Friday, November 8, 2013

FROM WONDER MOTHER

Cerpen 

FROM WONDER MOTHER



Pondok Indah

Sengaja kumatikan Hp, sebisa mungkin kembali konsentrasi pada jalanan yang sedang  macet parah di depanku. Jam 17.25 WIB, setidaknya aku tadi sudah sempat mengeceknya di layar Handphone. Tanganku berusaha merogoh saku celana, berharap masih ada permen mint yang tersimpan disana. Aku perlu mengatasi kejenuhanku dengan padatnya lalu lintas di jalanan yang terkenal dengan real estate-nya. Kepalaku selalu menoleh ke arah kiri saat melewati jalanan ini, dimana ada layar elektronik berukuran sedang yang di letakkan di pinggir jalan raya, sebuah layar yang berisikan iklan promosi dari Bank Swasta. 

Bayanganku  kembali  menerawang, dua hari lalu kutemukan Ibu jatuh pingsan untuk yang kesekian kalinya. Rasa panik menyergapku. Adik-adikku sedang pergi bermain keluar. Sedangkan Ayahku  repot mengurusi warganya yang sedang labil dengan masalah sampah yang akhir-akhir ini menghantui komplek kami. Aku meruntuki diri, kenapa aku bukan laki-laki. Kalau saja aku punya sedikit otot yang berlebih, rasanya aku punya kekuatan untuk membopong Ibuku dan menidurkannya di kasur. 

Ibu belum juga sadar dari pingsannya. Aku makin panik dan segera ku telepon Ayah. Tapi seperti biasa, tidak ada jawaban. Ayahku benar-benar sibuk di hari minggunya. Dengan terpaksa aku mengiriminya SMS, kuberi tahu jika Ibu pingsan lagi. Dunia terasa menyeramkan saat ku dapati wanita baya ini terpejam menahan sakit yang hanya bisa di rasakannya sendiri. 

Satu bulan lalu saat Ibu masih seperti ini, pingsan setiap saat dan setiap waktu. Bahkan aku terpaksa berhenti dari tempatku bekerja hanya untuk menemani Ibu, merawat rumah, dan menjaga adik-adikku. Mereka masih kecil dan belum bisa di ajak memahami kondisi yang ada. Aku menyesali diri, kenapa Ibu harus bertemu dengan Ayah sangat telat, saat usiaku sudah 12 tahun dan Ibu membutuhkan pendamping hidup untuk membantunya menopang hidup juga tentunya. 

Aku menerima Ayah sebagai Ayah tiriku dan sejauh ini beliau benar-benar menganggapku seperti anaknya sendiri. Sejak melahirkan adikku yang laki-laki, kondisi Ibu sering lemah, bahkan  saat  itu Ibu mengalami pendarahan hebat. Aku justru menyalahkan diriku sendiri atas apa yang menimpa Ibu. Andai saja Ibu tidak menikah dengan Bapak kandungku di usia 15 tahun, pasti Ibu tak akan mengalami pendarahan hebat saat melahirkan adik laki-lakiku. 

Kupacu mesin motorku yang terus membelah di antara kerumunan kemacetan yang mengular. Deru mesin mobil dan knalpot motor yang bersalip-salipan denganku di Jalan Raya, membuatku makin mantap untuk cepat sampai di Rumah Sakit dan mendapati Ibu menyambutku disana. 

"Mbak, Ibu tadi habis di periksa lagi. Kata Dokter, Miomnya harus cepat-cepat di angkat!", Ranto sudah menyambutku di tempat parkir begitu aku sampai dan  mencantolkan helmku di gagang spion motor. 

Kuhembuskan  nafas. Tidak ada yang bisa kulakukan, aku hanya bisa mengangguk pada adik laki-lakiku itu. Usianya masih sepuluh tahun, tapi kondisi memaksanya untuk bisa memahami keadaan seperti ini. Wajahnya sedikit panik dan takut. Maklum, dia anak kesayangan  Ibuku, apa-apa yang dilakukannya harus bersama dengan Ibuku. Singkat kata, dia anak manja di antara kami. Yaitu aku, dia dan satu lagi adik perempuanku yang paling bontot. 

