Tuesday, January 7, 2014

Cerpen: AKULAH LELAKI VIRGO

Cerpen 

AKULAH LELAKI VIRGO



Pada akhirnya aku bertemu juga dengannya. Kami bertatap muka. Seperti dua kupu-kupu yang berpijak dalam satu daun. Matanya lurus menatapku. Memperhatikan setiap detil raut wajahku, mungkin. Piringnya tidak kosong. Steak itu masih belum di sentuhnya sama sekali. Tapi garpu dan sendok sudah di pegangnya. Mungkin dia butuh sesuatu untuk mengalirkan konsentrasinya. Menatapku saja tidak cukup. Dia perlu pegangan untuk membuatnya tetap berani memandang mataku.
"Lakukan apapun yang kau mau," katanya pelan. Tapi kutahu, dia tidak benar-benar suka mengatakan itu.
"Menyesal sekali, tapi aku memang sudah benar-benar membuat keputusan."
Kepalanya mengangguk. "Yang dulu hanya bisa kubayangkan, kini akhirnya benar-benar terjadi. Antara aku dan kau, berakhir..."
Kepalanya tertunduk. Aku tahu dia menyesal. Aku juga, mungkin. Sedikit. Atau mungkin banyak. Entahlah, aku bingung.
"Tapi aku mohon, biarkan aku tetap seperti ini, mencintaimu dengan caraku sendiri."
"Tapi itu bodoh!"
"Sejak kapan cinta kenal dengan logika? logikaku sudah tergeser oleh cinta sejak aku mengenalmu," bantahnya.
"Apa aku juga harus bilang hal yang sama denganmu? lakukan apapun yang kau mau, begitu?"
Dia mengangguk. Bahunya sedikit lebih rileks sejak aku bicara dengannya. Tidak sama seperti tadi saat dia baru datang, terlihat sangat kaku. Mungkin itu karena  hampir enam tahun kami tidak bertemu muka. Tapi sama-sama masih menyimpan rindu. Namun pada akhirnya rindu itu menjadi munafik saat aku memutuskan untuk menikah dengan jodoh pilihan Ayahku. Bukan karena terpaksa menerima perjodohan itu. Tapi karena aku harus memberinya kesempatan untuk melupakanku. Kami tak mungkin bersama.
“Jangan khawatir. Bukan dirimu saat ini yang aku cintai. Tapi aku mencintai Ray yang dulu.”
“Ray yang bodoh!” cibirku. Aku sudah apatis dengan cintanya. Apalagi sayangnya. Aku sudah tidak bisa mempercayai air matanya.
“Iya, Ray yang bodoh, bahkan kelewatan naifnya.”
“Aku tak pernah percaya kau punya cinta.”
“Cintaku mungkin tumbuh terlambat. Yang dulu itu, mungkin memang bukan cinta. Tapi ego. Saat itu, aku menembakmu duluan, bukan lantaran aku hanya ingin menang dari taruhanku dengan Nesa, teman baikku yang juga menyukaimu. Tapi lebih dari itu, aku ingin memilikimu. Aku tidak ingin orang lain bersamamu. Hanya aku yang boleh.”
“Dan aku sukses menjadi budakmu.”
“Karena dulu kau begitu mencintaiku. Kau memanjakanku. Kau menyuruhku untuk bergantung padamu.”
“Karena aku dulu mempersembahkan cintaku yang paling murni. Tidak mengada-ada dan sangat apa adanya. Tapi kau mencintaiku karena ada apa-apanya.”
“Aku tidak yakin dulu itu aku sudah mengenal cinta atau belum. Tapi yang aku tahu, perasaanku dulu begitu muda. Masih terbangun dari rasa kagum. Entah apa yang membuatku kagum padamu. Tapi sejak pertama kali melihatmu, aku sudah tahu bahwa takdirmu adalah bersamaku. Aku akan mencintaimu jauh lebih lama daripada saat kita bertemu.”
Aku senang dengan caranya bercerita. Terkadang seperti dongeng lebah. Berdengung di telinga, tapi membuat penasaran. Dia selalu begitu. Mengandalkan feelingnya yang timbul secara impulsif. Terkadang dia menyebut itu insting. Tapi apapun itu, terkadang aku takjub dengan kenyataan-kenyataan kecil yang akhirnya muncul. Termasuk ketika dia mengatakan bahwa kami akan berpisah setelah lulus kuliah, dia benar. Bukan perpisahan karena mengada-ada. Tapi karena aku sudah bosan dengan syndrome Tuan Putrinya.
“Tenang saja. Tetap lanjutkan hidupmu seperti biasa tanpa mempedulikanku. Karena yang kucintai adalah Ray di masa lalu. Ray yang ku kenal sebelas tahun lalu. Bukan kau yang sekarang dengan segala hal yang kau punya.”
“Aku percaya, karena sekarang juga kau sudah punya segalanya. Jadi aku tidak penting lagi,” sahutku dengan nada mengejek.
Dia tersenyum. Mengejekku balik. “Iya,” katanya kemudian sambil menyandarkan bahu di kursi. “Aku sudah punya semuanya. Karena itu  aku tidak butuh apa-apa lagi kecuali kembalinya Ray yang dulu padaku.”
“Masa lalu tidak mungkin kembali.”
“Aku tahu. Tapi aku akan terus menunggu saat itu tiba. Jika memang bukan kau, pasti ada Ray lain yang akan datang padaku. Tapi aku tak pernah yakin ada Ray yang lain selain kau.”
“Lihat, siapa sekarang yang bodoh? Kau terlalu konyol untuk menjadi dirimu saat ini.”
“Aku sudah bilang, logikaku sudah di geser oleh cinta. Aku tidak peduli, aku akan tetap menunggu Ray. Laki-laki tanpa motivasi konyol untuk mendekatiku. Laki-laki yang sama denganku, yang didalam otaknya sudah tidak ada logika lagi, tapi hanya ada cinta. Yang di dalam hatinya sudah tidak ada perhitungan lagi, tapi hanya ada aku.”
“Kau jelas tahu, tidak ada mesin waktu.”
“Memang. Karena itu, aku tidak pernah logis.”


