TIGA
Mampang Raya, 25 Oktober 2012 : 09.12 WIB
Jol berdiri di depan gerbang sebuah rumah minimalis dengan pagar hitam yang memisahkan jalanan komplek dengan garasi. Rumah yang ada di daerah komplek Mampang Raya itu kelihatan di tinggal penghuninya. Tapi Jol tetap bersikeras meneriakkan nama Reta dari luar. Hingga seorang wanita paruh baya dari rumah sebelah keluar untuk menemuinya. Itu karena Jol terlalu berisik.
“Nyari siapa, Dik?” tanya wanita itu.
“Saya temannya Reta, Bu,” jawab Jol sesopan mungkin.
“Kemarin siang Reta di bawa keluarganya ke Bukittinggi. Kayaknya dia di pindahin kuliah ke Padang. Tapi gossipnya juga bilang, katanya mau di nikahin sama Abang iparnya. Turun ranjang!”
Jol menautkan alisnya. “Bukittinggi?” mata Jol mulai panas dan pandangannya mendadak berkunang-kunang. Apalagi setelah mendengar gossip murahan itu.
“Iya. Kemarin siang mereka jalan. Saya sempat tanya sama Mamanya. Katanya sih mau ke rumah neneknya Reta. Kalau nggak salah kan asal mereka dari Padang.”
“Benar mau pindah, Bu?”
Wanita paruh baya itu menggeleng. “Nggak tahu juga. soalnya Abangnya Reta sendiri yang bilang kalau mau nitip rumah dan nggak tahu berapa lama. Lagian, ayahnya Reta katanya lagi sakit. Mungkin itu sebabnya mereka pergi.”
Jol tidak tahu harus bagaimana. Tulang-tulangnya terasa meleleh hingga dia tidak kuat untuk menyangga tubuh. “Saya boleh tahu alamatnya, Bu?”
“Kamu ini siapanya?”
“Saya temannya. Teman dekatnya Reta.”
“Tapi saya nggak punya alamatnya,” jawab wanita itu seolah menjadi kata-kata terakhir. Dia langsung masuk ke dalam rumahnya dan membiarkan Jol sendirian di depan rumah Reta.
Jol kebingungan. Sudah sejak semalam dia tidak bisa menghubungi Reta. Bahkan sepagian dia sudah mencoba menghubungi Reta. Tapi tidak bisa juga. Jol mendadak merasa frutasi dan sangat ingin bunuh diri saat itu juga. Tapi ada satu sisi bagian dirinya yang menyuruhnya untuk tetap semangat dan berpikir realistis.
Dengan satu gerakan, Jol langsung menaiki motor Kawasaki Ninja milik Avi yang sejak pagi sudah di pinjamnya. Motor itu mengaum memecah kesepian suasana komplek sebelum melesat menuju rumahnya sendiri.
Violey Cafe : 13.12 WIB
“Ju, jaga Cafe ya!” pesan Jol begitu masuk kedalam Cafe seraya melemparkan kunci motor Avi di meja.
“Ini kuncinya Neji. Kak Jol mau kemana?” tanya Aju bingung. Apalagi saat melihat Jol sudah berpakaian rapi dan membawa ransel lusuh kesayangannya.
“Gue mau ke Bukittinggi.”
“Hah? Lo ada saudara disana?”
Jol menggeleng. “Gue mau nyusul Reta.”
Aju segera meraih lengan Jol dan menariknya kuat hingga Jol terduduk di sofa Cafe. “Tunggu, jangan bilang lo mau bertempur beneran?”
“Gue nggak bisa tinggal diam, Ju. Gue nggak rela lihat Reta di jodohin sama Datuk Maringgi.”
“Iya, gue paham. Tapi apa nggak sebaiknya di pikir lagi? emangnya lo udah pegang alamatnya Reta?”
“Tadi gue kontek sama temennya Reta di twitter. Temen SMA. Gue langsung dapat alamatnya. Meskipun sedikit meragukan, sih. Tapi gue berusaha yakin, kalau jodoh, pasti bakal di kasih petunjuk.”
