Thursday, November 21, 2013

VIOLEY 2 : AVI - "SINCERELY" - Dua

DUA



18 September 2012 : 06.15 WIB

Matahari sudah membumbung tinggi dan tirai jendelanya sudah tersibak lebar-lebar saat Avi membuka mata. Dia baru ingat kalau beberapa saat lalu, terdengar suara wanita yang lengkingannya khas  kondektur bis  di terminal Blok M membangunkannya. Dari apa yang dia rasakan tadi, sepertinya dia sudah bangun, lalu turun ke bawah dan ikut sarapan bersama dengan Mami dan adiknya. Tapi sayangnya itu hanya ilusi dalam mimpinya saja.
“KAKAK, MAU MOLOR SAMPAI JAM BERAPA? AKU BISA TELAT!!!”
Avi menoleh ke arah jam weker yang ada di meja samping tempat tidurnya. sudah hampir jam tujuh. Matanya langsung terbelalak dan buru-buru dia berlari ke kamar mandi seraya menyambar handuknya.
Sayangnya dia juga hampir lupa kalau hari ini dia ada kuliah pagi. Dosen Fotografi Desainnya sangat killer dan lebih galak dari anjing Golden Retriever milik tetangga sebelah. Dan bodohnya, sebelum tidur jam dua dini hari tadi, dia lupa menyiapkan bahan kuliahnya untuk hari ini.
Berkali-kali Avi menepuk jidatnya sendiri dibawah pancuran air. Segera dia menyabuni tubuhnya asal. Setelah mengguyur badannya, buru-buru dia menyambar sikat dan pasta gigi. Saat memasukkan sikat gigi ke dalam mulutnya dan mulai menggerakkan benda itu untuk membersihkan sela-sela giginya dengan kasar. Dia langsung berteriak kencang-kencang sambil memaki-maki sendiri.
Kuso!!!” umpatnya saat bagian dalam bibirnya terkena bulu sikat yang kasar. Itu bekas di tabrak oleh bibir Mayang semalam dan masih menimbulkan bekas nyeri.
Damn! Lain kali gue nggak bakal ciuman sama cewek itu lagi. Janjinya dalam hati.
“KAKAAAKK!!” teriak Esa dari luar pintu kamar mandinya. “Lima detik lagi nggak keluar, aku nggak mau sekolah!” ancamnya.
Avi mengumpat makin panjang  di dalam hati. Dan sebelum adiknya itu menghitung mundur seperti biasa. Dia buru-buru menahan sakit di bibirnya dan menggosok cepat giginya. Berkumur sebentar. Lalu buru-buru keluar kamar mandi dengan masih berbalut handuk.
“Bisa nggak sih, kamu itu jangan kebiasaan teriak-teriak. Ini bukan hutan dan kamu itu ganggu tetangga, tahu!” omel Avi seraya membuka lemarinya dan meraih pakaian dalamnya. Langsung di kenakan benda-benda itu dengan cepat, hingga membuat semua ‘asetnya’ tertutup.
“Siapa suruh kakak pulang pagi. Kakak clubingkan semalem?” tanya Esa dengan mata menghakimi. “Jalan sama Si Uler?”
“Ngomong apa sih?” Avi mulai memakai kaos  oblong dan celananya.
Esa memperhatikan kakaknya hingga selesai memakai baju dan rapi. Setelah kakaknya bercermin untuk memeriksa apakah wajahnya sudah layak di bawa keluar rumah. Esa segera memberikan tas Avi yang biasanya di pakai untuk kuliah.
“Nggak usah sarapan. Aku udah telat, oke!” kata Esa sambil melewati kakaknya dan berjalan lebih dulu.
Avi memutar bola matanya ke atas. Frustasi. Tapi dia hanya bisa mengikuti adiknya turun tangga ke lantai bawah dan mendapati Maminya sudah duduk di depan TV sambil membaca majalah.
“Berangkat dulu, Mi!” pamit Avi sambil menghampiri Maminya dan mencium sekilas pipinya. Wanita itu membalas ciuman anaknya di pipi juga.
“Hati-hati. Jangan ngebut!”
Avi mengangguk. Dia langsung ngeloyor pergi lebih dulu ke depan menuju garasi motor dan mendapati Kang Daduk sedang mencari sesuatu di dalam garasi.
“Nyari apa, Kang?” tanya Avi begitu menunggangi motornya, Neji. Memanaskan Kawasaki putih itu hingga suaranya mengaum di seluruh penjuru garasi.
“Martil, Boss.” Jawab Kang Daduk tanpa menoleh pada Avi. “Mau berangkat?” tanyanya basa-basi, kali ini menoleh Avi dengan wajah ramah.
Avi mengangguk. “Titip Toko dulu ya. Di rumah ada Mami, kok. Ada pempek tuh di kulkas. Goreng aja kalau mau. Aku udah bosen.”
“Siiipp!”