Ketika itu, kami masih sama-sama duduk di semester satu. Aku adalah satu dari sekian anak laki-laki di kelas kami yang menyukainya. dia yang kukenal dulu, sangat cantik, sangat lincah, juga sangat ceria. Aku mencintainya bukan karena nafsu, tapi murni karena aku menyukainya yang polos dan tomboy.
Aku mendekatinya. Sama seperti yang lain. Tapi mungkin aku yang paling gencar mendekatinya saat itu. Aku  tak pernah tahu, dia menanggapiku atau tidak. Tapi nyatanya, dia cuek dan lebih sering tidak memperhatikanku. Hingga membuatku frustasi.
Bisa kuingat, aku tidak bisa tidur selama tiga malam dan aku tak nafsu makan selama satu minggu. Wajahnya terus membayang di setiap kedipan mataku. Ketika melihatnya, aku sangat bahagia. Berharap, setiap hari ada jam kuliah agar aku bisa bertemu dengannya. Dan saat dia memandang kearahku tanpa sengaja dengan senyumannya, duniaku meleleh. Aku bahagia. Aku rasa, itulah cinta. Baru kualami yang seperti itu pertama kalinya. Dengannya.
Berbagai cara kuupayakan agar aku bisa mendekatinya. Meskipun kukatakan bukan nafsu, tapi ada dorongan tersendiri dalam darah mudaku yang memaksaku untuk terus berjuang mendapatkan dirinya.  Ego lelaki. Tapi tetap saja tidak ada harapan. Sainganku terlau banyak. Mulai dari kakak kelas hingga teman sekelas yang lain, bahkan dosen yang jomblo ketika itu. Aku jadi semakin yakin, dia memang memesona.
Satu bulan,  aku terus gagal. Aku tak pernah bisa mendekatinya seperti anak-anak yang lain. Mungkin caraku memang salah. Meskipun kubilang kalau aku sangat gencar mendekatinya, tapi aku tak pernah benar-benar melakukannya secara fisik. Aku hanya mengiriminya hadiah. Membelikannya buku. Memberikannya coklat. Dan semua itu kulakukan secara diam-diam.
Aku tahu dia tidak pernah suka bunga. Tapi dia suka boneka. Aku tahu dia suka membaca, aku tahu dia suka coklat, aku tahu dia suka jagung bakar, aku tahu dia sangat apa adanya. Juga cantik. Kukagumi apapun yang ada dalam dirinya. Semuanya.
Hingga kemudian dia datang sendiri padaku. Setelah satu bulan berlalu. Di lantai tiga gedung sekolah. Setelah mata  kuliah hari jumat berakhir. Dengan lugasnya dia mengatakan bahwa dia sangat mengagumiku. Dia mengatakan aku berbeda dari laki-laki kebanyakan yang menyukainya  dan mendekatinya secara fisik. Dia tahu kalau selama ini akulah yang sering menyelipkan novel-novel roman didalam tasnya. Dia tahu, akulah yang sering memasukkan coklat didalam tasnya. Dia tahu aku. Begitulah wanita, kelihatannya saja diam, tapi dia tahu segalanya. Ketika dia mengatakan bahwa dia menyukaiku, duniaku seolah terpecah sendiri. Hanya ada aku dan dia didalam satu langit yang sama.
Jumat, 29 September 2003. Kami resmi pacaran. Sebenarnya aku tidak pernah ingat dengan hal sepele macam itu. Tapi dia yang terus mengingatkanku. Terus. Hingga tiga tahun kemudian kami sama-sama lulus lebih cepat. Tapi satu bulan setelah itu, kami putus. Aku yang melakukannya pertama kali. Memutuskannya dan mematahkan hatinya. Balas dendam. Aku ingin membalasnya lebih, karena dia menyakitiku lebih dulu. Selain syndrome Tuan Putrinya yang kutahu setelah dua bulan kami jadian, ternyata dia juga menduakanku. Menyakiti harga diriku. Dan kemudian aku membalasnya lebih. Kubuat dia menangis berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Kubuat dia menyesal bertahun-tahun setelah aku meninggalkannya ke Jerman untuk memenuhi impianku mencari gelar Magister.
