Thursday, November 21, 2013

VIOLEY 3 : AJU - "WORLD IN MY EYES" - DUA

DUA


SMP Fatmawati. 30 November 2003

Gemuruh bisikan riuh rendah menggema di kelas Aju saat dia datang. Guru Bahasa Inggrisnya sudah sampai lebih dulu. Dan seperti biasa, Aju memberi salam pada gurunya lebih dulu. Berpura-pura tidak sadar kalau dia sudah telat. 
Teman-temannya melihat Aju dengan pandangan yang bermacam-macam. Beberapa teman cewek dan cowok yang kemarin mengerjainya memandangnya dengan tatapan mengejek, dan beberapa yang lain memandangnya dengan tatapan kasihan. Ada juga yang memandang Aju dengan tatapan jijik. Aju tidak peduli dengan mereka. Aju tetap fokus ke papan tulis setelah dia duduk di bangkunya.
Tika, teman sebangku Aju yang tiba-tiba langsung menyodorkan beberapa buku catatan untuk Aju. Aju menatap cewek itu dengan pandangan heran. Ketika semua teman-teman sekelas menjauhinya, tapi teman sebangkunya itu malah memberinya buku catatan. Tapi sayangnya, Aju sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah mempercayai orang lain lagi selain dirinya sendiri.
“Gue bisa belajar dari internet,” kata Aju kalem.
“Gue rasa lo lebih butuh itu dari pada internet. Besok ada ulangan Bahasa Indonesia. Materinya ada disitu semua.  Dan gue udah nyatet lengkap pelajaran Sejarah yang lo suka itu,” jawab Tika tanpa mengalihkan pandangannya dari papan saat gurunya menerangkan.
“Thanks,” jawab Aju. Dia tidak punya pilihan. Aju segera memasukkan buku-buku itu ke dalam tasnya. “Gue balikin besok.”
“Yang BI dan MTK aja, lainnya bisa nyusul.”
“Oke.”
Mereka sama-sama hening setelah itu. Memperhatikan guru Bahasa Inggris yang sedang menerangkan tentang tensis yang entah sudah berapa kali pelajaran itu di ulang-ulang karena teman-temannya tidak paham-paham juga. Padahal gurunya sudah memberi motivasi agar murid-muridnya mau mempelajari bahasa inggris karena kelak mereka pasti akan membutuhkannya. Tapi Aju tidak begitu peduli dengan teman-temannya. Dia cukup bisa dan menguasai Bahasa Inggris bahkan jauh lebih baik dari teman-temannya di kelas. Aju yang terbaik.
Pelajaran Bahasa Inggris sama seperti pelajaran sejarah di mata Aju. Tidak ada bedanya. Sama-sama enteng dan bisa Aju kuasai dengan sangat cepat masuk ke dalam memorinya. Bahkan sejak Aju masih berusia empat tahun, meskipun dengan bicara yang masih cadel. Tapi dia sudah bisa menghafal semua nama binatang dengan bahasa inggris. Buah-buahan. Juga semua jenis sayur-sayuran. Beberapa objek yang ada di jalanan dan semua perkakas yang ada di rumah, bisa aju ucapkan dengan bahasa inggris.
Mama dan Papanya membesarkan Aju dengan keras. Sejak kecil dia sudah biasa mempelajari apa yang di pelajari orang dewasa. Saat dia masih duduk di kelas satu SD, Aju sudah bisa menghafal anatomi tubuh manusia dengan menggunakan bahasa kedokteran sesuai apa yang dia pelajari di buku kuliah Mamanya. Karena itu, pelajaran biologi di SMP  bagi Aju hanya seperti percakapan keluarga saja. Saat ada ujian menyebutkan jenis-jenis kerangka tulang manusia. Aju bisa menghafalnya sampai seluruh tubuh dan dia mendapat nilai sempurna.
Pelajaran yang paling membuatnya frustasi hanya satu, Ekonomi. Entah kenapa dia sama sekali tidak bisa menyerap teori-teori ekonomi itu kedalam otaknya. Padahal seharusnya semua bisa dia kerjakan dengan sangat mudah. Jika sudah begitu mau tidak mau, Aju akan bertanya kepada ahlinya, Tika. Meskipun sebelumnya mereka tidak pernah dekat sama sekali biarpun menjadi teman sebangku sudah dua tahun. Sebangku dengan Tika di karenakan Aju tidak punya pilihan. Bagaimanapun sekolah mengatur tempat duduk antara murid perempuan dengan murid perempuan, sedang murid laki-laki dengan murid laki-laki. Sangat konservatif.
“Heh, ngelamun apa?” tanya Tika hingga membuat Aju tersentak.
“Nothing,” jawab Aju cepat. “Gue lagi mikirin elo.”
Tika mengangkat alisnya, “O ya? apa?”
“Bukan yang istimewa.”
“Karena gue minjemin lo catetan dan lo terharu?”
Aju tersenyum. “Bisa jadi.”
“Lo kemana aja empat hari? Biasanya nggak pernah ijin.”
“Sakit.”
“Sekarang udah baikan?”
“Lebih dari baik.”
“Bagus. Soalnya sebentar lagi mau ada acara Apresiasi Seni sebelum kita try out. Lo udah tahu, kan?”
Aju mengangguk. “Lo mau ikut apa?”
“Kayaknya tari, deh.”
“Daerah?”
“Apa lagi? itu yang gue kuasai,”
“Kalau udah kuliah, lo masuk IKJ aja. Biar ada wadah.”
“Emang cuman IKJ aja yang bisa? masih banyak kampus lain kali.”
Aju tersenyum. “Jam kedua gimana nih nasibnya? Kosong ?” tanyanya bergitu sadar tidak ada guru yang masuk dan kelasnya mulai berubah jadi pasar ayam.
Tika mengangguk. “Guru Biologinya lagi ada perlu penting katanya. Makanya dia ngasih tugas ini,” tangannya menyodorkan dua lembar kertas yang berisi soal-soal pilihan ganda.
“Kelompok?”
Tika menggeleng. “Satu bangku cuma di kasih satu soal. Jawabannya tetap dua.”
Aju langsung merebut kertas soal itu. “Kertas!” pinta Aju pada Tika agar memberikan kertas lain untuk menulis jawaban. Tika langsung menyobek bagian tengah buku pelajarannya dan memberikan pada Aju. Tanpa banyak bicara, Aju langsung menuliskan jawaban  di kertas itu.


