EMPAT
26 Oktober 2010 : 11.09 WIB
Di depan sebuah rumah besar dengan cat putih, Jol di turunkan Icha di halamannya. Sebuah komplek di daerah Koto Tangah. Pintu pagar rumah itu juga bercat putih. Semua serba putih. Halaman dalamnya di hiasi oleh tanaman bonsai yang kelihatan rapi. Dan satu yang membuat Jol sedikit gemetaran sekaligus galau. Rumah itu berpenghuni. Terdengar gelak tawa didalam sana. Jol tidak tahu pasti, tapi Jol bisa menerka itu suara Vino, Abangnya Reta.
Jol berdiri tegak di depan pintu pagar yang lebar itu. Jantungnya berdegub kencang dan seolah-olah siap melompat keluar mendahuluinya masuk menerobos pagar untuk menemui Reta. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Bahkan matanya mulai panas. Merasa takut. Merasa bingung. Sekaligus merasa rindu.
Dia tak bisa menerka apa yang paling dominan menguasai hatinya. Tapi Jol berani memastikan, rasa rindunya yang paling besar untuk Reta. Dan juga rasa takut kehilangan. Jol tak akan mengulangi kesalahan yang sama dengan apa yang terjadi di masa lalunya. Kekasihnya Lori, pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa dan Jol membiarkannya. Kali ini, meskipun kemungkinannya kecil untuk berhasil membawa Reta pergi. Tapi Jol memiliki sebuah keyakinan, dia bisa. Dia berani.
“Cari siapo, Da?”
Jol terlompat dari tempatnya. Rasa tegang yang tadi menderunya tiba-tiba seolah di kejut oleh aliran listrik yang sangat besar. Di sampingnya sudah berdiri seorang cewek manis dengan rambut panjang dan wajahnya mirip sekali dengan Reta. Bahkan Jol harus menatapnya lama sekali untuk memastikan bahwa itu bukan Reta.
Diperhatikannya cewek itu dari atas sampai bawah. Lalu kembali lagi ke atas dan ke bawah lagi. Dari ujung kepala hingga ujung kuku kaki, semua mirip. Rambut dan bentuk tubuh, semua mirip. Wajah apalagi. Bahkan cewek itu memiliki hidung mancung yang di banggakan Reta.
“Cari siapo, Da?” ulang cewek itu.
Jol gelagapan. “Ehem!” dia berdehem untuk mengatur intonasi suaranya. Cewek itu menyebutnya ‘Da’ yang berarti ‘Uda’. Itu artinya cewek itu tidak tahu siapa dirinya. “Cari Reta. Ado?”
“Uda ni sia?” tanyanya dengan logat Bukittinggi yang kental.
“Emm... awak temannya Reta dari Jakarto. Bisa tolong ketemu Reta?”
Cewek itu menatap curiga sekilas. Jol bisa menangkap sorot mata itu. Tapi yang terjadi kemudian malah cewek itu diam, lalu membuka pagar dan tersenyum pada Jol seraya mengisyaratkan agar dia masuk.
“Uni lagi ‘ndak enak badan, makanya dia di kamar terus.“ katanya seraya memutar handel pintu.
Jantung Jol makin berdegub kencang begitu pintu terbuka dan suara gelak tawa laki-laki di dalam rumah makin terdengar keras hingga keluar pintu.
“Siapa?” tanya Jol sambil berbisik.
“Abang.”
“Abang?”
Jol mengerutkan dahi. Ada hal yang kini sangat disadarinya. Mereka orang Padang dan sudah seharusnya menyebut istilah kakak laki-laki dengan ‘Uda’. Bukan ‘Abang’.
“Duduk dulu, Da. Saya bikin minum dulu. Jangan sungkan-sungkan.”
Tatapan Jol beralih ke sofa empuk yang ada di ruang tamu. Dimatanya saat ini, sofa itu bukan barang empuk yang bisa di dudukinya. Itu adalah hamparan duri yang siap menusuk bokongnya sewaktu-waktu. Dan di rumah itu, Jol merasa sedang memasuki kandang serigala, dia harus tetap waspada. Siapa tahu serigala-serigala lapar yang menghuninya akan menerkamnya secara tiba-tiba.
