LIMA
Hard Rock Cafe. 10 Oktober 2012 : 20.00 WIB
Gate Open konser Miyavi di Hard Rock Cafe ternyata sudah di mulai jauh sebelum jam sembilan malam. Avi menarik tangan Aju menerobos kerumunan pengunjung Cafe dengan antusias. Dadanya berdegup kencang mengingat beberapa saat lagi dia akan melihat idolanya dengan bentuk yang nyata. Bukan melalui video.
Miyavi.
Beberapa kali Avi sempat di pelototi pengunjung yang tidak sengaja di tabraknya. Tapi Avi cuek dan tetap melanjutkan langkahnya. Sedangkan Aju harus berusaha keras bisa lolos dari jepitan maut pengunjung yang berdesak-desakan di luar. Tapi begitu sudah berada tepat di depan pintu masuk. Antrian langsung berjajar. Avi bertugas menukar tiket mereka yang berupa voucer. Setelah itu keduanya langsung masuk kedalam venue. Belakangan Aju baru tahu kalau ternyata Avi sudah mendapatkan tiket presale itu sejak jauh-jauh hari.
Jam di tangan Avi menunjukkan masih pukul delapan. Tapi pengunjung sudah ramai. Kepalanya terjulur untuk melihat barisan paling depan. Dengan kamera DSLR yang menggantung di lehernya, Avi sedang berusaha keras untuk mencari view yang terbaik agar bisa mendapat angle yang bisa memuaskan matanya untuk menangkap sosok idolanya.
Aju terpaksa mengikuti Avi kemanapun dia pergi. Kerumunan itu, meskipun kelihatannya sedikit, tapi aju baru menyadari kalau mereka semua mirip orang gila yang kelaparan menyerbu toko makanan.
“Jam berapa sih mulainya?” tanya Aju yang sudah mulai rewel.
“Jam sepuluh,” jawab Avi sambil melirik jam tangannya. Masih jam sembilan kurang.
Tatapan mata mereka langsung beralih ke panggung. MC naik untuk memulai acara ceremony ulang tahun cafe itu. Aju dan Avi saling pandang dan mereka sama-sama tersenyum. Masing-masing sudah bisa menebak apa yang ada di kepala mereka, yaitu tentang acara ulang tahun cafe. Sejak dulu mereka sangat ingin membuat sebuah acara ulang tahun untuk Violey. Hanya saja belum pernah kesampaian.
Aju dan Avi tidak begitu menyukai acara ceremony itu beserta seluruh tetek bengek sambutannya. Yang mereka butuhkan hanyalah Miyavi cepat naik ke atas panggung karena semua pengunjung sekaligus fans Miyavi yang datang sudah tidak sabar lagi. Avi seakan menunggu detik demi detik samurainya itu akan turun. Tapi kenyataannya dia tidak kunjung datang menunjukkan batang hidungnya. Beberapa penonton yang tidak sabar sempat celingkukan ke lantai dua karena di tengarai Miyavi akan muncul dari sana. Avi juga ikutan. Menunggu Miyavi datang dengan sosok yang eksentrik bersama seluruh tatoo yang tergambar di seluruh tubuhnya.
Jam sepuluh pun datang. tepuk tangan langsung riuh rendah menggema. Avi dan beberapa penonton lain berteriak kegirangan begitu melihat Miyavi berdiri di atas panggung. Aju hanya melihat ulah sahabatnya itu dengan tersenyum geli. Sungguh tidak bisa memahami kenapa Avi begitu terobsesi dengan makhluk berambut gondrong yang badannya penuh tatoo tidak jelas itu. Tapi kemudian mata Aju di buat terbelalak saaat melihat sosok gondrong lain tapi rambutnya di kuncir dan mulai duduk di drum setnya yang amat sederhana menurut Aju. Yang membuat Aju terpana adalah kostum drummer itu. Hanya menggunakan hot pants.
“Vi, tuh orang nggak salah kostum, kan?” tanya Aju seraya menunjuk ke arah drummer.
