Saturday, November 9, 2013

ATAS NAMA HATI BEKU

Cerpen

ATAS NAMA HATI BEKU



Aku benci masa lalu, karena itu pasti akan mengingatkanku padanya. Aku benci laki-laki, karena artinya aku harus berjibaku dengan yang namanya perubahan dan menjadi sesuatu yang dia sebut wanita seutuhnya. 
Ribuan kata yang harusnya kuungkapkan sebagai pemanis hubungan saat dia tiba, tapi malah menjadi bara yang tak kunjung padam hingga saat ini. Pendirianya belum sepenuhnya tegak dan janjinya hanya  pemerah bibir.  Sakit ini masih melanda meskipun kuakui jika aku telah memaafkannya.
Sembilan tahun lalu saat dia kembali dari Akademi, aku berusaha menyambutnya dengan segudang kebanggan yang bisa kuperlihatkan padanya. Aku sudah bisa memasak. Aku sudah bisa berdandan. Aku juga bisa menahan tawaku agar tak terlalu tergelak. Dia bilang aku harus menjadi wanita yang anggun dan bisa dibanggakan pada keluarganya, tapi semua hanya tinggal ucapan manis.
Rasa sakit atas perlakuannya benar-benar mengoyak hati dan harga diriku. Bagaimana bisa aku mempercayai laki-laki lagi. Sedangkan satu-satunya laki-laki yang patut kubanggakan dan kuletakkan baik-baik di dalam hatiku malah membakar sanubariku hingga luluh lantah menjadi puing-puing hati yang hangus dan hampa.
“Mbak Stevi masih suka lihat-lihat fotonya aja,” komentar Nania yang tiba-tiba berdiri di belakang punggungku. Lalu segera beralih kembali ke mejanya.
Segera kututup folder yang sudah menyimpan banyak foto-fotonya didalam komputer kerjaku. Sebenarnya niatku tadi hanya mencoba dan berharap, rasa sakit yang tiba-tiba muncul tadi segera musnah dalam sekejab mata dengan berlama-lama menatapnya. Untuk melupakan seseorang, cara yang paling ampuh adalah terus mengingatnya. Mengingat kenangan buruknya dan kemudian semuanya akan terbakar dengan sendirinya.
“Iseng aja, Nan!” jawabku dengan menebar senyum, mencoba memperlihatkan pada orang lain bahwa aku baik-baik saja. “Eh, gimana pembicaraan kita tadi?” tanyaku sambil duduk melongok ke mejanya yang letaknya ada di sebelahku.
“Soal yang mana?” tanyanya tanpa memperhatikanku. Tangannya sibuk membolak-balik laporan yang baru saja di serahkan pada Boss.
“Rencana pernikahan,”
“Oh iya, Mbak Stevi ada tamu.” Kali ini wajahnya yang manis mendongak ke arahku. “Katanya teman Mbak Stevi dari Kalimantan,”  katanya seolah ingin mengarahkan pembicaraan ke arah lain.
Keningku berkerut. Dengan heran, masih terus kutatap wajah manisnya, senyumnya bisa meluruhkan gedung bertingkat enam belas ini.
“Kalimantan?” tanyaku sambil mengernyit.
Siapa? aku sama sekali tidak punya teman dari Kalimantan. Asalku dari Jawa dan semua orang di kantor ini sudah tahu itu. Bahkan Bossku sudah pernah berkunjung  ke rumahku di Malang. Ada yang aneh saat aku berjalan di antara meja-meja karyawan yang letaknya berada di ruangan yang sama denganku. Mereka semua memandangiku seolah baru kali ini melihatku.
“Mbak Stevi, tamunya ganteng abis!”
Langkahku terhenti saat Mia tiba-tiba berkata dengan nada yang sangat ceria. Entah kenapa aku merasa aneh sekaligus bingung. Seumur hidupku, belum pernah ada orang yang datang menemuiku, baik ke sekolah maupun ke kantorku, bahkan ke rumah. Apalagi Mia mengatakan kalau dia ganteng. Jantungku berdegub kencang.  Tiba-tiba rasa senang menggelitikku hingga ke perut.
