Friday, November 8, 2013

PELADHEN

Cerpen

PELADHEN



"Jangan ajari aku tentang prihatin. Selama ini aku sudah cukup prihatin dan aku  selalu kalah dengan mereka!" desis Edo sambil menunjuk ke arah adik-adik tirinya yang sedang asik menonton TV.

Perempuan di hadapannya diam saja. Wajah yang sedikit demi sedikit sudah mengerut karena usia, hanya diam  terpaku  menatap anaknya yang kian hari semakin tumbuh dewasa dan usianya kini sudah menginjak dua puluh lima tahun. Tapi tak sekalipun dalam hidup perempuan  ini  merasa bisa dekat dengannya. Karena itu, wajar jika dia marah. Tapi satu sisi dirinya juga merasa marah, karena anak yang sudah di besarkannya selama duapuluh lima tahun itu kini malah tumbuh menjadi pemuda yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun pada ibu kandungnya sendiri.

"Kamu bisa marah  pada Ibu. Padahal kamu  nggak pernah  marah sama sahabatmu!"

"Dia lain. Dia lebih memahamiku daripada Ibu!"

"Jangan buat kesabaran Ibu sampai pada batasnya!"

"Kesabaran itu nggak ada batasnya, Bu. Jika memang ibu punya kesabaran yang terbatas, itu namanya bukan sabar," ujar Edo dengan nada mengejek.

Brraaakkk...

Ssekali gebrak, beberapa benda yang ada di meja makan itu melompat. Dahi Edo berkerut dalam. Jantungnya berpacu cepat. Dia merasa sedikit ciut juga di hadapan wanita yang sudah dikenalnya dengan baik ini.

"Ibu membesarkanmu bukan untuk menjadi anak yang kurang ajar," desis ibunya. Tadinya dia bisa sabar menghadapi anak sulungnya ini, tapi lama-lama dia bisa juga melihat ada percikan api yang membara dimata anaknya. Tapi sudah kepalang basah, dia tak bisa lagi menahan amarahnya. Toh selama ini dia selalu menggunakan emosi dan tangannya untuk mendidik agar anak-anaknya bisa patuh padanya dan selalu mengikuti apappun kemauannya.

"Benar, aku di ajari untuk menjadi anak yang pintar. Pintar untuk prihatin, pintar mengalah dan pintar di tindas. Ibu sudah menciptakan satu  manusia yang bisa di paksa untuk menjadi idiot di rumah ini !"

"Usiamu sudah dua puluh lima tahun dan aku  nggak percaya kamu masih bisa berkelakuan seperti anak kecil,"

"Karena aku  adalah anak. Tapi ibu nggak pernah  ngasih hakku sebagai anak. Malah lebih parah dari itu, aku hanya peladhen di rumah ini !"

Usai mengatakan seperti itu, Edo segera beranjak pergi dari hadapan ibunya. Wanita itu tergugu diam. Tidak pernah menyangka sama sekali bahwa anak yang di perjuangkannya secara mati-matian dulu, kini malah melawannya. Dan ketika dia menyebut kata ‘peladhen’, dada wanita itu langsung bergetar hebat. Tubuhnya tiba-tiba saja menggigil dan terjatuh lemas di atas kursi meja makan. Di tatapnya hamparan makanan yang ada di hadapannya. Ada ikan asin, ada sayur asam, ada sambal terasi dan  beberapa makanan hiburan lain seperti mie goreng dan capcay.

Sepagian Edo berkutat di dapur dan menggantikan tugasnya sebagai Ibu Rumah tangga. Anak sulungnya itu terpaksa memenggal beberapa menit waktunya hanya untuk menyiapkan ini semua sebelum dia berangkat kerja. Tiba-tiba semua makanan itu terlihat seperti gumpalan kapas yang selalu membuatnya alergi. Di urungkan niatnya untuk memakan  makanan itu, ini sudah jam depalan pagi dan sudah waktunya untuk pergi ke acara PKK.

***

"Kenapa lagi?" tanya Bondan  begitu  melihat sahabatnya  itu terus saja menekuk muka. Beberapa orang yang lalu lalang tidak diindahkannya, malah lebih sibuk melamun dan terdiam.

"Biasa, nyokap gue. demen banget ngajak gue berantem. Emangnya gue ini musuhnya?"

"Jangan gitulah, Bro. Dia kan nyokap lo. Durhaka loh!"