Esa keluar dari dalam pintu tengah yang menghubungkan dengan garasi. Dia langsung  duduk di jok belakang dan menempel erat pada Avi. “Berangkat dulu ya, Kang!”
Kang  Daduk melambaikan tangannya sambil tersenyum. Menatap kepergian Avi hingga anak itu menghilang keluar dari pintu gerbang rumahnya.


IKJ : 08.00 WIB

Mungkin ini adalah hari mengumpat Nasional dalam sejarah hidup Avi. Sejak masuk kelas dan mendapati Dosen Fotografi Desain memulai sesi kuliah. Avi tidak bisa berhenti menggigit kuku jempol tangannya. Terlalu khawatir karena dia lupa mengerjakan tugasnya. Edo, satu-satunya teman di kelasnya yang  sama tolol dengannya langsung menyikut siku Avi.
“Lo belum ngerjain tugas, kan?” tanya Edo sambil berbisik. Matanya sesekali melirik ke arah Dosen di depan. Kelas itu terlalu hening dan sedikit saja suara yang timbul, paasti Dosen itu tahu.
“Gue lupa, Nyong!” 
“Lo emang nggak niat kuliah,”
Avi memejamkan matanya. Mendadak semua mata kuliah yang di ambilnya itu terasa sangat membosankan dan dia muak. Berkali-kali dia merutuki diri dan merasa menyesal sudah mengambil jurusan DKV. Sayangnya seolah pilihannya itu sudah telat untuk di sesali. Karena piihan itu sudah membawanya duduk di semester empat saat ini.
Avi lebih tertarik dengan teater yang selama ini di ikutinya sebagai suatu kegiatan club anak-anak seni drama. Dia lebih bisa fokus dan menjadi dirinya sendiri sekaligus merasa fun saat menginjak panggung atau sedang berkumpul dengan teman-temannya sambil menghafal naskah. Terkadang jika bermain teater saja tidak bisa membuat rasa gelisahnya hilang, dia akan berbaur dengan temannya yang lain, anak-anak seni pahat dan belajar memahat patung dari kayu.
Akan tetapi semua itu hanya kegiatan tambahan saja bagi Avi sekedar untuk hiburan atau pelampiasan penat. Tidak pernah benar-benar bisa membuatnya merasa lepas dan bebas karena tetap saja dia terikat dengan jurusan DKV yang sudah di pilihnya karena bujukan Si Bibir Manis. Daniel.
Bagaimanapun juga, Daniel memang orang  yang sangat baik. Terlampau baik malah bagi Avi. Hubungan mereka hanya sebatas teman masa kecil yang sudah seperti saudara hingga mereka sama-sama tumbuh dewasa. Karena Papinya dan Papanya juga berteman sejak mereka masih tinggal di Kudus, Jawa Tengah.
Sejak Papa Daniel dan Papinya memfokuskan diri dengan usaha kayunya di Kalimantan,  usaha mebel Papi Avi yang ada di Jakarta di serahkan pada Avi untuk di jaga di bawah pengawasan Daniel. Papi Avi sengaja menyuruh Daniel yang mengawasi usaha mebelnya karena selain Daniel memiliki usaha kayu sendiri di Jakarta, dia juga di percaya Papanya untuk mendistribusikan kayu masuk ke mebel Avi.
Tapi hubungan pertemanannya dengan Daniel sedikit retak saat Papinya mengatakan pada Avi bahwa dia ingin menjodohkan Avi dengan Daniel. Dengan jelas Daniel tahu siapa Avi dan bagaimana orientasi seksualnya. Tapi sayangnya seolah setali tiga uang dengan Papinya, Daniel mendukung penuh keputusan Papi Avi. Avi tidak pernaah tahu apa tujuan Daniel setuju dengan perjodohan tolol itu. Begitupula ketika Daniel mendapat tugas tambahan dari Papi Avi, yaitu menjaga Avi.
“Woii, tugas di kumpulin tuh!” bisik Edo sambil menyenggol-nyenggol lengan Avi. Tapi yang di senggol seolah baru sadar dari mimpi dan dia langsung terkejut.
“Apa?”
“Tugas, Oneng!”
Damn! Tuh orang beneran nggak mau ngasih perpanjangan waktu, ya!” gerutu Avi begitu melihat satu persatu temannya meletakkan tugas di atas meja dosen.
“Bagi yang mengumpulkan besok. Saya kasih kalian nilai C. Tidak ada istilah nilai B bagi saya. Yang ada hanya A atau C. Itu saja!” kata Dosen laki-laki yang kepalanya sudah botak di depan itu dengan tegas.
“Slamet deh kalau nggak di kasih nilai D atau E,” gurau Avi sambil tertawa.
“Lo sarap ya!”
Avi nyengir. “Udah ah, gue mau keluar. Nggak ikut kelas lagi. Males!”
“Hah? Apa lo bilang?”
“Gue mau bolos!”
“Lagi??”
Avi melemparkan kiss bye nya untuk Edo sebelum dia melenggang keluar dan berjalan di belakang Dosennya.