14.20 WIB

“Lagi sibuk?”
Aju mengangkat kepalanya. Margaret tiba-tiba masuk ke kamar Aju tanpa mengetuk pintunya lebih dulu. Sebenarnya Aju paling benci jika ada orang yang tiba-tiba nyelonong masuk ke dalam kamarnya. Tapi kali ini dia tidak akan pernah marah. Karena itu adalah Margaret.
“Masuk,” jawab Aju sok santai sambil kembali melanjutkan menyalin catatan dari Tika. “Kirain ikutan Cece ke kampus,”
Margaret tertawa lebar, “Ngapain?”
“Nyari cowok disono. Kan banyak calon dokter.”
“Cowok-cowok calon dokter itu playboy semua,” sahut Margaret sok tahu. Suaranya sedikit mengecil. Saat Aju menoleh, ternyata Margaret sedang melongok ke kolong tempat tidur Aju.  
“Lagi ngapain?” tanya Aju keheranan.
Margaret menggeleng. “Nggak. Cuma ngecek doang. Kata Mamamu,  kamu itu rajin, pinter, rapi dan sopan.”
So?
Margaret menggeleng lagi. Kali ini dengan mengumbar senyuman manis andalannya. “Nggak. Cuman rada beda aja sama yang aku lihat.”
“Jadi, aku di matamu itu kayak gimana?”
“Dingin tapi—badgirl!
Aju membelalakkan mata. Kepalanya menoleh kesamping, kesebuah lemari kaca yang sedang menampakkan bayangannya. Aju memperhatikan bayangannya sendiri. Seorang cewek dengan rambut cepak. Dengan garis wajah yang tidak bisa di bohongi kalau dia memang cewek. Meskipun rambutnya sudah cepak. Aju baru menyadari kalau dia bisa menjadi sangat cantik jika dia mau. Berdandan seperti kakaknya yang sering mengulas make up di wajahnya. Tapi sayangnya, Aju tak akan pernah melakukan itu. Sebagian besar dirinya menolak untuk melakukan itu.
“Kamu punya cowok, Ju?”
Aju menggeleng. “Nggak tertarik!”
Margaret mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku punya cowok. Tapi dulu. waktu masih SMA. Sekarang udah nggak lagi,”
So?
“Cuma cerita aja.”
“Aku nggak tertarik sama urusan orang lain,”
Diluar dugaan, Margaret malah tertawa terpingkal-pingkal. Aju menatapnya dan terpaksa menghentikan kegiatan menyalin catatan Matematika milik Tika.
“Ada yang lucu?”
“Yang lucu itu kamu. Baru kali ini aku ketemu anak yang dinginnya minta ampun kayak kamu. Pantes aja kamu nggak punya cowok. Atau jangan-jangan kamu...”
“Apa?”
Are you homo?”
Aju menatap Margaret tajam. Kali ini lebih karena rasa jengkel yang Aju sendiri tidak paham kenapa dia harus jengkel. “Yes I am!” jawab Aju dengan geram.
Ekspresi Margaret berubah. “Serious?
Aju mengangguk. Dalam hati, dia tidak tahu kenapa harus mengangguk. Tapi semakin lama anggukannya semakin keras. Kali ini diiringi dengan air mata. Aju tidak menyadari kalau air matanya mulai merembes ke pipi. Tangannya benar-benar berhenti mencatat. Pelan namun pasti, seolah ada sesuatu hal lain yang menyusup ke sela-sela relung hatinya. Sesuatu yang sebelumnya pernah dia pikirkan, tapi tidak berani. Bahwa dia memang benar menyukai wanita.
“Hey, sorry,” Margaret menghampirinya dan menghapus air mata Aju.