Enam tahun kami berpisah. Tapi tiga tahun pertama, dia terus menghubungiku. Mengatakan rindu. Mengatakan sayang. Mengobar cinta. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Meskipun masih ada rindu. Tapi aku tak bisa mempercayainya lagi. Meskipun masih ada cinta, tapi aku ragu. Benarkah itu cinta?
“Terima kasih sudah membiarkanku tetap perawan,” ucapnya kemudian. Aku kaget. “Kau tak pernah menyentuh seujungpun jemariku. Hal paling besar yang kau lakukan secara fisik hanyalah menatapku. Tidak pernah lebih. Kita selalu menjaga jarak selama tiga tahun pacaran. Dan sulit di bayangkan, bahwa aku mengenal cinta sungguh sangat telat.”
“Telat?” aku tak percaya. “Bagaimana dengan puluhan laki-laki yang pernah jalan denganmu selama kita pacaran? Kau tahu, aku sakit mata!”
“Aku dan mereka tidak pernah ada hubungan. Sudah kukatakan itu berkali-kali. Kami hanya teman. Aku butuh mereka untuk membantu semua tugas kuliah. Tidak lebih.”
“Aku tidak percaya kau memanfaatkan laki-laki!”
“Karena aku wanita. Pesona yang sudah membutakan mereka. Bukan salahku kalau aku begitu cantik. Dan aku butuh mereka bukan semata-mata hanya ingin memanfaatkan, toh aku membayar semua jasa yang kubutuhkan dari mereka!”
“Dengan pergi nonton? Makan malam? Jalan-jalan malam minggu? Lalu kau anggap aku apa? nyamuk?”
“Bukan. Aku tetap menganggapmu laki-lakiku. Bertahta dan duduk manis di sisiku. Semua orang tahu!”
“Mereka tahu tapi mereka tidak pernah sungkan padaku sebagai pacarmu. Karena kamu membuatku terlihat bodoh!”
Dia tertawa. Mengejek. “Sulit di bayangkan, kita baru membicarakan masalah ini setelah kau akan menikah dan kita bertemu lagi setelah enam tahun berpisah!”
“Aku sengaja menghindarimu.”
“Untuk apa?”
“Aku ingin memberimu kesempatan untuk menatap masa depanmu tanpa harus mengingatku.”
“Lalu untuk apa rasa menyesal yang kau tinggalkan untukku?” tatapan matanya menuntut. “Enam tahun aku meratapimu. Hingga detik ini aku masih ingin Rayku kembali. Tapi kau sudah mengacaukannya. Entah kau sembunyikan dimana Rayku.”
“Aku sudah membunuhnya. Tidak ada Ray  Adi Jaya yang dulu lagi. Yang masih suka menyelipkan novel roman dan coklat kedalam tasmu. Ray yang memberimu boneka beruang biru yang mungkin saja sekarang ini boneka itu sudah hilang.”
Dia diam. Kepalanya menunduk seperti putri malu yang tersentuh angin. Aku tahu, boneka itu pasti sudah hilang. Dia tidak tahu, butuh waktu selama empat bulan untukku mengumpulkan uang, agar aku bisa membelikannya boneka sekaligus mengajaknya makan dan nonton sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke dua puluh. Tapi aku tak akan menghitung. Laki-laki tidak boleh berhitung pada wanita. Semua itu adalah bagian dari usaha untuk belajar membahagiakan anak orang dengan kemampuan sendiri. Tapi aku hanya ingin dia tahu dan menghargai perjuanganku. Itu saja. Mendapatkan perhatiannya memang sangat mudah. Tapi yang lebih sulit adalah bertahan di sisinya.
“Kau menjelma menjadi wanita yang seolah tidak butuh cinta,” kataku pelan.
“Karena aku hanya menyisihkan ruang kosong di dalam hatiku untuk Ray. Bukan untuk orang lain. Meskipun orang lain itu menawariku cinta yang paling manis. Bagiku, Rayku yang dulu tetap lelaki Virgo yang kubanggakan.”
