Ispirate
Namanya Vitamin C. Aku memanggilnya seperti itu. Dia teman satu kelas dan pendiamnya lebih parah daripada patung Selamat Datang Jakarta.
Kami mahasiswa fakultas hukum dan sedang duduk di semester satu.
Namanya Vitamin C. Aku lebih suka memanggilnya seperti itu. Dia tampan dan mirip seperti aktor Taiwan sekaligus member boyband Fahrenheit, Wu Chun. Saking tampannya, aku sampai tidak bisa berkutik saat memandangnya. Duniaku teralihkan seperti jargon iklan sabun wajah.
Vitamin C, begitu aku memanggilnya. Dia tidak sama seperti teman-temanku yang lain. Meskipun pendiam, itu hanya kesannya saja. Sebenarnya dia cukup supel dan bisa berteman dengan siapa saja. Tapi sepertinya, dunia diam itulah yang membuatnya lebih suka untuk dia tinggali. Daripada harus ngerumpi atau mengobrol dengan teman se-geng yang notabene membicarakan masalah yang sama. Hukum, Politik, Negara dan Pemerintahan.
Teman Vitamin C di kelas hanya beberapa yang dekat dengannya. Sedangkan aku, aku seperti memiliki anak buah yang siap digiring kemana-mana. Hitung-hitung, menikmati masa muda dan menikmati indahnya hidup menjadi Mahasiswa tingkat pertama. Entah ada berapa anak yang merasakan bangga ketika bisa duduk di bangku kuliah selain aku. Mungkin tidak satu, tapi banyak.
Vitamin C tidak sepertiku atau seperti anak-anak lain yang sedang duduk di bangku kuliah. Ada satu fakta yang membuatku kaget. Ternyata dia adalah mahasiswa yang sedang ngulang ke tingkat awal lagi gara-gara banyak nilainya yang berantakan. Seorang kakak dari semester lima memberitahuku jika dia bukan hanya mengulang. Tapi kembali. Dua tahun yang lalu, Vitamin C sudah menjalani kuliahnya hingga semester empat. Tapi banyak nilainya yang tidak lulus. Akhirnya dia keluar. Tapi satu tahun kemudian, dia kembali dengan status mahasiswa baru. Sama sepertiku dan yang lainnya di tingkat pertama.
Wu Chun, maksudku Vitamin C. Banyak di kenal dosen. Terutama ketika mata kuliah Bahasa Belanda. Dosen kami sering menggunakan Vitamin C sebagai ‘alat peraga’. Dia akan di suruh maju ke depan untuk mengajarkan kepada kamu bagaimana cara membunyikan huruf ‘U’ dalam Bahasa Belanda.
Dimataku, Vitamin C sangat luar biasa. Super keren dan beda dari yang lain. Sering aku mengaguminya secara terbuka di depan gengku. Bahkan aku tidak bisa menyembunyikan rasa kagumku ketika melihatnya. Teman-temanku bilang, mataku tidak bisa berbohong. Mataku akan terlihat menyala ketika Vitamin C lewat di depan hidungku, ketika dia duduk di seberangku, ketika dia menolehku, ketika dia menyapaku atau ketika mengutarakan pendapat, juga pertanyaannya ketika kami sedang presentasi makalah.
Dia selalu bertanya. Dimataku, dia terlihat cerdas. Sekaligus tampan. Apapun yang di milikinya, dari kepala hingga ujung kaki, aku menyukainya. Dia tipe yang sempurna untuk didapatkan. Akan sangat bodoh jika di sia-siakan.
Aku sering iri pada teman-teman cewek yang ada di sekelilingnya. Meskipun tidak banyak dan hanya dua ekor. Tapi mereka sangat dekat dengan Vitamin C. Aku cemburu ketika dia bisa tertawa bersama dengan mereka. Bahkan aku sering bermimpi, kapan akan datang masanya aku bisa tertawa bersamanya, bersenda gurau atau berbincang dengan sangat akrab. Meskipun aku tidak pernah mengharapkan lebih, tapi saat itu rasa kagumku berubah dengan sendirinya menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hingga tersematlah sebutan Vitamin C untuknya.