“Oh, itu namanya Bobo. Dia emang gitu. Demen sama yang pendek-pendek. Tapi yakinlah, lo bakal suka sama permainan drumnya. Gue yakin. Kalau lo sampai nggak bisa headbang, penggal leher gue!” ujar Avi sambil menggerakkan telapak tangannya seolah memenggal leher.
Suara intro musik saat Miyavi menjajal gitarnya lebih dulu sebelum memulai lagu langsung di sambut hangat penonton dengan tepuk tangan yang riuh rendah. Hingga tanpa mereka sadari musik langsung bermain dan lagu What’s My Name langsung mengawali. Avi melonjak-lonjak seperti yang lain. Menyatu dengan kerumunan dan musik yang semakin panas di bawakan Miyavi dan Bobo.
Sesekali Avi berteriak kegirangan saat bagian reff. Aju tanpa sadar mengikuti gerakann sahabatnya. Seperti terhipnotis rasanya saat gitar milik Miyavi di padu dengan gebukan drumm Bobo membuat Aju dan Avi mulai menggila bersama penonton yang lain. Lama Aju tidak merasakan bebas seperti ini. Berbaur bersama orang-orang yang tidak dia kenal dan melakukan sesuatu hal yang gila bersama. Menikmati musik di dalam ruangan dan berteriak, menyanyi, meskipun dia tidak begitu hafal lagunya. Jika bukan karena Avi, tidak mungkin seumur hidup Aju akan mengenal sosok bernama Miyavi.
“Miyavi! Miyavi! Miyavi!!”
Sorak-sorai menyebut nama Miyavi menggema dan sangat keras. Hingga Miyavi terpaksa harus berhenti sejenak saat akan memainkan musiknya lagi. Teriakan penonton yang memanggil namanya membuatnya tersenyum. Merasa senang dan salut karena sambutan yang di terimanya sangat luar biasa. Lalu Miyavi membentangkan tangannya. Berharap keriuhan itu mereda agar dia bisa melanjutkan lagunya.
Detik berikutnya, penonton melonjak-lonjak lagi saat dia memainkan Ganryu. Penonton ikut bernyanyi, begitu juga dengan Avi. Aju melihat sahabatnya itu seolah sedang berusaha mengeluarkan semua energi yang dua bulan ini sudah di persiapkan demi konser Miyavi. Avi terus ikut bernyanyi. Bahkan sempat antara penonton dan Miyavi saling bersahutan saaat bernyanyi lagu Chillin Chillin Money Blues.
Ketika jeda. Avi dan Aju di kagetkan oleh sebuah lemparan yang mengarah ke panggung. Mereka berdua baru sadar kalau itu adalah barang-barang persembahan untuk idolanya dari para fans. Banyak benda yang bertema batik jatuh di panggung. Yang membuat Aju dan Avi tertarik adalah saat Miyavi akan mengenakan sebuah blangkon. Nyaris saja Miyavi memakainya. Tapi buru-buru dia mengatakan hal yang membuat Avi dan Aju terbahak-bahak.
“But I’am rock star!”
“Duh... sombong!” cibir Aju sedikit geli.
Miyavi juga menyapa penontonnya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang lumayan fasih. Kemudian menceritakan pengalaman pertamanya konser di Jakarta dengan menggunakan bahasa inggris.
Selanjutnya, penonton seperti orang gila yang di sekap di dalam ruangan tertutup. Musik menghentak. Avi sudah lupa siapa dirinya dan begitupula dengan Aju yang hampir lupa dimana dia berada. Apalagi ketika lagu Are You Ready To Rock mulai membahana. Penonton kompak bersorak. Menyanyi. Bahkan saling berangkulan. Sambil itu, Avi terkadang membidikkan kameranya ketika mendapat angle yang bagus. Terkadang juga dia menyerahkan kameranya pada Aju agar anak itu yang membidik selagi dia lupa diri berkubang di dalam kemeriahan saat lagu please please please dan jibun kakumei menggema. Avi juga langsung merangkul Aju dan mengajak sahabatnya itu melonjak-lonjak kegirangan menikmati musik saat lagu selfish love dikumandangkan.