Aju menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalau ada apa-apa sama lo gimana?”
“Ambil aja Cafe gue. Nggak masalah selama lo yang pegang kendali,” jawab Jol seraya bangkit berdiri. “Udah ya, gue cabut.”
“Kak, lo jangan gila, dong. Pikirin dulu pake kepala dingin.”
Tangan Jol meraih kedua bahu Aju dan menekan kuat-kuat disana. “Sekarang gue bener-bener sadar. Yang namanya cinta itu emang kudu berkorban. Selama ini gue cuma bisa ngajarin kalian tanpa gue tahu sendiri gimana rasanya. Sekarang, Tuhan bener-bener ngasih petunjuk ke gue. Dan gue janji, ini akan jadi yang pertama sekaligus yang terakhir gue nekat kayak gini.”
“Atas dasar apa lo ngomong kayak gitu?”
Jol menepuk dadanya yang rata. “Hati, Men. Dan ini nggak lebay!”
“Halah!!” Aju tersenyum geli.
“Oh, iya. Turun ranjang itu apa?”
Aju melongo. “Ya turun ranjang, gue rasa. Emang kenapa?”
“Tadi gossipnya Reta mau di jodohin. Turun ranjang. Gue nggak paham.”
“Oooh...” Aju mengo-oh. Jol tidak mungkin tahu istilah itu. Karena sebagian besar istilah itu di gunakan di Indonesia. “Itu loh, semacam kayak abang ipar yang nikahin adik iparnya gara2 istri abangnya itu udah meninggal.”
Jol terlihat berpikir keras. “Indonesia itu adatnya rumit banget!” kata Jol yang di barengi dengan bertolak langkah dan langsung melesat keluar Cafe mencari taxi untuk menuju Bandara.
♀♀ ♀
Aku ingin tenggelam
Tapi samudera sudah surut
Aku ingin tidur yang lama
Tapi aku harus bangun
Seseorang di bawah pelangi menungguku
Rambutnya tertiup angin musim dingin
Apa musim semi masih jauh?
Semoga hatiku akan hangat dalam pelukannya
Aku datang...
Aku datang, Cinta...
Padang : 03.12 WIB
Perjalanan dari Jakarta-Padang memakan waktu sekitar satu setengah jam. Sampai di Bandara Minangkabau, Jol langsung bergerak mencari taksi yang ada di bandara. Ransel di bahunya yang berisi beberapa pakaiannya langsung di masukkan kedalam bagasi. Pertama-tama. Dia harus mencari tempat penginapan dulu di Bukittinggi. Jol sama sekali tidak peduli berapa uang yang harus dia keluarkan. Dalam otaknya hanya ada nama Reta yang menggema di setiap sarafnya.
Ini pertama kalinya Jol melakukan perjalanan ke Padang. Dia tidak tahu kalau perjalanan dari Padang Kota ke Bukitinggi bisa hampir dua jam. Beberapa kali dia menghubungi Avi untuk menanyakan jarak tempuh dari Padang Kota ke Bukitinggi. Hingga akhirnya dia melihat jam gadang yang ada di tengah kota. Mendadak hatinya merasa lega.
Aku sampai, Ret...
Saat sang sopir bertanya pada Jol dia akan turun dimana. Rencana Jol ingin turun di sebuah Hotel musnah sudah. Mendadak dia bingung harus menuju kemana dan hotel apa. Hanya satu jurus yang dia punya dalam hal perjalanan buta itu. Avi. Anak itu mengerti betul seluk beluk kota Padang. Bahkan mungkin seluruh pulau Sumatera dia paham. Karena ini adalah pulaunya.
“Kakak turun di komplek Pakoan Indah Pemda Agam aja. Aku punya teman disana. Nggak usah nginep hotel. Biar aku yang nego anaknya.” suara Avi menggema di handphone.
