MILAN
Los Angeles, California
Bagaimanapun dia adalah seorang laki-laki normal yang selalu membutuhkan kehangatan wanita, untuk selalu duduk menemaninya, ada di sampingnya dan menghiburnya ketika penat terus saja menghampirinya. Keinginan terbesarnya hanyalah untuk membahagiakan ayahnya yang sudah empat puluh tahun menjadi sopir truck puso. Sudah selama itu pula ayahnya menginginkan salah satu dari enam anaknya akan bisa membanggakannya di ranah dunia luas.
Ibunya hanya seorang buruh tani ketika itu, dan ketika Milan berusia duabelas tahun, keinginan terbesarnya adalah membelikan ibunnya sebuah cincin emas empat karat. Lama sudah waktu yang di butuhkannya untuk menjadi seperti sekarang ini. Dua hari lalu Milan sudah membuat agenda kepulangannya ke Indonesia. Ditatapnya lekat-lekat salah satu angka di kalender itu. Denaknya sudah berteriak-teriak kata pulang saja.
Di tangannya tergenggam erat sebuah kalung berlian yang harganya selangit, Milan akan memberikan kalung itu pada calon istrinya kelak. Dia tidak peduli apa anggapan masyarakat, juga anak buahnya tentang seleranya atau apapun itu yang menyangkut dengan perjodohannya nanti saat dia pulang kampung.
"Malang..." gumamnya dengan desah nafas seolah-olah sedang merasakan sedang berkeliling di Kota yang sarat dengan ikon apel itu.
Sejatinya memang dia sangat merindukan kota kecilnya itu, kota yang sudah membesarkannya dan tumpah darahnya semasa menjalani hidup yang keras dan penuh lika-liku. Hingga pada akhirnya, sepuluh tahun lalu dari kota itu dia di hantarkan kesini, Los Angels. Meskipun mimpinya bukanlah kesini, tapi ke Eropa, Milan ingin sekali pergi ke Milan, persis sesuai dengan namanya sendiri.
Kini usianya sudah lebih dari tigapuluh tahun dan belum ada satupun wanita yang bisa mampir di sisinya untuk menjadi pendamping hidupnya. Bukan karena selera Milan yang terlalu tinggi, tapi mereka yang lebih banyak mundur sendiri lantaran banyak orang tua dari para gadis itu yang tidak memperbolehkan anaknya di bawa pergi hingga ke LA. Orang tua mereka takut anak mereka akan terkontaminasi dengan budaya barat yang sudah di elu-elukan kebebasannya. Mereka takut anak mereka akan berubah.
Milan sempat berpikir untuk mencari istri seorang wanita Asia saja jika dia tidak bisa menemukan wanita Indonesia disini. Meskipun banyak dari mereka yang jumlahnya jutaan disini. Hanya saja, kebanyakan mereka sudah memiliki keluarga dan memilih untuk berkarir keluar negeri. Fenny salah satu contohnya, rela meninggalkan anak dan suaminya setelah satu tahun pernikahan mereka hanya untuk mengejar karirnya sebagai manager di salah satu perusahaan Research. Pulangnya tiga bulan sekali dan hanya bisa menghabiskan waktu selama tiga hari saja bersama dengan keluarga kecilnya itu.
Milan tidak ingin seperti itu. Milan ingin sekali kembali ke negaranya setelah sekian tahun hidup disini dan menghabiskan banyak waktunya di belakang meja kantornya sebagai seorang Direktur dan sesekali pergi minum bersama dengan teman-temannya. Padahal dulu Ayahnya selalu mewanti-wanti agar tidak terjerumus dengan hal-hal yang bisa merusak kesehatan dan budaya-budaya yang sebelumnya tidak pernah dia ikuti sama sekali. Pergi ke acara pesta bujang temannya yang besok akan menikah, minum-minum utuk melepas penat karena pekerjaan dan masalah kantor, berlibur dengan beberapa temannya ke pantai Miami yang selalu di penuhi dengan gadis-gadis cantik berbikini minim.
Seharusnya memang Milan bisa menolak semua itu, hanya saja tahap awal adaptasi kehidupannya LA membuatnya harus mengikuti alur yang sudah menjadi keseharian orang-orang disini.
Padahal, keinginan terbesarnya saat ini adalah memiliki istri, dua orang anak laki-laki dan mereka akan berjalan-jalan keseluruh pelosok kota Batu yang kata orang sekarang sudah berbeda dari dua puluh tahun lalu. Milan akan memperkenalkan budaya Indonesia pada anak-anaknya, juga mengajak mereka naik gunung dan berlibur kesemua tempat wisata yang ada di Malang. Tentu saja Ayah dan Ibunya tidak boleh terlewat.
"Papa, Kak Dino nih nyebelin..."
Sudah terbayang bagaimana kelak anak-anaknya nanti akan ramai bercanda, berdebat dan bertengkar di dalam mobil saat mereka sedang jalan-jalan di seluruh jalanan kota Malang. Milan juga sudah memikirkan siapa nama-nama untuk calon anaknya kelak. Milan sudah membayangkan betapa mesranya kelak antara dia dan istri pilihan ibunya. Dengan berbekal kalung berlian di tangannya itu, Milan berjanji akan membahagiakan dia.