Miyavi memainkan tiga belas lagu dengan dua Encore selama konser satu jam itu. Hingga di akhir acara, setelah Miyavi memainkan Futurustic Love sebagai lagu penutup, Aju masih tetap yang bertugas memegang kamera dan membidik-bidiknya. Sesekali dia mendengar orang di balakangnya mencemooh dan mengatakan bahwa sebenarnya tidak boleh membawa kamera ke dalam veneu. Tapi Aju tidak ambil pusing. Kenyataannya, setelah di dalam veneu, banyak yang membidikkan kameranya ke arah panggung.
“Lo sebut apa mereka berdua, Ju?” tanya Avi begitu di penghujung acara dan Miyavi mulai menghampiri penonton terdekatnya untuk bersalaman.
Aju menggeleng. “Gue nggak punya kata-kata lain. Selain hebat dan jenius. Tuh orang makan apa ya? main gitar yang gila-gilaan, sambil nyanyi. Udah gitu cuma di iringi sama drum yang mainnya super edan juga. Gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi!”
Avi mengangguk setuju. “Lebih dari sekedar jenius. Dua orang saja bisa menghasilkan musik yang bisa diikuti oleh penonton sebanyak ini. Kalau bukan orang jenius, hal kayak gini nggak mungkin terjadi.”
“Bener. Gue setuju. Dan jika musisi idolanya aja udah jenius. Itu artinya fansnya juga jenius. Karena udah milih orang jenius sebagai idolanya. Jika ada yang bisa mengikuti jejak Miyavi. Itu artinya dia menjadi generasi penerus yang jenius.”
Avi terbahak-bahak. Kemudian menggelengkan kepalanya. “Sayangnya gue nggak bisa main musik. Makanya gue pengen ngajakin elo yang udah jago main musik. Sekalian ngeracun pikiran lo kalau J-rock itu juga oke punya!”
01.50 WIB
Deru motor menggema di seluruh ruangan garasi yang kosong. Setelah mematikan motornya, Avi lantas menutup garasi dan menguncinya. Berjalan menuju pintu yang menghubungkan dengan ruang tengah. Tapi mata dan langkahnya langsung terhenti begitu melihat sosok lelaki paruh baya dengan stelan kemeja hitam duduk di depan TV. Darah langsung surut dari wajah Avi. Kakinya gemetar. Jantunya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibirnya kelu.
“Pa-Papi,” sapa Avi tergagap lemah.
Papinya menoleh ke arah Avi dengan tatapan datar. “Darimana kamu?”
“N-n-nonton konser,” Avi tergagap. “Kapan Papi pulang?”
“Konser? Disaat kayak gini kamu masih bisa nonton konser?” tanya Papinya balik. Seolah tidak mendengar pertanyaan anaknya, kapan Papinya datang.
Avi sudah tahu kemana arah pembicaraan itu akan berlangsung. Jika saja yang dia hadapi ini adalah Maminya, mungkin saat ini Avi akan menghindar dan melanjutkan pembicaraan besok saja. Tapi sayangnya yang ada di depannya ini adalah Papinya. Lelaki persisten yang pasti gigih mengejar Avi dengan jutaan pertanyaan-pertanyaan yang akan membuatnya bingung untuk menjawab.
“Duduk!” perintah Papinya sambil melirik tempat yang ada di sebelahnya. Lalu tatapannya beralih ke arah Avi lagi dengan datar.
Avi melirik ke arah jam dinding. Sudah jam satu lebih. Jika saja dia tadi menerima tawaran Aju untuk menginap di kontrakannya, pasti saat ini dia sudah tidur dalam damai dan bermimpi sedang bernyanyi bersama Miyavi. Sayangnya, mungkin nasib hari ini membawanya harus segera bertemu Papinya.
Kakinya melangkah kaku ke arah sofa yang di duduki Papinya. Meskipun berusaha sesantai mungkin, tapi dia tidak bisa. Debaran kencang di jantungnya membuatnya tampak dungu. Dia sadar, itu semua lebih karena rasa bersalah. Saat dia duduk tepat di samping Papinya, bayangan Amel dengan kacamata tuanya langsung melintas. Kepalanya di penuhi dengan saran Amel agar dia segera membuka akun untuk asset. Cewek itu lebih tepat seperti cenayang yang seolah tahu kalau papinya akan datang hari ini. Dan bodohnya, Avi belum sempat mengikuti saran Amel.
