Thursday, November 21, 2013

VIOLEY 2 : AVI - "SINCERELY" - Empat

EMPAT



Kelapa Gading. 8 Oktober 2012 : 08.56 WIB

September dan Oktober adalah dua bulan yang  sudah membuat semangat Avi melonjak naik 90% setiap harinya. Dan Oktober tahun ini akan menjadi bulan yang menarik untuk Avi. Pasalnya, makhluk yang di diidolakannya sejak dia masih duduk di kelas satu SMA akan datang untuk mengadakan show di Hard Rock Caffe Jakarta dua hari lagi. Miyavi. Saking semangatnya, dia sampai tidak sabar menunggu hari itu tiba.
Akan tetapi tidak dengan pagi itu. Semangatnya mendadak surut dan dia langsung tidak bergairah. Ketika dia membuka pintu, didapatinya Manda sudah berdiri di depan pintu rumah. Dengan tas besar seperti sebelum-sebelumnya. Avi menatap Manda jengah. Tapi Manda seolah tidak peduli dan langsung memeluk dan mencium Avi.
Sorry, Beib. Aku waktu itu nggak pamit. Aku ada kerjaan di Makasar,” kata Manda dengan manja.
Avi tidak balas memeluknya. Bola matanya berputar ke atas. Lelah. “Terus?”
“Aku pulang, honey. Kok kamu kayak nggak seneng gitu sih?”
Avi melepaskan pelukan Manda. “Oke. Hari ini aku ngasih ijin kamu buat nginep disini. Tapi cuma satu hari. Dan aku mohon jangan ganggu Esa.”
Manda mengerutkan dahinya. “Emang selama ini apa yang udah aku lakuin ke dia? Dia yang musuhin aku duluan,”
“Oke. Aku nggak mau debat. Kamu tidur di kamar tamu aja. Soalnya kalau Esa ngelihat kamu di kamarku, dia pasti ngamuk.”
Manda menatap Avi jengkel. Tasnya di banting begitu saja. “Kamu ini masa kalah sama adek? Dia itu masih kecil. Masa kamu biarin dia yang ngatur-ngatur kamu. Lagian kamar kamu itu kamarku juga. Jadi aku berhak tidur disana!”
“Manda!!”
“Bawain tasku. Aku capek!” kata Manda yang langsung nyelongong begitu saja masuk rumah.
Avi mengangkat tangannya. Menyerah. Dia tidak ingin berdebat di hari yang sudah membuatnya semangat. Kali ini dia memaafkan kekurang ajaran Manda. Tapi lain kali, Avi tak akan pernah mebiarkannya.
Ketika melintas di ruang tengah. Seperti yang sudah Avi duga. Manda berbelok ke dapur dan langsung membuka kulkas. Mengambil sebuah puding yang  ada di mangkuk dan langsung memakan di tempat. Avi tidak peduli, dia tetap melangkah ke kamarnya. Tapi saat di puncak tangga, Avi tak bisa mengelak. Esa sudah menatapnya dengan penuh amarah yang siap meledak. Tangannya bersendekap di dada.
“Gue udah bilang sama Kakak. Kalau Si ular itu balik lagi,  siapin peti mati. Karena gue yang bakal nebas lehernya!” ujar Esa dengan tatapan dingin.
Avi menghela nafas. Hari ini tidak sesuai harapannya. Harinya yang penuh semangat ini akan di hancurkan oleh Manda dan Esa. Avi sudah tahu itu akan terjadi beberapa detik lagi.
“Esa, balik ke kamar. Tidur. Jangan maksain diri. Kamu itu masih sakit!”
Esa menatap kakaknya dengan tajam. “Jangan berani-berani lo melangkah satu tangga lagi. Kalau sampai lo melangkah satu tangga lagi. Gue bakal minggat!”
Belum sempat Avi akan mengutarakan jawabannya. Manda muncul di bawah tangga. Esa segera turun tangga dan menuju dapur. Avi masih bingung dengan Esa yang buru-buru turun. Tapi dia kemudian bisa menduga apa yang membuat Esa marah. Mangkuk kotor bekas puding yang di makan Manda. Avi langsung buru-buru turun mengejar Esa sebelum ada UVO melayang di rumah itu.
Seperti hembusan angin yang sangat cepat. Mangkuk itu melayang di udara dan melintasi wajah Avi. Hampir saja mangkuk itu mengenai Manda jika cewek itu tidak menghindarinya. Esa yang melempar mangkuk itu ke arah Manda dengan tatapan kesal.
“Lo mau bunuh gue, ya?!” bentak Manda dengan geram.
“Mati aja lo!”
“Sialan lo! Nggak ada bosen-bosennya ya lo nyari gara-gara sama gue!” Manda langsung melangkah menuju arah Esa dan siap melakukan sesuatu.
Avi segera berlari dan menahan Manda agar jangan sampai mencapai adiknya. Tapi telat, tangan Manda sudah melayang di pipi adiknya. Suasana mendadak hening setelah bunyi tamparan keras di pipi Esa. Dengan mata nyalang Esa menatap Manda. Matanya memerah karena merasakan perihnya. Avi langsung lemas begitu melihat wajah adiknya merah seolah semua darah sedang bermigrasi ke kepalanya. Manda terlihat puas begitu melihat Esa seolah akan menangis.
“Udah, stop!” ujar Avi pelan.