Aku sering merasa lemas ketika tidak bisa memandangnya barang satu hari saja. Seperti orang kekurangan asupan nutrisi.
***
Pelan namun pasti, aku membiasakan diri tidak hidup dari semangat melihat Vitamin C. Meskipun hidupku seperti orang kekurangan suplemen. Layu.
Hingga detik terakhir aku berada di semsester satu, hanya tiga kali aku mendengarnya bertanya padaku. Pertama, ketika aku presentassi makalah. Kedua, ketika dia bertanya mengapa aku memiliki binder yang sangat unik—tiga dimensi. Ketiga, ketika dia memanggilku dengan nama lain.
Awalnya, aku tidak menyadari ketika dia memanggilku dengan nama Heni. Aku pikir dia sengaja melakukannya untuk menyebutku sebagai ‘panggilan sayang’. tapi ternyata, aku baru tahu kalau dia benar-benar tidak tahu namaku ketika kami sudah sama-sama duduk di semester enam.
Dia tidak mengetahui namaku. Teman sekelasnya dari semester satu. Orang yang mengagumi dia. Manusia yang selalu di ajukan pertanyaan ketika presentasi makalah. Aku tidak percaya. Dia benar-benar menyebutku dengan nama lain lantaran tidak pernah tahu namaku.
***
Semester enam itu datang. Aku duduk di reguler malam sudah sejak semester dua lantaran pekerjaan. Sedangkan dia baru pindah ke reguler malam juga lantaran dia harus bekerja paruh waktu. Hanya saja, kami berbeda kelas. Aku duduk di Claster Pidana. Sedangkan dia ada di Claster Perdata.
Dia mengetahuiku. Dia sering menyapaku ketika kami tidak sengaja berpapasan di koridor kelas. Aku sering mengobrol bersamanya meskipun hanya lima menit. Aku tidak tahu, apakah dia bisa merasakan betapa aku bahagia ketika bisa berbincang dengannya. Seperti gadis kecil yang baru memahami cinta monyet. Aku seperti itu. Puber tidak jelas.
Aku mengobral cerita tentang rasa kagumku pada beberapa teman di kelas. Mereka sering mengataiku dengan sebutan ‘nenek-nenek genit’. Tapi mau bagaimana lagi, rasa kagum dan mataku benar-benar tidak bisa di ajak kompromi.
Setiap kali kami berpapasan. Setiap kali kami bertemu, aku selalu menuliskan prosa yang menceritakan detik-detik menegangkan itu kedalam buku diary.
Semakin hari pertemuan kami semakin sering. Aku merasa sedang menjadi manusia paling bahagia di seluruh lapisan Bumi ini. Tapi kebahagiaan itu mendadak musnah begitu aku memastikan kenyataan itu. Namaku.
Dulu aku tidak pernah suka ketika beberapa temanku mengatakan kalau Vitamin C itu aslinya bodoh. Dia tidak seperti kelihatannya. Dia tidak sepintar pertanyaannya ketika debat makalah. Fakta lain yang di temukan temanku adalah, Vitamin C selalu mencari pertanyaan melalui Mbah Google, bukan hasil pemikirannya sendiri. Itu sebabnya pertanyaannya jadi terlihat cerdas dan mantap. Padahal sebelum dia, sudah ada manusia lain yang membuat pertanyaan yang dia utarakan.
Ketika itu, aku membela Vitamin C. Terlepas dari rasa kagumku padanya. Aku juga tidak menyukai cara teman-temanku yang tadinya kecewa padanya, tidak menyukainya dan berujung pada mengolok-olok nama Vitamin C di belakang orangnya. Bagiku, yang seperti itu sama sekali tidak sportif. Aku membela Vitamin C dengan mengatakan kepada mereka, bahwa kita juga tidak sepintar kelihatannya. kita adalah sama. Kita pintar membuat taktik dengan menyusun setiap paragraf demi paragraf melalui tombol copy paste. Sedangkan dia juga sama. Menyadur. Sumbernya juga sama: Google.