“Apa kabar saldo kita?” tanya Papinya pelan.
Avi menundukkan kepala dan membuang mukanya. Tangannya di remas keras-keras hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tahu, Papinya sedang menyindir. Mendadak bayangan Amel langsung berganti dengan wajah Daniel.
Ini pasti ulah Daniel... atau ulah Mami?
Meskipun kedua orang tuanya sudah bercerai dan kini Avi memiliki kehidupan sendiri. Tapi antara Mami dan Papinya masih terjalin hubungan komunikasi yang aktif. Terutama menyangkut Avi dan Esa. Esa sangat dekat dengan Papanya. Bahkan terlampau manja. Karena itu, setelah Esa lulus SMP dan memutuskan untuk tinggal berdua dengan Avi, Papanya langsung setuju. Meskipun Mamanya tidak setuju dan hal itu sempat menimbulkan ketegangan di antara keduanya. Tapi Avi bisa meyakinkan Mamanya bahwa dia bisa menjaga Esa dengan baik. Semenjak ada Esa tinggal dengan Avi, akhirnya Papanya memutuskan untuk menghibahkan rumah itu pada Avi agar dia bisa menjaga Esa. Serta mempercayakan toko mebelnya pada Avi. Tepatnya, jika bukan karena Esa, Avi tidak mungkin bisa menikmati kebebasannya.
Papinya mempercayakan usaha dan rumah itu kepada Avi dengan alasan dia harus bisa mandiri dan belajar untuk dewasa. Dengan adanya Esa, lengkaplah tugas Avi sebagai seorang Kakak, sekaligus anak yang di andalkan kedua orang tuanya. Papinya selalu menanyakan kabar mereka berdua. Bahkan Papinya lebih sering menghubungi mereka sekedar untuk menanyakan kabar dan usaha yang di kini di tekuni Avi. Karena Esa lebih dekat dengan Papinya, anak itu lebih banyak berinteraksi dengan Papinya dan menceritakan apapun yang di alaminya kepada Papinya. Kecuali tentang kelakuan Kakaknya yang selalu bodoh. Esa tahu, jika dia menceritakan mengenai kebodohan Avi, papanya tidak mungkin akan percaya lagi dengan Avi dan Esa akan di pulangkan ke Palembang lagi. Atau mungkin lebih buruk, Esa akan di bawa Papinya ke Balikpapan dan tinggal disana. Di dekat hutan.
Mami dan Papinya hanya berkomunikasi untuk menanyakan kabar Esa saja. mengingat hanya Esa satu-satunya harapan mereka agar bisa ‘lulus’ menjalani masa mudanya tanpa kontaminasi lingkungan yang buruk. Kakak Avi sudah menikah lebih dulu karena hamil di luar nikah. Sedangkan Avi memutuskan untuk hidup sebagai Butch. Hanya Esa yang normal. Karena itu Mamanya terus memantau Esa dari Papinya. Bukan dari Avi. Karena Avi juga tidak begitu dekat dengan Maminya semenjak kedua orang tuanya itu bercerai dan Maminya pulang ke Palembang.
“Lea...”
Avi gelagapan dan melihat ke arah Papinya. “Ya, Pap?”
“Kasih dompet kamu!” kata Papinya begitu tiba-tiba. Avi terlonjak karena sangat terkejut. Tapi Papinya tidak mau peduli. “Sekalian kunci motor!”
“No!” Avi menggeleng. “Aku tahu aku salah, Pi!” Avi langsung duduk bersimpuh di depan kaki Papinya. Dia tahu apa yang akan di lakukan Papinya padanya, yaitu menyita seluruh aset dan fasilitasnya. “Lea ngaku salah deh. Tapi Lea mohon, jangan Neji. Lea nggak punya teman lain selain dia. Please...”
Papinya menggeleng. “Kamu bilang mau tumbuh jadi anak yang jantan. Maskulin. Macho. Mana? Kamu malah kelihatan lembek!”
Avi mengerjabkan matanya. “Apa?”