Tatapan mata Aju terasa kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Bahkan dia tidak bisa melihat kecantikan Margaret dengan jelas.
Am I wrong?
Marggaret tidak menjawab, tapi malah meraih kepala Aju dan membawa ke dadanya. Memeluk Aju erat.
“Udah aku duga. Pasti kamu lain. Semua orang yang melihatmu pasti langsung berpikir sama. Kamu lesbi,”
“Tapi aku nggak benar-benar berani menyadari kalau aku belok?”
“Kamu berani menyadari, sayang. Tapi nggak berani mengungkapkan,” kata Margaret seraya membingkai wajah Aju.
Aju bingung terhdap dirinya sendiri. Baru kali ini dia benar-benar merasa nyaman dengan adanya seseorang yang sangat bisa mengerti dirinya. Tapi sayangnya, Aju tak akan pernah menganggap Margaret sebagai sosok seorang kakak atau cewek yang lebih tua darinya.
Margaret menjauhkan kepala Aju dari dadanya. Menatap anak  yang sedang menangis itu dan tiba-tiba dia ingin tertawa. Aju menatapnya heran, tapi ketika Margaret tertawa, cewek itu terlihat jauh lebih cantik. Matanya menyipit dan tawanya terdengar sangat enak di dengar.
Semua terjadi begitu cepat, Aju tak bisa menahan dirinya lagi melihat kesempatan di depan mata. Seperti bayangan yang bergerak cepat, Aju meraih wajah Margaret dan langsung membekap bibir cewek yang lebih tua darinya enam tahun itu dengan ciuman.
Margaret mengerang. Berusaha melepaskan diri. Tapi sayangnya Aju tidak melepaskannya. Entah kekuatan darimana yang membuat Aju tidak bisa melepaskan Margaret. Bibir Aju terus menjelajah wajah Margaret. Tapi sebaliknya, Margaret justru memukul-mukul dada Aju dan berharap anak itu melepaskannya. Hingga Margaret mengerahkan kekuatannya untuk mendorong Aju hingga terduduk di kursi belajarnya lagi. Margaret melayangkan telapak tangannya pada wajah Aju. Menamparnya dengan keras.
Seperti baru di bangunkan dari tidur dengan sangkakala, Aju terkejut dan merasakan pipinya panas. Dia menatap Margaret dengan marah. Belum pernah ada yang menamparnya. Wajah Margaret merona merah. Matanya juga merah. Bibirnya bergetar tapi tidak mampu mengungkapkan kata-kata. Dia langsung melangkah keluar dan membanting pintu.
Aju menendang pintunya dengan keras begitu Margaret keluar. Tangannya langsung meraih satu-satunya benda yang bisa di banting di mejanya. Sebuah celengan babi yang sudah di milikinya hampir tiga tahun.
Suara pecahan itu terdengar hingga keluar kamar. Semua uang tabungan Aju melompat kemana-mana di seluruh sudut kamar. Tapi Margaret tidak bernar-benar lari dan pergi ke kamarnya dengan air mata yang masih mengalir di pipi. Tapi dia masih tetap berdiri di depan pintu kamar Aju. Bahkan dia begitu terkejut saat mendengar Aju menendang pintu kamarnya. Dan terakhir memecahkan barang. Margaret tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Hanya tangisannya yang bicara.