Sekarang, semua kelihatan menjadi sangat terang. Setelah dua hari lalu dia meminta nomor teleponku dan aku memberikannya plus dengan menuliskan namaku sejelas-jelasnya. Tadinya aku merasa senang dan berharap dia akan menghubungiku. Tapi kenyataannya, dia baru melakukan kontak SMS setelah tiga hari kemudian. Tepatnya siang hari. Dia memintaku untuk membawakan beberapa buku materi untuk dia pinjam. Aku maklum, dia selalu telat saat ke kampus. Aku rasa dia juga sering telat mengikuti kuliah.
Namun rasanya bukan hanya persoalan telat. Ada hal lain yang membuatku merasa sangat sensitif. Setelah aku menuliskan namaku di handphonenya yang mahal dan keluaran terbaru, dia masih tetap menyebutku dengan nama yang sama seperti dulu: Heni. Kalaupun beda, dia menyebutku dengan nama yang lainnya: Eli. Kalaupun ada nama lainnya lagi: Eri. Padahal namaku: JENI.
Aku tidak tahu apa masalah Vitamin C dalam menyebutku. Mungkin dia merasa nama JENI tidak cocok di sematkan dalam diriku. Mungkin juga salah satu pacarnya ada yang memiliki nama itu. Aku hanya menduga-duga saja. Tapi yang jelas, orang yang aku kagumi benar-benar sangat mengecewakan. Aku tidak tahu kalau dia bisa mengalami disleksia dalam memahami nama orang. Yang jelas, aku tidak pernah bertanya padanya mengapa dia sering memanggilku dengan nama yang berbeda-beda. Atau mungkin dia sedang melakukan manuver untuk mencoba nama apa yang cocok di tempel di jidatku.
“Hen, Heni! Hen!!”
Dia pernah memanggilku dengan nama itu ketika aku akan pulang kuliah. Di parkiran depan gedung Pasca, aku menoleh ke arahnya yang sedang duduk bersama dengan salah seorang teman sekelasnya. Cewek. Entah kenapa, aku sudah tidak cemburu lagi. Malah bersisa rasa jengkel.
“Mau pulang?” tanyanya.
Aku mengangguk. Ketertarikanku padanya sudah lenyap. “Iya.” Aku tetap berusaha ramah. Bagaimanapun, aku bukan makhluk yang super tega untuk mengacuhkannya. Meskipun dia sudah membuatku jengkel dengan memanggilku yang bukan namaku. Padahal akan lebih baik kalau dia memanggilku dengan nama julukan saja: JEJE.
“Oh!” bibirnya membentuk huruf ‘O’. “Ati-ati!”
Sudah, hanya begitu saja. Itu menjadi basa-basi terakhir yang aku terima darinya. Seiring berjalannya waktu, aku sudah jarang dan hampir tidak pernah bertemu dengannya lagi. Jika bertemu sekalipun, dia sudah tidak pernah lagi menolehkan wajahnya ke arahku. Aku tidak tahu apa masalahnya denganku. Tapi yang jelas, aku mendiamkannya.
***
Vitamin C hanya contoh kecil dari kesekian orang yang memiliki masalah yang hampir serupa dengan namaku. Dia memang bukan yang pertama bermasalah dengan namaku, tapi dia yang paling parah di antara yang sudah-sudah. Aku tidak tahu apa masalah mereka. Tapi mereka hampir selalu menayakan hal yang sama: APA ARTI DARI NAMAMU?
Aku sendiri tidak tahu apa artiku dalam sebuah nama. Aku tidak pernah tahu apa arti namaku. Bahkan aku tidak tahu bagaimana sejarahnya hingga nama itu tersemat dalam akta kelahiranku. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa Bapak menemukan namaku, karena Bapak sendiri tidak bisa menjawabnya. Cukup aneh memang.
Lama aku meragukan namaku. Hingga beberapa menit lalu aku menemukan sesuatu yang sangat mengejutkan. Aku menemukan satu fakta tentang namaku.