“Kalau kamu emang jantan dan kamu tanggung jawab. Sekarang juga Papi minta pertanggung jawaban kamu.”
Avi terdiam. Memikirkan baik-baik perkataan Papinya. “Oke, Papi boleh ambil semuanya. Semua ATM-ku. Semua kartu kreditku. Semuanya! Bahkan rumah ini balik lagi jadi milik Papi juga aku nggak masalah. Tapi please...jangan Neji. Aku mohon...” Avi mulai memelas.
Papinya menggeleng tegas. “Papi mau kamu tanggung jawab dan balikin semua aset Papi. Berapa duit yang udah kamu pakai? Mami ngasih tahu kalau kamu udah pakai dua ratus juta. Dan Papi mau kamu balikin itu semua. Mulai hari ini, semua barang-barang yang kamu beli pakai duit khas. Papi bakal sita. Mau Papi jual. Jadi, hitung semua aset dan fasilitas yang kamu punya buat gantiin duit khas!”
Avi tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Kepalanya menggeleng-geleng saking bingungnya dengan pemikiran Papinya. “Pi, bukanya duit itu nantinya juga bakal buat aku? Kenapa aku nggak boleh ngambil?”
Papinya menggeleng dengan mulut berdecak. “Apa yang kamu bilang itu emang bener. Tapi kamu nggak sadar kalau didalam duit itu kamu udah telat-telatan bayar gaji pegawai. Kamu mau belajar jadi koruptor?”
Kepala Avi tertunduk. Hatinya merasa geram. Bayangan Kang Daduk dengan tampang polosnya seolah sedang menyeringai di depan Avi. Tapi satu sisi hatinya juga sadar bahwa semua yang sudah di lakukannya itu memang salah. Pelan-pelan, Avi bangkit dan langsung mengeluarkan semua isi dompetnya. Di melemparkan satu persatu ATM-nya dari berbagai Bank dan menyebutkan jumlah nominal yang masih ada di dalam sana. Lalu melemparkan semua kartu kreditnya. Kemudian meletakkan dua blackberry-nya di sofa dan sebuah ponsel androidnya. Tapi tangannya menggenggam erat-erat kunci motornya. Hatinya benar-benar tidak sanggup. Bahkan dia sangat ingin menangis. Tapi tangan Papinya langsung meraih kunci motor itu dengan lembut dari tangan Avi. Sekarang dia hanya bisa pasrah. Kakinya lemas dan dia langsung jatuh terduduk.
“Tadi Papi ke kamar kamu. Home theater, TV LED, dan semua barang elektro di dalam kamar kamu, besok mau Papi sita. Kira-kira kalau Papi total, semua nggak lebih dari lima puluh juta. Ada barang lagi selain motormu itu dengan harga tinggi?”
Avi mulai lemas dan dia tidak sanggup berpikir lagi mendengar kata-kata Papinya. Semua aset yang sudah di serahkannya tadi total nilai dua puluh juta. Dan meskipun dia memberikan Neji sekalipun pada Papinya, total nilainya tidak akan lebih dari lima puluh juta. Avi benar-benar ingin mati saat ini juga.
“Jangan naik ke kamar kamu. Kamu tidur aja di kamar tamu. Sambil mikir kesalahan apa yang sudah kamu perbuat dan sambil mikir, berapa aset yang bisa kamu bayar ke Papi. Kalau nilai itu nggak lebih dari seratus juta, maka kamu harus bayar seratus juta itu dengan kerja ke Papi tanpa gaji. Ingat, tanpa gaji!”
Avi menatap Papinya tak percaya. “Papi bukannya udah keterlaluan kalau kayak gini?”
Alis Papinya terangkat. “Keterlaluan? Menghianati kepercayaan orang tua, apa namanya nggak keterlaluan? Telat bayar gaji karyawan, apa itu nggak keterlaluan? Kamu nggak mikir pakai otak ya, kalau mereka itu kerja dan ada yang di hidupin. Mereka itu punya anak-bini dan kamu malah enak-enakan pacaran, foya-foya, senang-senang, dan udah di luar batas. Jangan-jangan duit sebanyak itu kamu buat beli narkoba, ya?”