10.10 WIB

Hari selasa itu seperti hari kutukan bagi Avi. Tidak pernah sekalipun dia mendapati hari selasanya berjalan dengan mulus. Setiap hari selasa, dia akan selalu bolos mata kuliah. Setiap hari selasa, tokonya juga akan terasa sepi. Setiap hari selasa pula dia di putuskan pacar-pacarnya. Tapi di setiap hari selasa juga dia selalu mendapat pacar-pacar baru.
Kali ini latihan teater club yang di ikutinya di kampus sedang off. Beberapa anggota club teater itu rata-rata anak senior yang saat ini sedang mengikuti skripsi. Mereka memfokuskan diri dengan itu. Akibatnya, sudah beberapa lama dia tidak latihan bersama dengan teman-temannya.
Langkahnya berjalan ke ruang anak-anak seni rupa. Tapi sayangnya ruangan itu kosong. Avi pun mulai berpikir, jika semua orang yang di carinya sedang pergi jalan-jalan ke pelanet lain dan hanya dia sendiri yang ketinggalan roket.
Akhirnya, dia malah duduk-duduk di bawah pohon beringin dekat kantin kampus. Beberapa anak cewek angkatan baru dari fakultas DKV yang waktu itu pernah kenalan dengannya saat ospek, mereka langsung  cekikikan di kantin saat melihat dirinya. Avi tidak pernah peduli dengan apa yang di pikirkan cewek-cewek straight itu. Meskipun Avi meyakini diri, bahwa cepat atau lambat cewek-cewek yang mengaku dirinya normal dan menertawainya itu malah akan bertekuk lutut padanya. Dan keyakinan itu selalu terbukti 88,98% terjadi.
Mengingat cewek straight. Tiba-tiba pikirannya terpusat pada satu sosok yang biasa mengucapkan kata ‘normal’ di hadapannya. Padahal anak itu jelas tahu bahwa  dia paling benci dengan kata itu. Satu kata yang bisa mendeskripsikan bahwa dirinya setara dengan orang yang sakit jiwa.
Avi meraih Hp Esia-nya di dalam saku celana dan langsung menghubungi satu nomor yang sejak dua tahun lalu paling  sering menghubunginya. Avi tersenyum ketika di dalam kepalanya terlintas sebuah rencana yang sangat cemerlang untuk cewek itu. Satu rencana yang bisa di pastikan akan mengubah pandangan hidup cewek itu untuk selamanya. Sekali lagi.
“Bisa keluar, Mel?” tanyanya tanpa basa-basi begitu teleponnya tersambung.
Suara di seberang hanya mengerang, “Gue baru aja tidur jam tujuh tadi dan lo mendadak telepon gue. Ada apa?” tanyanya malas.
“Ngerjain gawean bokap lagi?”
“Apalagi? Emangnya lo pikir gaji gue darimana?”
“Orang kalau ngantuk sewot, ya!” godanya.
“Stop. Jangan ngajak gue ngobrol. Cepetan bilang  mau lo apa?”
“Mau ngajak kamu keluar. Gimana kalau ke gramed?” tawarnya. Karena Avi tahu, lawan bicaranya itu tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di tempat mewah terbuka atau di tempat ramai seperti pantai ataupun taman.
“Gue lagi nggak ada duit!” jawab cewek di seberang cepat.
“Oke, kalau ke tempat kaset bajakan, gimana?” tidak ada jawaban, tapi Avi bisa mendengar bunyi gesekan. Dia yakin cewek itu langsung bangun dan menata posisinya. “Ayo, kapan?” ajaknya. Seolah-olah dia yakin cewek itu akan mengangukkan kepalanya.
“Tapi... lo jemput gue!”
As you wish, baby!” balas Avi dengan senyum lebar.
Bipp.Avi menutup sambungannya dan langsung melangkah pergi dari tempatnya duduk. Dia tahu harus kemana untuk menjemput cewek itu. Di tempat mereka biasa bertemu dan keluar dengannya. Karena cewek itu melarang keras Avi untuk datang menginjakkan kaki di rumah ‘suci’ nya.
Avi menstarter motornya. Suara aumannya selalu membuat Avi merasa gagah dan keren. Beberapa anak baru yang sedang melintas di parkiran, melihatnya keluar dari kampus begitu saja. Avi tidak pernah peduli dengan kuliahnya yang membosankan itu.
Di arahkan motornya menuju pinggiran kota Jakarta. Sebuah Daerah pemekaran baru dari Tangerang. Dari kampusnya, dia menuju kampus cewek itu dan hanya membutuhkan waktu satu jam perjalanan beserta macet yang membabi buta di jalanan Jakarta. Tapi dia sudah biasa, karena dia pernah melakukan kencan yang lebih jauh dari itu. Bogor dan Bandung.