Sayangnya peringatan itu tidak ada yang menggubris. Tangan Esa meraih rambut Manda dengan cepat dan menekannya ke bawah. Avi langsung panik begitu melihat Manda kesakitan dan meminta tolong padanya. Tapi tidak berapa lama, Manda bisa melepas genggaman tangan Esa dari rambutnya dan malah ganti Manda yang langsung meraih leher Esa. Menekan tangannya kuat-kuat di leher Esa.
Avi melihat itu dengan jelas. Adiknya berusaha mencakar lengan Manda. Tapi sayangnya gagal. Kondisi tubuhnya terasa lemas. Avi melihat adiknya kesakitan di depan matanya. Bahkan berusaha melepas tangan Manda dari lehernya. Tapi tetap gagal. Manda terus menekannya. Avi memperhatikan Manda. Amarah cewek itu kelihatan sangat jelas dan begitu ingin menghabisi adiknya.
Reflek tangan Avi langsung memiting leher Manda dan dengan kuat Avi menahannya. Membuat Manda melepaskan tangannya dari leher Esa hingga Esa langsung terbatuk-batuk. Wajahnya pucat dan menatap kakaknya dengan ngeri. Raungan dan teriakan Manda yang kesakitan tidak membuat Avi mengendurkan pitingannya. Bahkan terus memeluk leher Manda kuat. Ketika Manda berusaha menyikut perut Avi bahkan juga mencakar wajahnya, saat itu Avi seolah kena telak. Dia langsung melepaskan Manda.
“Lo udah gila ya, Vi...”
Amukan Manda terhenti karena Avi sudah meraih tangan cewek itu dan menariknya keluar rumah. Avi menyambar tas Manda yang sebelumnya terjatuh di lantai. Lalu membawa Manda keluar pintu rumahnya meskpun cewek itu terus protes. Telinga Avi seolah sudah pengang dan tidak peduli lagi dengan Manda. Justru Avi langsung melempar Manda keluar rumah. Lalu melemparkan tas itu ke arahnya.
“Jangan pernah kembali lagi. Kalau nggak, gue bakal lapor polisi atau nyuruh Kak Jol buat eksekusi lo!” ujar Avi dengan tatapan dingin.
Esa menyusul ke depan dengan langkah gontai. Avi langsung memeluk adik satu-satunya itu dengan lembut. Manda memandang mereka dengan geram. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain hanya berteriak dan memaki Avi dan juga Esa. Beberapa karyawan toko Avi keluar dan bertanya apa yang terjadi. Avi hanya tersenyum pada mereka.
“Ada orang gila, Bang. Usir dia!” perintah Avi pada anak buahnya.
Kenyataannya, Kang Daduk yang langsung maju dan menarik Manda hingga keluar dari pelataran. Kemudian Kang Daduk menghentikan angkot yang sedang melintas dan langsung memasukkan Manda dengan paksa ke dalam angkot. Semua orang yang ada di dalam sana melihat Manda beserta tas besarnya  dengan heran. Bahkan saat Manda merutuk dan memaki Kang Daduk, juga Avi dan adiknya. Semua orang yang ada di dalam angkot itu malah melihat Manda dengan perasaan ngeri.
Di dalam rumah Avi sendiri, Esa langsung mendekati kakaknya yang sedang membenamkan seluruh wajahnya di dalam telapak tangan. “Kak, I’m sorry. But try to remembering. How Manda made love to you. Did she handle you like a tool? Or did she love you properly?
Avi mengangkat wajahnya yang terlihat sembab. Ada bekas cakaran Manda di pipi kiri kakaknya. Esa langsung mengusap luka itu. Tapi Avi malah langsung memeluknya.
I’m sorry. I should get better. But... What I did... you are my precious sister... I’m sorry.” katanya dengan sangat menyesal.

♀ ♀ ♀


Jl.Ampera : 13.45 WIB

Toko roti itu sedang sepi pengunjung. Sejak Avi dan Amel duduk berhadapan, hanya ada dua pasang ABG yang masih SMP duduk di dekat pintu masuk. Sedangkan Avi dan Amel mengambil tempat duduk paling pojok. Menjauh dari pandangan orang.
Seperti biasa, mereka akan sama-sama memesan minum Coffee Chocolate. Tapi tidak dengan kuenya, Amel akan mengambil lebih banyak dari porsi milik Avi. Seperti paham dengan kebiasaan Amel, Avi terkadang memesan Cheese Cake dan khusus akan di berikan pada Amel nanti setelah cewek itu lapar lagi.
“Kamu udah ijin kan kalau mau pulang malem?” tanya Avi sedikit khawatir.
“Gue punya batas waktu sampai jam dua belas malem. Kalau itu malem minggu. Selain itu, enggak bakal di bolehin.” Jawab Amel dengan mulut penuh mengunyah donat. “Jadi, lo mau bawa gue kemana?”
“Violey.” Jawab Avi pendek.
Amel menatap temannya itu sedikit heran. “Ada masalah?”
Dengan kepala tertunduk seolah sedang berduka. Avi mengeluarkan suaranya pelan. “Aku putus sama Manda. Nggak secara deklarasi. Tapi aku rasa itu udah jelas buat kami.”
Amel membenahi kacamatanya. Memperhatikan baik-baik wajah Avi. “Pipi lo kenapa? Kayak habis kena cakar. Jangan-jangan...”
Avi tersenyum kecut. “Iya. KDRT.”
