Thursday, November 21, 2013

VIOLEY 3 : AJU - "WORLD IN MY EYES" - Satu

SATU

tittle - Tremore
draw by : Agnes Cecile

Kuningan. 03 Desember 2011

Meskipun Aju mengatakan pada Jol dan Avi bahwa dia akan libur. Tapi sebenarnya Aju hanya meringkuk di tempat tidur dan menenggelamkan dirinya dengan berbotol-botol bir yang tersimpan di dalam kulkasnya. Jika dia sudah mulai lelah untuk minum dan kepalanya mulai pusing, Aju langsung mengambil posisi di tempat tidur dan menyelimuti dirinya dengan hangat.
Aju hanya memesan KFC atau pizza yang buka dua puluh empat jam jika dia benar-benar lapar. Dan jika tidak ada satupun penjual makanan siap saji itu yang bisa di hubunginya, Aju hanya akan memilih mi instan. Dia tidak mandi dan tidak gosok gigi. Dia tidak merawat dirinya dan membiarkan rumahnya berantakan mirip sarang semut.
Dia meminta libur pada Jol selama yang dia mau dan Jol menyetujuinya asal tidak lebih dari sepuluh hari. Aju setuju. Kehidupannya langsung hanya berkutat di dalam rumah saja tanpa ada interaksi dengan dunia luar sejak mengambil libur. Selama ini Aju tidak pernah mengambil liburannya. Bahkan sebagai Pengurus Cafe, Aju selalu bekerja dengan seluruh kekuatan yang di milikinya. Bahkan ketika Jol menawarinya tiket liburan ke Hongkong, Aju menolaknya dan memilih untuk menyibukkan diri dengan bekerja di Cafe. Selama ini dia sudah mengerahkan kekuatannya. Dan kini tiba-tiba dia merasa sangat lelah dan ingin istirahat.
Dia suka pekerjaannya. Dia suka bertemu dengan banyak orang setiap harinya meski yang datang hanya orang itu lagi dan orang itu lagi. Tapi Aju menyukainya. Aju menikmatinya sebagai bagian dari hidupnya. Serta pilihannya adalah hadiah terindah yang pernah dimilikinya.
Saat Aju masih duduk di bangku SMP dulu, dia pernah hampir melakukan bunuh diri karena tekanan demi tekanan yang di berikan oleh orang tuanya juga teman-teman di kelasnya. Ayahnya seorang yang otoriter dengan pilihannya. Sedangkan Ibunya adalah wanita yang  selalu konsisten dengan apa yang di inginkannya. Sifat mereka semua jatuh pada kakaknya, Dena. Dan kakaknya itu masih memiliki satu tambahan sifat lagi yang melengkapi dari keduanya, persisten.
Aju seperti robot yang di ciptakan kedua orang tuanya untuk menjadi apa yang mereka mau. Sejak kecil, Aju selalu dilengkapi fasilitasnya dan di harapkan bisa menjadi penerus Papa, Mama, dan kakaknya, yakni menjadi Seorang Dokter. Karena itu, sejak kecil Aju di didik keras untuk giat belajar dan menguasai segala macam bidang ilmu. Selain itu semua, Ibunya menginginkan agar Aju kelak bisa menjadi anak kebanggaan dengan menguasai banyak hal. Termasuk musik.
Tapi pada akhirnya, keingian terbesar Aju bukanlah menjadi seorang Dokter. Dia ingin menjadi musisi. Aju banyak menciptakan banyak lagu untuk dirinya sendiri dan terkadang lagu-lagu itu dia nyanyikan di Cafe.
 Dulu, ketika Aju memutuskan untuk bermain musik saja tanpa memilih jalan menjadi generasi penerus keluarga Dokter, orang tuanya marah besar. Di tambah lagi ketika Aju memangkas habis rambutnya dan membiarkan hanya panjang satu sentimeter. Ibunya langsung marah dan membelikannya wig. 