Tanpa sengaja aku menemukan sebuah foto yang di gunting kecil. Ketika aku mengambil dan mengamatinya, aku baru sadar kalau gadis kecil dengan kebaya dan konde sebesar semangka di kepalanya itu adalah aku. Itu adalah aku ketika TK dulu. Aku berdandan ala putri keraton dan dinaikkan di atas kereta kencana yang ditarik oleh kuda. Sedikit lucu melihat foto itu, dulu nenek bilang kalau saat itu aku sedang menjadi Putri Solo. Tapi setelah aku perhatikan lagi, aku lebih mirip dengan Mbok Emban.
Di balik foto itu, aku menemukan sebuah bukti yang sangat mengejutkan. Bahkan jantungku masih berdetak sangat kencang hingga saat ini. Tanganku tidak bisa berhenti gemetaran. Aku terlalu senang, sekaligus terharu. Mataku panas dan aku ingin menangis.
Foto itu kutunjukkan pada Ibu. Ku perlihatkan padanya sebuah tulisan empat karakter kata di balik foto itu. Disana tertulis: JENI AMELIA IKA WULANDARI.
“Apa artinya itu, Bu?” tanyaku seolah menuntut jawaban secepatnya.
Ibu tersenyum sekilas, lalu meletakkan foto itu di atas meja riasnya. “Itu nama kamu dulu. Aslinya nama kamu ya itu. Aku memberimu nama IKA WULANDARI. Panggilannya ANDARI. Aku bahkan ingin membaliknya menjadi WULANDARA agar aku bisa memanggilmu ANDARA. Tapi sayang, Bapakmu nggak setuju. Waktu itu kami berdebat. Tapi kesepakatan nama empat karakter itu kami pegang. Namun ternyata nenekmu dari Bapakmu nggak setuju, alasannya nama itu terlalu panjang dan nanti malah bingung mau panggil apa. Tapi aku tetap kekeuh dengan nama alternatifku. Akan tetapi setelah di buatkan surat kelahiran, namamu jadi dua karakter saja. JENI AMELIA. Nama pemberian Bapakmu.”
Penjelasan yang cukup simple dan biasa. Tapi bagiku berdampak sangat besar. Aku tidak akan menanyakan apa arti dari namaku yang sudah tertulis di surat kelahiran kala itu. Karena Ibu pun jelas tidak tahu apa arti dari namaku. Tidak satupun dari mereka yang tahu apa arti JENI dan apa arti AMEL.
“IKA WULANDARI itu artinya apa, Bu?” tanyaku iseng.
“IKA itu dari EKA. EKA, EKO adalah nama untuk anak pertama. Sedangkan WULANDARI itu karena kamu lahir mendekati akhir bulan. WULAN artinya BULAN.”
Hatiku langsung membuncah. Hidungku kembang kempis. Entah kenapa, aku merasa sangat bahagia. Mungkin karena aku sebenarnya memiliki nama lain yang punya arti. Meskipun arti yang tidak terlalu bagus, tapi setidaknya nama itu ada artinya. Karena semenjak aku menyadari kalau namaku sulit di temukan artinya, aku jadi sedikit jengkel dengan William Shakespeare yang mengucap syair andalannya, bahkan terkutip dalam film Titanic: “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”
Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap harum baunya.
Mungkin hanya aku yang blingsatan memikirkan apa arti namaku di antara triliunan umat yang ada di seluruh dunia. Sebagian besar dari mereka yang hidup mungkin tidak akan pernah berpikir tentang nama mereka. Bahkan jika mereka tidak bernama sekalipun, mereka tetap tidak akan peduli.
Namun tidak denganku. Aku mulai memikirkan arti namaku sejak SMA. Ketika Guru Sastraku bertanya apa arti namaku. Aku tidak bisa menjawab. Bahkan mengarang kebohongan saja aku tak sanggup. Sedangkan seluruh teman sekelaskupun, bahkan yang hanya memiliki satu karakter nama saja memiliki arti didalamnya. Sedangkan aku?
Aku sudah bertanya pada Bapak, tapi dia tidak tahu. Aku tidak mungkin bertanya pada Ibu, karena bukan dia yang memberiku nama. Sejak saat itu, aku selalu berusaha mengganti namaku. Akan lebih baik jika aku menyematkan sebuah julukan saja daripada harus nama lengkap tapi tidak ada artinya.