Begitu sampai di Lebak Bulus, motornya makin melaju kencang membelah daerah ciputat yang biasa macet di bagian pasar. Sebagai daerah pinggiran Jakarta dan sudah masuk Kota Tangerang Selatan, tempat itu menjadi salah satu daerah super macet dan rawan dengan tindak kriminalitas.  Tapi tidak sedikit juga orang-orang  sukses  yang sudah muncul dari daerah ini. Salah satunya adalah idolanya, Shandy Sandoro. From Ciputat to Latvia.
Motor terus melaju dan Avi baru menyadari kalau sejak berangkat tadi di telinganya tidak terpasang lagu-lagu metal dari band visual kei yang biasa di dengarkannya saat di perjalanan.  Bibirnya langsung menyunggingkan senyuman begitu ingat perkataan Jol dulu tentang dia dan cewek itu. Dimana Jol mengatakan bahwa dia sedang jatuh cinta dengan cewek yang baru di kenalnya itu. Amel.
Well, lebih cepat tujuh menit aku rasa,” Avi membuka helmnya begitu sampai di depan gerbang kampus Amel. Dia sudah mendapati Amel berdiri di depan gerbang kampus  dan berpanas-panasan di bawah Matahari jam sepuluh.
Amel memperhatikan Avi dari ujung kepala hingga ujung sepatu, tidak ada komentar. Cewek itu lantas naik ke jok belakang motornya dan menepuk bahu Avi dua kali. “Jalan!”
“Hey, aku baru nyampe, Mel!” protes Avi sambil menoleh ke belakang.
Cewek itu bukan membalas tatapannya, tapi malah menundukkan kepalanya di balik bahu Avi yang tinggi.
“Kenapa?”
“Buruan jalan, dong. Temen-temen gue anak pagi pada lewat tuh!”
Avi terkekeh geli saat melihat konvoi cowok-cowok dengan motornya yang baru saja keluar dari gerbang. Mereka tidak melihat Amel yang sedang bersembunyi di balik punggungnya. Tanpa pikir panjang, Avi lalu meraih ponselnya dan memasang beberapa lagu untuk di dengarkan di perjalanan melalui headset.
“Pegangan!”
Amel memegangi perut Avi kuat-kuat dan motor langsung melaju kencang menuju satu tempat di Kelapa Gading, rumah Avi.


Kelapa Gading. 02.18 WIB
Suara mobil menderu di pelataran rumah Avi. Amel menolehkan kepalanya ke arah pintu masuk dan mendapati seorang cowok jangkung dengan badan atletis dan berkulit putih masuk dengan langkah yang santai tapi cepat dan tidak menimbulkan suara di balik sepatu kulitnya. Daniel.
“Loh, ada tamu,” katanya begitu mendapati Amel duduk di ruang tengah sambil menonton Animax.
“Hai,” sapa Amel sambil menebar senyum dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Pacarnya Lea?” tanyanya tiba-tiba saat menggenggam tangan Amel. “Pacar barunya? Pacarnya yang lain?”
Amel menggeleng cepat. “Bukan. Saya temannya!”
Daniel mengangguk sambil mengo-oh. “Tunggu, jangan-jangan kamu yang namanya Amel?”
Amel mengedipkan matanya cepat. Tatapannya bingung dan beralih ke Avi yang baru saja keluar dari arah dapur membawa sepiring gorengan dan minuman dingin. “Kok tahu?” tanya Amel begitu kembali melihat ke arah Daniel.
“Aku Daniel. Kakaknya Lea—kalau disini,” Akunya sambil nyengir. Tapi bagi Amel. Itu adalah senyuman paling manis yang pernah dia temui. “Lea sering cerita soal kamu. Nice to meet you, Mel!”
Amel hanya mengangguk polos. Dia kembali lagi duduk di depan TV dan menikmati kartun Fairy Tail di Animax. Avi duduk di sampingnya. Daniel ngeloyor pergi menuju dapur dan mencari-cari sesuatu yang bisa dimakan  dari kulkas. Ketika dia mendapati Pempek oleh-oleh Mami Avi, dia langsung menyambar dan membuka bungkus plastiknya. Menyalakan kompor dan menggorengnya sendiri.
“Itu seriusan kakak lo?” tanya Amel begitu terdengar bunyi minyak panas yang meletik-letik.
“Bukan. Itu anak temennya Papi gue,” jawab Avi cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari TV.
“Lo nggak jaga Toko?”
“Ada Mami.”
Amel menoleh kesamping. Mendapati Avi yang terlalu serius memperhatikan acara TV. “Heh, kalau gue perhatiin. Hidup lo nggak ada serius-seriusnya sama sekali, ya!”
“Maksud kamu apa?”
Amel mengangkat kakinya ke atas sofa. “Hari ini bukannya lo ada kuliah? Kenapa lo malah jemput gue?”
“Kita kan mau jalan-jalan, sayang.”
“Oke. Kita udah melakukan perjalanan dari Pamulang ke Kelapa Gading. Sekarang apa lagi? karena gue yakin lo nggak bakal nganterin gue beli kaset.”