Saat kakiku berjalan lagi menyusuri koridor dan akhirnya bertemu dengan ruangan yang sedikit luas di lobi, mataku di buat tak berkedip oleh hadirnya sesosok tubuh jangkung, postur tubuh proposional, kulit putih dan mata yang sedikit sipit. Seperti apa yang di bilang Mia, dia ganteng. Sebuah kacamata model Smart merk Gucci bertengger di atas hidungnya.
“Gosh...” desisku lirih. Berharap dia tak mendengar apa yang keluar dari mulutku.
Saat dia melihatku, dia langsung bangkit dari duduknya dan senyumnya mengembang ke arahku. Aku rasa jantungku benar-benar di buat berhenti.  Bahkan kakiku terasa kaku seketika.
Brraaakk!!
Badanku jatuh ke lantai yang berlapis karpet. Seseorang menabrakku begitu saja. Entah bagaimana warna mukaku saat ini. Merah? biru? putih? hitam? aku benar-benar seolah melihat hantu. Tidak mungkin dia.
“Kamu nggak apa, Stev?”
Tangan halus itu membantuku berdiri. Tapi kepalaku malah menoleh ke arah Mas Karyo, OB di kantorku yang baru saja menabrakku. Dia langsung meminta maaf atas keteledorannya hingga menabrakku. Bisa jadi memang itu salahku juga karena aku berdiri mematung tepat di tengah koridor ruangan yang membatasi antara lobi dan koridor menuju ruangan karyawan.
“Veno,” gumamku saat tangan halus itu membantuku berdiri hingga tegak di atas sepatu 10 inciku.
Sekali lagi dia tersenyum.  Aku membalasnya dengan kikuk.
“Apa aku mimpi?” bisikku tak percaya.
“Enggak!” jawabnya tegas.
Kepalaku nenoleh ke sekitar, setiap orang di ruangan ini melihat kami dengan heran dan aku bisa merasakan apa yang ada dalam isi kepala mereka. Tapi aku sendiri masih belum bisa mengusai diri. Berharap sosok di hadapanku ini benar-benar nyata dan aku bisa menyentuhnya.
“Kita bisa makan siang di luar?” tanyanya dengan suara yang masih sama seperti dulu. Selembut dan semanis permen kapas. Dan bariton.
Aku hanya bisa mengangguk. Bahkan aku harus bersusah payah bangkit dari rasa tercengangku saat ini kala dia kembali duduk di sofa tamu dan mengatakan kalau akan menungguku untuk bersiap-siap terlebih dulu sebelum kami keluar.
Jam menunjukkan pukul dua belas siang tepat. Aku bingung harus mempersiapkan diri yang bagaimana. Sedikit mempertebal bedak aku rasa cukup untukku mempersiapkan diri di hadapannya. Anak itu benar-benar membuatku kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Bagaimana dia bisa tahu aku bekerja sebagai Sekertaris sebuah Perusahaan Pelelangan.
Nania menatapku heran saat aku dengan terburu-buru merapikan dandananku. Bahkan sesekali Mia menggodaku dengan candaannya yang langsung membuat hatiku geli sendiri. Aku memang terlihat sedikit berlebihan setelah sekian tahun tidak bertemu dengan Veno.


“Kamu sudah lama bekerja disana?” tanyanya begitu kami sudah menghadapi pesanan masing-masing.
Seleranya masih sama seperti dulu. Sirloin Steak dengan saus Barbequ. Dan aku juga seperti biasa, jika bertandang ke restauran western, yang kupesan pasti hanya Spagetty. Bukan karena aku tak tahu macam-macam menu restaurant western yang selalu aneh, tapi aku mencoba menyelamatkan perutku dari rasa-rasa dan nama-nama menu yang tidak pernah cocok dengan pencernaanku.