“Gue pengennya di Hotel aja, Men. Biar bisa santai dan nggak ngerepotin orang.”
“Santai, Kak. Dia itu masih saudara jauh sama aku. Dan lagi, biar aku bisa nyusul kakak.”
“Apa?”
“Aku nggak akan ngebiarin kakak keluyuran gitu aja. Makanya, kalau mau kemana-mana itu ngomong. Diskusi dulu. Jangan main ilang gitu aja!”
Jol tersenyum didalam mobil. “Thanks, Vi. Tapi nggak usah!”
“Percaya aku, Kak. Misi lo itu deatmacth dan bener-bener butuh temen. Lo nggak bisa sendirian!”
“Gue bisa, Vi.”
“Bukan waktunya berdebat, Kak. Pokoknya kakak turun di tempat yang aku bilang tadi aja. Biar temenku ntar yang jemput.”
Jol merasa ironis pada dirinya sendiri. Meskipun dia tahu apa yang harus dilakukannya. Tapi tetap saja dia merasa masih seorang manusia yang membutuhkan bantuan orang lain. Tapi benar apa kata Avi. Tidak ada waktu berdebat lagi. Secepatnya dia harus mencari tempat menginap lebih dulu. Meskipun dia bisa tinggal di Hotel. Tapi setelah di pikir lagi, saran Avi jauh lebih bagus. Dia membutuhkan orang yang bisa mengarahkannya ke rumah Reta.
Taksi yang tadinya dipelankan karena Jol harus menghubungi Avi dulu, kini bisa di jalankan dengan cepat. Mobil segera melaju ke komplek Pemda Agam dan turun di gerbangnya. Ternyata letaknya tidak begitu jauh. Jol benar-benar merasa lega karena sudah sampai. Tapi sekaligus merasa khawatir, takut tidak bisa menemukan Reta.
Setelah sampai, Jol langsung turun dan mengambil ransel di bagasi taksi dengan tangannya sendiri. Sopir taksi itu kelihatan aneh melihat Jol yang gayanya cuek dan seolah sudah mengenal baik tempat itu. Dari dalam tasnya, Jol langsung mengeluarkan dompet dan membayar taksi itu sesuai argo.
Bokongnya terasa panas karena hampir dua jam duduk di dalam mobil dengan kaki di tekuk. Apalagi telinganya masih terasa pengang gara-gara tekanan udara di pesawat saat landing. Kepalanya sakit. Sekaligus dia lapar.
“Jolie?” sapa seseorang dari dalam mobil Honda Jazz berwarna hijau.
Jol melongok kedalam mobil. Seorang cewek dengan rambut panjang dan senyum merekah menatapnya dengan ramah. Jol membalas sapaannya dengan tersenyum.
“Aku Icha. Teman Lea,”
Jol mengerutkan keningnya. Heran untuk beberapa saat. Dia baru ingat kalau di Sumatera, Avi sering di panggil dengan sebutan Lea. Itu panggilan dari Orang tua Avi. Sedangkan panggilan ‘Avi’ itu adalah Jol yang memberikan.
“Yeah, gue Jolie.”
“Masuk!”
Cewek itu langsung membukakan untuk Jol dan tanpa menunggu waktu lama, Jol masuk. Duduk di bangku penumpang sambil memeluk ranselnya. Mereka basa-basi seadanya ketika mobil sudah berjalan. Hingga tak berapa lama, mereka sampai di depan sebuah rumah minimalis yang kelihatan kecil di luar tapi Jol yakin, rumah itu pasti harganya mencapai ratusan juta rupiah.
22.07 WIB
Malam pekat di Bukittinggi. Jol lebih memilih untuk mengurung dirinya di dalam kamar daripada keluar meskipun itu hanya untuk sekedar berbasa-basi. Mood-nya sedang hilang untuk bicara dengan orang lain. Bahkan ketika jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam, Jol masih belum bisa menutup matanya. Dia bingung. Kepalanya terus di penuhi dengan rencana-rencana yang tidak pernah dia yakini akan berhasil atau tidak.