"Jangan ajari gue soal durhaka atau neraka. Gue tahu persis soal itu. Gini-gini gue juga rajin sholat dan ngaji. Tapi kali ini, gue bener-bener nggak bisa kontrol lagi. Kata-kata nyokap gue tadi nyeseg masuk dalem hati. Gue sakit hati!"

"Bisa gitu ya anak sakit hati ama nyokap?" Bondan sok heran seraya menggaruk-garuk dagunya.

"Kenapa enggak?  buktinya gue lagi ngrasain sakit. Dan asal lo tahu. Sakit gue ini udah sejak lama. Sejak gue sadar kalau dia itu nyokap gue!"

Bondan  terdiam. Dia tahu betul siapa Edo dan dia paham betul bagaimana dia dulu. Bondan dan Edo sama-sama berangkat dari kampung dan merantau ke Jakarta. Dulu ketika mereka sama-sama masih kecil, Bondan sering melihat seorang wanita muda dan cantik datang ke menemui Edo dengan  membawa banyak sekali makanan dan mainan. Kata Emak Bondan, wanita itu adalah Ibunya Edo. Waktu  itu Edo belum paham betul siapa dia. Edo hanya senang  ketika ada orang datang  mengunjunginya dengan membawakan banyak makanan, mainan dan uang untuk dirinya. Secara, selama ini dia harus hidup tersisih dan mengalah dari kakak-kakak sepupunya.

Emak Bondan adalah satu-satunya wanita yang di anggap Ibu oleh Edo, sejak kecil, Edo sudah di titipkan pada Pamannya. Berbagai macam  diskriminasi oleh Bibinya selalu di terima Edo dengan  lapang dada.  Itu karena Edo belum paham siapa dirinya dan apa perannya disana. Dia hanya berpikir paman dan  bibinya adalah  keluarganya, orang tuanya. Sedangkan kakak-kakak sepupunya adalah kakak kandungnya.

Ketika Bondan memberi tahu  tentang siapa wanita itu pada Edo. Di luar perkiraan Bondan,  ternyata Edo sudah tahu  siapa wanita itu. Tapi dia sama sekali belum mau memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’. Baginya, wanita yang di anggap Ibu adalah Ibunya Bondan. Tempat Edo biasa lari jika ada masalah. Tempat Edo mencari kasih sayang dikala Bibinya mulai sewot dan selalu  menyalahkannya. Tempat Edo meminta makan disaat perutnya kelaparan. Dari Emak Bondan, Edo bisa masak. Dari keluarga Pamannya, Edo biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan jadilah Edo yang mandiri dan tidak membutuhkan orang lain untuk membantunya, kecuali kasih sayang untuk penyejuk dahaga hatinya.

"Gue kangen sama Emak. Kira-kira emak lagi apa, ya?" mata Edo menatap langit-langit distro yang dimilikinya.

Sejak kecil Edo sudah terbiasa ikut Emak Bondan berjualan baju bekas di pasar. Bersama Bondan meneriakkan dagangan-dagangan mereka pada setiap orang yang lewat. Emak Bondan  menyewa sebuah lapak yang di bayar secara mingguan. Baju bekas memiliki pasar tersendiri di masyarakat. Karena itu, Emak Bondan  mengemas baik-baik dagangannya dan di bantu oleh anaknya, juga Edo. Kian hari, dagangannya semakin laris dan pada akhirnya Emak Bondan  bisa menjual baju-baju baru, tentu saja dia akan  tetap menjual baju bekas. Tapi kali ini yang memerankan  pedagang  baju  bekas adalah Bondan dan Edo. Selepas pulang sekolah, mereka akan segera berlari ke pasar dan  meneruskan jualan Emaknya hingga Magrib menjelang.

Sejak kelas dua SMA, Edo di tarik ke Jakarta oleh Ibunya. Tidak ada pilihan bagi Edo untuk menolak. meskipun berat meninggalkan Bondan dan Emaknya, tapi Edo tetap berangkat demi impiannya utuk kuliah. Edo ingin kuliah dan Ayahnya yang baru menjanjikan kuliah untuk Edo jika dia mau pulang ke Jakarta.

Saat pertama kali tinggal bersama dengan Ibunya setelah  belasan  tahun, dia merasa aneh dan kikuk. Edo merasa tidak mendapat tempat di rumah itu, meskipun rumah itu begitu besar dan lebar, juga ramai oleh penghuni rumah yang diisi oleh riuh rendah  tawa dan tangis adik-adik tirinya, tapi Edo tetap merasa sepi.

