Tuesday, April 8, 2014

Cerpen Horror: MIDNIGHT PRAGUE

Cerpen Horror

MIDNIGHT PRAGUE 



“Pemuda itu bertekad mencari kekasihnya melalui lorong bawah tanah. Dia ingin menemukan kekasihnya yang sudah menjadi biarawati dengan cara menggali lorong yang bisa menembus ke ruang bawah tanah gereja tempat kekasihnya di sekap. Tapi dia ketahuan oleh pihak gereja. Akibatnya, pemuda itu di eksekusi mati karena di anggap telah melakukan pencemaran nama baik terhadap gereja. Sang biarawati sendiri di kurung kembali di ruang bawah tanah. Tapi dia mati di hari yang sama saat pemuda yang menjadi kekasihnya itu di bunuh.”
Suasana tetap hening. Beberapa turis malah sibuk memotret suasana di sekeliling gereja. Lalu pemandu tur itu melanjutkan ceritanya. “Terkadang ada beberapa jemaat yang mendengar tangisan sedu dari bawah lorong. Konon katanya itu adalah arwah biarawati yang mati. Terkadang juga ada yang melihat roh biarawati itu berkeliaran di sekitar gereja.”
Aku dan Noa sudah mendengarkan cerita demi cerita dari satu tempat ke tempat lain melalui serangkaian wisata hantu yang disediakan oleh pariwisata di Praha. Tadi guide tour menceritakan tentang hantu kekasih yang di hianati dan ini yang terakhir—hantu biarawati. Sang pemandu wisata horor menutup tur tepat di depan gereja tempat hantu biarawati tersebut dipercaya tinggal. Para peserta pun dibebaskan untuk bepergian ke mana saja setelah tur tersebut berakhir. Tapi aku dan Noa memutuskan untuk kembali ke Hotel saja.

***

Comeone, Sugar. Tidak ada dongeng tentang hantu disini, yang di katakan guide tour hantu itu hanya bohong!” kataku pada Noa saat melihat dia tidak berani pergi ke kamar mandi sendirian.
“Terserah, tapi aku tadi benar-benar bisa merasakan kalau hantu biarawati itu ada. Juga tentang cerita hantu kekasih yang di hianati itu, aku sangat percaya. Banyak turis yang membuat kesaksian kalau dia benar-benar melihat hantu dengan gaun putih itu berkeliaran di kota dengan kepala yang terpenggal. Konon katanya yang memenggal kepala pengantin perempuan itu adalah mantan kekasihnya yang cemburu. Kekasihnya itu telah lama pergi. Saat kekasihnya itu kembali, si perempuan malah menikah dengan pria lain. Mereka ada, Jesse!”
“Itu hanya rekayasa. Kalau memang hantu pengantin yang kepalanya di penggal itu ada, harusnya kita tur ke makamnya. Bukan malah ke Kota Tua!”
 “Kau belum tahu apa yang terjadi sebelum kau bertemu dengannya.”
“Orang hiduplah yang perlu di waspadai. Bukan hantu!” tukasku.
Tidak ada tour  paling aneh selain paket wisata hantu yang disediakan oleh kota ini. Noa yang memilih paket wisata kami, Gosht Tour. Katanya dia tidak ingin kehilangan sedikitpun momen untuk berwisata di kota tua Eropa, Praha. Sebenarnya aku juga suka dengan tempat ini, ada hal yang sangat menarik yang bisa kurasakan di negeri seribu dongeng.
Aku bisa menikmati pemandangan kota tua dari balik jendela kaca hotel yang mungil berbentuk persegi, memamerkan keindahan Old Town Square yang di terangi cahaya lampu jingga. Aku suka Praha. Tapi sekaligus merasa sedikit ngeri ketika membayangkan bagaimana dulu kota ini jatuh bangun berabad-abad silam oleh perang. Tapi masih tetap bisa berdiri kokoh hingga saat ini. Jika Noa mau, aku ingin menikah di sini. Bukan di Den Haag, tempat kelahiranku hingga aku tumbuh sematang ini.


