DILARANG LEWAT DI HATI INI, SEDANG DALAM PERBAIKAN
Jodohmu adalah cerminan dirimu. Jika dia masih dalam perbaikan diri, maka jodohmu juga pasti sama.
Sudah kuusahakan yang terbaik. Menjadi jodoh yang baik untuk calon jodohku. Tapi hingga usiaku mendekati tiga puluh tahun, jodoh itu masih belum datang juga. Hingga aku mati rasa.
Keluargaku sangat demokratis. Kecuali ayahku. Sejak usiaku masih dua puluh tahun, beliau selalu saja bertanya siapa pacarku, dia tinggal dimana, apa sukunya, bagaimana keluarganya, bagaimana akhlaknya. Tapi aku selalu melontarkan jawaban yang sama. Aku tak punya.
Ibuku tidak pernah bertanya apa-apa. Tentang jodoh atau tentang pacar. Hanya sesekali jika aku menyinggung tentang anak laki-laki tampan yang pernah aku temui, dia selalu saja bilang, “tapi nggak pernah ada yang kena!”
Aku hanya tersenyum saat Ibuku mengatakan hal yang sama. Karena memang nasibku selalu sama. Aku tidak pernah bisa menggaet laki-laki. Mungkin juga pesonaku sudah musnah di makan jaman. Aku bukan lagi Laila yang dulu. Laila yang ceria secara berlebihan. Suka mempermainkan laki-laki. Bahkan aku selalu membuat kesalahan. Merasa diri paling cantik dan populer. Tapi kini, aku tak bisa lagi merasa seperti itu. Aku sudah tua. Masih lajang.
Rasa percaya diriku sudah lenyap. Dilibas oleh perasaan yang selalu membuatku kesusahan melangkah ke masa depan. Laki-laki. Satu-satunya manusia yang sudah membuatku kehilangan akal ketika merindukannya setiap waktu. Melebihi Tuhanku.
Faruq namanya. Sembilan tahun lalu, aku mencintainya dan dia mencintaiku. Jika ada laki-laki terbaik di dunia ini, maka dialah salah satunya. Jika ada wanita terburuk di dunia ini, mungkin aku adalah salah satunya. Tapi pada akhirnya Tuhan memberikan dia padaku melalui do’a. Tapi mungkin juga melalui pandangan mata yang di kaburkan setan atas diriku.
Bukan waktu yang lama ketika aku bersamanya. Hanya tiga tahun dan semuanya menjadi hancur karena keburukan yang sudah ku ciptakan sendiri. Itu kesalahan pertama dan terakhir, mungkin yang terbesar. Ketika aku tak menyadari betapa cintanya sangat tulus untuk wanita sepertiku. Seseorang yang dia hormati dan hargai seperti Ibunya sendiri, ternyata sudah menghianatinya dengan keburukan. Ada satu sisi diriku yang terus menggodaku untuk selingkuh dan membiarkan sebelah hatiku mencintai orang lain.
***
“Aku pergi.”
Matanya tidak menatapku. Aku juga tidak memandangnya. Mataku lebih sibuk menyembunyikan air mata yang terus saja mendobrak untuk keluar. Dia sedang pamitan untuk meninggalkanku mengejar cita-citanya. Juga pamit meninggalkanku yang sudah menyelingkuhinya. Perselingkuhanku terbongkar, dua hari lalu. Tapi dia tidak bicara apa-apa.
“Kalau aku bilang jangan pergi. Apa kau akan mendengarkanku?”
Kepalanya menggeleng. “Aku melakukan ini demi kita. Aku akan melakukan apapun demi masa depan kita. Cita-citaku akan terwujud dan aku akan melamarmu. Segera!”
Hatiku mengatakan lain meskipun kepalaku mengangguk. Naluriku mengatakan tidak yakin dengan apapun yang di katakannya. Sesuatu yang ku takutkan akhirnya terjadi. Dia meninggalkanku sebagai wujud penghukuman karena selama ini aku sudah menyakitinya.
“Maafkan aku,” kataku parau. Air mataku sudah meluncur keluar. Aku menyesal.
“Jangan menangis lagi. Aku mohon,” jempol tangannya mengusap air mataku. Tapi sia-sia. Air mataku terus keluar. Aku menangis tanpa bersuara. Seperti biasa.
“Aku harus pergi. Nanti kalau aku sudah di terima jadi Bintara, aku pasti mengunjungimu, oke?”