Jol sudah menyuruh Icha untuk menunggunya di sudut jalan komplek. Jika sampai satu jam dia tidak kembali ke mobil. Jol sudah menyuruh cewek itu untuk menelepon polisi.
“JOL!!”
Kepala Jol langsung menoleh ke arah sumber suara. Belum selesai dia memperhatikan cewek itu. Badannya sudah di tubruk. Cewek itu memeluknya erat. Tangisnya pecah. Dadanya terasa hangat oleh air mata cewek itu yang merembes ke kemejanya.
“Reta...” suara Jol mendadak serak. Terlalu bahagia bercampur rindu yang menyeruak bersamaan.
“Aku kangen... aku kangen...” bisik cewek itu.
Jol membalas pelukannya lebih erat. “Sama,” sebenarnya Jol ingin menangis. Merasakan haru yang membuncah di dalam dadanya. Tapi kewaspadaannya tidak mengijinkan untuk itu.
Seorang cowok berbadan tinggi sudah berdiri di pojok ruangan. Memperhatikannya dan Reta yang saling berpelukan. Tatapannya sangar dan itu mengingatkan Jol pada dua cowok yang waktu itu pernah membawanya secara diam-diam hingga ke daerah pinggiran Bekasi. Jol sudah bisa menduga pasti dua cowok tempo hari itu teman-teman cowok itu, Vino.
“Aku mau ke Jakarta. Aku mau tinggal sama kamu, Jol. Aku mau pergi. Aku nggak mau disini!” suara tangis Reta makin membahana di ruang tamu.
Jol mendekapnya makin erat. “Ssstt, iya. Kita pulang sebentar lagi,”
“Ayo, sekarang!” rengek Reta seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai.
“Reta...”
“Kamu nggak akan kemana-mana, Ret!” bentak Vino dengan suara galak.
Jol membalas tatapan cowok itu tak kalah galak. Dia paling tidak suka ada yang membentak dirinya atau juga Reta. “Jangan bentak Reta!”
“Apa urusan lo? Mendingan lo pulang aja sebelum lo mati disini!” Vino mulai pongah.
Jol tersenyum mengejek. “Coba aja kalau bisa. Buat mati disini tuh nggak gampang,”
“Jadi gampang kalau urusannya sama gue,” desis Vino.
“Abang, udah!” lerai Reta sambil membalikkan badan dan memasang diri untuk melindungi Jol.
“Ret, kamu masuk aja,” suruh Jol lembut.
“Enggak. Kalau aku masu kamar lagi. Aku bakal di kunci lagi. Aku nggak bakal boleh ketemu sama kamu lagi. Aku nggak bisa, Jol!”
“Ret. Cepetan masuk kamar!” bentak Vino lagi.
Kini Jol tahu sifat cowok yang bernama Vino itu. Tadinya Jol hanya tahu mengenai dia dari cerita Reta saja. Bahwa Reta memiliki seorang kakak yang sudah berumah tangga dan tinggal dengannnya di Jakarta. Vino adalah kakak ipar Reta. Dan sekarang Jol sudah bisa bertemu muka dengan cowok itu.
“Reta bakal ikut gue,” kata Jol tegas. Tangannya memegang erat-erat pergelangan Reta.
“Coba aja kalau bisa. Gue bakal lapor polisi dan bikin laporan penculikan.”
Jol menatap Vino. Kata-kata Vino pasti akan di buktikan jika sampai Jol membawa paksa Reta ke Jakarta. Bahkan sebelum sampai Jakarta, dia pasti sudah di giring ke kantor polisi. Di Indonesia, Butchi masih di anggap seperti penjahat kelas teri. Semua itu karena banyaknya Butchi di luar sana yang melakukan hal bodoh serta konyol dan tidak sadar kalau sudah merugikan sesamanya. Akhir-akhir ini tingkat kriminalitas berupa penipuan marak terjadi dan pelakunya adalah Butchi. Hanya tiga pandangan masyarakat mengenai Butchi yaitu, jijik, ngeri dan keren. Mereka akan memilih salah satunya. Bukan semuanya.
“Jol, ayo kita pergi!” ajak Reta sambil menarik-narik lengan baju Jol.