Noa memutuskan tidur lebih dulu setelah dia mandi. Sedangkan aku memilih keluar untuk berjalan-jalan di sekitar hotel, berharap bisa menemukan bar atau kafe yang bisa memberikanku sesuatu untuk menghangatkan badan. Meskipun musim dingin sudah berlalu dan musim semi sudah dekat, tapi ternyata udara di Praha tidak sama dengan udara di Belanda. Kabut menghujam datang ketika aku keluar dari pintu hotel dan mendapati beberapa pasang kekasih berlalu-lalang kembali ke tempat menginap masing-masing.
Penjaga pintu hotel bilang kalau aku bisa menemukan bar dengan kualitas yang bagus dan harga yang terjangkau di seberang bangunan tua yang ada di depan hotel. Tapi aku harus cepat pulang sebelum jam dua belas malam, terkadang banyak orang jahat berkeliaran dan mereka tidak segan-segan akan merampok turis dari luar negeri. Meskipun ada polisi, tapi sepertinya keamanan disini masih belum bisa mengatasi kejahatan lokalnya.
Sebuah tulisan “Velvet Gate” terpampang di sebuah bangunan kecil mirip kedai.  Seorang gadis dengan penampilan menarik langsung menyambutku dengan senyumannya di meja bar. Aku hanya perlu menunjukkan tanda “V” pada jariku, gadis itu langsung paham apa yang kupesan. Vodka. Aku perlu menghangatkan badan.
Gadis itu bertanya padaku dengan bahasa inggris yang luwes. Apakah aku menikmati liburanku, aku tersenyum padanya dan kukatakan kalau aku sangat menyukai Praha. Dia bisa menebak darimana asalku. Aku senang, setidaknya orang Belanda memiliki ciri khas di matanya. Sepertinya dia penjual yang ramah, dia selalu berusaha membuat obrolan menarik di sela-sela pekerjaannya, setidaknya itu membuat pelanggan atau turis asing tidak merasa bosan.
“Anda sudah berkunjung ke Prague Castile?”
Aku menggeleng. “Besok!” jawabku singkat.
Aku lebih suka mendengarkannya bercerita. Sama halnya ketika aku suka mendengarkan Noa bercerita dengan menggebu-gebu. Gadis ini juga bertanya padaku apa kesanku dengan Kota Tua. Aku jawab, Praha sangat keren. Kesan yang aku tangkap ketika berada disini adalah, aku seperti diseret ke kota abad pertengahan yang masih bisa berdiri dengan megah dan gagah. Belum lagi unsur mistis dan senyap yang di tawarkan kota ini. Di Praha, aku seperti hidup dalam masa lalu dan menjadi salah satu rakyat dari Raja Charles IV di abad pertengahan.
Setelah puas minum dan membayarnya. Dengan sedikit mabuk, aku keluar dari bar. Payahnya, saat sudah berada di luar, aku lupa harus berjalan ke arah mana. Jalanan sudah sangat lengang dan hanya tersisa lampu-lampu jalan yang membisu. Dengan langkah gontai, aku terus berjalan tak tentu arah, berharap bertemu dengan seseorang yang menuju arah yang sama denganku, hotel.
Didepan, jalanan semakin gelap.  Bangunan-bangunan tua  terlihat tinggi menjulang seperti monster raksasa hitam yang siap menelanku hidup-hidup. Disisi kiri dan kanannya terdapat banyak bar dan restoran yang sudah tutup, mereka  seperti membentuk sebuah lorong kematian. Aku terus berjalan melewati lorong gelap dengan tiang-tiang lampu yang hanya hidup beberapa.


Dari balik sebuah tiang bata yang sudah tua, kulihat tiga orang laki-laki dengan celana belel dan kaos yang bau mendekatiku. Tangan mereka menarikku kesebuah lorong yang jauh lebih gelap di antara bangunan tinggi. Aku tak bisa melawan. Masing-masing dari mereka melekatkan sebuah pisau dengan ujung yang runcing ke leher dan ulu hatiku. Saat  mereka mengambil dompet dan ponselku, kurasakan sebuah hantaman keras mengenai kepalaku. Terakhir yang bisa kudengar adalah, denting suara jam yang berbunyi sekali. Selanjutnya, yang kurasakan hanya gelap. Perih. Dingin.