“Lumayan,” jawabku sambil berusaha seanggun mungkin di hadapannya.
“Kamu sudah berubah. Aku kaget luar biasa saat melihatmu dengan sepatu setinggi itu!” tatapannya terlempar jahil kebagian bawah kakiku.
Aku tersenyum bangga, “Terima kasih,”
“Tapi...”
“Aku...”
Kami hampir bersamaan bicara.
“Kamu dulu,” katanya sambil meletakkan pisau steaknya lalu menangkupkan kedua tangan untuk menopang dagunya.
Aku juga terpaksa menghentikan makanku. Kuletakkan garpu Spagetty-ku di piring. Tiba-tiba saja di depan mataku Spagetty itu berubah menjadi potongan-potongan tali rafia. Seleraku hilang dan perutku terasa melilit karena rasa senang yang sedikit aneh.
“Aku bingung saat kau bilang aku di kunjungi tamu dari Kalimantan. Apa sekarang kamu tinggal disana?” tanyaku tanpa basa-basi. Sejak dulu aku tak pernah bisa berbasa-basi dengannya. Aku mengatakan apa yang ingin aku katakan dan aku tak ingin menyembunyikan apa yang ingin aku katakan. Di depannya, aku menjadi diriku sendiri.
“Iya, Papaku membutuhkanku untuk mengelola bisnis kayunya di Balikpapan. Aku susah payah menemukanmu disini. Aku kehilangan kontak denganmu dan itu membuatku sedih,”
“Benarkah? sejak dulu aku selalu ada disini. Masih tetap di Jakarta dan aku tak bisa pergi kemanapun.”
“Aku paham itu, kamu masih jadi tulang punggung keluargamu.”
“Jadi, apa tujuanmu kesini? apa ingin mengembangkan bisnis disini?”
Dia menggeleng. Dahiku mengerut. “Lalu?” tanyaku dengan penasaran.
“Ini!”
Dari tas kecilnya keluar sebuah kartu berwarna Hijau yang lumayan tebal. Sekilas aku bisa melihat ada tulisan “Undangan” disana. Jantungku terasa berhenti sekali lagi. Rasa heran membuat berjuta pertanyaan hingga memenuhi seluruh kepalaku.
“Kamu mau nikah?” tanyaku saat menerima kartu yang agak tebal itu.
Tatapan matanya menyuruhku untuk memeriksa dan membuka undangan itu. Tapi aku tak segera membukanya dan malah menempelkannya tepat di dadaku. Kutatap matanya dalam-dalam. Aku tak melihat ada gurat bahagia seorang calon pengantin di wajahnya. Dan terlebih lagi yang membuatku heran adalah, Veno seorang Butchi. Dia lesbian. Karena itu aku heran, kalaupun dia menikah, siapa wanita yang sudah memilihnya dan akan menikah dimana dia?
“Coba buka dulu,” perintahnya dengan lembut.
Tanganku gemetar. Rasa heran, bingung, dan bahagia menjadi satu. Tapi semua segera menjadi gelap saat kulihat nama mempelai laki-laki yang ada di undangan tersebut. Dewa Mahardika. Satu nama yang satu jam lalu masih mengoyak hati dan jantungku. Lalu sekarang dia mengoyaknya lagi untuk kesekian kali.
“Lihat mempelai wanitanya,”
Dengan penuh penasaran, kuamati satu nama yang berada di atas nama mempelai laki-laki. Sebuah nama yang tak akan pernah kupercayai seumur hidupku.
“Omong kosong!!” rutukku dengan suara gemetar. Jantungku tiba-tiba berderu lebih cepat dari kereta api.
Bayangan demi banyangan tentang masa lalu, hingga satu jam lalu seolah seperti siaran TV yang di gonta-ganti dengan tombol remot. Kepalaku di buat berdenyut-denyut dan rasa sakit yang tadi melepuhkan hatiku, kini beralih menyerang seluruh pelosok urat nadiku. Seolah hari ini akan terjadi kiamat yang bisa meruntuhkan langit tepat di atas kepalaku.