Avi menggeleng. “Apa kayak gitu pemikiran Papi ke Lea? Lea berandalan dan tukang ngobat karena Lea butch?”
Papinya mengibaskan tangan di depan wajah Avi. “Papi udah percaya sama kamu selama ini. Sejak kamu tinggal sama Vega disini, Papi percaya kalau kamu nggak bakal neko-neko. Papi percaya karena Mami kamu bilang kalau Vega itu anak baik dan pasti nggak akan pernah ngejerumusin kamu. Tapi kenapa sejak Vega pergi, kamu malah jadi kayak gini?” tanya Papinya dengan ekspresi kecewa.
Avi melengos. Jika di ingat lagi. Avi memang berubah pesat sejak Vega kembali ke Palembang tanpa pamit dulu pada Avi. Saat Avi memintanya kembali, Vega tidak pernah mau dan memutuskan untuk menetap di Palembang lagi. Sejak itu Avi tidak bisa tenang tinggal sendirian di rumah. Selain latihan di sanggar dan akhirnya bertemu Aju dan Jol sebagai teman yang cocok. Avi juga sering membawa teman-teman baru yang tidak di kenalnya menginap di rumah setelah mereka clubing. Dia hanya ingin mencari keramaian. Tapi siapa sangka kalau hal itu bisa menjadi kebiasaan yang sulit di hentikannya. Tapi sebisa mungkin Avi menghindari narkoba dan free seks. Setiap bulan dia memeriksakan diri ke Dokter untuk mengecek kondisi tubuhnya. Bagaimanapun juga, dia adalah Taekwondo-in. Tidak lucu rasanya kalau sampai dia mengidap HIV atau yang lebih buruk dari itu, AIDS.
“Udah, tidur sana. Udah jam tiga. Dan Papi mau besok kamu bangun pagi-pagi. Beres-beres rumah. Bukannya ini rumah kamu?”
Papinya bangkit berdiiri sambil membawa barang-barang Avi yang tadi di serahkannya. Tinggal Avi sendirian yang merenung di depan TV. Malam konser Miyavi adalah malam yang paling di tunggu-tunggunya sepanjang hidup. Dan seolah malam itu juga menjadi malam terakhir dia bersenang-senang. Mulai detik ini, dia harus bersiap menjalani hari yang hancur seperti orang-orang kebanyakan.
Avi merebahkan dirinya di sofa tanpa mematikan lampu lebih dulu, mata Avi langsung terpejam. Membayangkan Miyavi tadi di konser dan begitu menghibur dengan kejeniusannya. Membayangkan Bobo yang menggebuk drumm seperti orang gila dengan hotpans-nya. Membayangkan betapa semaraknya konser tadi dan Avi melonjak-lonjak gembira. Dia tadi berhasil membidik Miyavi dengan baik. Dan besok, dia harus menyerahkan kamera DSLR itu kepada Papinya. Mendadak bayangan Miyavi berubah menjadi pekat. Avi jatuh tertidur, tapi dia mengalami mimpi buruk. Miyavi merampoknya. Mengambil seluruh harta bendanya.
♀ ♀ ♀
13 Oktober 2012 : 02..30 WIB
Dua hari setelah Papinya membantai habis semua barang berharga yang di milikinya selama ini, Avi mulai berkutat dengan rutinitas yang sebelumnya hanya dia wakilkan pada Kang Daduk.
Dulu, Avi hanya membantu seadanya. Datang pagi untuk mengabsen karyawannya, lalu pergi entah kemana dengan alasan kuliah padahal jalan-jalan. Sorenya, ketika mendekati jam tiga setelah menjemput adiknya, Avi akan ke Toko lagi dan mengecek keuangan yang masuk. Mendata barang-barang di Toko sebelum Toko tutup dan mencocokkan dengan pemasukan. Setelah itu closing. Malamnya, Avi bisa bebas berkeliaran di jalanan, atau bahkan di diskotik. Jika dia bosan, dia bisa pergi ke Violey dan membantu Aju disana. Tidak ada belajar. Tidak ada tugas kuliah yang di kerjakannya. Jikapun ada tugas, Avi lebih memilih membayar salah satu temannya yang rajin atau bahkan menyuruh Aju yang mengerjakannya. Mengingat anak itu sangat tergila-gila pada segala bidang ilmu.