Seperti yang sudah di bayangkan Avi. Amel tertawa terbahak-bahak hingga suaranya menggema di seluruh ruangan ber-AC itu. Beberapa pegawai toko roti itu memandang Amel dengan tatapan heran sekaligus aneh. Avi bisa memastikan apa yang mereka pikirkan tentang Amel: NORAK!!
“Jadi apa itu berita bahagia sampai lo pengen ngajak gue keluar?”
Nafas Avi terhela. “Karena aku mengkhawatirkan Esa. Aku nggak suka ada yang nyakitin adikku bagaimanapun bentuknya. Dan ternyata yang melakukan kekerasan itu malah Manda.”
“Percaya atau enggak, Vril. Lo sama Manda itu hubungannya absurd. Kalau dari kacamata gue. Itu sama aja kayak gue, sama sahabat gue tinggal dalam satu kamar kos dan tidur di tempat tidur yang sama. Cuman bedanya, kalau gue sama soib gue tidurnya beda selimut. Sedangkan lo satu selimut!”
“Penjelasanmu lebih absurd lagi, Mel.”
Amel tidak meneruskan kata-katanya. Sebab jika dia mengatakan apa yang sedang di pikirkannya dan itu sangat normatif sekali. Jelas itu akan menyinggung Avi. Karena itu berkaitan erat  dengan kehidupannya sebagai Butch.
“Jangan-jangan elo sama Manda udah...” Amel memicingkan matanya dengan tatapan curiga.
Avi gelagapan tiba-tiba. “Apa sih, Mel. Jangan mikir yang aneh-aneh, ya. Aku nggak pernah kayak gitu—belum,” ujarnya seolah malu mengakui bahwa dirinya belum mampu.
Amel menggigit donat lagi. “Gue tahu apa yang terjadi antara lo sama Manda. Dan ada hal yang pengen gue peringatin ke elo,” kali ini tatapan Amel berubah serius.
Avi menatap Amel serius. “Apa?”
“Masalah keuangan lo. Gue saranin lo mindahin salah satu tabungan lo dan buka aset lain yang sekiranya nggak bisa terdeteksi. Mungkin bisa di deteksi. Tapi lo bisa pura-pura bilang kalau duit itu di bawa kabur sama Manda—kalau pengen jahat banget plus ngerjain Manda, sih.”
“Tunggu. Apa maksudnya ini?” Avi melihat lurus ke arah mata Amel dan bergantian melihat bola mata Amel dari kanan ke kiri dan kembali ke kanan. Seolah dia sedang mencari tahu sebuah keberanaran. “Tahu darimana kalau aku dan Manda...”
“Ko Daniel yang cerita. Karena itu dari kemarin gue mikir keras. Gimana caranya elo masih punya tabungan sedangkan cepat atau lambat duit lo itu bakal di sita.”
“Di sita?”Avi  terkekeh geli. Tapi Amel mengendikkan bahunya. “Jangan mikir yang terlalu imajinatif deh, Mel.”
“Bursa efek. Sekuritas. Terserah mau masuk yang mana. Atau mungkin lo mau muter duit lo di reksa dana. Itu semua cara cepat buat nyuci duit lo biar nggak ketahuan sama bokap. Atau lo mau masuk sekuritas? Buka akun disana dan lo main saham lokal. Gue rasa lebih aman. Duit bisa lo tarik sewaktu-waktu dan lo pindahin ke tabungan lain.”
Avi melongo. “Aku pernah kepikiran main saham. Tapi nggak pernah kepikiran buat nyuci duit, Mel. Kayaknya kamu bakat dari anggota Dewan, deh. Ntar kalau udah setahun jalan, kamu korupsi. Gimana?”
Amel membelalakkan matanya. “Gue serius ngasih saran. Semua demi tabungan lo terselamatkan. Lagian kalau emang ketahuan bokap. Lo bisa alasan kalau lo mau belajar main saham. Bokap nggak mungkin curiga. Dia juga pasti nggak bakal ngelarang. Ko Daniel mungkin bisa ngedeketsi. Tapi gue rasa dia nggak bakal protes. Karena itu, gue kasih pilihan yang paling aman. Saham lokal. Lo nggak bakal kena fee meskipun nggak main. Trust me!
“Nggak bakal kena fee?”
“Tergantung sekuritasnya juga. Dan saran gue, lo cari sekuritas yang fee-nya paling rendah. Lo buka minimum sepuluh juta juga udah bisa. Bukannya itu hampir setara ama duit foya-foya lo selama seminggu?”
“Jadi di mata kamu. Aku ini kaya banget gitu?”
Amel menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lebih dari kaya, Vril. Lo itu canggih. Cuman aja otak lo masih belum mau kerja. Dan lo tahunya cuma main dan hura-hura.”
“Aku cuma tahu beberapa saham aja. Yang lainnya belum paham.”
“Main aja LQ empat lima. Gampang. Beli aja berapa lot gitu. Habis itu simpen. Ntar kalau harganya udah naik. Net sell, deh!”
“Segampang itu?”
“Ngurus perusahaannya yang susah, Vril. Tinggal main saham gitu aja masa lo nggak berani? Payah!”
“Bukan itu maksudku. Aku hanya bingung. Apa duit itu bener-bener bisa sembunyi?”
“Pilihan lain, lo puter di reksa dana!”
Avi menepuk dahinya. “Aku kayak jadi kriminal.”
“Demi tabungan, Vril. Gue nggak mau ngelihat lo miskin.”
“Tapi ini terlalu tiba-tiba!”