“Mereka sudah pacaran lima tahun lalu. Salah, tepatnya sejak sembilan tahun lalu mereka sudah dekat. Dulu kamu sempat minta di ramalkan tentang bagaimana kondisi percintaan antara kamu dan Dewa. Aku sudah pernah bilang waktu itu kalau ada gadis yang sedang dekat dengannya. Dan aku juga baru tahu kalau gadis itu adalah Nania sejak dua bulan lalu,”
“Apa? dua bulan lalu?”
“Nania mencari informasi tentangku melalui dirimu. Nania berpikir kalau aku adalah laki-laki. Kamu sering bercerita padanya kalau satu-satunya orang yang dekat denganmu setelah kamu putus dengan Dewa adalah aku, karena itulah Nania berpikir kalau aku dekat denganmu dalam artian kita memiliki hubungan.”
“Omong kosong, bagaimana bisa?”
“Internet,”
Nafasku melenguh. Aku dan Veno berpisah saat kami belum memiliki akun di jejaring sosial. Aku hanya punya emailnya dan itupun hampir tidak pernah aku buka. Aku lepas kontak dengan Veno dan hanya sesekali saja kami berhubungan melalui salah seorang teman kami dan itupun hanya sepintas bicara. Padahal hal yang lebih ironis adalah, aku dan Veno seorang sahabat. Di tambah lagi aku sering berganti-ganti nomor Handphone karena sebuah keteledoran yang berulang-ulang, Handphone-ku sering hilang.
“Aku juga ingin berpikir ini omong kosong. Tapi kenyataannya Dewa sudah menjalin hubungan dengan Nania sejak lama. Karena itulah alasannya dia tak ingin kembali lagi padamu. Jadi aku harap kamu bisa memahami itu.”
“Sial!”
Aku merutuk pada diriku sendiri. Aku baru ingat kalau Nania pernah bercerita bahwa dulu dia pernah bekerja sebagai tour guide di Bali setelah lulus sekolah SMK-nya dengan jurusan pariwisata. Berkat bahasa inggrisnya yang bagus, Nania merantau ke Jakarta dan bekerja sambil kuliah di Universitas Swasta dengan jurusan yang sama denganku. Bahkan kami menjadi sahabat dalam satu fakultas dan lulus bersama.
Aku dan Nania melamar kerja di Perusahaan Pelelangan dan kami sama-sama di terima. Aku merasa bodoh sendiri karena aku tak pernah tahu tentang latar belakang kehidupan percintaan Nania. Aku selalu berpikir kalau dia sama denganku. Sama-sama jomblo dan tidak punya pasangan. Nania hanya sering mengatakan kalau dia tak ingin buru-buru menikah. Dia hanya memiliki seseorang yang dia suka dan sampai saat ini mereka masih berhubungan.
Nania juga sempat menceritakan padaku kalau dia bertemu orang itu di Bali. Ingin rasanya aku memenggal leherku dan berharap aku mati karenanya. Benar-benar bodoh aku ini. Rasanya seperti di tusuk oleh samurai dengan pedangnya yang sangat tajam dari belakang.
“Ini nggak fair!” gerutuku.
Air mataku benar-benar ingin keluar tapi tidak bisa. Hal ini malah membuat dadaku terasa sesak dan sakit. Veno menyerahkan sapu tangan miliknya, aroma lavender menyeruak dari kain kecil itu. Setidaknya aku bisa sedikit lebih baik saat mencium aromanya.
“Jadi, kedatanganmu hari ini atas permintaannya?” tanyaku sembari mengusap titik air mata yang mulai menggenang di ujung mataku.
Veno mengangguk. “Apa kamu mau aku menemanimu untuk menghadiri acara pernikahan mereka?”
“Ini konyol,” aku tertawa hambar.