Belum lagi tekanan demi tekanan yang sering di dapatkan Edo dari Ibunya yang terus saja mengatakan kalau dia harus rajin sekolah, rajin belajar, harus tahu diri, harus tahu terima kasih, jangan sampai membuat malu,  dan jangan membuang-buang uang. Hal itu membuat tubuh Edo semakin kurus dan merasa depresi. Seminggu Edo sakit dan ingin kembali ke kampung  saja. Tapi Ayahnya tidak mengijinkan Edo untuk kembali kesana. Karena itu bukti bahwa Ayahnya sudah gagal dalam mendidik Edo di Jakarta, hingga membuat anak itu tidak betah.

"Edo pengen punya temen yang bisa Edo ajak ngobrol disini, Yah," kata Edo bernada meminta. Bisa mengatakan seperti ini saja, Edo harus mendapatr sorotan tajam dari Ibunya yang seolah mengatakan kalau Edo itu anak laki-laki yang bawel dan menyusahkan.

"Kamu kan bisa punya teman kalau  kamu udah bisa adaptasi  di sekolah baru kamu!" sahut Ibunya tegas.

Edo terdiam. Selama ini dia terlalu sungkan untuk meminta seuatu pada wanita yang ada di hadapannya itu. Meskipun sekarang dia memiliki Ayah yang baik dan mau mengabulkan semua permintaannya, tapi justru Ibu Edo menganggap dia sebagai beban  dan  jangan sampai merepotkan.

Pada akhirnya, Edo tetap diam dan  terus saja diam. Menjalani hari-harinya di Jakarta sebagai anti sosial. Menjauh dari segala bentuk keramaian dan lebih banyak menyendiri. Hingga suatu hari dia bisa memiliki satu-dua teman yang bisa memahami jalan pikirannya.

"Kejutan!!" seru Bondan saat Edo membuka pintu kamarnya.

"BONDAAAAN!!"

Dua sahabat itu berpelukan hangat. Air mata Edo hampir saja tumpah begitu mendapati Bondan  ada di dalam  kamarnya. Seolah baru bangun dari tidur dan mendapati dunia yang berbeda, hati Edo di buat membuncah luar biasa dengan kehadiran Bondan.

"Emak mana?" tanya Edo begitu dia sudah bisa mengendalikan rasa bahagianya.

"Emak ya di kampung lah, Do."

"Apa kabar?"

"Nggak ada lo nggak rame!" gurau Bondan sambil nyengir. Edo tersenyum lebar. "Lo kurusan, Do. Nggak di kasih makan sama Mami ?" sekali lagi Edo hanya tersenyum. Bondan mengerutkan dahi, "Gimana sekolah lo ?"

"Lumayan," jawab Edo singkat tetap dengan tersenyum.

"Jangan senyam-senyum aja dong, ayo cerita. Gimana kondisi lo selama disini?"

"Lumayan,"

Ada begitu banyak hal yang sangat ingin di ceritakan Edo pada Bondan. Keluarganya, Ayahnya, Ibunya yang lebih galak dari pada Guru mereka waktu SD dulu, adik-adiknya yang semakin hari tambah bandel dan semua itu di jadikan tanggung jawab Edo.
"Apa yang udah terjadi?" tanya Bondan pelan pada akhirnya.

"Aku cuma kangen sama Emak. Aku kangen sayur  nangka  buatan  Emak. Aku...." kepala Edo menunduk dalam. Air matanya menggenang lagi.

Edo tak mau banyak cerita tentang bagaimana perasaannya. Dia seorang laki-laki yang wajar kalau semua orang membebankan tanggung jawab  padanya. Hanya saja Edo merasa nasibnya sangat ironis. Sebagai laki-laki, dia sama sekali tidak bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Bukan  karena Edo tidak  mau melakukannya, tapi Edo hanya takut pada satu hal, Neraka Tuhan.

Semakin hari Edo semakin tumbuh dengan banyak belajar. Bondan di biayai sekolah di Jakarta oleh Ayah tiri Edo. Hanya saja, Bondan hidup di kos dan Edo tetap berada di rumahnya, itu karena Ibu Edo tidak ingin melihat ada satu lagi makhluk asing didalam rumahnya dan bukan dari garis keluarganya. Sedangkan di dalam rumah itu sudah penuh sesak dengan banyaknya anggota keluarga yang setiap akhir minggu pasti mereka akan berkumpul, mereka adalah anak-anak angkat Ibu Edo.

"Gue ini anak kandungnya, tapi nggak pernah sekalipun  nyokap gue tuh ngelihat gue dan apa yang udah gue lakuin buat dia,"

"Mungkin itu karena lo udah di pandang mandiri ama nyokap lo, Bro. Makanya nyokap juga santai-santai aja ama keadaan lo,"

"Nggak bisa gitu juga, dong!"

