau tahu, disinipun aku sendiri. Meratapi sebuah ketidak adilan yang meraja. Kedinginan.
Kau air yang menjadi darah dalam diriku. Membentuk pola butiran merah dan pada akhirnya ikut mengantarkan oksigen masuk ke salah satu kutub jantungku, hingga aku bisa bernafas. Kalian. Air yang sudah menjadi darah dalam tubuhku.
Nanti, ketika Tuhan mempertemukan kita kembali. Kuharap kau bisa memaafkanku. Jika kelak kau ingin balas dendam atas semua kesedihan yang sudah kuciptakan, maka lakukanlah. Pukul aku. Hajar aku. Tapi jangan pernah sekalipun kau meninggalkanku. Jika separuh diriku pergi, itu pertanda aku akan strooke. Dan pelan-pelan akan mati.
Kau sahabatku. Setenang rembulan yang merangkak naik keujung malam. Menenangkan setiap jiwa yang kelaparan. Memberi harapan pada hati yang akan padam.
Kau sahabatku. Sejernih embun di ujung pagi. Memangkas dahaga dini hari. Menyejukkan hati di kala sepi. Kau tahu, kau adalah bunga Matahari. Kuning terang dan hanya menatap kesatu arah. Meskipun kau adalah satu di antara yang lain, tapi kau punya kwaci. Kuingat kau suka kwaci.

Kau bunga Matahari. Selalu mengikuti kemana arah cahaya pergi. Meskipun ada saat kau tertunduk pilu, tapi kau adalah Bunga Matahari yang masih tetap setia menunggu sinar bulan yang di pantulkan oleh Matahari. Kau bunga Matahari. Besar. Kuat. Kokoh. Berusaha mencari terang. Kau akan menjadi seperti itu. Selamanya. 

-----FIN-----






No comments:

Post a Comment