Dia berbeda dari yang kukenal dulu. Jika dulu aku melihatnya karena aku kagum secara apa adanya. Sekarangpun aku melihatnya masih sama. Aku kagum padanya. Tapi dia yang kini jauh lebih kuat dan tegar lebih dari yang kupikir. Atau mungkin sekarang ini dia sedang bertahan di balik benteng hatinya yang di buat sekokoh mungkin. Dia tahu, bahwa musuh terbesarnya adalah orang yang sangat di cintainya. Aku.
Dia sekarang jauh lebih santai. Sangat santai malah. Tapi matanya tetap terus menatapku. Aku sedikit terganggu. Aku takut, pandangan mata itu akan membayang di dalam mimpiku nanti malam hingga satu minggu kedepan tepat saat aku akan melangsungkan pernikahan.
“Kau satu-satunya lelaki yang memberiku perhatian lebih. Bukan karena nafsu. Setidaknya aku berpikir seperti itu. Dulu aku selalu bertanya. Mengapa Ibuku sangat mencintai Ayahku, apakah karena dia berzodiak Virgo? Aku juga selalu bingung dengan kasih sayang yang di tumpahkan Ibuku dan ayahku yang begitu besar pada adik laki-lakiku, apa hanya karena dia berzodiak virgo?” tatapannya kembali mengarah padaku. Seolah pertanyaannya benar-benar harus kujawab. Tapi ketika mulutku akan terbuka. Dia melanjutkan kata-katanya, “kukatakan pada Ibuku, bahwa aku juga punya laki-laki Virgo. Ibuku sangat senang. Dia bahagia. Aku tidak tahu mengapa. Tapi dia bilang, orang virgo sangat setia. Jika dia sudah meletakkan pada satu pilihan. Maka dia akan terus berpegang pada pilihanya. Dia bilang, aku harus bahagia juga karena sudah memiliki lelaki Virgo. Aku percaya. Karena itu aku mempertahankanmu. Tapi kau terus menuduhku berselingkuh dengan Si Ini dan Si Anu. Padahal kami hanya teman. Sebegitu posesifkah dirimu?”
“Tiga tahun!” tiga jariku terbentang di hadapannya. “Harusnya kau sudah bisa mengenaliku luar dan dalam. Itu waktu yang sangat lama untuk memahami seseorang.”
“Aku memang paham. Tapi tiga tahun itu bukan waktu yang lama. Buktinya aku baru bisa memahamimu setelah kau akan memutuskan untuk pergi meninggalkanku dan kemudian hilang tanpa jejak.”
“Kau mencariku?”
“Aku mencarimu!”
“Kemana?”
“Ke rumahmu. Aku bertemu dengan Bundamu. Beliau bilang kalau kau sudah pergi ke Jerman. Lalu beliau memberikanku nomor teleponmu disana. Karena itu aku bisa menghubungimu.”
“Kenapa kau tidak menyusulku ke Jerman?”
Dia tergagap. Matanya terbelalak. Tapi alisnya yang tebal bertaut. Dahinya berkerut. Rasa percaya dirinya pudar. Aku tahu dia ingin protes. Tapi memang sengaja kupilih pertanyaan itu. Berharap percakapan ini segera usai karena aku sudah bosan bicara tentang masa lalu. Toh kami tetap tak akan bisa bersama lagi.
Steaknya mungkin sudah dingin. Punyaku juga. Pada akhirnya kami sama-sama tidak makan. Tidak berselera. Kusesap kopiku yang mulai dingin. Rasa pahit dan sedikit manis mengambang di lidahku. Mungkin beginilah rasanya suasana hatiku dengan orang dari masa lalu yang ada di hadapanku saat ini.
“Kau tahu cinta kita tak seperti Romeo dan Juliet...”
“Jangan bicara cinta lagi. Kau dan aku sekarang berdiri di dunia yang sama. Dunia yang penuh dengan ambisi. Jika bicara cinta, kau dan aku sama dengan antara Napoleon dan Josephine. Sama-sama berkuasa. Sama-sama memiliki ambisi pada dunia. Sama-sama ingin mendominasi satu dengan yang lainnya. Hingga pada akhirnya, kita harus berpisah. Kau menghormatiku karena ambisiku dan aku menghormatimu karena kehidupanmu. Kita tidak mungkin bersatu lagi. Karena benang merah kita sudah putus!”


