Thursday, April 10, 2014

cerpen: DISINI ADA YANG SEDANG PATAH HATI

Cerpen 

DISINI ADA YANG SEDANG PATAH HATI


Disini ada yang sedang patah hati. Kaki, tangan, air mata dan hatinya mulai beku perlahan-lahan.
Disini ada yang sedang patah hati. Dia tengelam didalam angan-angan masa lalu. Tentang cinta yang kelam dan tak pernah terselesaikan.
Disini ada yang sedang patah hati. Tiba-tiba merasa tua, rambutnya beruban dan mukanya keriput seperti jeruk purut.
Disini ada yang sedang patah hati. Tapi tidak bisa meratap, karena kegelisahannya tumpul di penggal logika.
Akulah yang sedang patah hati itu.


Langit malam ini memberiku kabar yang tidak menyenangkan. Dengan mendungnya yang pekat, dia berbisik pada angin untuk menyampaikan padaku tentang kegundahan dari kejauhan. Bahwa laki-lakiku esok hari akan menjemput sang pengantinnya.
Pengantin itu bukan aku. Tapi wanita tercantik yang sudah menjadi pilihan hatinya  sejak tujuh ratus tiga puluh hari yang lalu. Sejak aku jauh dengannya. Sejak dia tidak pernah mengirimiku kabar lagi setiap jam, menit dan detiknya. 
Aku terdiam dibawah bulan yang retak. Kusampaikan pada bulan bahwa aku tidak apa-apa. Tapi bulan bisa membaca pikiranku. Sambil timbul tenggelam didalam selimut mendung, dia mengatakan padaku bahwa hatiku sedang berkata lain. Memang.
Bulan yang retak lebih paham apa yang dikatakan hatiku daripada mulutku. Diriku yang diam pun masih bingung mau percaya yang mana. Mulutku atau hatiku. Ternyata diriku yang terdiam hanyalah seperti tong sampah. Berdiri dan menunggu sisa-sisa kenangan terlempar kedalamnya.
Aku turun dari tempat tidur dan bertanya pada bulan.
“Hai Bulan yang retak. Tidakkah dirimu sakit? aku saja yang sedang merasakan retaknya hati, sedang penahan pedih.”
Bulan tersenyum miring. Senyumnya tidak sempurna karena dia retak.
“Hai dirimu yang sedang terdiam seperti tong sampah! Masihkah kau pikirkan tentang segala ketidak sempurnaan? Semua yang sudah terjadi, maka pasti akan terjadi. Kau melaluinya, sebagai pertanda bahwa dirimu hanyalah manusia. Aku, langit, hujan, bahkan Matahari, tidak bisa melawan kehendak Tuhan. Jodohku bukanlah Matahari, tapi Bumi. Seindah apapun aku dan Matahari menyinari Bumi, tetap saja aku tidak bisa bersanding dengannya. Karena jika aku sampai bertemu dengannya, maka kegelapanlah yang akan di terima umat manusia.”
Aku terdiam didalam selimut awan kelam. Langit juga terdiam. Menyimak. Lalu Bulan yang retak melanjutkan.
“Aku hanya ingin menyampaikan padamu, bahwa duduk sejajar itu bukan berarti kau bisa meraihnya. Terbang bersama, bukan berarti kau bisa memegang tangannya. Karena sebenarnya cinta itu hanya ada tiga pelaku. Yaitu satu Pencipta dan dua hamba.”
Aku masih bingung. “Bulan, bukankah kau sendiri tidak bisa hidup tanpa Matahari? Tapi kenapa kau masih tetap memilih Bumi?”
“Aku dan Bumi adalah jodoh. Bukan Bumi yang memilihku, bukan  pula aku yang memilihnya, tapi Sang Pencipta-lah yang sudah menjodohkan kami.  Matahri hanya melakukan tugasnya, karena dia sudah di karuniai banyak kasih sayang dan harus menyebarkannya pada segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Dia tidak pernah meninggalkanku, tapi dia menghindariku. Dia melakukan itu untuk kebaikan banyak orang. Meskipun aku sakit karena tidak bisa bersamanya, dia tetap menyinariku dengan cintanya agar aku tetap bisa bertahan dengan terangku untuk menyinari Bumi. Keindahanku yang berasal dari cahayanya, akhirnya bisa membahagiakan banyak umat manusia.”
Langit menyela pembicaraan kami. Dengan halusnya dia berkata padaku melalui bisikan angin yang mendesau menyusup hangat kedalam sanubari.
“Bulan hanya ingin mengatakan padamu. Bahwa dia tidak sepenuhnya sempurna. Dia tidak terlihat indah ketika malam yang cerah menunjukkan cahanya kepada seluruh manusia. Bulan hanyalah Bulan, tidak seterang kelihatannya. Tapi dia bisa terlihat indah dan penuh dengan kecantikan karena Matahari memantulkan sinar padanya. Sinar cinta yang tak akan lekang oleh jaman. Kau adalah Matahari. Sinarmu tetap menyala-nyala seperti bara di langit yang kelam. Di banding hatimu yang patah, masih ada satu sisi dirimu yang terang benderang dan siap menjilatkan lidah apinya sejauh mungkin.”
“Apa itu artinya aku tidak akan berjodoh pada siapapun?” tanyaku dengan gundah. “Bukankah kau bilang kalau aku adalah Matahari?”
“Kau memang Matahari, tapi Matahari bagi dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu. Meskipun kau membara dengan suhu supernova, tapi kehadiranmu adalah kehangatan yang selalu di tunggu orang-orang yang membutuhkanmu. Jika bukan dia laki-lakinya, maka pasti ada laki-laki lain yang akan bertemu denganmu. Bukan hanya untuk membentuk gerhana total. Tapi sebuah gerhana indah dengan cincin pelangi sebagai tanda kekuasaan Tuhan. Jika lelaki itu tidak datang saat ini, mungkin dia akan datang nanti. Jika dia tidak datang di sini, maka dia akan datang dari tempat lain.”
“Bukankah itu pertanda buruk?” tanyaku dengan heran.
Langit kelam menggeleng. “Tidak, sayang. Kau salah besar. Banyak manusia yang salah besar. Itu adalah tanda Kekuasaan Tuhan. Bahwa hanya Tuhan yang bisa membuat hal-hal tidak mugkin seperti itu.”


Lelakiku sedang menjemput pengantinnya. Bukan aku. Aku hanya akan berdiri disini sembari menatap bulan retak yang sedang bercinta dengan Bumi malam. Aku hanya bisa terpaku disini. tanpa ratapan dan tanpa kesedihan. Semua beku. Kelu.

-----END-----




No comments:

Post a Comment