Kegelapan itu membuatku makin sesak dan lemah. Aku tidak ingat apa yang sudah terjadi beberapa saat lalu setelah kepalaku di hantam seseorang dari belakang. Sepertinya terjadi sesuatu, tapi aku tidak peduli lagi. Aku harus lapor polisi dan mengatakan bahwa aku baru saja kerampokan. Tapi begitu keluar dari lorong gelap itu, aku tidak bisa menemui satu orangpun. Cahaya juga makin muram di terpa kabut yang mulai rendah. Hanya cahaya lampu jalan berpendar kemuning saja yang bisa membuatku tahu kalau di depan sana masih ada jalan. Kuputuskan berlari untuk mencapai tempat terdekat yang ada petugas keamanannya, berharap aku tidak bertemu dengan perampok lagi. Tapi jalanku masih gontai. Aku lemah.
Sebuah hawa dingin menerpa bersamaan dengan rendahnya kabut. Semakin aku berjalan maju, semakin hawa dingin itu menjalar hingga menusuk ke setiap pori-pori kulitku. Dari balik kabut, kulihat seorang perempuan dengan gaun putih panjangnya berjalan di depanku.
Excuse me, Miss!” sapaku padanya. Tapi dia tidak menoleh dan terus saja berjalan. “Miss!” panggilku lagi. Kali ini dia berhenti, menolehku sedikit, lalu dia berjalan lagi. Sepertinya terjadi sesuatu dengannya. Jadi kuputuskan untuk terus mengikutinya. Aku khawatir, dia juga adalah korban perampokan, sama sepertiku. Selain itu, aku juga berharap bisa menemukan polisi jika berjalan bersamanya. Tapi jalannya terlalu cepat, dia mendahuluiku.
Aku masih bisa melihat dia, perempuan dengan gaun putih panjang yang menjuntai hingga ke tanah. Dia terus berjalan menuju kesebuah bangunan yang tadi siang tidak pernah kulihat. Mungkin karena kabut yang pekat di pergantian musim ini, sehingga mengaburkan pandanganku untuk melihat bangunan apa yang berdiri seratus meter dari tempatku berpijak.
Perempuan itu membelakangiku, tapi langkahnya tampak mantap menuju ke sebuah kapel. Namun tiba-tiba terdengar suara ringikan kuda yang melengking dari arah belakangku, aku segera minggir, meskipun dalam hati aku merasa heran sekaligus kesal. Ini bukan waktu yang tepat dan tempat yang benar untuk berkuda. Tidak ada kereta lagi yang berkeliling di sekitar Old Town Square. Tapi tanpa kuduga, perempuan itu sempat menolehkan wajahnya padaku meskipun hanya selintas. Matanya biru, aku bisa melihat sinarnya dari cahaya bulan yang menentang. Dia langsung lari begitu suara ringikan kuda makin jelas terdengar.