“Akan lebih tiba-tiba kalau lo ngelihat besok bokap lo udah berdiri di ambang pintu dan lusa lo udah nggak megang duit satu sen pun!”
Kepala Avi mendongak. Menatap  Amel dengan ide kriminalnya. Dalam hati Avi sedikit merasa heran, darimana otak kriminal di balik jilbab itu berasal. Tapi bagaimanapun juga, memang sudah saatnya bagi Avi untuk melakukan rencana yang di sarankan Amel. Sebelum semua musnah dan dia miskin.
Ketika Maminya masih di sini kemarin dan meminta penjelasan mengenai saldo toko. Avi tidak bisa banyak bicara. Dia diam. Dia hanya mengatakan bahwa sedang meminjam uang itu dan akan di kembalikan dalam waktu dekat. Tentu saja Avi tak akan pernah mengatakan uang itu untuk apa. Yang jelas uang-uang itu dia pergunakan untuk—Manda. Demi pacarnya itu, Avi rela melakukan segala hal. Merombak kamar agar Manda bisa tinggal nyaman dengannya. Membeli home theater termahal. Shoppinguntuk Manda. Termasuk membeli Iphone terbaru. Masih banyak hal lagi yang dia lakukan untuk Manda. Tapi hampir satu bulan lalu cewek itu menghilang dan kemudian kembali lagi. Lalu membuat keributan. Dan Avi yakin, dampak dari masalah dengan Manda itu akan berakhir panjang. Sangat panjang.
Diam-diam Avi mulai merasa menyesal dengan pertemuannya dengan Manda. Mereka bertemu di pertengahan tahun 2010. Ketika itu Avi sedang datang di acara workshop di salah satu galeri SAMSUNG. Disana, dia bertemu dengan Manda yang sedang bekerja sebagai SPG. Dari perkenalan itu, mereka berlanjut ke acara clubing. Setelah clubbing itulah semua di mulai. Kehidupannya mulai  complicated dengan Manda. Mereka mengalami putus sambung seperti pasangan yang benar-benar pacaran. Manda sering memutuskan Avi karena Avi terlalu player. Memang selain Manda, Avi juga masih memiliki cadangan cewek yang tidak kalah cantik di banding Manda. Dan mereka ada dimana-mana. Tapi entah mengapa, Avi lebih menomor satukan Manda. Bahkan kelewat memanjakannya.
Seiring berjalannya waktu hingga di pertengahan tahun 2011, Manda mengatakan pada Avi jika dirinya ingin tinggal selibat.  Dari sekian kali setelah dia tinggal selibat dengan cewek-cewek sebelum Manda. Ini kedua kalinya Avi benar-benar serius dengan seorang cewek. Selain Vega. Cinta pertamanya.
Diluar dugaan, ternyata Manda jauh lebih penuntut dari yang di bayangkan Avi. Tapi seperti tidak menyadari ada hal semacam itu dari hubungan mereka. Dengan senang hati Avi mengikuti apapun keinginan Manda. Bahkan rela membagi jatah uang bulanannya dengan Manda.
Sekali lagi Avi menepuk dahinya. Dan kali ini dia melakukannya berkali-kali. Tapi kemudian tepukannya terhenti oleh tangan seorang cewek berjilbab dengan kacamata yang membuatnya terlihat tua. Amel. Cewek itu tersenyum padanya. Seolah ingin mengatakan bahwa Avi bisa lebih baik dari yang kemarin.

♀ ♀ ♀


Violey Cafe. 21.34 WIB

Di parkiran Cafe, Avi melemparkan jaketnya pada Amel agar cewek itu memakainya. Meskipun Amel tadinya bingung kenapa Avi menyuruhnya memakai jaket, tapi setelah Avi menjelaskan alasan yang sedikit absurd. Mau tidak mau, Amel ikut aturan yang sudah di buat Avi.
Sambil memasang hoody di kepala Amel agar jilbab cewek itu tidak begitu terlihat, Avi memberitahu agar cewek itu jangan sampai terkejut jika nanti melihat kejadian atau sebuah adegan yang tidak di inginkan seumur hidupnya.
“Takut?” tanya Avi pada Amel begitu mereka sudah berdiri di depan pintu cafe.
Amel menggeleng. Meskipun tatapannya sedikit ragu untuk masuk kedalam, tapi dia berusaha menguatkan diri dan menganggap semua hal yang akan dia lihat itu hanya seperti adegan film seperti yang selama ini sering dia perhatikan bagaimana cara pembuatannya.
Welcome to Violey. Disini kamu bakal bisa melihat sisi lain dunia yang sebelumnya nggak ada dalam kamus hidupmu.” Kata Avi dengan senyum terhambur kemana-mana. “Ketika pintu ini aku buka, kamu bisa lihat dunia lain yang beda dari duniamu selama ini.”
Amel menatap kesal ke arah Avi. “Bawel ya, udah buruan buka!”
Tanpa banyak bicara, Avi langsung mendorong pintu itu kedalam dan mempersilakan Amel masuk lebih dulu. Saat cewek itu masuk dan pintu tertutup dengan otomatis, cewek itu hanya berdiri tegak dan tidak bergerak. Matanya menatap kesekitar dengan pandangan bingung. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya, kesadaran Amel langsung membawanya untuk cepat beradaptasi dengan suasana di Cafe itu.
“Ikut aku!” bisik Avi tepat di telinga Amel. Cewek itu langsung terlompat dan dengan kikuk mengikuti langkah Avi menuju meja bar.