“Honey,” kali ini Avi menoleh ke arah Amel dengan dahi terangkat dan siap berargumentasi. “Kamu nggak lihat contoh besar maupun kecil kehidupan para seniman di Indonesia ini? gara-gara barang fuckitu, para seniman banyak yang miskin dan rugi gara-gara royalty yang harusnya mereka terima penuh, akhirnya hanya di bayar sepuluh persen yang masuk ke kantong pemusik. Kamu pasti tahu dong gimana susahnya bikin sebuah karya yang harusnya bisa bernilai tinggi tapi malah jadi barang bajakan?”
“Gue nggak ngomongin musik. Gue ngomongin film barat, Vril!” Amel menekan kata-katanya. Amel juga lebih suka memanggil nama Avi dengan sebutan Avril, bukan Avi seperti ketika teman-temannya yang lain memanggilnya. Juga bukan Lea seperti ketika keluarganya memanggilnya. Amel hanya mengikuti rule nama Avi : Kiera Asa Avrilea.
“Mau musik atau film. Sama aja kondisinya, Sayang. Sesuatu yang udah di bajak itu nggak bakal bisa bikin kaya penciptanya.”
“Jadi tujuannya berkarya itu cuma buat kaya menurut lo?”
“Hidupku nggak naif, sayang. Aku pengen jadi seniman, selain pengen kaya dan sukses, aku juga pengen karyaku bisa di nikmati semua orang. Minimal mereka bisa tersenyum lihat karyaku dan mereka kagum.”
“Gimana lo bisa bilang gitu kalau nilai-nilai lo sendiri pada ancur dan jeblok? Lo sering bolos  dan hidup foya-foya sama cewek-cewek di luar sana,”
“Itu namanya menikmati hidup selagi masih muda, Baby!” jawab Avi seraya bangkit berdiri dan berjalan menuju laci yang ada di bawah meja TV. dikeluarkannya seluruh koleksi DVD film barat yang dimilikinya. Tangannya melambai ke arah Amel dan menyuruh cewek itu mendekat ke arahnya.
“Ini baru DVD Original. Kalau kamu nonton juga nggak akan merasa berdosa. Selain kualitasnya bagus, kamu juga sama dengan menghargai orang-orang  yang sudah bekerja keras hingga terciptanya satu film ini,” katanya seraya menunjukkan sebuah DVD yang masih terbungkus rapi dalam kotak plastik. “Belajarlah untuk menghargai karya orang lain. Jangan menggunakan dalih nggak punya duit, lalu kamu seenaknya aja beli DVD bajakan.”
Amel mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa DVD yang ada didalam laci itu sudah dimilikinya. Tentu saja dalam bentuk DVD bajakan.
Saat sedang asik memilah-milah DVD yang ada didalam laci. Amel dan Avi di kejutkan dengan suara teriakan Mami Avi yang baru saja masuk lewat pintu samping.
“Lea! Sini lu!” teriak Maminya begitu masuk dan mendapati anaknya sedang asik menunjukkan DVD pada temannya. Tidak peduli dengan kehadiran Amel yang langsung salah tingkah begitu melihat Mami Avi yang masuk rumah dalam keadaan emosi.
Di tangan wanita itu terdapat sebuah buku besar dan tebal yang sudah bisa di ketahui Amel apa isinya. Buku Laporan Keuangan. Dengan kacamata yang melorot  sampai hidung, wanita itu melirik sekilas ke arah Amel, lalu menganggukkan kepalanya saat Amel melayangkan senyuman paling polosnya kearah wanita itu.
“Ikut Mami ke atas!”
Mami Avi berjalan lebih dulu dengan langkah tegas. Avi terlihat lemas dan darah seolah surut dari wajahnya. Ekspresinya berubah seperti akan di cambuk.
“Mampus gue,” rintihnya dengan suara rendah.
Amel menatapnya bingung. Tapi tidak ada satu hal pun yang bisa di lakukannya. Dia tidak tahu apa masalahnya. Saat Avi bangkit berdiri dengan ogah-ogahan, Daniel datang dari arah dapur dengan membawa tiga mangkuk pempek yang sudah di goreng dan di beri kuah. Amel bisa mencium aroma ikan menguap dari tiga mangkuk pempek itu. Air liurnya seolah akan menetes.
“Pempek, Mel. Ini buat kamu,” katanya seraya menyodorkan semangkuk pempek hangat ke arah Amel.
Aroma ikan dan kuah yang di padu dengan timun segar langsung membuat Amel merasa lapar di tengah cuaca Jakarta yang tidak menentu. Tanpa menunggu lama, Amel langsung meraih sendok dan menikmati kudapan favoritnya itu.
 “Lea lagi ngobrol sama Maminya, ya?” tanya Daniel begitu mereka makan bersama.
Amel mengangguk. “Kayaknya nyokapnya lg emosi deh.”
“Kamu tahu Manda?” tanya Daniel tiba-tiba. Tatapannya lurus mengarah ke TV dan tidak memperhatikan Amel yang terkejut.