Suara TV di ruang keluarga yang berada persis di depan kamarnya masih menggema. Jol yakin seratus persen Icha masih belum tidur. Mendadak pikirannya sedikit teralihkan dengan Icha. Di rumah yang besar itu, dia hanya tinggal sendiri dan bahkan Jol tidak melihat ada foto keluarga yang terpajang di dinding. Hanya saja ketika dia melintas di ruang keluarga sebelum masuk ke kamar, Jol melihat foto Avi sewaktu masih duduk di bangku SMP bersama dengan Icha. Jol menahan tawanya tadi, melihat Avi yang tidak banyak berubah. Dan yang lebih menggelikan lagi, anak itu memakai rok SMP.
Tiba-tiba, Jol jadi ingin keluar kamar. Dia akan pura-pura ke dapur untuk mengambil air minum, lalu masuk ke kamar lagi. Sebenarnya dia hanya ingin melihat foto Avi jaman masih ABG labil dulu.
“Hay, Jol. Laper?” sapa Icha dengan suara ramahnya begitu melihat Jol keluar dari kamar.
Jol menggeleng. “Haus.”
Icha mengangguk sekilas. “Mau nonton TV?”
“Acara apa?”
“Law and Order.”
“Suka nonton acara itu?”
Icha mengangguk antusias. Tapi Jol tidak begitu peduli. Kakinya melangkah ke dapur untuk mengambil minum. Dengan langkah yang terseret-seret karena malas, Jol kembali lagi ke ruang keluarga dengan gelas berisi air yang ada di tangannya.
“Aku besok yang akan membawamu ke rumah pacarmu. Aku tahu tempatnya,” kata Icha begitu melihat Jol sudah kembali dan berdiri beberapa meter di sebelah kirinya.
“Darimana kamu tahu?”
“Lea yang cerita. Bukannya kamu tadi nanya dia?”
Jol mengangguk. “Thanks,” tatapannya tertuju pada foto berukuran 10R dengan bingkai kayu bercat pink. Foto Avi dan Icha yang saling berpelukan. Jol merasa geli sendiri.
“Itu foto kita waktu masih SMP,” Icha tersipu. Seolah tahu bahwa Jol sedang memperhatikannya dan Avi melalui foto kenangan di masa lalu. “Meskipun masih saudara. Tapi aku udah suka Lea sejak dulu, bahkan sebelum dia memutuskan menjadi Butchi. Tapi sayangnya, dia dan hatinya lebih memilih Vega.”
Jol terkesiap. Tidak tahu kalau selain ada nama Vega di belakang sejarah percintaan Avi, masih ada lagi satu nama yang saat ini bisa di jumpai Jol, yaitu Icha. “Apa sejak sebelum SMP Avi udah Sexual Deviant?”
Icha mengangguk. “Dulu kalau dia kesini bersama Popo. Kami sering tidur bersama. Dan melakukan beberapa permainan konyol,” terang Icha. Jol menatapnya sambil tersenyum. Karena itu Icha merasa tidak apa-apa jika melanjutkan ceritanya. “Kami sering ciuman. Ciuman anak kecil. Meskipun main-main, tapi Lea sering bilang kalau suka aku. Tapi kenyataannya setelah besar, dia malah suka pada Vega. Tetangga sebelahnya. Tapi biarpun begitu, aku masih tetap suka Lea.”
“Apa yang kamu suka dari Avi?”
“Dia baik. Itu saja. Dan dia berani menyatakan perasaannya pada cewek yang benar-benar dia suka. Satu cewek yang mungkin sampai saat ini namanya masih melekat di dalam hati Lea. Cinta pertamanya. Sekaligus cewek yang udah bisa membuat Avi begitu berani memilih kehidupannya sendiri hingga bisa mempengaruhi pandangan hidup kedua orang tuanya,”
Jol mengangguk setuju. Dia sudah tahu banyak cerita mengenai masa lalu Avi. Tapi ternyata masih ada lagi satu cerita yang tidak dia tahu, yaitu tentang Icha. Jol tahu rahasia dan bagaimana masa lalu beberapa anak yang ada di komunitasnya. Terlebih lagi Aju dan Avi. Dua anak yang sekaligus sering bertindak menjadi wakilnya.