Bahunya kaku. Pandangannya beralih ke arah cangkir kopi milikku. Mungkin itu bentuk pengalihanya. Tapi sejenak kemudian bahunya mengendur lagi. Bibirnya tersungging senyuman yang di paksakan. Tatapannya sekilas mengarah ke sosok pelayan yang mondar-mandir di belakangku saat melayani tamu. Sedangkan aku terus menatapnya. Hingga kemudian dia menatapku balik. Begitu cepatnya dia menguasai diri.
“Aku sudah bilang padamu. Lakukan apapun yang kau mau. Jangan peduli lagi padaku. Aku akan tetap terus begini, mencintaimu dengan caraku sendiri. Yang kucintai adalah Ray yang dulu. Meskipun dia tersekap dalam ragamu yang kini sudah dewasa. Tapi Ray yang dulu, aku tak akan pernah melupakannya,” katanya sembari bangkit berdiri dan menyelempang tas tangannya. Dia sudah sangat feminim.
“Apa tidak bisa kau buka hatimu itu untuk orang  yang akan masuk nanti? Kau butuh laki-laki lain. Lupakan aku,” kataku cepat-cepat sebelum dia benar-benar pergi.
Kepalanya menggeleng. “Aku tidak bisa. Perasaanku tak bisa di kendalikan. Meskipun sakit. Tapi aku akan terus menikmatinya dalam kehampaan.”
Dia pergi. Gaya berjalannya sudah berbeda. Sekarang, kakinya seolah menyilang-nyilang agar mengesankan kalau dia sangat seksi. Rambutnya di kuncir tinggi seperti Jinni. Blusnya berwarna putih gading tanpa lengan. Di padu dengan celana berwarna biru. Wajahnya sudah di poles dengan make up. Bibirnya merah ranum karena lipstick warna merah jambu. Dia memang berubah seksi. Sangat.

Apa aku tergoda lagi? tapi kali ini secara seksual. Bagaimanapun juga, aku laki-laki. Mungkin Ray di masa lalu itu akan muncul  jika aku mendekatinya lagi. Mungkin dia tak akan menolak. Karena aku tetaplah lelaki Virgo yang di cintainya. Dia sangat percaya, bahwa Virgo sangat setia. Tapi aku tidak. 

-----FIN-----


No comments:

Post a Comment