SMP Fatmawati. 2 Desember 2003 : 10.13 WIB

“Gossip  soal lo di bully sama anak-anak udah kesebar dimana-mana,” bisik Tika begitu dia duduk berdua dengan Aju di perpustakaan.
“O ya?” tanya Aju enteng sambil membuka-buka buku ensiklopedia. “Apa lagi yang lo tahu?”
“Yang kesebar cuma itu sih. Emang ada yang lain lagi?”
Aju diam. Membiarkan Tika bergulat dengan imajinasinya.
“Itulah sebabnya gue nggak mau berteman dengan mereka. Karena gue tahu, kalau gue nggak selevel dengan mereka. Gue nggak pernah mau maksa pergaulan.  Karena gue tahu orang kayak apa yang pantes jadi temen gue,”
Aju mendongakkan kepalanya, menatap Tika tak percaya. Ini untuk pertama kalinya mereka duduk berdua di perpustakaan layaknya teman akrab. Meskipun mereka menjadi teman sebangku sejak kelas  dua, tapi Aju sama sekali tidak pernah menganggap Tika sebagai teman dekatnya. Dia tidak pernah berteman dengan cewek sebelumnya. Karena itu, sedikit terasa aneh duduk dengan Tika berdua seperti ini.
“Kalau gitu lo jangan terlalu deket sama gue juga. bisa jadi ntar lo di gossipin yang aneh-aneh sama mereka,”
“Karena gue bisa percaya lo sekarang,” jawab Tika dengan tatapan serius. “Karena orang itu elo, Ju. Gue bakal jadi temen lo baik di saat susah  maupun senang.”
“Lo kayak ngucap janji nikah di gereja aja.”
Tika menatap bingung, “gue salah?”
Aju tersenyum geli. “Yakin mau temenan sama gue? Nggak takut kalau sampai di gossipin jadi femme gue?”
Tika mengangguk pasti. “Kita teman!”
Meskipun Aju sudah mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak mau mempercayai orang lain. Tapi dia tahu apa yang sedang di lakukannya. Bukan berarti mempercayai Tika 100%. Tapi hati kecilnya mengatakan bahwa apa yang di katakan Tika itu adalah sebuah ketulusan. Aju bisa menangkap itu. Karena itu Aju merasa sedikit terharu.
Dulu, meskipun mereka teman sebangku. Tapi Aju tak pernah memedulikan Tika. Dia seolah bekerja sendiri sebagai makhluk hidup. Jika teman-temannya yang lain bisa saling membentuk chemistrydengan teman sebangkunya, tapi itu tidak berlaku untuk Aju dan Tika. Mereka berdua seperti musuh yang di pertemukan dalam satu meja.
Tika pintar. Dia juga cantik. Tapi dari yang Aju tahu, tidak ada satupun makhluk yang namanya cowok mendekati Tika. Bahkan hanya sekedar untuk meminta pendapat atau meminta bantuan tentang rumus Matematika yang sangat rumit. Dari deskripsi Aju, dia bisa mengatakan bahwa Tika memang cantik dan pintar. Tapi satu kesalahannya,  dia pelit pada teman-temanya.
Teman-teman sekelas Aju yang cowok-cowok lebih memilih Aju untuk membantunya daripada meminta bantuan Tika. Begitu pula dengan  anak-anak cewek di kelas,  tidak ada yang mau meminta bantuan Tika, bahkan untuk sekedar mendekat ke meja Tika. Mereka semua menjauhi Tika. Tika yang pelit. Tika yang cupu. Tika dan pendiam. Dan Tika yang cantik.
Sejak Aju masuk sekolah kemarin, Aju mulai bisa merasakan bahwa sebenarnya teman yang dia cari itu tidak jauh kemana-mana. Bahkan tidak harus cowok sesuai yang di yakininya. Tapi teman yang dia butuhkan itu sebenarnya selalu ada di sampingnya, membuatnya nyaman dan menerima dia apa adanya. Bodohnya, selama ini Aju tak pernah bisa melihatnya, bahwa orang itu adalah Tika.
“Tik, setuju nggak sama peribahasa gajah di depan mata nggak kelihatan, tapi semut di ujung lautan kelihatan?” tanya Aju tiba-tiba sambil menutup buku ensiklopedianya.
“Mmmm... menurut gue... jelas aja lo nggak bisa lihat gajah di depan mata. Bisa aja kan lo mikirnya itu tembok? Tapi kalau lo bisa ngelihat semut di ujung lautan, itu artinya... lo keterlaluan!”
Bisa aja lo mikir itu tembok?
Aju terkekeh geli. Hampir saja dia memuntahkan tawanya jika Tika tidak segera membekap mulut Aju dengan telapak tangannya. Mereka sedang ada di Perpustakaan. Selama ini dia memang selalu berpikir bahwa Tika itu seperti tembok. Tebal. Tidak bergerak. Bahkan tidak goyang meskipun angin berhembus kencang di sekitarnya. Aju mengangguk-anggukkan kepalanya. Menyadari bahwa sebenarnya selama ini Tika adalah tembok yang sangat kokoh.


No comments:

Post a Comment