“Manda?” Amel mengerutkan dahi. “Gue nggak tahu banyak soal dia. Tapi gue pernah denger nama itu. Bukannya dia GF-nya Avril?”
Daniel mengangguk. “Kalau kamu jadi Manda. Apa yang kamu minta dari Lea?”
“Hah? Minta apa? emangnya apa yang bisa di minta?”
Daniel menatap Amel serius. “Manda dan semua cewek-cewek yang pernah di akuin pacar sama Lea itu pembohong semua. Mereka suka jalan sama Lea karena duitnya. Aku rasa sih gitu. Lea juga terlalu royal dan ngasih apapun yang di mau mereka. Makanya, aku nanya kamu. Apa kamu juga pernah minta sesuatu sama Lea?
Amel tersedak. “Koko nuduh aku morotin dia?”
“Kalau nggak sih ya sukur. Masalahnya duit yang di pakai Lea itu duit khas toko. Harusnya empat bulan lalu Lea udah setor ke Papinya. Tapi dia nggak setor. Duit itu di pakai Lea buat beliin Manda Iphone dan segala barang keluaran terbaru.”
What?” Amel langsung meletakkan mangkoknya dan mulai memperhatikan Daniel dengan seksama. “Dan Manda sekarang kemana?”
“Nggak ada kabar,” Daniel mengendikkan bahunya. “Loh, aku kok malah cerita sama kamu, ya?” katanya dengan tawa hambar.
“Koko sengaja, kan?” sahut Amel datar. “Koko pengen tahu apa aku juga sama kayak mereka yang morotin Avril. Dan berapa harusnya Avril setor?”
Daniel melirik ke atas. “Mungkin sekitar... seratus juta.”
Amel membuka mulutnya lebar-lebar. “Dan duit sebanyak itu buat Manda?”
“Tepatnya buat ngebeliin barang-barang yang di minta Manda. Dan kalau di nominalin, bisa lebih dari seratus juta. Belum biaya tiap Manda mau clubing yang minta duit Lea dulu. Seenggaknya Lea bisa keluar duit dua sampai tiga juta dalam seminggu cuma buat Manda,”
Amel tidak bisa berkata apa-apa. Dia terlalu terkejut mengetahui kenyataan lain dari diri Avi yang ternyata jauh lebih bodoh dari ia duga.
“Selama ini aku yang bertugas mengawasi Lea. Aku juga yang mengawasi keuangannya. Tapi hanya mengawasi. Bukan ikut menjalankan. Aku menyelidiki uang masuk dan uang keluar. Lalu kemana uang itu mengalir. Setidaknya aku perlu tahu Lea menggunakannya untuk apa. Puji syukur sih Lea selalu pakai kartu-kartu kreditnya dan ATM-nya. Jadi aku bisa cek itu semua.”
“Gimana kalau Avril nggak bisa balikin duit Papinya?”
“Aku nggak tahu. Yang jelas Lea harus berkorban.”
“Korban apa?”
“Eksekusi itu belum terjaadi. Jadi aku nggak tahu. Yang jelas, dalam waktu dekat Papi Lea pasti akan kesini. Cepat atau lambat Papinya akan tahu. Dan aku nggak bisa terus mengunci mulutku.”
“Lalu apa hubungannya sama aku? Kenapa Koko cerita sama aku? Bahkan aku nggak kenal Manda. Aku juga nggak pacaran sama Avril. Kami cuma teman.”
“Aku percaya kamu, Mel. Bukan sebagai orang yang bisa menyadarkan dia dengan semua kebodohan ini. Tapi aku percaya, bersamamu Lea pasti jadi lebih baik. Dan akan lebih baik lagi kalau dia nggak datang ke Cafe punya Jol lagi.”
“Cafe? Cafe milik Kak Jol?”
Daniel terkesiap. “Kok kamu tahu?”
“Avril pernah cerita. Tapi aku belum pernah kesana. Dia bilang Kak Jol itu baik dan dia bersahabat dengan Aju. Hanya itu yang aku tahu.”
“Itu markas untuk komunitasnya Lea. Komunitas Violet.”



02.57 WIB

“Mel, gimana kalau hari ini kamu bolos aja?” tanya Avi dengan tatapan kosong di depan TV.
Amel menatap Avi curiga, sekaligus tidak suka. “Gue nggak pernah kenal yang namanya istilah bolos!”
“Sekali ini aja...” Avi memohon.
“Heh, denger. Motor gue ada di kampus. Dan gue nggak mau ngambil resiko kehilangan motor. Lo mau ganti kalau sampai motor gue ilang?”
Avi tidak menanggapi. Moodnya mendadak berubah buruk setelah keluar dari kamar usai berdiskusi dengan Maminya. Tatapan matanya kosong dan dia berubah pendiam. Daniel hanya memperhatikan mereka berdua dari sudut lain di sofa itu.
“Mending lo nganter gue ke selter busway aja deh. Gue mau pulang.”