Kini, setelah pulang kuliah, Avi harus duduk berjam-jam menunggu pelanggan datang. Jika toko sepi, dia lebih memilih menonton TV dan terkadang bercanda dengan karyawannya jika ingin. Ketika pagi, Avi harus bangun jam lima pagi. Dimana hal itu sudah tidak pernah dia lakukan sejak kepergian Vega. Kini, selama Papinya masih berada di dekatnya, Avi terpaksa bangun jam lima pagi. Membereskan rumah. Memasak untuk Papi dan adiknya. Setelah itu mengantarkan adiknya sekolah sekaligus berangkat kuliah. Tidak ada pembantu yang melakukan itu. Kalaupun ada, hanya tukang cuci baju yang dia bayar bulanan. Selain itu, Avi melakukan semua sendiri. Terlebih lagi saat ini. Dan dia baru menyadari kalau selama ini rumahnya sudah mirip dengan Obake. Suram. Kotor. Menyeramkan.
Dua hari ini juga Daniel tidak menunjukkan batang hidungnya. Cowok yang selalu mengaku abangnya itu seolah sedang hijrah ke dimensi lain. Tidak ada kabar. Tidak menengoknya juga disaat dia sedang tenggelam dalam keterpurukan. Sekaligus kemiskinan.
Avi melemaskan semua anggota tubunya dan bersandar di bahu kursi. Kebosanannya memuncak padahal ini baru dua hari. Papanya sedang pergi ke Toko kayu milik Daniel sejak tadi pagi dan belum pulang sampai saat ini. Kabarnya, dia nanti akan pulang sekaligus menjemput anak kesayangannya—Esa dari sekolah. Tapi baru saja Avi memikirkan itu, suara Esa sudah melengking masuk ke Toko memanggil namanya. Ketika Avi melihat ke arah Esa, anak itu sudah berjalan mendekati mejanya dengan menenteng sebuah kantung hitam di tangannya. Di belakangnya Daniel mengekor. Badannya yang atletis di padu dengan kemeja berwarna biru, entah kenapa hal itu langsung membuat Avi merasa kalau Daniel sedang kelihatan sangat tampan hari ini. Bisa jadi karena sudah dua hari dia tidak melihatnya dan dua hari ini juga dia sangat ingin bertemu dengan Daniel untuk mendiskusikan masalahnya. Dia sedang sangat membutuhkan Daniel.
“Dua hari nggak kelihatan, lo tambah ganteng aja, Ko!” sapa Avi yang langsung menegakkan tubuhnya.
Esa meletakkan bungkusan hitam itu di atas meja Avi lalu membukanya. “Nasi padang,” ujar Esa memberitahu sambil tersenyum.
Avi memandang makanan itu dengan berbinar-binar. Seolah selama ini dia tidak pernah makan-makanan itu. “Wuah, ayam panggang. Kepala kakapnya, mana?”
“Jangan makan kepala kakap. Ntar kolesterol tahu rasa. Udah tua juga!” tukas Esa.
Avi cemberut. Tapi dia langsung bangkit dari duduknya dan berjalan ke wastafel untuk mencuci tangannya. Ketika dia kembali, Daniel sudah duduk di depan mejanya. Avi tersenyum. Feelingnya mengatakan kalau Daniel akan menjadi juru selamatnya kali ini.
“Dua hari nggak kesini, kenapa lo jadi kelihatan berantakan kayak gini?” tanya Daniel sambil menopang dagu. Memperhatikan Avi yang sedang menikmati makanannya seperti anak korban perang yang telat mendapat bantuan logistik.
“Udah, nggak usah pura-pura. Lo jelas tahu apa masalahnya. Ini semua soal koruptor yang di miskinkan!” jawab Avi dengan mulut penuh.
“Kok nggak di potong tangan aja, ya? atau di gantung di Monas?”
“Sayangnya, gue masih terlalu ganteng buat di gantung di Monas. Ntar deh kalau gue udah jelekan dikit dan nggak ada cewek yang mau jadi GF gue, baru gue rela mati.”