“Kamu harus bisa menerima kenyataan,”
“Apa menurutmu aku harus datang ke acara mereka? sedangkan mereka terlalu pengecut untuk mengatakan kebenarann itu padaku,”
“Coba kamu pikir, kamu itu siapa? Dewa sudah menganggapmu mantannya.”
“Setidaknya dia harus merasa bersalah padaku. Temanku yang akan menjadi pendampingnya!”
“Dewa tidak tahu kalau kamu dan Nania berteman,”
“Apa?” Aku menatapnya tak percaya, “Aku tidak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan.”
“Nania tidak pernah bercerita pada Dewa kalau dia berteman denganmu,”
“Nan...Nia...” aku tergagap.
“Nania takut, kalau dia bercerita tentangmu pada Dewa, maka Dewa akan resah dan pernikahan yang di impikan Nania akan sirna hanya karena Dewa berpikir kalau antara kalian ternyata bersahabat,”
“Bukankah itu artinya Dewa masih berpikir tentangku?” rasa tak ingin mengalah terus saja menderu dan memaksaku untuk terus memperjuangkan posisiku.
“Tentu saja, karena itulah Nania menginginkan bantuanku. Dia ingin aku datang dan menjelaskan ini padamu,”
“Pengecut!”
“Bagaimanapun, Dewa bukan satu-satunya pria di dunia ini, Stev!”
Aku selalu tahu itu. Dewa bukan satu-satunya spesies jantan yang ada di dunia ini. Masih banyak lagi laki-laki yang bisa lebih jantan dan lebih baik darinya. Permasalahan hanya ada dia di dalam hatiku. Ruang di hatiku ini terlalu sempit dan sudah di penuhi dengan nama Dewa di dalamnya. Aku tak bisa menerima lelaki lain yang bahkan lebih sempurna darinya. Bahkan aku memilih untuk membekukan hatiku pada setiap pria yang menginginkanku sebagai pendampingnya.
Hingga aku bertemu dengan Veno sejak delapan tahun lalu dan dialah yang menyembuhkanku dari segala sakit yang ditimbulkan Dewa padaku. Sejenak aku berpikir untuk merubah haluan seksualitasku menjadi sama seperti Veno, tapi sayang, aku tak bisa sama sepertinya. Jiwaku tetap normal dan tak bisa di belokkan. Bahkan Veno terus menerus mendorongku agar tidak masuk pada dunia yang sama dengannya.
Aku rasa keputusan untuk harus merelakan Dewa menjadi milik orang lain seutuhnya adalah benar. Begitu banyak kisah di dalam buku dan film dengan cerita yang sama sepertiku. Tapi ketika mengalaminya sendiri, siapa tahu begitu sakit seperti ini. Terasa akan lebih baik kalau hatimu terbelah dan beradarah-darah, dari pada melihat lelaki yang kau cintai duduk dengan senyum bahagia di pelaminan bersama sahabatmu yang sampai saat ini wajahnya masih bisa kau lihat setiap saat.
“Cinta itu adalah kerelaan. Melihatnya bahagia, itu adalah cinta. Meskipun sakit, tapi cinta yang benar adalah seperti itu. Sesungguhnya, yang sebenarnya cinta itu adalah yang benar-benar mencintai dalam keadaan apapun. Termasuk dalam keadaanmu yang seperti ini,” ujar Veno. Seperti biasa dengan kata-kata bijaknya. Tapi sayang, hatiku masih terlalu kaget.
Aku rasa, aku benar-benar sudah mengutuk diriku sendiri bahwa aku tak menyukai laki-laki. Tapi aku juga tidak bisa menjadi tidak normal dalam berhubungan seperti Veno. Aku hanya tidak ingin menggantikan nama Dewa dari dalam hatiku, itu saja. Dan beginilah ternyata rasanya mencintai. Sakit itu malah seperti morvin yang terus kau hirup untuk meredakannya.