Hening. Kami terdiam. Hanya isak tangisku yang memenuhi ruangan kamar kos. Ada perasaan yang mengatakan padaku bahwa ini adalah air mataku yang terakhir.
“Aku nggak akan bikin kamu nangis lagi. Aku janji. Jadi aku mohon, jangan pernah menangis lagi oleh sebab apapun.”
Aku juga tak akan memangis jika bukan karena penyesalan. Satu-satunya hal yang sangat kusesali, dia pergi. Meninggalkanku dengan cinta yang terlambat kusadari. Sebelumnya, aku memang mencintainya, tapi aku baru benar-benar sadar, bahwa cintaku tak biasa. Karena Faruq adalah laki-laki luar biasa.
Dia pergi. Akhirnya dia menginggalkanku dan tak menoleh kepadaku lagi. Bersama kepulan asap motor yang di kendarainnya, dia menghilang di dalam kegelapan malam. Tapi mataku terus memperhatikannya. Berharap yang baru saja terjadi hanyalah mimpi buruk. Aku hanya mengigau. Tapi sayangnya aku salah. Karena dia tak pernah kembali lagi padaku. Itu kenyataannya.
***
“Bagaimana kalau aku menyukaimu?”
Kutatap baik-baik mata itu. Mata yang tulus dan penuh dengan kasih sayang. Terkadang aku ingin bercanda dengan Tuhan, untuk apa wanita egois dan menyebalkan sepertiku ini selalu mendapatkan kado berupa orang-orang yang selalu menyayangiku dengan sepenuh hati, sedangkan mereka tahu kalau aku tak mungkin bisa membalasnya. Tapi sayangnya, Tuhan tidak bercanda.
Rasanya seperti bermain catur dengan Tuhan. Ketika Tuhan memajukan bidak-bidaknya, aku selalu mengambil jalan yang asal dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Yang ku tahu hanya memakan bidak itu. Menyakiti prajurit-prajurit kiriman Tuhan.
Tuhan sedang mengujiku dengan bidak-bidak itu. Kelihatannya aku menang banyak karena aku bisa membantai habis semua pion-pionnya. Tapi kenyataannya, aku kalah telak. Karena aku tidak pernah bisa menguasai zona daerahku sendiri. Aku tak bisa menguasai diriku. Hingga akhirnya aku skakmatt. Aku kalah.
Edison, salah satu pengagumku. Kusebut begitu karena dia selalu menyanjungku dan memberikan apapun yang kubutuhkan. Tapi sayangnya, ketika dia menyatakan perasaannya padaku, aku malah menalikannya pada tiang gantungan. Membunuh perasaannya pelan-pelan. Dia pergi juga kemudian hari. Mendapatkan kekasih yang lebih baik dariku. Sama baik dengannya. Dia bukan yang pertama menyatakan perasaannya padaku. Masih banyak yang lain. Rio, Evan, Edo, Nay, dan Widi. Tapi nasib mereka selalu sama. Mereka menyerah.
Aku tahu, aku yang salah. Aku memperlakukan mereka seolah-olah seperti mayat hidup yang lewat dan tak berharga. Tidak peduli seberapa besar pengaruh mereka, harta mereka, bahkan tampang mereka. Aku selalu melakukan hal yang sama. Menyakitinya.
Ketika aku menginjak usia 25 tahun. Seperempat abad. Baru kusadari sekelilingku mulai menua dan berubah. Semua laki-laki yang dulu pernah begitu baik padaku dan memujaku lalu ku abaikan, kini mereka semua sudah memiliki keluarga. Bahkan anak. Mereka bahagia. Aku iri. Menurutku, mereka memujaku lalu menjatuhkanku dengan cara sedemikian rupa. Mereka menikah. Menemui pasangan. Bahagia. Sedangkan aku, masih seorang jomblo seperempat abad yang tidak pernah tahu apa yang harus di lakukan. Ganti mereka yang meremehkanku. Mengataiku perawan tua dan tak laku. Tapi apa mereka tahu sebab kenapa aku seperti ini?
***
Ku bekukan hati dan air mata. Menembok perasaan dengan ketegaran. Mengaburkan mata dari segala pesona yang kelihatannya sempurna. Semua hanya demi satu hati yang kuimpikan. Berharap ruangan kosong itu bisa kuhuni lagi didalamnya. Faruq. Hatiku hanya untuknya. Tanpa meminta lebih, aku masih tetap mencintainya. Dengan cinta luar biasa yang terlambat, kucoba terus bertahan.