Esa dan Daniel mendengus kesal.
“Lo itu udah miskin, menyedihkan, berantakan, tapi masih juga bisa kepedean.” Ujar Esa dengan mata melotot jengkel. “Masih untung lo di suruh kerja rodi disini. Setidaknya logistik masih di penuhin sama Papi.”
“Iya, dan sekarang baru berasa. Kalau duit seribu itu begitu berharga,” jawab Avi sekenanya. Tapi jelas disadarinya bahwa dia hampir mirip seperti Ibu Rumah Tangga yang hanya memiliki uang seribu perak didalam dasternya untuk jatah beli garam.
Daniel tersenyum. “Jadi mau lo apa sekarang?”
Avi memandang tajam Daniel. “Jelas lo tahu lah. Yang gue butuhin sekarang itu tambahan duit atau Neji bakal di sita. Gue lebih rela Esa balik ke Palembang ikut Mami lagi dari pada Neji jadi korban,”
“Enak aja! Siapa juga yang mau balik ke Palembang. NGGAK!!” Esa melengos.
“Kenapa? Kalau gitu ke Balikpapan aja.”
“Kakak mau gue bertemen sama orang hutan disono? Udah gudangnya deket hutan, sepi lagi. Mau kemana-mana susah.” Protes Esa.
“Ya jangan di Balikpapannya kalau gitu. Kan Papi ada rumah di Samarinda, kamu tinggal aja disana!”
“Ogah. Aku mau disini. Sama Kakak!”
Avi menatap adiknya dengan licik. “Kalau gitu bilang sama Papi. Kecuali Neji, papi boleh sita semua barang-barang Kakak. Oke?”
Lagi-lagi Esa mendengus kesal. “Kakak jelas tahu kalau semua ini salah kakak. Jadi harus tanggung jawab!”
Avi tersenyum kecut. “Asal kamu tahu juga. Kalau kakak nggak bisa balikin seratus jutanya Papi. Kemungkinan besar Kakak di buang ke Balikpapan itu sangat besar. Kalau itu terjadi, kamu nggak akan punya temen disini. Dan kalau kamu nggak punya temen, kamu juga cuma punya dua pilihan. Balikpapan atau Palembang,” ujar Avi sambil menyeringai.
Esa menghentak-hentakkan kakinya di lantai karena terlalu kesal. “Ini semua salah Manda! Harusnya Kakak ambil lagi Iphone yang kakak belikan buat Manda itu. Kasih ke Papi! Lagian masih banyak barang lain lagi yang Kakak kasih ke Manda, kan?” ujar Esa yang langsung pergi meninggalkan kakaknya.
Seperti tersengat listrik, kepala Avi langsung tegak. Seperti orang kesurupan, matanya melotot. Ingatannya berputar. Ada dua barang yang di bawa Manda dan isinya sangat fatal. Buku tabungannya. Selain itu ada Iphone terbaru yang sengaja Avi beli. Bukan untuk di berikan, tapi Avi meminjamkan barang itu untuk Manda. Juga ada Apple tablet. Dan beberapa benda lain yang mungkin bisa memiliki nilai.
“Aku bakal kasih kamu kerjaan. Itu kalau kamu mau,” kata Daniel tiba-tiba.
Gagasan Avi tertahan seketika. Perhatiannya tertuju pada Daniel. “Kerjaan apa?”
“Temenku punya toko sweater di Bandung. Kalau kamu mau, aku bisa ngajuin kamu buat jadi model sweaternya. Kebetulan dia lagi jalan bisnis online juga. Gimana?”
“Model? Itu artinya jual diri, dong?”
Daniel mengangguk sambil tersenyum. Dalam kepalanya sudah membayang saat-saat Avi di dandani dan di potret. Mengingat selama ini Avi selalu menolak untuk di ambil gambarnya.
Saat ini tidak ada yang lebih penting bagi Avi selain mengumpulkan banyak uang. Dan sebisa mungkin dia akan melakukan apa saja demi bertanggung jawab pada Papinya dan menunjukkan pada Papinya bahwa dia bisa bersikap jantan.
♀ ♀ ♀
No comments:
Post a Comment