Hello, sugar!” sapa Aju begitu melihat Amel duduk di deretan meja bar dan terpaku memperhatikan Aju. “Aju!” dengan ramahnya Aju langsung mengulurkan tangan dan di sambut kaku oleh Amel.
“Amel,” mata Amel tidak bisa berbohong. Hanya satu kesan yang di gambarkan mata kecil itu, Amel terpesona.
“Mau kopi?”
Amel langsung mengangguk antusias. “Gue suka kopi!”
“Jangan kasih latte. Kasih susu aja,” sela Avi yang langsung berjalan masuk ke dapur dan bergabung dengan Aju.
“Mau lemon cake?” tanya Aju dengan ramah.
Amel menatap sekilas ke deretan kue yang ada di dalam etalase. Sejak dia masuk dan Avi menggiringnya ke deretan meja bar, dia baru sadar kalau ada kue-kue di pajang di dalam etalase. Dan ada satu kue yang langsung membuatnya tertarik, bluberry cake.
“Gue mau itu!” tunjuk Amel pada bluberry cakeyang sudah di potong.
“Jangan, kamu belum makan dari tadi. Aku suruh Meti bikin spagetty aja,” sela Avi lagi. Kali ini Amel langsung cemberut dan membenamkan hoody-nya hingga menutupi sebagian muka.
Aju menatap Amel sambil tersenyum. “Aku nggak nyangka kalau Avi bisa perhatian sama cewek kayak kamu.”
Amel mendongak dan menatap Aju dari balik hoody-nya. “Cewek kayak gue? Emang yang kayak gimana? Norak? Cupu?”
“Sebelumnya Avi nggak pernah temenan sama anak yang di batas norma kayak kamu. Apalagi... pakai jilbab.” Aju tersenyum. “Bener-bener terobosan.”
“Ada yang salah?” tanya Amel dengan datar.
Aju menoleh ke arah Avi yang sedang sibuk menyiapkan spagetty untuk Amel. Lalu tatapannya kembali ke arah Amel lagi. “Lesbi emang nggak dari kalangan kayak kita doang sih. Banyak yang pakai jilbab juga malah.”
Amel terhenyak. Tapi kemudian dia langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Aju. “Maksud lo apa? gue sama kayak femme-femmekalian,  gitu?”
Aju menggeleng. “Andro!
“Hah?”
“Iya, kamu! Kalau kamu bisa melintasi batas norma dan masuk ke dunia kami, kayaknya kamu bakal jadi Andro, deh!”
Amel mengerjabkan matanya berkali-kali. Masih bingung. Tapi detik berikutnya Amel langsung sadar. Avi pernah menyebut istilah itu dan dulu Amel hanya memahami sedikit. “Haruskan ada kotak di kalangan lesbi? Butch, Femme dan sekarang... Andro? Kayaknya labil banget gitu.”
Aju tersenyum lagi. “Enggak sih. Lupakan. Aku cuma bercanda. Yang kayak gitu itu bukan kotak sih, hanya... gender expression!”
Bersamaan dengan itu, Avi sudah datang lebih cepat dari yang di duganya. Dia langsung menyodorkan sepiring spagetty cream saucedi hadapan Amel. Sekilas Amel menatap makanan itu sedikit geli. Bisa jadi karena Amel selalu berpikir bahwa yang namanya spagetty itu adalah dengan saus bolognese. Tapi satu menit kemudian, cewek itu langsung mengangkat garpu dan memakannya.
“Jadi, habis makan ini, gue ntar boleh makan itu?” tanya Amel seraya menunjuk Bluberry cake.
Aju terbahak-bahak. “Iya, boleh!”
“Harganya sepuluh ribu.” kata Avi. “Dan spagetty itu harganya dua puluh dua ribu,”
Amel langsung melotot dan tawa Aju malah langsung meledak. Tatapan Amel beralih pada Aju dan tidak paham kenapa anak itu tertawa terbahak-bahak.
Musik di cafe itu mengalun lembut dari arah panggung kecil yang di sediakan Cafe. Disana sudah duduk sepasang butch dan femme yang sedang mempersembahkan lagu. Mereka berdua sama-sama memegang gitar dan memainkannya secara bersamaan. Pemandangan itu membuat Amel sedikit melupakan makanannya dan fokus menikmati penampilan dua orang itu.
Meskipun tidak tahu lagu apa yang di mainkan dengan cara akustik itu, tapi Amel menikmatinya karena lagu itu terdengar romantis dan memikat telinga Amel. Saat dia melihat sekeliling, dimana semua pengunjung Cafe itu yang bisa di pastikan Amel lesbian semuanya. Tapi mereka mulai terlihat seperti orang biasa di mata Amel. Tidak ada yang mencolok. Kecuali saat dia masuk tadi dan mendapati beberapa pasangan yang bercumbu liar tanpa peduli sekitar dan itu membuatnya seperti sedang menginjak gay bar.
Musik itu yang sudah mampu membuat orang-orang ini diam dan menikmati. Beberapa ada yang saling berpelukan dan saling tertawa kepada pasangannya. Amel sedikit mengangkat alisnya atau bahkan langsung kembali pada makanannya jika sudah melihat adegan ‘panas’. Dan tanpa dia sadari, sedari tadi ternyata di sebelah Avi sudah ada seorang cewek dengan rambut panjang dan ikal sedang memeluk Avi. Amel tidak tahu kapan makhluk cantik itu datang. Tapi tiba-tiba Amel sudah di suguhi pemandangan Avi yang mencium cewek itu. Amel tidak bisa bereaksi apa-apa selain menepuk dahinya sendiri. frustasi karena di kelilingi oleh makhluk-makhluk yang membingungkan.