Tiba-tiba saja bayangan Dewa dan Nania yang sedang tertawa bahagia di pelaminan membuatku muak. Untuk sesaat, ingin rasanya aku keluar dari Resaturan ini dan berlari ke ujung jalan di luar sana, kemudian mengambil batu-bata dan melemparkannya ke segala arah. Atau aku akan berlari sekencang-kencangnya dengan sepatu hak tinggiku ini hingga membuat kakiku berdarah-darah atau bahkan patah dan aku tak bisa berjalan lagi. Mungkin juga aku bisa menabrakkan diriku ke Busway yang sedang melintas.
Aku benar-benar dibuat gila mendadak. Kupegangi kepalaku baik-baik, tiba-tiba saja aku takut kalau tiba-tiba bagian tubuhku yang satu ini lepas dari leher. Veno menyentuh lembut daguku dan mengangkatnya tepat hingga mataku yang buram oleh air mata menatap wajah manisnya. Wajah maskulin yang seperti laki-laki dan wajah yang selalu membuatku ringan setiap kali aku memikirkannya.
“Kamu masih punya aku, Stev. Kita sahabat. Kali ini aku tak akan meninggalkanmu, kita pergi saja ke Kalimantan,”
Air mataku mulai berurai dan tak mampu kubendung lagi. Rasanya memang keputusan tepat jika aku melarikan diri. Aku sangat ingin melarikan diri.
Sekembalinya aku ke Kantor, kudapati Nania selesai menelepon seseorang. Senyumannya tetap sama seperti dua jam lalu. Tatapan matanya, tingkah lakunya, bahkan semuanya. Masih tetap sama dan tidak ada gurat rasa bersalah disana. Kusembunyikan baik-baik rasa sakit yang menyesakkanku hingga membuatku tiba-tiba ingin muntah. Aku tampak bodoh di hadapannya.
“Mbak Stevi nggak kenapa-napa?” tanyanya begitu melihatku duduk ditempatku.
Kepalaku menoleh ke arahnya. Senyumanku terlempar begitu saja. Ku raih tangannya yang selembut kain sutera. Dia merawat dirinya dengan baik, pantas saja kalau Dewa memilihnya. Lelaki itu menginginkan wanita yang bisa menyenangkannya, baik luar maupun dalam. Dan Dewa mendapatkannya pada Nania.
Tiba-tiba rasa iri melandaku, seandainya saja aku bisa merawat diri seperti halnya Nania, pasti aku bisa mengembalikan Dewa ke tanganku. Tapi seperti apa yang di katakan Veno padaku tadi sebelum dia pergi, takdirku berkata lain. Percuma jika aku menyesalinya. Mungkin memang benar sudah saatnya aku harus mencari sosok lain yang bisa kujadikan pendamping. Usiaku hampir tiga puluh tahun dan aku tidak mau terus seperti ini.


Seminggu kemudian, tepat di hari perkawinan Nania dan Dewa yang diadakan di Malang, kukirimkan sebuah mawar putih segar dan sebuah bingkisan berawarna putih dengan pita yang berwarna perak, juga sebuah kartu ucapan Selamat yang kutulis sedikit panjang.

Dear Dewa dan Nania
Atas nama hatiku yang sudah beku. Aku mencoba ikhlas dan merelakan semuanya. Butuh waktu yang sangat lama untuk bisa sembuh dari semua ini. Aku terlalu tak tahu diri dengan perasaanku, dan itu sebabnya selama ini aku menjadi wanita yang tersiksa luar-dalam. Tapi itulah aku, wanita bodoh yang tidak pantas untuk di pilih oleh siapapun.
Aku pergi, melarikan diri, dan mencoba menjadi pengecut juga pecundang yang sama seperti kalian. Tapi inilah aku. Wanita yang tak pernah memiliki otak logis dan sering berbuat konyol.
Selamat menempuh hidup baru. Cintaku untuk kalian. 
Dari jiwa kosong yang konyol dan tak tahu diri. 
Stevi Amalia.

-----END-----

No comments:

Post a Comment