“Cha, kenapa kamu tinggal sendirian?” tanya Jol seraya bergeser duduk di lengan sofa di dekat Icha.
“Orang tuaku cerai. Udah lama. Sejak aku SMA kelas dua. Dulu aku tinggal sama pacarku. Butchi juga. Tapi kami nggak bertahan lama. Dia nggak suka pacaran sama anak sekolahan. Katanya terlalu labil dan alasan kami menjadi seperti initerkesan mengada-ada,” Icha mulai mencurahkan isi hatinya. Jol masih tetap memandangnya dan mendengarkan ceritanya dengan tenang. “Aku rasa dia masih belum percaya kalau sexual deviantitu bisa terjadi pada anak berusia empat belas tahun. Meskipun kenyataannya, sexual deviant itu banyak ditimbulkan karena lingkungan. Tapi aku dan Avi—kami merasa bukan seperti itu. Entahlah, sejak kecil, meskipun aku tidak punya kromosom Y yang berpengaruh banyak, tapi aku benar-benar tidak suka sama cowok.”
“Kamu putus?”
Icha mengangguk. “Udah lama dan sekarang aku lebih nyaman hidup sendiri kayak gini.”
“Kamu nggak kesepian?”
Icha menggeleng dengan senyum yang hambar. “Aku udah biasa. Justru dengan kesepian kayak gini akan lebih baik.”
“Usia kamu berapa? Kenapa kamu nggak merrid?”
“Aku belum siap,”
“Belum siap?”
“Part of me, aku di tarik oleh orientasi seksualku yang... menyimpang. Another part of me, aku juga sebenarnya butuh pendamping. Aku... ingin punya anak dengan cara yang normal. Apa laki-laki itu baik untuk orang sepertiku?”
Jol mengangkat bahu. “Nggak tahu, karena aku nggak akan pernah milih cowok. Tapi jika kamu memilih cowok hanya untuk mengambil spermanya saja, lebih baik lupakan. Jangan pernah menyakiti hati mereka dengan cara seperti itu. Masih banyak jalan yang lain.”
“Kenapa kamu pikir kalau aku akan menyakiti mereka dengan cara seperti itu?”
“Karena kamu akan selalu bertemu dengan cowok-cowok baik dalam hidupmu, Cha.”
Icha mengerutkan keningnya. Masih belum paham dengan maksud Jol. Bahkan ketika Jol beranjak dari duduknya, Icha langsung menahan tangan Jol dan menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Jol menyerah dan menatap Icha dengan lembut. “Aku rasa, aku belum bilang sama kamu kalau aku bisa melihat watak seseorang meskipun baru pertama kali bertemu.”
“Watak?”
Jol mengangguk. “Aku hanya punya saran sama kamu. Jangan pernah berhubungan sama cowok jika itu hanya untuk menutupi rasa penasaran kamu. Karena cowok-cowok yang akan kamu temui itu adalah orang-orang baik yang menginginkanmu apa adanya. Mereka benar-benar makhluk yang serius dan menginginkan pendamping. Berbeda denganmu yang sangat sosialita. Terlalu ekstrovert dan gampang bosan, apalagi bercinta di tempat yang sama. Kamu suka coba-coba karena kamu selalu menyukai hal baru. Tapi percayalah padaku, kemungkinan untukmu setia dan memilih satu pasangan yang cocok itu hanya enam puluh persen. Itupun karena kamu terpaksa oleh keadaan. Karena kamu membutuhkan cinta yang semestinya.”
Icha mengedip-kedipkan matanya seperti dim mobil. Dia tidak tahu harus lega atau malah kecewa pada dirinya sendiri.
♀♀ ♀
No comments:
Post a Comment