Malang
"Sudah siap ?"
Berkali-kali Ibunya mengecek 'atribut' yang dipakai anak yang sudah bisa membanggakannya itu. Didepan sudah ada kelima saudaranya beserta isri-istri mereka. Juga Retno, adik bungsunya yang sudah lebih dulu menikah setelah dia lulus S1 Hukum Internasional. Rasa bangga menyelimuti wajah Milan, sekali lagi ditatapnya wajah adik yang selalu di belanya itu. Sejak Retno kecil, Milan yang selalu membiayai sekolah adiknya itu, hingga dia lulus S1 di Universitas Brawijaya.
"Semoga sukses dan berhasil, Aamiin," bisik Retno seraya merangkul bahu kakaknya.
Milan hanya mampu membalas bisikan adiknya dengan senyum hangat. Ini adalah pertunangannya yang terakhir, sudah beberapa kali Milan di jodoh-jodohkan oleh saudara-saudaranya, Ibunya, maupun Ayahnya, dan semuanya tidak ada yang bisa menerima Milan lantaran pekerjaannya dan domisilinya. Sekalipun ada yang mau di peristri Milan, belum apa-apa keluarga gadis itu sudah menjadi penuntut dan dengan terpaksa keluarga Milan mengakhiri hubungan pertunangan itu secepat kilat. Mereka juga tidak ingin anaknya hanya di manfaatkan hartanya saja dan tidak bisa bahagia.
"Ibu sudah mempertimbangkan bibit, bebet dan bobotnya. Meskipun ayah kita hanya seorang sopir puso, tapi prestasimu dan pekerjaanmu mengalahkan pandangan mereka semua soal itu. Selamat ya," Jaki, kakak sulungnya, menyalaminya dengan tulus.
Dulu kakak sulungnya ini selalu saja menjadi pem-bully, mengalahkannya dalam segala hal. Bahkan sempat merebut pacarnya saat Milan duduk di kelas tiga SMP dan Jaki berada di kelas tiga SMA, sekarang kakaknya itu menikah juga dengan mantan pacar Milan. Sebagai seorang pegawai Bank swasta, setidaknya pekerjaan itu sudah di pandang bagus oleh semua orang disini. Lebih dari itu, jodoh memang tak akan lari kemana. Tinggal dirinya sendiri saja yang saat ini harus menetapkan dimana jodohnya berada.
Milan mengusap wajahnya, doanya benar-benar tulus dari dalam hati untuk mencari pendamping demi kebahagiaannya.
"Aaaapiiiii... Toloooooong.... tolooooonggg....!!"
Beberapa orang berlarian kearah mobil yang sedang di kendarai Milan, dengan panik Ayah Milan menyuruh Jaki membuka kaca mobil otomatis itu.
"Ada apa, Pak ?"
"Itu," Orang yang di tanya Ayah Milan menunjuk ke sebuah bentangan asap hitam yang membumbung tinggi ke langit. "Kayaknya ada yang kebakar itu di dalam. Soalnya saya nggak lihat ada yang keluar dari rumah itu, mobilnya berhenti disini saja, Pak. Mundur dulu, nanti orang-orang nggak bisa angkut airnya. Jalannya sempit,"
Secepat kilat Milan menggandeng tangan Ibunya dan membuka mobil Alpard-nya begitu saja. Di ajaknya Ibu, adik dan semua anggota keluarga yang taddinya berada di dalam mobil untuk keluar dan menepi. Perasaannya tidak enak sama sekali. Benar apa kata orang tadi, jalanan komplek ini sangat sempit, khas pemukiman warga di belakang pasar Pakis. Tidak ada kendaraan yang bisa masuk, semuanya parkir di luar dan mobil Milan sudah menghalangi jalan. Asap makin membumbung tinggi dan Jaki mulai memundurkan mobilnya.
Belum selesai kepanikan Milan melihat orang yang berlalu-lalang sedang mengangut ember-ember berisikan air, selang air dan beberapa cara ain untuk bisa memadamkan api dari tempat itu, jantung Milan di buat tersentak saat melihat Ibunya yang tiba-tiba jatuh terduduk dengan lemas.
"Bu!" seru Milan mulai lebih panik dari yang tadi.
"Oalah, Le... calonmu.... itu calonmu!"
Tangan Ibunya gemetar menunjuk seorang mayat gadis yang sudah gosong sedang di angkut menggunakan tandu oleh dua orang perawat rumah sakit yang barusa saja datang dengan Ambulance. Milan tidak tahu bagaimana cara Ibunya mengenali mayat itu, tapi saat tangis Ibunya mulai pecah dan bibirnya terus berkomat-kamit menyebut kata "Kalung... kalungnya itu di pakai... dia calonmu, Le,"
Heehhhh... Milan ikut-ikutan lemas seketika. Sementara orang-orang di sekelilingnya masih panik dengan api yang terus berkobar dan teriakan-teriakan histeris anak kecil yang ketakutan.
No comments:
Post a Comment