Sewaktu di Kantor  tadi, aku bercerita pada temanku tentang kondisi yang menimpa Ibuku. Temanku bilang kalau Ibuku  bisa sembuh dengan operasi pengangkatan Miom. Aku sendiri belum begitu paham tentang apa itu Miom. Banyak kutanyakan hal itu pada temanku. Katanya Ibunya dulu juga pernah  mengalami hal yang sama dengan apa yang dialami Ibuku saat ini. Dan bagusnya, operasi itu berhasil. Ibunya sehat walafiat sampai saat ini. 

Ayah baru saja menemui pihak administrasi Rumah Sakit dan meletakkan form persetujuan operasi beserta rincian biayanya di atas meja begitu saja. Ibuku sedang terbaring lemah di atas kasur pasien. Jarum Infus terpasang di tangannya. Aku ingat tentang nenekku dulu sebelum beliau meninggal, dia begitu takut dengan jarum infus, bahkan menolak saat jarum itu menusuk kulitnya. Tapi dengan terpaksa diapun menerima. 

"Aku harus kuat meskipun aku tak mau. Aku harus sembuh dan kembali berada di samping kakekmu,"

Setidaknya itulah kata terakhir darinya yang masih kuingat sampai detik ini. Aku juga berharap Ibu sama seperti nenek. Berjuang melawan rasa sakitnya atau mungkin juga menahan rasa sakit itu. Ibu dan Nenek memiliki kemiripan, mereka tidak ingin menampakkan rasa sakit  itu pada orang-orang di sekeliling mereka. Bahkan padakupun  tidak. Kekuatan itu yang membuatku bisa bertahan  sampai saat  ini untuk membentuk  pribadiku menjadi seorang wanita yang dewasa dan mampu bertahan di antara kepanikan yang melanda. 

"Ayah masih ada simpanan. Kamu simpan saja uangmu. Masih banyak hal lain yang harus kita pikirkan dan  persiapkan," Dengan lembut Ayahku memasukkan ATM-ku ke dalam tas Gucci-ku lagi. 

Aku benar-benar merasa tak berguna sebagai anak. Tapi Ayah terus meyakinkanku kalau hidup kami tidak berhenti sampai disini saja. Masih banyak kebutuhan yang harus kami pikirkan. Aku paham  itu. Siang hari aku bekerja di sebuah BPR Syariah dan  malam  hari aku kuliah. Belum lagi aku harus merawat dan  menjaga adik-adikku, mengurus rumah di pagi subuh, menyiapkan  makan untuk keluarga sebelum aku berangkat kerja. Sedikit banyak kemandirianku terempa. Aku juga bisa merasakan betapa lelahnya Ibuku setiap hari. Menjalani perannya sebagai seorang Istri, Ibu dan wanita. 

Kini aku berada diposisi yang  hampir  sama dengannya. Aku belajar menjadi Istri dan Ibu, juga menempa diriku yang tumbuh menjadi seorang wanita dewasa. Wanita yang bisa bertanggung  jawab pada kehidupannya, sekelilingnya, dan juga masa depannya. Aku wanita dan aku perkasa. Terus saja aku mengulang-ulang kalimat itu di benakku. Berharap aku benar-benar menjadi wanita seutuhnya. Aku bisa dan aku mampu. 

"Cepat sembuh, Bu. Nai sayang Ibu.... jangan biarkan dunia kami gelap. Aku masih harus banyak belajar untuk bisa menjadi wanita yang kuat sepertimu dan seperti Ibu-ibu lainnya, yang bisa menggenggam dunia dengan telapak tangannya, juga memeluk dunia dengan senyumannya." Kupeluk dan kucium tangan Ibuku, terasa hangat. 

Tiba-tiba ku rasakan sebuah jemari menyentuh ubun-ubunku, saat ku angkat kepala, kulihat Ibu dengan senyumannya mengembang bijaksana. Kucoba tersenyum meskipun kurasakan airmataku mengalir deras di dalam dada saat melihatnya begitu lemah. 

" Wanita seutuhnya adalah wanita yang selalu mempedulikan sekelilingnya. Karena kamu wanita dan  tetaplah  menjadi  seorang wanita yang  perkasa untuk dirimu, untuk keluargamu dan untuk anak-anakmu," lirihnya.


Aku tersenyum, merasa yakin. Meskipun jasad Ibuku melemah, tapi hatinya tetap perkasa seperti yang ku tahu. 

-------END------

NP : This is for my wonder mother 

No comments:

Post a Comment