Hingga ketika di usiaku yang kedua puluh sembilan tahun, tepatnya kemarin. Tepat jam dua belas malam. Setelah sekian tahun dia baru menghubungiku.
“Kamu ternyata belum juga berubah.”
Dengan kata-kata seperti itu, dia akan memulai pada klimaks percakapan. Aku tertegun. Tanganku tergenggam erat. Mencoba menahan diri. Jika tidak begitu, kami akan mulai bertengkar. Aku tidak ingin kami akan melakukan hal konyol seperti ABG labil lagi. Setelah sekian tahun dia masih ingat dengan hari ulang tahunku.
“Kenapa kamu belum menikah?” tanyanya dengan tegas dan nada suaranya sudah berbeda sejak terakhir kali kami bicara. Sembilan tahun lalu. Aku tidak tahu, dia ingin segera mengakhiri percakapan atau ingin mengalihkan pembicaraan.
“Aku menunggumu,” jawabku pelan.
Dengan jelas bisa kudengar suara Faruq yang tertawa kecil. Aku tahu itu bukan tawa lucu. Tapi dia menghina penantianku.
“Aku harap kamu bisa menemukan orang lain yang tepat,” katanya kemudian.
“Orang yang tepat untukku itu yang bagaimana? Bagiku, hanya kamu orang yang tepat.”
“Aku nggak bisa. Kita terlalu berbeda.”
Dengan impulsif, kepalaku mengangguk-angguk. Mencerna setiap kata-katanya. “Lalu apa maksudnya kamu meneleponku setelah sekian tahun? hanya untuk mengatakan ini? dengan nada yang berbeda dari janjimu dulu?”
Hening. Kami terdiam. Tapi aku bisa mendengar dengus nafasnya kembang kempis menderu di Hp.
“Aku tidak bisa pulang. Aku sedang ada di Papua.”
Mataku terbelalak. “Kenapa? Bukannya waktu itu kamu bilang akan jadi Bintara? Bagaimana mungkin bisa sampai ke Papua?”
“Aku memutuskan jadi TNI dan sudah hampir tiga tahun aku disini.”
Tubuhku langsung lemas. “Kapan kamu kembali?”
Tidak ada jawaban. Kupikir, mungkin saja dia menggeleng. “Aku tak akan kembali. Mungkin. Kalaupun aku kembali, mungkin aku tak akan bisa mewujudkan janjiku padamu.”
“Faruq, dengar! Aku menunggumu. Sembilan tahun. Aku masih menunggumu!”
Tidak ada jawaban lagi. Aku terus menunggu dia bicara. Kupasang baik-baik telingaku untuk memastikan dia masih hidup di seberang. Hingga kemudian kutangkap sebuah suara radio, TV, atau apalah itu seperti bunyi berisik.
“Apa kamu bisa tahu bagaimana rasanya membaca buku yang sama berulang-ulang?”
Dahiku mengekrut. “Jika aku menyukai buku itu, aku akan terus membacanya berulang-ulang hingga aku hafal bagaimana alurnya. Bahkan sampai aku bisa menemukan kesalahannya.”
“Aku nggak gitu. Aku merasa bosan karena terus membaca cerita yang sama berulang-ulang. Nggak ada tantangan. Itu sebabnya sekarang aku paham kenapa kamu dulu selingkuh. Mungkin karena aku yang terlalu lemah dan membosankan.”
Aku terdiam. Tapi kemudian aku segera bicara lagi sebelum hilang kesempatan. “Aku sudah bisa menangkap apa maksudmu. Sekarang berikan aku keputusan. Tunjukkan jika dirimu laki-laki dan bisa bersikap jantan. Jangan pernah menggantungkan statusku!”
“Statusmu sudah jelas. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi.”
“Begitu? Tapi ketika kamu dulu meninggalkanku, aku tidak menangkap apa-apa. Kecuali harapan palsu yang kamu berikan hingga sampai detik ini aku masih tetap menunggumu. Aku terus memperbaiki diri. Nggak selingkuh dan nggak menerima laki-laki lain dalam hatiku selama kamu pergi. Aku berusaha meletakkanmu di posisi paling tinggi. Aku nggak pernah membiarkan satu orang laki-lakipun lewat di hatiku, karena aku masih milikmu!”
“Kita nggak menikah, kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau. Seperti dulu. Laila yang kukenal adalah Laila yang sangat ceria dan bisa dengan mudah menemukan laki-laki baik di sekelilingnya. Tuhan membantumu. Memberikanmu keberuntungan berupa wajah cantik dan terus di cintai banyak orang.”