“Enggak, Ret!” Jol menggeleng. “Kamu akan tetap disini sampai aku ijin dengan benar ke kedua orang tua kamu,”
Reta melepaskan tangan Jol dengan lemas. “Mereka maksa aku buat nikah, Jol. Sama dia...” kata Reta seraya menunjuk ke arah Vino. “Dia itu suami kakakku. Dan Ibu nyuruh dia buat turun ranjang. Dan aku...”
“Apa?” tanya Jol mulai gemas saat mendengar istilah ‘turun ranjang’.
“Aku hamil. Anaknya...” suara Reta serak di sela isak tangis. “Tapi aku nggak mau sama dia. Aku nggak mau... aku maunya sama kamu, Jol. Bawa aku pergi!”
Jol terdiam. Tulang-tulangnya mendadak menjadi lunak dan dia tidak bisa berdiri. Matanya panas tapi dia berusaha kuat untuk tidak menangis. Dia tidak boleh menangis dan dia tidak akan pernah menangis. Apalagi dengan masalah seperti ini.
“Aku bisa jelasin kenapa aku hamil. Kamu harus percaya sama aku,” Reta menarik-narik lengan kemeja Jol.
“Sekarang udah jelas. Gue ayah janin itu. Jadi lo nggak berhak bawa Reta. Lagian lo itu siapa. Lo itu bukan apa-apa. Lo cuma sampah!”
Jol menegakkan bahunya lagi saat mendengar kata-kata itu. Telinganya tiba-tiba terasa panas dan Jol tidak suka mendengar itu.
“Gue bakal bawa Reta ke Bangkok. Dia bisa ngelahirin anaknya disana,” jawab Jol datar.
“Enggak!” tukas Reta. “Aku mau aborsi aja!”
“BAYI ITU AKAN JADI ANAKKU DAN DIA NGGAK BOLEH DI BUNUH!!” Jol membentak Reta. Cewek itu kaget dan langsung menangis keras. “Sorry...” Jol mendekap Reta lagi.
“Udah cukup romantis-romantisannya. Gue muak!” kata Vino seraya mendekat ke arah Jol dan Reta. “Reta, sini!” tangan Vino langsung menarik Reta dari pelukan Jol. Tapi Reta memberontak.
“Lepasin GF gue!” kata Jol di sertai tarikan tangannya pada Reta dan satu tangannya yang bebas langsung meninju pipi Vino. Cowok itu terhuyung.
“Ah, gue lupa kalau makhluk kayak lo itu minta di setarakan sama cowok. Dan itu artinya....” Vino langsung melayangkan tinju balasannya ke arah Jol. Jol mengelak, tapi tinju malah mengenai Reta. Reta terhuyung. Jol dan Vino sama-sama kaget.
“Reta!!!” seru Jol dan Vino hampir bersamaan.
Reta memegangi pipinya yang terasa sakit. Matanya nyalang menatap Vino dengan penuh dendam. “Puas lo mukul gue? Masih belum puas selama ini lo selalu ngelecehin gue. Bahkan hingga kakak gue mati. Lo masih juga suka otoriter. Lo bukan abang gue, Vin. BUKAN!!” teriak Reta histeris.
“Brengsek!” Jol tak tanggung-tanggung lagi. Dia menendangkan lututnya ke perut Vino yang sedang lengah. Tapi cowok itu tidak apa-apa. Jol maklum, karena Vino cowok. Jol langsung memasang kuda-kudanya.
“Jadi lo mau mati disini? Oke!” ujar Vino kalem tapi sombong.
Secepat kilat, Vino langsung menyerang balik Jol dengan membabi buta. Meraih kepala Jol dan memukul mukanya berkali-kali. Lalu Vino menjambak kuat rambut Jol dan mengarahkan kepala Jol untuk di jentuskan ke tembok. Tapi Jol melindungi kepalanya dengan menahan tangannya di tembok agar kepalanya tidak bisa sampai sana. Jol berusaha sekuat tenaga mendorong Vino ke belakang, meskipun tenaga cowok itu kuat dan tidak tanggung-tanggung akan membunuhnya. Tapi Jol tidak akan mengalah.
“Bang, udah!” seru Reta seraya menarik bahu Vino. “Jol!!” tatapan Reta beralih ke arah Jol yang sudah babak belur dengan kebingungan.