Avi langsung terlonjak dan menahan pergelangan tangan Amel agar cewek itu tidak pergi begitu saja.
“Baru juga jam tiga,” tukas Daniel setelah melihat jam tangannya.
“Jam tiga? Esa!!” seolah baru ingat sesuatu yang penting, Avi melompat dari sofa dengan panik dan melemparkan remot TV-nya begitu saja. Dia langsung sibuk mencari kunci motor yang lupa di letakkan dimana.
“Aku aja yang jemput!” kata Daniel seraya bangkit dari sofa dan membenahi kaosnya.
Tapi belum sempat mereka berdua keluar dari rumah. Sudah terdengar suara motor yang menderu di pelataran rumah Avi. Dia dan Daniel langsung berpandangan. Avi menggumam satu nama dan buru-buru keluar bersama Daniel. Amel hanya memandangi mereka dengan tatapan heran. Begitu banyak hal yang tidak dia pahami di rumah itu.
Di luar, terdengar suara Esa mengobrol dengan Maminya. Terkadang tawanya melengking menggema sampai ke belakang rumah. Avi dan Daniel pasang badan di ambang pintu masuk saat Esa dan Maminya akan melangkah ke dalam.
“Kamu di anter anak ingusan itu lagi?” tanya Avi dengan muka masam.
Esa menatapnya dengan pandangan jengkel. “Siapa lagi? jangan-jangan kakak asik berduaan sama bini kakak dan lupa jemput gue,” tuduh Esa sambil melengos.
“Bukan salah Kakak. Tapi salah Mami!” jawab Avi seraya menujuk ke arah Maminya.
Maminya melotot. “Kok Mami?”
“Mami tadi ngomongnya kelamaan. Aku lupa jemput Esa, kan?”
“Ya udah sih. Yang penting kan Esa nggak nyasar pulang kerumah,” jawab Maminya santai sambil melenggang masuk melewati Daniel dan Avi yang masih kesal karena adiknya harus pulang di antar oleh pacarnya. Jelas-jelas Avi melarang adiknya untuk tidak berpacaran dulu selama masih sekolah. Tapi anak itu selalu melakukan apa yang dia mau.
“Kakak kan udah bilang sama kamu. Jangan pacaran dulu, kamu udah kelas tiga. Sebentar lagi ujian!” omel Avi begitu mengekor di belakang Esa.
“Lo sendiri juga pacaran. Kenapa gue enggak? lo malah lebih parah, pakai istilah ‘tinggal selibat’ segala,” jawab Esa santai.
“Kakak udah ‘tinggal selibat’ sejak lama. Dan itu sama Vega. Kamu tahu itu!”
“Nah, apalagi itu!”
“Tapi kan meskipun kakak tinggal selibat. Pasangan kakak juga nggak bakal hamil. Beda sama kamu. Salah dikit  aja, bisa-bisa kakak punya keponakan duluan!”
“Kakak jangan norak deh. Rengga itu baik, kok. Dia nggak suka yang macem-macem!”
“Dalam otaknya cowok tuh cuma ada satu macem. Mesum!”
“Kok kayak lo nggak pernah punya otak mesum aja!” cibir Esa.
Perdebatan mereka masih berlanjut hingga di ruang tengah dan tidak peduli dengan Amel yang sedang duduk menonton mereka, mengalihkan perhatiannya dari Chanel FOX. Daniel tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya duduk di bahu sofa sambil bersendekap dan memperhatikan debat mulut antara Avi dan adiknya.
“Esa! Jangan bantah kakak!” bentak Avi dengan jengkel.
“Emang kenapa? Kakak bisa melakukan apapun yang kakak suka dan gue  nggak boleh, gitu? kakak bisa ngajak Vega, Manda, Tari, atau siapapun itu buat tinggal di rumah ini dan numpang gratis seenak jidat tanpa mau ngasih kontribusi. Minimal beres-beres, kek. Tapi  yang ada, mereka malah ngrusak. Norak!” sembur Esa tak kalah tajam.
“Ini nggak ngomongin Kakak. Tapi kamu. Kakak nggak mau kamu kenaapa-napa. Kamu itu udah mulai ganjen!”
“Orang lain boleh ganjen dan gue harus jadi cewek kuper, gitu? egois banget sih!”
“Udah, udah... ini apa sih kok malah berantem,” lerai Maminya.
“Gue nggak peduli apapun kata lo, Kak. Gue bakal tetep pacaran sama Rengga sampai salah satu dari kita berdua bosen. Dan asal tahu aja, gue nggak bego-bego banget kayak yang lo pikir,” tandas Esa.
“Esa, kamu itu masih naif,” kejar Avi.
“Kakak  lebih naif lagi, kan. Kelewat naif jadi bego malah. Di manfaatin Manda mau aja. Lihat aja, kalau gue sampai lihat  dia datang kesini lagi, siapin aja peti mati. Karena gue bakal jadi orang pertama yang gorok lehernya!”