Bondan  tertawa dalam  hati. Merasa lucu, sekaligus miris pada nasib Edo. Dia laki-laki, tapi malah melakukan  pekerjaan layaknya perempuan. Bangun tidur saat fajar belum datang. Memasak. Membereskan  rumah, hingga mengantar jemput adik-adiknya yang super manja. Sedangkan  Ibunya, lebih sibuk dengan arisan PKK, kegiatan RT, jalan-jalan bersama teman-temannya, hingga buang-buang waktu di dalam salon tiga kali dalam seminggu.

Edo sempat stress dengan kelakuan Ibunya. Hingga pernah  satu  malam dia pergi dari rumah, lalu menginap di kost Bondan. Tapi tetap saja, Edo merasa bersalah sudah meninggalkan adik-adiknya. Biarpun mereka adalah adik-adik tiri, tapi Edo masih punya rasa kemanusiaan. Dia terlalu banyak khawatir dan esok subunya, dia sudah ada di rumah untuk menyiapkan sarapan dan kembali menjadi peladhen.

"Tapi berkat kerja kerasmu sebagai peladhen  itu, akhirnya kita bisa dapat distro ini dari Ayah tirimu, Do," kali ini ganti Bondan yang duduk menerawang, menatap langit-langit distro.

"Iya, tapi nggak tahu  kenapa, kalau  bayangan nyokap gue muncul dengan kata-katanya yang sering bikin gue sakit hati, rasanya gue pengen pergi aja. Gue nggak mau ada disini. Gue pengen pergi yang jauh dan nggak pulang lagi,"

"Ahh, paling juga ntar balik lagi. Lo kan masih punya hati,"

"Gue ini cuma peladhen, Ndan. Tanpa ada gue juga pasti nyokap bisa nyari orang lagi. Di tambah  lagi, gue ini memang seorang  peladhen. Buktinya, waktu ada saudara-saudara angkat gue datang kerumah, selalu mereka yang mendapat perhatian  nomor satu dari nyokap. Sedangkan gue ?"

"Lo inget nggak si Nana, temen kita waktu SMA dulu?" tanya Bondan tiba-tiba.

"Nana..... Rosdiana?" tanya Edo balik.

"Nana itu juga sama kayak lo, menganggap diri sebagai peladhen. Dan katanya dia juga emang di anggap seperti itu sama bonyoknya. Adik-adiknya semua cowok dan nggak ada satupun yang bisa bantuin dia kalau dia lagi kerepotan. Pendek kata, mereka semua nggak bisa di andalkan. Sedangkan elo, lo itu cowok, tapi punya hati seorang cewek, lo nggak tega'an. Lo juga sabar. mungkin itu sebabnya nyokap lo suka "menindas" lo dengan sikap otoriternya,"
"Kadang gue mikir, apa iya ada Ibu semacam itu di dunia ini?"

"Ibu tetap Ibu, Do. Jiwa mereka tetap sama. Hanya saja,  lo coba bayangin aja gimana rasanya jadi single parent di usia yang sangat muda, enam belas tahun. Di usia segitu dia udah puya anak, udah jadi janda, udah harus menghidupi anaknya sendiri, sedangkan Bapak lo kemana juga nggak ada yang tahu."

"Karena itu gue nggak mau jadi laki yang kayak dia. Gue nggak mau bikin sakit hati nyokap gue. Tapi kenapa malah gue yang suka di bikin sakit hati ama nyokap gue?"

"Harusnya rasa peka dalam diri lo itu dibuang dikit biar setiap omongan  nyokap lo itu nggak terlalu lo ambil hati. Ujungnya kayak gini, kan. Lo disiksa sama rasa sakit itu sendiri,"

Edo mendengus jengkel. Di tengoknya jam dinding yang menempel di tembok. Jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul satu siang. dia segera beranjak dari duduknya dan mengambil kunci motor.

" Udah mau jemput? baru  jam berapa ini...?" tanya Bondan saat mendapati Edo sedang merapikan dirinya.

"Ntar nyampe sono juga tuh bocah-bocah udah pada keluar dari sekolah,"

Bondan  tersenyum  sekilas. Saat melihat Edo keluar dari pintu distronya, dia baru beranjak dari duduknya dan saat itu juga ada pelanggan yang memasuki tokonya. Anak sekolahan bertampang jutawan.