Jol dan Vino seolah sedang berada di tempat lain. Seperti di hutan, dan mereka berdua sedang bertarung layaknya dua harimau jantan berebut betina. Mereka tidak mendengar teriakan Reta. Bahkan mereka berdua tidak peduli ketika ada beberapa tetangga yang melongok dari luar pagar. Jol dan Vino terus saja saling pukul. Saling serang. Saling tendang dengan kekuatan masing-masing. Dan Jol sangat menikmati saat-saat ketika meninjukan pukulannya ke rahang Vino dan menimbulkan bunyi gemeletuk disana. Tapi Jol juga tidak jarang mendapat pukulan dari Vino. Hingga satu pukulan Vino akhirnya membuat Jol terkapar di lantai.
Vino melihat musuhnya lemas tapi masih bisa bangun. Karena itu, sebelum Jol bangun, Vino langsung menghampirinya, duduk di atas perut Jol dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik Jol. Tapi sebelum tangannya sampai di leher Jol. Vino merasakan tubuhnya melayang dan jatuh ke lantai. Bahunya terasa sakit. Seseorang sudah menendangnya.
“Jangan berani-berani lo sentuh kakak gue!” sambil bicara seperti itu, tangan berat itu terus memukul Vino. Bahkan sebelum Vino sempat mengenali siapa musuhnya.
Reta terus saja histeris. Beberapa tetangga menerobos masuk pintu paggar pada akhirnya dan melihat tiga orang berkelahi didalam. Seorang wanita paruh baya tiba-tiba masuk dengan tergpoh-gopoh.
“Ado apo ini???” tanyanya geram melihat ruang tamunya berantakan.
Seorang cewek keluar dari ruang dalam dan langsung menghampiri wanita paruh baya itu. Cewek mirip Reta yang mengajak masuk Jol ke dalam rumah.
“Yang itu namanya Jol. Pacar Uni dari Jakarto. Yang itu... Fika indak kenal, Bu.” Terang Fika, Adik bungsu Reta dengan wajah panik kepada Ibunya.
Jol bangun dari lantai dan berdiri tegak menyambut Ibu Reta. Reta masih menangis terisak dan ada salah seorang tetangga yang datang memeluknya. Tatapan mata Jol beralih ke seseorang yang sudah membantunya, itu Avi. Dalam hati, Jol merasa lega juga karena dirinya tidak jadi mati. Tapi dalam hati, dia merasa harga dirinnya sedikit tersakiti karena dia tidak bisa melawan Vino sendirian.
Ibu Reta terus berjalan dengan geram menghampiri Avi dan tiba-tiba melayangkan kepalan tangannya ke arah kepala Avi.
“Awww!!” Avi kesakitan memegangi kepalanya. Dia langsung mendongak dan mendapati seorang Ibu-ibu dengan wajah merah padam. Avi menatapnya dengan dungu.
“Jangan berani-berani sentuh menantuku!” geram wanita itu.
Dengan wajah cemberut karena tidak mungkin melawan Ibu-ibu, Avi menatap Ibu Reta dengan gemas sekaligus keheranan sambil menggosok-gosok kepalanya yang mungkin saja sudah benjol. Jol sebenarnya ingin tertawa melihat Ibu Reta salah sasaran. Tapi dia sadar, itu bukan saatnya.
“Pergi kamu dari sini! Pergi! Dasar lesbian!” seru Ibunya Reta seraya mendorong-dorong tubuh Avi. Tapi Jol langsung menahan tangan wanita itu agar tidak terus menyakiti Avi.
“Bu. Maaf. Tapi Ibu salah paham. Mungkin yang Ibu maksud itu saya!” kata Jol sambil menggenggam pergelangan tangan wanita itu. Menahannya agar tidak memukul Avi lagi. “Saya Jol. Yang pacaran dengan Reta!”
Suara gemuruh bisikan tetangga yang sedang ada disitu langsung menggema. Ibu Reta langsung melemaskan tangannya. Jol melepaskannya. Tapi detik berikutnya, tangan wanita itu langsung melayang dan mendarat tepat di pipi Jol. Jol diam berdiri dan tidak bergeming. Hanya menutup matanya menahan pukulan. Bahkan ketika wanita itu meludahi wajah Jol. Jol hanya diam saja. Avi yang malah panik.
“Kak!” Avi memanjangkan lengan kemejanya dan langsung mengusap air ludah Ibu Reta dari wajah Jol. Tapi wanita itu meludah lagi hingga tiga kali. Dan Avi terus yang membersihkannya.