Aju menyodorkan segelas susu di hadapan Amel. Seolah tahu jika cewek itu sangat membutuhkan air. Tanpa ragu-ragu Amel langsung meneguk susu itu setelah lebih dulu berkomat-kamit mengucapkan doa. Aju menatapnya senang dan simpati. Sambil Amel makan, sambil Aju memperhatikan Amel baik-baik.
Beberapa pengunjung masuk. Semakin malam, maka semakin banyak saja yang datang. Amel semakin membenamkan hoody Avi di kepala hingga menutup hampir seluruh mukanya. Jaket besar itu benar-benar membantunya untuk ‘menyamar’ sesuai keinginan Avi.
“Siapa ini?”
Amel di kejutkan oleh sebuah sapaan yang sekaligus menepuk bahunya. Dia tidak langsung menoleh. Tapi malah melihat ke arah Aju yang ada di hadapannya. Dia bisa melihat Aju menyebut sebuah nama dari mulutnya meskipun tanpa keluar suara: ‘Kak Jol’. Seketika itu Amel langsung menoleh dan mendapati seorang Butchi dengan tampang indo yang tadi memainkan musik di atas panggung bersama seorang cewek.
“Amel, ya?” sapa Jol ramah seraya meraih tangan Amel dan menyalaminya dengan paksa.
Amel bisa merasakan ada tatapan lain yang berasal dari cewek yang sedang bermesraan dengan Avi. Amel juga bisa mendengar cewek itu menanyakan siapa dirinya.
“Ngobrol di atas, yuk!” Ajak Jol begitu saja.
Avi langsung menahan tangan Jol saat seniornya itu akan menarik Amel pergi. “Dia lagi makan, Kak. Dari tadi belum kemasukan nasi!”
Jol menatap ke belakang punggung Amel dan melihat piring cewek itu sudah kosong. “Udah habis.”
Avi menatap piring Amel. “Buset. Ketahuan laper nih anak,” katanya pada Amel dan membuat Amel semakin cemberut.
“Udah, kita ke atas aja. Ju, Vi, ke atas ya!”
Jol langsung menggandeng Amel menaiki tangga dan menuju ke lantai atas. Suasana di lantai atas membuat Amel sedikit kaget. Karena tadinya Amel berpikir bahwa lantai atas yang di maksud Jol adalah duduk di tempat penggunjung. Tapi kenyataannya Jol malah mengajak Amel dan memasukkan cewek itu ke dalam kamar berukuran 2x3m.
Tatapan Amel beredar kesekeliling. Meskipun layak di sebut kamar karena terdapat meja belajar sekaligus tempat tidur, Namun tempat itu terlihat kecil dimata Amel. Tapi bayangan Amel tentang kamar yang ‘suram’ itu tidak ada. Malahan Amel langsung di manjakan dengan deretan buku-buku kedokteran yang berjajar di rak buku meja belajar. Beberapa juga ada ensiklopedia, kamus bahasa jerman, bahasa inggris dan bahasa Jepang. Tangan Amel langsung menyomot kamus bahasa Jepang dan membukanya.
“Suka bahasa Jepang?” tanya Jol tiba-tiba sambil membuka rompi yang tadi di kenakannya.
Jantung Amel langsung berdegup kencang melihat Jol membuka satu demi satu baju atasannya hingga tertinggal breast binder-nya. Pemandangan itu lebih mengerikan daripada melihat turis berbikini yang berjalan-jalan bebas di pantai Kuta. Tapi degup jantung Amel segera reda setelah melihat Jol menutupi tubuhnya tadi dengan kaos oblong.
“Ini kamar Kak Jol?” tanya Amel seraya duduk di meja belajar.
“Bukan. Ini dulu kamar Aju. Tapi sekarang jadi kamar Rere buat sementara. Ntar kalau penyakitnya udah mendingan, aku baru nyariin kontrakan buat dia.”
“Rere?”
“Satu pelayan yang tadi mondar-mandir di belakang Aju, kamu nggak lihat?”
Amel mengerutkan dahi. “Enggak. Emang ada? aku cuma lihat Aju doang dan... koki di dapur.”
“Oh, itu Meti. Dia nggak segitu banyak bicara. Tapi dia pinter. Sebenarnya masih banyak lagi karyawanku. Ada dua koki. Satu kurir. Satu barista. Dan tiga pelayan. Tapi dua pelayan dan satu kokiku udah pulang jam lima tadi.” ujar Jol menjelaskan.
“Emang Rere sakit apa?” tanya Amel seolah tidak memperhatikan penjelasan Jol.
Jol tersenyum dan langsung mengambil duduk di tempat tidur tanpa dipan itu. “Dia pecandu. Cuman nggak mau di rehab. Banyak anak sini yang kayak gitu.”
Amel menatap Jol dengan serius. “Apa dulu Aju juga gitu? Avril juga?”
“Enggak. Aju itu anak kucing yang tersesat. Makanya aku mungut dia di jalan,” jawabnya sambil bercanda. “Aju tinggal disini karena dia udah berani ambil keputusan waktu dia SMP dulu.”