Tidak ada orang di sekelilingku saat ini, jalanan ini begitu sepi dan gelap, hanya cahaya bulan yang menerangi sudut jalan ini. Perempuan itu terus berlari dengan gaun putihnya yang menjuntai. Aku dengan seluruh rasa penasaranku, mengejarnya. Tidak ada pengendara berkuda yang lewat di sekelilingku meskipun suara itu jelas terdengar di telingaku. Tapi perempuan itu sepertinya ketakutan dan larinya makin kencang. Dia menghilang.
Jalanan semakin gelap dan sepi. Aku bingung harus mencarinya kemana lagi. Tapi suara tapak kaki kuda yang berjalan ke arahku makin jelas dari arah depan. Sepertinya dia kembali. Sekarang pilihanku hanya dua, kembali atau sembunyi. Tapi akhirnya kuputuskan untuk sembunyi.
Dari balik dinding tua ini aku bisa mengamati apa yang terjadi. Perempuan itu seperti diseret oleh sesuatu yang tidak tampak. Dia menangis. Gaunnya koyak. Suara ringikan kuda makin jelas terdengar di telingaku, seolah makhluk itu berada tepat di dekatku. Aku ingin menolong perempuan bermata biru itu. Tapi sayangnya,  sesuatu terjadi dengan sangat cepat. Sebuah kilatan lurus dan berkilau, berkelebat cepat di kegelapan. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi tubuh bergaun putih itu ambruk dan ada sesuatu yang hilang. Kepalanya.
Kepala itu menggelinding tepat di bawah kakiku. Dengan tubuh yang masih bergetar hebat, kulihat benda bulat berwarna hitam dengan rambut panjangnya berada tepat di antara sela kakiku. Mata yang tadinya tertutup, kini terbuka lebar dan menatapku tajam. Bibirnya biru karena tidak ada darah yang mengalir diwajahnya langsung membuka dan tersenyum, menampakkan sebuah lubang kecil yang hitam dan mengeluarkan aroma  busuk.
Aku langsung berlari menjauhi benda bulat itu. Tapi sayangnya kakiku tidak bertenaga dan lariku jadi sangat lamban. Di belakang sana, masih terdengar suara ringikan kuda yang berjalan mendekat ke arahku. Aku terus berlari dengan kaki lemah, berharap bisa menemukan orang lain yang bisa menolongku dari kepala menggelinding dan suara kuda dengan pengendara yang tak kasat mata yang sepertinya sudah memenggal perempuan tadi.
Aku terus berlari dengan kaki yang lemah, tapi dari arah yang berlawanan denganku, berdiri sosok bergaun putih di bawah kapel yang sudah tua. Aku terus mendekat ke arahnya seperti didorong oleh suatu kekuatan yang aneh. Semakin dekat dengannya, semakin bisa kulihat jelas yang berdiri itu tidak memiliki kepala. Dia menghentikanku, hingga kini aku berdiri tepat berhadap-hadapan dengannya. Masih dengan kepanikan yang sama seperti tadi, kuperhatikan baik-baik gaunnya yang putih. Sebuah gaun yang cantik dan menjuntai hingga ke bawah. Di tangannya tergenggam sebuah buket yang tertutup kain putih. Tapi begitu kain putih itu tersibak, sebuah kepala muncul disana dengan matanya yang menatap tajam kearahku. Kakiku lemas. Tapi disaat yang sama juga suara kuda itu makin mendekat. Bayangan putih itu mendadak hilang.
Aku tidak ingin membuang kesempatan. Kukerahkan tenaga yang masih tersisa. Aku harus lari, setidaknya itulah yang bisa kulakukan. Langkahku terus maju dan tidak berani menoleh ke belakang, berharap kepala itu tidak mengikutiku. Suara ringikan kuda itu masih juga terdengar jelas di telingaku, tapi lamat-lamat suara itu menjauh pergi seiring dengan langkahku yang berlari menuju cahaya terang di dekat Old Town Orloj—Atronomical Clock. Jam astronomi.


Excuse me!” seruku pada sosok laki-laki bermantel hitam yang akan mengendarai Roll Royce-nya. Tapi dia tidak mengindahkanku. “Sir!” sapaku setelah aku agak dekat dengannya. Tapi dia tak kunjung menolehkan kepalanya padaku. Kutepuk bahunya. Dia menoleh. Tapi hanya memperhatikanku sekilas. Kemudian tidak lagi. Dia buru-buru masuk kedalam mobilnya. Dia melewatiku yang sedang tertegun memandangnya.
Di jalanan dekat dengan jam astronomi itu, jantungku di kejutkan dengan suara jarum jam yang selalu berbunyi setiap satu jam sekali. Lengkap dengan boneka-boneka di sisi jam bergerak-gerak yang konon ada roh yang masih menghuni disana, bulu kudukku meremang lagi. Seolah aku merasakan hantu pengantin tadi masih menguntitku. Aku tidak tahu sekarang jam berapa, tapi Old  Town Square sudah sepi dan hampir tidak ada yang melintas. Atronomical Clock berdentang tiga kali.
Ada seorang Pria yang kulihat dari kejauhan. Badannya tegap dengan mantel bulu coklat  sedang berdiri di depan Municipal House. Dia satu-satunya manusia yang bisa kutemui untuk saat ini. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Tapi dia malah berjalan ke arah lain. Aku mengejarnya, berharap mendapatkan teman seperjalanan untuk kembali ke hotel.