“Orang-orang terkutuk seperti kalian pantas mendapatkannya. Bahkan kalau aku bisa mengencingi kalian disini. Aku pasti akan melakukannya!” geram wanita itu dengan amarah yang tak bisa di tahan.
Jol tidak menjawab. Avi hanya berdiri mematung di samping Jol. Tidak bisa membela apa-apa. Karena dia tahu, Jol pasti akan menahannya.
“Vin, bawa Reta kesini!” perintah Ibu Reta itu begitu melihat Vino sudah bangun dan berdiri disampingnya.
Menantunya itu langsung berjalan ke arah Reta. Tapi cewek itu malah menghindar dan seolah ketakutan pada Vino. Beberapa tetangga memegangi Reta dan menahannya agar jangan sampai kabur. Vino menarik lengan Reta dan membawa cewek itu ke hadapan Ibunya.
Reta menunduk dalam di hadapan Ibunya. Tapi Ibunya seolah masih geram dan langsung mengangkat wajah anaknya dengan paksa. Kali ini, tangannya melayang lagi dan siap menampar anaknya. Tapi sayangnya, sebelum tangan itu mendarat di wajah anaknya. Jol langsung menahannya.
“Jangan Reta, Bu. Saya yang salah!”
Wanita itu menatap Jol tajam. Tanpa banyak bicara, sebelah tangannya yang bebas langsung memukul Jol membabi buta. Disaksikan beberapa tetangga yang ada di ambang pintu. Avi, Reta dan Vino hanya bisa menatap Jol yang sedang di pukuli oleh Ibu Reta.
“Bu, Udah. Udah!!”
Fika langsung menahan tangan Ibunya dan menjauhkannya dari Jol. Tapi kaki Ibu Reta masih sempat menendang perut Jol hingga Jol terbatuk kesakitan. Tendangan itu tepat di ulu hatinya. Reta dan Avi langsung membantu Jol berdiri begitu Ibu Reta sudah di tahan oleh anak bungsunya.
“Da, tolong bawa Uniku pergi. Bawa dia ke Jakarta. Dan jangan pernah balik ke Bukittinggi lagi.” kata Fika dengan logat Bukittinggi yang kental. “Dan jangan biarin Abang deketin Uni lagi! bawa Uni yang jauh!”
Vino menatap Fika tak percaya. Reta tersenyum ke arah Jol, lalu ke arah adiknya secara bergantian. Jol kini merasakan ada kuncup-kuncup bunga yang hendak mekar di dalam hatinya. Senyumnya mengembang. Hidungnya mulai kembang kempis karena kegirangan. Dia langsung berjalan mendekat dan bersimpuh di kaki Ibu Reta. Memegang kaki wanita yang sedang marah mirip orang kesetanan itu. Cewek itu tadi terus menahan Ibunya agar tidak banyak bergerak.
“Maaf, Bu. Tapi saya sayang sama Reta. Saya janji, Saya akan berikan hidup dan mati saya untuk Reta. Saya akan jadi ayah untuk bayi itu. Saya siap!” kata Jol seraya memegangi kaki Ibu Reta. Meminta restu.
“Hamil?” wanita itu langsung lemas. “Ba a hamil? Ang punya ‘batang’?” tanya Ibu Reta dengan frustasi seraya memegang kedua bahu Jol.
Jol menatap Ibu Reta seraya menggeleng lemah. Bisa di dengar oleh telinganya, Avi tertawa tertahan di belakangnya.
Fika menatap lembut Ibunya. “Bukan, Bu. Uni di hamili Abang waktu di Jakarta. Waktu Ibu bilang sama Abang kalau Abang boleh turun ranjang. Abang langsung menghamili Uni. Uni yang cerita.”
“Itu bagus!” seru Ibu Reta tiba-tiba dan langsung meraih tangan Reta.
Reta menggeleng. “ Aku di perkosa, Bu! Aku di perkosa! Aku benci laki-laki kayak Abang. Aku benci!”
Ibunya tambah lemas. Reta melepaskan tangan Ibunya begitu saja.