Amel menganggukkan kepalanya. Paham dengan apa yang di istilahkan Jol dengan ‘keputusan’ itu. Setelah berteman dengan Avi, Amel jadi  memahami apa itu  ‘normal’ yang ada di dalam paradigma mereka dan ‘keputusan’ seperti yang di pahami oleh mereka. Bagi orang-orang yang berada di persimpangan jalan seperti mereka, banyak sekali istilah-istilah sepele yang pada akhirnya di pahami dengan begitu sensitif.
Pintu di buka dari luar. Aju dan Avi masuk bersamaan. Di tangan Aju terdapat sebuah nampan yang berisi kue-kue. Mata Amel langsung berbinar-binar begitu melihat kue-kue itu. Avi membawa sekantung minuman kaleng bersoda dan sebotol air mineral. Air mineral itu langsung di berikan pada Amel. Dan mereka berdua langsung duduk membentuk gugusan segitiga di tempat tidur.
“Gue jadi berasa kayak ngumpul sama temen-teman kos dulu kalau ngelihat kayak gini,” kata Amel yang kemudian meneguk air mineralnya. Kata-katanya tidak ada yang menanggapi. Hanya Jol yang mengumbarkan senyumannya sebagai tanda dia masih simpati dengan kehadiran Amel di kamar itu.
“Kirain disini tadi ada Reta, Kak.” Avi memulai obrolan.
“Dia sama Kelly di bawah, ngerumpi.”
Girlfriend-nya  Kak Jol?” tanya Amel mulai Kepo.
Aju dan Avi sontak tertawa bersamaan. Amel memandang mereka berdua dengan tatapan bingung. Tapi sejenak kemudian Jol mengulurkan tangan kanannya, lalu membentangkan kelima jarinya ke hadapan Amel dan mata cewek itu baru sadar kalau ada sebuah cincin yang melingkar di jari manis Jol. Tapi dia masih belum paham apa maksudnya.
Girfriend, kan?” tanya Amel lagi.
“Bukan, sayang. Tapi Kak Jol udah merid dan udah punya anak!”
“HAHH?? MERRID? UDAH PUNYA ANAK??” Amel tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Yang punya anak tuh Kak Jol atau Reta?
“Reta yang punya anak!” koreksi Jol. Seolah tahu apa yang ada di dalam pikiran Amel.
Bibir Amel membulat. “Udah jauh ya hubungannya. Kak Jol merrid dimana?” tanyanya polos.
Atas ke-kepoan Amel itu. Akhirnya Amel mendapat jawaban dari Jol langsung bahwa dia menikah di Kanada sekaligus saat itu mengunjungi Kakaknya. Lalu Jol mengajak Reta bulan madu di Belanda dan kemudian mengajak Reta tinggal di Bangkok selama seminggu, lalu meninggalkan Reta tinggal disana selama tiga bulan bersama Mama Jol menggunakan visa jangka pendek. Sedangkan Jol melanjutkan pekerjaannya di Jakarta. setelah tiga bulan berlalu, Jol menjemput Reta dan mengajaknya  tinggal di apartemen Jol.  Mereka hidup sebagai pasangan yang sudah menikah.
Jol juga menerangkan bahwa dia mendapat surat nikah dari pemerintah Kanada. Karena di negara itu mengeluarkan surat nikah untuk para pasangan sejenis. Baik yang tinggal disana, maupun turis yang hanya melakukan pernikahan disana.
Obrolan dari pernikahan Jol itu langsung bergulir ke masuk kepada kisah percintaan Avi dan Aju yang rumit dan urusan hidup mereka yang berbelit-belit. Amel menjadi pendengar setia sekaligus merekam semua yang mereka bertiga ceritakan secara bergantian. Meskipun Amel tahu, apa yang mereka ceritakan tidaklah semuanya. Hingga kemudian Jol bercerita mengenai komunitass yang dia dirikan. Dimana anggotanya masih belum begitu banyak. Tapi dengan bangga Avi mengakui bahwa komunitas  yang di dirikan Jol itu seperti organisasi Mason.  Bukan dalam hal ajarannya atau prinsipnya. Tapi hanya lebih kepada cara ‘persaudaraannya’. Satu orang bisa mempengaruhi yang lain dan bergerak di bawah tanah. ‘Berterang-terang dalam gelap dan bergelap-gelap dalam terang’. Itulah yang sering di katakan Avi pada Amel.
“Jadi, tujuan komun ini apa?” tanya Amel tetap dengan rasa keponya.
“Aku cuma pengen bikin wadah untuk anak-anak kayak mereka berdua ini,” kata Jol seraya menunjuk Aju dan Avi. “Juga kayak Rere.”
“Maksudnya... mereka-mereka yang minggat dari rumah? Pecandu? Freeseks? Queer? Atau apa?”
“Tujuanku hanya satu untuk mereka. Yaitu memberikan pandangan bahwa cowok itu nggak semuanya brengsek. Dan aku juga pengen ngasih pandangan ke mereka bahwa heterophobia itu nggak baik dan malah menghambat pergaulan.”
Heteropobhia?
“Waktu gue dulu ada yang nyindir dan ada yang ngejelek-jelekin karena gue butchi. Gue sering ngasih teori-teori queer gue ke mereka. bahkan sering bikin mereka nggak berkutik dengan argumen gue bahwa LGBT juga memiliki dasar hidup dan dasar penentuan Gender Identityatau Sexual Orientation-nya,” jawab Aju.
“Mereka itu Heterosexism.” sahut Avi dengan senyuman di sudut bibirnya.
Heterosexism sering bikin para LGBT heterophobia. Dan begitu juga sebaliknya, para Heterosexism sembilan puluh sembilan persen selalu homophobia.”