Ibunya, Ayahnya, dan Kakaknya tidak pernah tahu. Bahwa sejak SD Aju sudah sangat menyukai kakak kelasnya. Dan kakak kelasnya itu seorang cewek. Aju mati-matian mendekatinya dan sebisa mungkin menjadi teman bermain kakak kelasnya. Aju merasakan sensasi yang berbeda ketika berdekatan dengan kakak kelasnya. Dan Aju juga paling  senang memeluk kakak kelasnya itu. Perasaan senang yang tidak bisa dia rasakan pada anak cowok atau teman cewek seusianya.
Kecenderungan Aju menyukai kakak kelasnya semakin menjadi saat kakak kelasnya curiga dengan kelakuan Aju. Kakak kelasnya menghindari Aju dan itu membuat Aju sedih. Aju menghabiskan waktunya dengan bermain dengan teman-teman cowoknya. Dia tidak bisa bermain dengan teman-teman ceweknya. Karena itu, dia tidak pernah tahu permainan apa yang di mainkan anak-anak cewek. Bahkan ketika pelajaran olahraga, jika sudah waktunya permainan bebas, Aju akan bergabung dengan teman-teman cowoknya untuk bermain sepak bola, basket atau permainan lain yang sering di mainkan anak-anak cowok.
Aju tumbuh menjadi anak yang berbeda. Masyarakat dan seluruh teman maupun lingkungannya menyebut Aju seorang tomboy. Aju menikmati sebutan itu. Meskipun hal itu harus dia bayar dengan di kucilkan oleh teman-teman ceweknya. Tapi Aju sama sekali tidak peduli. Dan dia juga tidak berminat untuk bergabung dengan geng anak-anak cewek yang ada di kelasnya baik sejak dia masih TK, SD, bahkan hingga SMP.
Hingga saat itu tiba. Saat dimana Aju tidak akan pernah bisa melupakan masa lalu dan kenangan itu terus saja hadir dalam setiap mimpi buruknya. Teman-teman ceweknya sepakat menyuruh teman-teman cowok yang ada di kelasnya untuk mengerjai Aju.
Aju masih ingat bagaimana dulu teman-teman sekelasnya itu mempermainkan Aju dan menelanjangi Aju. Membully Aju. Hal itu tidak hanya terjaddi sekali, bahkan seorang teman cowok yang sangat di percayainya di kelas—Bimo, tega berbuat tidak senonoh padanya. Hampir memperkosa Aju. Alasanya sangat  mudah, mereka semua hanya penasaran mengenai orientasi seksual Aju karena melihat gaya Aju yang tomboy dan persis seperti anak laki-laki.
Setelah kejadian itu, Aju lebih banyak mengurung diri di kamar. Tidak mau makan dan hanya meringkuk di tempat tidur. Tidak mau sekolah dan sampailah dia pada satu keputusan dimana dia sangat ingin mengakhiri hidupnya. Dia ingin mati karena ketidak berdayaannya. Aju merasa malu pada dirinya sendiri karena tidak bisa membela diri. Membiarkan dirinya di lecehkan, sementara selama ini dia mengaku bahwa di dalam dirinya tersembunyi jiwa laki-laki. Dengan bangganya dia selalu bilang pada semua teman-temannya bahwa di dalam tubuhnya lebih banyak terdapat kromosom Y daripada kromosom X.
Selang beberapa hari, rumah Aju kedatangan tamu dari Bali. Teman Papanya yang datang beserta keluarganya. Satu hal yang membuat Aju tertarik adalah, cewek berambut panjang dan ikal. Dengan senyum tipis dan sangat menarik. Kulitnya putih khas keturunan Tionghoa, sama dengannya. Dan lebih menariknya lagi, cewek itu sepantaran dengan kakaknya yang sudah kuliah. Margaret. Cewek cantik yang akan menentukan ke arah mana jalan yang harus Aju pilih.