“Reta minta ampun, Bu. Tapi Reta ndak bisa hidup dengan Abang. Batin dan raga Reta tersiksa. Abang juga sering mukulin Reta. Abang sering memfitnah Reta. Dia bilang Reta sering gonta-ganti pacar. Dia nggak mau ngakuin anak ini, dia bilang kalau anak ini adalah anak pacar-pacar Reta. Padahal Reta nggak pacaran sama cowok. Gimana Reta bisa hamil?” terang Reta dengan nada mengiba. “Bahkan sebelum Uni meninggal. Abang sudah sering melecehkan Reta. Reta ini bukan gadis suci lagi, Bu. Bukan...” Reta terisak lagi. Air matanya menderu keluar lagi.
“Sudah!” tukas Fika. “Fika kan sudah bilang sama Uni. Cepat pergi. Jangan balik lagi! Uni boleh pacaran sama Jol sesuka hati Uni. Silakan pilih jalan hidup Uni sendiri!” ujar Fika sarkatis.
Tanpa banyak bicara, Reta langsung berlari masuk kedalam ruangan. Tidak tahu apa yang di lakukannya. Avi dan Jol hanya bisa menunggu di tempat dan melihat adegan Ibu Reta mulai memukuli Fika karena geram . Jol tidak bisa melerai. Karena tangan Avi menahannya. Tapi dia tetap tidak tega melihat Ibu Reta terus memukuli anaknya karena sudah membantahnya. Lama-lama Jol merasa Iba juga dan ingin membantu Fika. Tapi sayangnya sebelum dia sempat meraih tubuh Ibu Reta, Reta sudah muncul dengan tas kecil yang biasa di bawanya kemana-mana dari ruang dalam.
“Bu, Reta pergi. Bagaimanapun juga, Reta tetap anak Ibu. Reta hanya memilih jalan hidup Reta sendiri. Yang jelas, Reta nggak akan pernah mau nikah sama Abang. Titik!” katanya pada Ibunya dengan lembut, tapi tegas. “Reta sudah pamit Ayah. Maafin Reta, Bu. Ampuni, Reta...” dengan air mata berurai, Reta langsung meraih lengan Jol dan mereka pergi dari rumah itu tanpa diskusi lagi. Melewati beberapa tetangga yang tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah tahu duduk permasalahannya dan itu adalah masalah keluarga Reta. Reta tersenyum bahagia pada mereka. Menyambut kebebasannya.
Mobil Icha sudah menunggu di depan rumah Reta. Pintu mobilnya sudah terbuka semua. Icha mempersilakan mereka masuk dari berbagai sisi. Reta masuk lebih dulu di kursi penumpang belakang. Kemudian Jol duduk di sebelahnya. Avi masuk dan duduk di kursi kemudi, menggantikan Icha. Dan Icha ada di sampingnya. Duduk manis di memandang Avi.
Matahari sudah tinggi melintasi bukit barisan. Jol tak akan pernah melupakan kejadian hari ini untuk seumur hidupnya. Dan dia benar-benar belajar dari Reta tentang sebuah arti perjuangan. Apa yang belum pernah dia alami sebelumnya, kini sudah terjadi. Padahal sejak dulu dia paling takut untuk mendapati kejadian hari ini. Tapi akhirnya semua itu terjadi juga.
Di genggaman tangan Jol, tangan Reta terasa hangat. Lebih hangat dari biasanya. Meskipun air matanya sejak tadi tidak bisa berhenti mengalir. Tapi Reta sama sekali tidak menoleh kebelakang.
Jakarta. 21.56 WIB
Aju membuka pintu kontrakannya dan tatapannya langsung terkejut begitu melihat Jol, Avi dan Reta. Wajah Reta sembab oleh air mata. Wajah Jol lebam sana-sini dan kelihatan sekali seniornya itu sangat tersiksa. Hanya wajah Avi yang masih tampak bersih meskipun sedikit kucel karena terlalu lama tidak mandi.
“Kalian bau!”
Itu kata pertama yang di ucapkan Aju begitu membuka pintu dan menahannya, membiarkan ketiga orang itu masuk.
“Rumah berantakan banget,” komentar Avi begitu melihat kaleng-kaleng bir berserakan di meja ruang tamu.
“Rere habis dari sini.”
“Rere??” Jol dan Avi sama-sama mengerutkan dahi.
“Cuma konsultasi sama masalahnya.”
“Masalah dia satu-satunya cuma Orgy. Itu aja,” tukas Avi dengan jengkel.