Tapi aku kehilanganmu. Tidak ada gunanya semua itu. Detik berikutnya aku merasa konyol. Sembilan tahun aku menunggunya dan dia memangkas harapanku dalam sembilan menit.
***
“Mbak Laila?”
Aku tertegun di balik pagar. Seorang laki-laki yang masih menggunakan seragam army loreng mendatangi rumahku. TNI. Setidaknya aku melihat band itu di dadanya.
“Saya Fajar,” katanya begitu aku kembali menatapnya. “Ada kiriman, dari Faruq.”
Di tangannya terdapat sebuah kotak sedikit besar. Aku tak bisa menduga apa isinya. Kelihatannya tidak begitu berat. Setidaknya di tangan Fajar yang jelas terlihat kekar. Aku menerimanya begitu Fajar menyerahkannya. Setelah berbasa-basi sedikit dengan Fajar, ternyata aku tak bisa membuatnya mampir. Dia memilih untuk segera pergi. Seolah takut kalau aku akan bertanya lebih banyak tentang Si Pengirim paket.
Jantungku berdetak tak biasanya. Karena semua terlihat tidak biasa. Mulai dari datangnya seorang lelaki, TNI. Fajar yang tiba-tiba mengantarkan paketan dari Faruq. Bungkusannya kotak berlapis kertas coklat. Perginya Fajar yang buru-buru. Semua ini baru kudapatkan setelah sembilan tahun berselang.
Tidak ada surat begitu aku membuka bungkusan kotak itu. Tapi isinya jelas membuatku terkejut. Tiga puluh delapan seri komik Samurai Deeper Kyo. Buku-buku itu tak bersampul. Kelihatan jelas kalau komik ini sering di baca. Dulu, komik itu selalu yang kuminta pada Faruq. Dia selalu memberikanku apapun. Termasuk komik. Itu jaman ketika aku masih labil dan suka membaca komik. Komik pertama, sekaligus yang kusukai. Faruq tahu itu. Aku rasa dia membeli ini untuk dirinya sendiri.
Halaman pertama dari seri komik pertama kubuka. Mataku di buat terbelalak. Ada tulisan di halaman pembukanya. Tulisan tangannya.
Aku tak pernah bosan padamu seperti aku bosan pada cerita dalam komik-komik kesukaanmu ini. Bagaimana mungkin perasaan manusia bisa bosan pada manusia lain? karena cinta itu rumit dan tidak bisa di pikir menggunakan logika. Tidak ada rumusnya.
Aku tidak pernah melupakanmu, keceriaanmu, air matamu, hingga perselingkuhan yang sering kamu lakukan didepan mataku. Tapi hatiku selalu memaafkanmu. Aku tidak tahu apa sebabnya, mungkin karena cinta tidak ada rumusnya. Mungkin karena kamu bukan buku yang membuatku bosan ketika kubaca berulang-ulang.
Ketika aku menghubungimu kemarin, sebenarnya aku sudah ada di Jakarta. Aku dipulangkan karena mengidap Malaria. Sebenarnya tidak boleh. Tapi aku mengundurkan diri. Mungkin aku akan mati. Sebelum itu, aku ingin melihatmu. Tapi aku malu, bukan karena malaria. Tapi karena janji yang tak pernah bisa kuwujudkan ketika kepergianku dulu. Menjadi imammu. Maafkan aku.
Kututup lembarannya. Mataku kabur memandang jauh keluar menembus gawang pintu. Ada bayangan Faruq disana. Menungguku menghampirinya. Pelan kakiku menapak telanjang di atas ubin basah. Berjalan lurus tanpa alas.
Dalam sengatan surya, aku berlari di atas bara aspal yang mengganas. Bahkan aku tak peduli jika kakiku harus terbakar. Mata Faruq dalam bayang-bayang telah menarikku jauh melintasi jalan raya dan menjemput angin. Hingga tak kusadari sesuatu yang keras menyentuhku dengan kasar. Kemudian melemparkanku keujung jalan yang panasnya seperti penggorengan. Pipiku menyentuh aspal. Rasanya aku matang. Kepalaku membentur aspal seperti piring yang jatuh dari ketinggian. Tulangku berderak dan menimbulkan rasa ngilu. Tak tahu apa yang masih bisa kurasakan. Hanya terasa panas, pusing, dan wajahku basah lengket bau anyir. Kemudian gelap.
-----FIN-----
No comments:
Post a Comment