***

"Ibu yang sudah nabrak mobil saya!" pria yang kepalanya botak belakang itu meradang.

"Saya nggak nabrak. Itu tadi ada motor yang nyelip lalu dia nabrak mobil situ. Coba lihat, cuma lecet!" bantah Ibu Edo tak kalah tegas.

"Enggak, situ nggak lihat apa mobil saya penyok bawahnya gini?" tanyanya tetap dengan intonasi super power sambil tangannya menunjuk bemper belakang mobilnya yang sudah penyok .

"Saya itu parkir mobilnya ada berapa meter dari mobil Bapak. Satu meter, jadi itu bukan salah saya !"

"Saya nggak mau  tahu, pasti ini ulah Ibu. Kalau Ibu  nggak mau tanggung  jawab, saya rusak mobil Ibu !"

Edo melihat pemandangan  itu dengan  bibir mengerucut. Menahan amarah sebaik mungkin. Bukan pertama kalinya dia melihat Ibunya bersitegang dengan orang lain di tempat umum. Apalagi kali ini di sekolah Adiknya. Banyak wali murid yang akan menjemput anaknya melihat perang urat saraf  itu. Edo sudah  paham  kalau Ibunya tak akan pernah mau mengalah pada siapapun, biarpun dia bersalah, dia akan tetap terus membela diri.

Pertengkaran  mulut  itu terus berlangsung hingga seorang Security datang dan mendamaikan mereka. Terlihat pria botak itu sedang menelepon  seseorang. Edo segera menghampiri Ibunya dan mendapati wanita itu juga sedang mengotak-atik BB-nya. Nyata terlihat diwajah Ibunya kalau wanita itu juga panik.

"Kenapa, Bu?"

"Tau’ tuh, orang gila. Masa Ibu nggak nabrak, eh malah di kata nabrak. Nabrak darimana? parkir juga sebelahan. Jaraknya juga satu meter. Yang bener aja!" oceh Ibunya begitu mendapati ada seseorang yang bisa membelanya.

Edo melihat sekilas mobil pria botak itu. Penyoknya memang bukan penyok biasa. Dilihat dari cara parkir mobil Ibunya yang kurang bagus, memang Ibunya patut dicurigai.

"Saya sudah telepon teman saya, dia Polisi. Kalau Ibu tetap nggak mau ganti rugi, saya laporin Ibu ke Kantor polisi !"

"Laporin saja, situ kira saya ini takut?  suami saya Pengacara!"

Edo memutar bola matanya ke atas. Di saat yang seperti ini, Ibunya masih juga bisa berbohong, Ayah  tirinya itu adalah seorang Manager di perusahaan asuransi. Lagi pula, kalau saja Ayah  tirinya melihat  kejadian  seperti itu, dia pasti tidak mau  ambil repot untuk debat kusir yang bodoh semacam itu.

"Kalau gitu sekalian saja saya rusak spion Ibu. Biar kita impas!"

Prrrraaaangg!!!

Belum selesai Edo dan Ibunya menangkap maksud kata-kata pria botak itu, spion Honda Jazz berawarna hijau itupun langsung jatuh di tanah, bunyi alarm mobil langsung menyalak hingga menimbulkan keributan yang lebih besar. Semua orang yang tadinya hanya melihat dari jauh langsung mendekat untuk melihat kejadian lebih jelasnya.

Bruukkk, pria botak itu terhuyung-huyung hingga kemudian jatuh di tanah, tangan Edo langsung mencengkeram kerah baju pria botak itu. Ditariknya pria botak itu ke hadapan Security yang dari tadi tidak bisa berbuat  banyak karena pria botak  itu marah-marah dengan menakutkan.

"Gue nggak suka ada orang yang maki-maki nyokap gue dan dia ngerusak barang-barang punya nyokap gue," desis Edo dengan mata merahnya yang sudah menyiratkan amarah tak terkendali. "Minta maaf ama nyokap gue sekarang juga, Bajingan,  atau lo mati !!"

Sepasang tangan menempel di bahu Edo. Saat kepala Edo melihat siapa yang sudah memeluknya, matanya menangkap air mata yang tak hentinya berlinang. Tatapannya penuh kasih dan juga takut. Sebuah perasaan mendebarkan menguasainya Edo, baru kali ini dia melihat sinar mata yang beda dari biasanya. Sinar seorang Ibu yang tak ingin anaknya masuk dalam lubang kesesatan.

-----END-----

NP : Peladhen = Pembantu/Pelayan (bahasa jawa)

No comments:

Post a Comment