Aku bersumpah, ini akan menjadi yang terakhir kalinya bagiku untuk berwisata di Praha. Jika bukan karena Noa yang tergiur paket liburan murah ke Praha, aku tidak mungkin mengikutinya. Aku terlalu mencintainya, tidak ada alasan buatku menolaknya untuk datang ke Kota Tua ini dengan segala macam keindahannya. Meskipun aku juga suka Praha. Tapi dengan kejadian barusan, aku memilih untuk segera mengakhiri liburan ini.
Dari jauh, aku melihat bangunan dengan tulisan “KAFKA’S HOTEL”. Lariku berubah kecil-kecil saat pria itu masuk kedalam Hotel. Dia menginap di tempat yang sama denganku. Setidaknya aku masih memiliki sedikit keberuntungan. Ketika masuk, petugas di lobi Hotel sedang tidak ada. Terpaksa aku harus menunda laporan dulu.
Rasanya lega sekali bisa mendapati Hotel lagi. Aku ingin istirahat. Semoga besok pagi aku bisa melihat Matahari yang cerah di Old Town Square bersama dengan Noa. Aku harap tunanganku itu masih tidur di kamarnya dengan lelap, sehingga dia tidak perlu khawatir mendapatiku yang tiba-tiba menghilang semalaman dan bertemu dengan sosok hantu yang tadi siang kami dengar ceritanya melalui guide tour. Hantu pengantin kekasih yang di hianati.

***


Noa mendadak menghilang. Entah apa yang sudah kulakukan semalaman, sehingga aku tidak tahu  tunanganku pergi kemana. Sepertinya aku ketiduran. Namun sepertinya juga aku tidak tidur. Tapi pergi entah kemana. Sekarang kepalaku terasa sangat ringan dan aku bisa berjalan seringan kapas. Rasanya seperti tidak ada beban.
Agak lama kutunggu Noa, tapi dia tidak kunjung datang. Kuputuskan untuk turun dari kamar dan memastikan kalau tidak ada yang terjadi padanya.
Tidak ada yang tahu kemana Noa pergi. Padahal aku ingin mengatakan padanya kalau lebih baik untuk mengakhiri rangkaian tur ini dan kembali ke Den Haag. Aku tidak bisa bertanya pada beberapa petugas hotel, sepertinya mereka sedang sibuk sendiri. Meskipun ada seorang petugas kebersihan Hotel yang melihatku dengan tatapan heran, tapi aku tidak mungkin bertanya padanya. Dia tidak mungkin tahu kemana perginya tunanganku.
Tidak berapa lama saat aku turun ke lobi, kulihat sebuah mobil patroli Polisi berhenti di depan hotel. Noa keluar darisana dengan wajah yang layu dan sembab. Wajahnya merah dan dia terlihat sangat terguncang.
“Noa, Wat is er gebeurt?” tanyaku padanya apa yang sudah terjadi. Tapi sepertinya dia tidak bisa menjawabku. Kuminta dia dari tangan para petugas, tapi sepertinya petugas-petugas itu tidak memedulikanku. “Hey, beraninya kalian! Wie bent u?”tanyaku dengan marah.
Mereka naik ke lantai atas, aku mengikuti mereka dari belakang sambil menahan panik. Ada apa dengan tunanganku?
“Tenanglah, Miss. Polisi akan mengusut kasus ini secepatnya. Sementara ini, sebaiknya anda mempersiapkan upacara kematian tunangan anda. Kami akan memberi fasiltas untuk mengantar jenazah hingga kembali ke Den Hag,” seorang polisi wanita menenangkan tunanganku dan memeluknya erat setelah mereka sampai di kamar.
Siapa yang mati?
“Dia keluar semalam, dia tidak bilang apa-apa saat pergi...” tangis Noa pecah lagi.
Polisi wanita itu mengelus bahu tunanganku. “Dia pergi ke bar, setidaknya ada yang bisa mengenali mayat tunangan anda ketika dia di temukan, yaitu gadis bar yang sebelumnya sempat bercengkrama dengannya. Anda harus bersyukur karena masih ada yang bisa menemukannya. Tidak ada identitas sama sekali saat dia di temukan dengan kondisi organ dalam yang sudah hilang.”
“Kalian harus menangkap perampok keji itu. Orang yang sudah membuat tubuh tunanganku berantakan. Ginjalnya pasti sudah di jual di pasar gelap. Oh...” lagi-lagi Noa menangis dengan ratapan yang memilukan.

Kakiku lemas. Aku masih belum tahu apa yang terjadi. Tapi aku sudah tidak bisa lagi merasakan kakiku menyentuh tanah. Saat kepalaku menoleh ke sebuah cermin di meja rias, bayanganku tidak memantul disana. Aku hilang.


-----END-----


No comments:

Post a Comment