Fatmawati. 26 NOvember 2003 : 18.22 WIB

“Margaret  bakal tinggal di Jakarta selama liburan UTS-nya berlangsung. Dia nanti sekamar sama siapa, nih?” tanya Papa Aju saat mereka semua makan bersama. “Sama Aju atau sama Dena? Kamarnya sama-sama gede. Margaret pilih yang mana?” tanya Papa Aju sambil memandang Margaret.
“Mana aja juga boleh, Oom. Sama Dena kalau bisa. Kan enak, udah sama-sama cewek dan sepantaran,” jawab Margaret sambil tersenyum lebar.
Dena langsung antusias  dan menyambut gembira keputusan Margaret. Dia langsung memeluk Margaret seolah-olah Margaret adalah saudara kembarnya. Aju hanya bisa memandang kakaknya dengan tatapan dingin. Meskipun dalam hati, dia juga ingin melakukan apa yang di lakukan kakaknya.
Sejak kedatangan Margaret dua jam lalu, Aju hanya melakukan kontak fisik dengan Margaret berupa salaman saja.  Tidak lebih. Berkat rambut cepaknya itu, Aju jadi tidak bisa melakukan apa yang di lakukan kakaknya. Memeluk Margaret dengan bebas atau sekedar menyentuh Margaret dengan biasa tanpa harus di hadiahi tatapan curiga.
 “Kalau mau sekamar sama Aju juga boleh. Kamarnya Aju itu lebih rapi dari kamarnya Dena, Ret.” Kata Mamanya menambahi obrolan.
Aju menatap Mamanya dengan perasaan terharu. Tapi Aju tidak mengatakan apa-apa.  Dia hanya diam sepanjang acara makan bersama itu.
“Kalau Aju, udah kelas berapa?” tanya Papa Margaret tiba-tiba.
Aju tahu, pertanyaan itu hanya sebagai bentuk pengalihan Papa Margaret dari obrolan bisnis  dengan Papanya. Di tambah lagi, mungkin pria paruh baya itu hanya ingin menunjukkan pada Aju bahwa dia cukup ramah untuk menyandang panggilan ‘Oom’ dari Aju. Dan terlebih lagi, mungkin hanya Papa Margaret dan Mamanya sendirilah yang sadar kalau di meja makan itu Aju masih manusia. Bukan Alien.
“Aju udah kelas tiga SMP, Oom.” jawab Aju seadanya.
“Wah, berarti kurang enam bulan lagi ya masuk SMA?”
Aju mengangguk.
“Belajar yang bener... sebentar lagi kan mau try out,” kata Margaret seraya melemparkan senyuman manisnya pada Aju.
Aju menatap Margaret  tanpa berkedip. Jika saja dia orang gila saat ini, pasti dia akan merangkak di atas meja makan dan menubruk Margaret hingga cewek itu terjengkang. Tapi sayangnya, Aju hanya memegangi kepalanya. Terlalu frustasi melihat kecantikan Margaret yang sangat menyilaukan di matanya.
“Ma, duluan ya. Headaches, nih,” katanya begitu merasakan kepalanya benar-benar pening. Semua itu tidak lebih dari rasa mual yang ada di perutnya yang di sebabkan karena perasaan-perasaan anehnya yang mulai mengganggu.
“Ya udah,” jawab Mamanya pendek. “Jangan lupa gosok gigi. Lalu minum obat.”
“Ha’ah,” Aju menanggapi asal.
Setelah masuk kamar dan menutupnya. Kepala Aju rasanya semakin berputar dan tiba-tiba dadanya merasakan sakit dari dalam. Sebuah kesakitan yang di iringi dengan rasa nikmat saat mengingat senyuman Margaret tadi.
Aju berjalan ke arah tempat tidurnya dan langsung berbaring disana. Dia ingin berbaring sejenak untuk meredakan debaran aneh yang ada didalam hatinya. Juga rasa sakit di kepalanya yang setelah dia sadari betul-betul, ternyata itu benar-benar sakit kepala.
“Sial,” umpatnya pelan.
Aju menoleh ke arah kalender duduk yang ada di meja dekat tempat tidurnya. Mendadak dia langsung melompat dan meraih kalender itu. Menatapnya tak percaya. Dia baru ingat kalau besok sudah waktunya dia masuk setelah lama ijin.
Pelan-pelan Aju mengangkat kepalanya. Menyeringai. Tiba-tiba saja dia ingin datang kesekolah. Sudah lama dia tidak bertemu dengan teman-temannya. Benar, rasanya begitu sangat lama dan Aju merindukan mereka.
Saat ini, dibenak Aju terukir sebuah nama yang dia tengarai sebagai sebab semangatnya kembali pulih. Margaret. Dan besok Aju akan berangkat ke sekolah.


No comments:

Post a Comment