Ketika aku menyuruh semua teman-teman baruku memanggilku dengan ‘JEJE’, entah kenapa aku merasa lebih baik. Ketika mereka bertanya kenapa, aku cukup mengatakan alasan dasar saja, karena namaku adalah JENI. JENI AMELIA.
Seiring berjalannya waktu, aku berpikir satu hal lagi tentang namaku agar memiliki arti. Aku mulai membentuk namaku sendiri agar dia memiliki arti. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun aku memikirkan sebuah nama yang memiliki arti, hingga tercapailah pada satu kesepakatan nama.
Aku memutuskan untuk membuat nama JENI SUHADI. Ketika aku membuat nama itu, duniaku seperti gempar mendadak. Semua teman-teman yang mengenalku langsung beramai-ramai bertanya padaku. Dan inti pertanyaan mereka selalu sama.
“Siapa SUHADI? Suamimu? Kapan kamu nikah?”
Aku terkekeh. Sebenarnya aku sedang menertawakan diri sendiri. Bukan mereka. Aku sedang merayakan kebahagiaanku memiliki nama baru. Karena akhirnya aku akan bisa menjawab. Meskipun dengan arti yang sangat sederhana sekalipun.
“JENI itu namaku. Sedangkan SUHADI itu nama Bapakku. Jadi artinya, Jeni itu adalah anaknya Bapak Suhadi.”
Teman-temanku banyak yang langsung mengeluh. Ada juga yang tertawa. Ada lagi yang mencibir. Mereka membuat ekspresi masing-masing. Tapi sebagian dari mereka tetap memanggilku dengan dengan nama panggilan biasa, ‘JEJE’. Aku rasa itu lebih aman.
Sekarang, setelah mengetahui satu fakta jika aku memiliki nama lain, yaitu IKA WULANDARI. Aku merasa namaku bertambah lagi. Bahkan beberapa detik lalu aku berpikir, andai saja ada yang memanggilku dengan nama BULAN karena arti dari WULAN itu sendiri. Membayangkannya saja, aku langsung geli. Mungkin tidak akan cocok.
Aku pun akhirnya menyadari sesuatu. Bahwa nama memang hanyalah nama. Shakespeare memang tidak keliru. Dia membuat sebuah perumpamaan yang cerdas. Seperti halnya mawar, jika namanya bukan mawar sekalipun, dia masih tetap akan harum baunya. Begitupula denganku, meskipun namaku bukan JENI AMELIA IKA WULANDARI, tetap saja aku adalah aku. Tapi apalah artiku tanpa sebuah nama? Apalagi keliru nama? Siapa aku jika aku bukanlah JENI SUHADI atau IKA WULANDARI?
Shakespeare memang tidak sedang mempersoalkan arti sebuah nama. Ia sedang mengajak pembacanya merenungkan esensi, keaslian, atau hakikat sebuah materi, apapun namanya. Mungkin jika Shakespeare hidup di tahun over Milenia saat ini, dia akan sangat kaget melihat begitu banyak pemilik nama yang merubah namanya sesuai dengan keinginan masing-masing, bahkan terkadang di personifikasi. Seperti halnya denganku.
Akan tetapi, jika mengingat syair Shakespare, aku tidak bisa membayangkan jika mawar yang saat itu belum memiliki nama, lalu di ketemukan oleh Sir Stamford Raffles dan Dr. Joseph Arnold . Aku rasa namanya akan berubah menjadi Raflesia Arnoldi. Apakah orang akan tetap berangkat memetiknya? Apakah orang akan beramai-ramai memujanya?
Mungkin itu juga yang ingin dilakukan Vitamin C padaku, dia ingin menamaiku dengan nama yang lain.
Bahkan Tuhan-pun menyuruh Adam beserta anak-cucunya untuk memberi nama benda-benda untuk menunjukkan kecerdasan mereka.
Aku sedang menunjukkan pada dunia tentang kecerdasanku untuk memilih nama dengan arti yang benar.
No comments:
Post a Comment