“Esa, kamu nggak boleh ngomong gitu,”
“Kenapa? Jangan bilang kalau lo nyuruh gue manggil dia kakak ipar. Ihh, najis!”
“Esa!” suara Avi kalem dan tegas memperingatkan.
“Simpan nasehat itu buat lo sendiri, Kak. Sebagai adik yang baik, gue juga punya hak melindungi lo dari cewek matre!” desis Esa dengan muka yang sudah memerah.
“Tunggu, kamu bilang tadi apa, Sa? Cewek matre? Apa aja yang udah di minta dia dari Lea?” tanya Maminya di sela-sela perdebatan mereka.
Esa tersenyum mengejek ke arah Kakaknya. Lalu pandangannya beralih ke Maminya. “Mami lihat aja semua barang yang ada di dalam kamarnya Kakak. Mulai dari home theater, TV LED keluaran terbaru, sampai barang elektro terkecil jenisnya. Semua itu buat ceweknya,”
Maminya menatap tajam ke arah Avi. “Jelaskan ke Mami, maksudnya apa ini?”
Avi langsung tergagap. “Mami, aku bisa jelasin semua ini. Nggak kayak yang Mami duga...”
“Bahkan desain kamarnya Kakak itu juga hasil permintaan ceweknya,” tambah Esa sekali lagi. Maminya tambah terbelalak dan menatap Avi kesal.
“Mam. Ini rumahku. Aku punya hak mau merubah kayak apapun,”
Tatapan kesal Maminya langsung berubah datar. “Iya. Lu benar. Ini rumah lu yang punya sekarang. Tapi rumah ini dulu juga rumah Mami, sampai Papi lu hibahin ke elu. Tapi bukan berarti lu bisa bebas ngajak orang luar masuk ke rumah ini dan memporak-porandakan semua aturan yang ada di rumah ini, Lea!” ujar Maminya dengan logat Hokkien yang lumayan kental.
“Aku kepala keluarga di rumah ini sekarang. Jadi akulah hukumnya!” tukas Avi bernada pongah.
“Lu udah ngerasa tua, hah? Lu udah ngerasa pinter nyari duit? Lu nggak sadar kalau duit dan segala macam yang lu punya itu hasilnya dari mebel di depan itu?” tunjuk Maminya ke sebuah bangunan yang ada di depan rumah mereka. “Lu nggak sadar, kalau selama ini lu itu masih makan duit hasil usaha Papi? Tapi lu masih bisa pongah? Mentang-mentang Mami tinggal di Palembang dan Papi kamu di Balikpapan. Terus lu bisa seenak jidat aja disini?”
Avi terdiam. Tatapannya melirik ke arah Esa. Tapi Maminya tidak membiarkan lawan bicaranya mengalihkan perhatian darinya. Tangan Maminya langsung meraih dagu Avi dan membuat anaknya itu menatapnya lurus-lurus. Dengan suara rendah namun tegas, Maminya menatap lekat-lekat wajah anaknya.
“Ingat. Kebebasan yang Mami dan Papi berikan itu bukan berarti tanpa batas. Mami dan Papi bukan Tuhan. Tapi orang tua lu. Ketika lu milih untuk jadi seperti ini. Lu dengan sepenuh hati menguatkan argumentasi tentang dunia para lesbian, dunia queer yang baru lu kenal lewat kacamata anak usia empat belas tahun. Mami setuju lu kayak gini. Bukan berarti suatu saat nggak ada kesempatan buat Mami dan Papi bakal balikin lu kayak semula sesuai lahirnya. Sesuai ketentuan yang Tuhan berikan, bahkan disaat lu masih ada di dalam perut Mami. Jangan sekali-kali lu bertindak bodoh dan menghianati kepercayaan Mami. Kita sudah membuat kesepatakan. Lu boleh melakukan apapun yang lu mau. Tapi bukan berarti bertindak bodoh. Dan lu masih ingat peringatan dari Mami, kan? Lu boleh jadi apa aja. Asal jangan ganti kelamin. Titik!”
Avi tidak berani menatap mata Maminya. Dia tidak pernah bisa berkutik di hadapan Maminya. Dihadapan semua wanita yang benar-benar mengaku dirinya wanita. Di hadapan semua wanita yang memiliki kekuatan besar dari dalam hatinya. Avi tidak sekuat mereka yang mengaku dirinya wanita. Tapi orang-orang seperti Avi memiliki hati lain yang bisa memberikan kekuatan. Hati yang lebih perasa akan cinta pada wanita-wanita yang ada di sekelilingnya. Hati yang sulit dia ungkapkan. Tapi para wanita-wanita itu yang selalu memberinya kekuatan. Untuk membuat dirinya menjadi lebih kuat dan itulah yang di gunakan Avi untuk bertahan dengan pilihannya. Dengan satu tujuan dan alasan, dia ingin melindungi wanita yang lebih lemah dari dirinya. Semampu diri, hati dan pikirannya.

♀ ♀ ♀



No comments:

Post a Comment