Jol dan Reta duduk di kursi ruang tamu. Badan Jol mulai terasa nyeri luar dalam. “Ju, bawain gue kompres dong!”
Aju langsung berjalan ke arah dapur tanpa banyak tanya. Avi menyusulnya.
“Gimana? Kayaknya pertarungannya sengit,” Aju mulai memasukkan es batu kedalam kantung kompres.
“Bukan sengit lagi. Seru malah. Mungkin tadi kalau gue telat dikit, Kak Jol udah kembali ke sisi Tuhan.”
Aju berhenti sebentar, lalu menghadap Avi sebelum dia menemui Jol di ruang tamu. “So, lo jadi pahlawan kesiangan gitu?”
“Nggak apa kan? sekali-sekali, lagian pesawat gue tadi delay, makanya kesiangan nyampe Bukittinggi,” jawab Avi sambil meringis. “Udah lama juga nggak ngehajar anak orang. Terakhir kali kan abang gue, anaknya Oom, hahaha...” Avi tertawa dengan mulut yang lebar.
Aju tidak mempedulikannya. Dia langsung berlalu dari hadapan Avi dan membiarkan anak itu tertawa sendiri mirip orang sinting di dapur.
Di ruang tamu. Jol sudah membuka kemejanya dan hanya mengenakan kaos tipis dengan dalaman breast binder untuk menutupi dadanya agar terlihat rata. Aju menghampirinya dan duduk di depannya. Reta mengambil kompres yang di berikan Aju untuk Jol dan mulai mengompres pacarnya.
“So, apa perlu kita buat pesta?” tanya Aju begitu melihat Jol mulai mencari posisi Pe-We dengan tiduran di sofa.
“Untuk sementara mungkin gue nginep disini atau mungkin nyari Hotel.”
“Disini aja, Kak!” tukas Aju cepat. “Akan lebih baik kalau disini.”
Reta menatap Jol bingung. “Emang kenapa kalau pulang ke apartemen kamu, Jol?”
Jol memegang tangan Reta. “Aku rasa Vino masih nyuruh temen-temennya buat nyari aku. Makanya, aku harus nyari tempat yang aman dulu,” jawabnya sambil tersenyum. Perhatiannya beralih pada Aju. “Ju, awasi Cafe. Jangan sampai dua orang yang waktu itu bawa gue ke Bekasi, ntar balik lagi dan ngacak-acak Cafe,”
“Tenang aja. Kita nggak lemah-lemah banget kok,” jawab Aju meyakinkan.
Reta berhenti mengompres perut Jol yang memar. “Sorry, gara-gara aku...” Kepalanya tertunduk dalam.
“Ngomong apa sih, Ret. Kamu itu udah jadi bagian dari kita. Maksudku... kita sekarang keluarga,” sahut Aju lembut.
Jol mengangguk, “Udah waktunya manggil dia Kakak ipar,” katanya seraya melirik Reta dan mengerlingkan mata ke arah pacarnya. Reta tersipu, tapi dia malah menekan kompresnya ke perut Jol hingga Jol terlonjak kesakitan. “Sakit, Beb!”
“Wei.” Avi keluar dari dapur dengan membawa tiga gelas kopi panas di atas nampan. “Gue kok ngerasa komun kita kayak Geng Yakuza ya? Pakai acara kakak and kakak ipar segala,”
“So what?” Jol mencibir. “Besok gue mau ngurus pasport buat Reta,” katanya sambil melirik Reta. “Semua dokumen kamu udah di taruh rumahku, kan?”
Reta mengangguk. Dia ingat betul sudah memindahkan semua barang-barangnya ke rumah Jol begitu dia memutuskan untuk tinggal selibat dengan Jol sebulan lalu, sebelum Vino mengetahui hubungan mereka.
“Gue aja yang ambil besok. Gue takut dua orang yang waktu itu nyulik lo ngacak-acak rumah,” Avi mengajukan diri.
Jol mengangguk, “Tolong ya, Vi!”
“Santai...”
“Jadi, setelah pasport jadi. Rencana kalian apa?” tanya Aju dengan tatapan datar.
“Pulang kampung ke Belanda, married!”
Aju dan Avi saling berpandangan. Bibir mereka sama-sama melongo.
♀♀ ♀
No comments:
Post a Comment