“Gue enggak!” bantah Amel. “Buktinya gue bisa temenan sama kalian meskipun gue Heterosexism.
“Untuk kebanyakan kasus, Mel!” tukas Avi.
Gender Orientasi itu memunculkan gender identity. Dari gender identity, lahirlah gender expression. Kayak yang kamu lihat ini, Mel!” kata Jol kemudian. “Tapi bukan hanya itu saja masalahnya. Banyak dari anak-anak yang mengambil keputusan itu mengalami Androphobia. Bisa jadi di sebabkan trauma masa lalu karena pernah di lecehkan cowok.” Kata Jol sambil melirik ke arah Aju.
“Kak Jol selalu nasehatin kita, agar kita nggak terlalu berlebihan dalam menanggapi pandangan orang yang subordinatif. Selain dari pada itu, banyak banget hal yang sebenarnya bisa sama-sama kami pahami, terutama sebagai cewek. Dimana cowok jarang bisa paham. Intinya, butchi yang ada disini semua seperti di bentuk kayak ‘makanan sampingan’ lain selain makanan pokok yang namanya laki-laki  dan berperan menjadi makhluk yang lebih romantis daripada mereka. Bukan hanya dalam omongan, tapi benar-benar perbuatan. Itu sebabnya, Kak Jol selalu marah kalau kami nyebut GF kita atau semua cewek—selain Butchi dengan sebutan ‘elo’ atau ‘gue’.” Terang Aju.
“Tapi bukannya yang kayak gitu malah bikin kalian kelihatan lemah dan... gampang kena KDRT?” tanya Amel seraya melirik ke arah Avi.
Aju dan Jol sontak tertawa bersamaan. Bahkan Jol yang tawanya paling keras.
“Kalau Avi sih udah over—keterlaluan begonya,” ledek Aju.
Avi cemberut. Merasa terhina. “Karena mereka cewek, Ju. Meskipun sifat dan kelakuan beda. Tapi gue tetep memposisikan mereka di tempat yang sama. Sama-sama cewek yang harus gue sayang dan gue hormati.”
“Biarpun lo di gampar. Kalau gue mah ogah!” balas Aju.
“Ya kalau itu kan udah konsekuensi.”
Amel menghela nafasnya. Bagaimanapun juga, memang banyak hal yang di pelajari Amel dari Avi selama mereka berteman. Dunia yang sebelumnya sering membuat Amel penasaran, pada akhirnya membuat cewek itu benar-benar mengenalnya. Tidak hanya berupa teori atau sekedar dugaan-dugaan. Tapi benar-benar melihat salah satu realita yang  bisa saja di luar sana masih begitu banyak realita lain yang lebih tidak masuk akal lagi.
Mengenal Avi, bagi Amel adalah sebuah hadiah terbaik. Karena dia bisa mempelajari banyak hal melalui anak itu dan mendapatkan perhatian yang sebelumnya hampir tidak pernah di rasakannya, terutama sebagai sesama cewek. Selama ini pandangannya antara cewek dan cewek itu bisa saja hanya sebatas persahabatan. Seperti dia dan sahabat-sahabatnya waktu di kos dulu. Akan tetapi kenyataan mengenai cross line yang dia tahu sejak mengenal Avi, membuat Amel benar-benar harus hati-hati.
Amel bisa menyebut dirinya heterosexism, dimana dia menganggap bahwa hubungan normal antara laki-laki dan perempuanlah yang benar. Tapi kenyataan, sekarang banyak sekali wanita yang berpikir bahwa: emang harus ya nikah itu sama laki-laki?
Dan kenyataan itu sudah di buktikan oleh Reta—istri Jol, mungkin. Dia memilih untuk menikah dengan Jol. Dan mungkin nanti Amel juga akan bertemu dengan laki-laki yang akan berpikir bahwa: emang harus banget apa nikah itu sama cewek?
“Amel, kamu nggak punya pacar?” tanya Jol tiba-tiba.
Amel terkesiap. Dia gelagapan untuk bangun dari lamunannya. “Hah?”
“Lupain!” Avi mengibaskan tangannya di hadapan Jol. “Cowok yang dia taksir itu ada di kampus dan dia  gay!”
“Gay?” Aju tak percaya.
Amel melayangkan kamus jepang milik Aju yang di pegangnya tadi ke arah Avi dan buku itu mendarat mulus di dahinya.
“Berani lo hina Erwin, gue sikat lo!”
“Ayolah, Mel. Kenyataannya Erwin itu emang gay. Buktinya, dia nggak tertarik sama kamu!”
“Dia itu bukan gay! dia straight! Dia emang nggak tertarik sama gue, bisa jadi karena emang gue kurang cakep. Tapi bisa aja kan dia tertarik sama cewek lain?”
“Percaya sama aku. Percaya sama mataku. Erwin itu gay dan dia nggak tertarik sama cewek model gimanapun juga!”
Asem. Batin Amel geram. Tapi bayangannya melayang dan memikirkan bahwa, mungkin laki-laki di masa depan yang akan dia temui dan memiliki pemikiran bahwa menikah itu tidak harus dengan wanita. Bisa saja itu adalah Erwin. Bagaimanapun Avi sudah sukses merubah pandangan Amel mengenai gender orientasi.
Amel langsung membenamkan wajahnya kedalam tangannya. Dunianya kini terasa sakit.


♀ ♀ ♀

No comments:

Post a Comment