Friday, November 22, 2013

VIOLEY 3 : AJU - "WORLD IN MY EYES" - Tujuh

 TUJUH



Violey Cafe. 11 Oktober 2011 : 13.23 WIB

Brrrddd... Brrrddd...
Aju meletakkan tiga gelas kopi yang sudah di hias itu ke atas nampan. Dia langsung meraih ponsel yang ada di celemeknya dan melihat ada satu nama sangat sakral muncul di layarnya. Margaret. Aju menoleh ke arah Avi terlebih dulu sebelum mengangkat ponselnya dan bicara dengan Si penelepon. Memberikan isyarat untuk Avi agar membantunya memberikan pesanan kopi itu untuk tiga pelangannya ABG-nya yang selalu setia datang akhir-akhir ini.
Meskipun dengan setengah dongkol karena sejak tadi Aju menyuruhnya terus, tapi Avi mengangkat kopi itu juga dan membawanya ke meja tempat tiga anak SMP itu duduk. Sedangkan Aju menepi. Mencari tempat yang aman di ruang penyimpanan.
“Hallo?” sapa Aju begitu Avi sudah berlalu dari hadapannya.
“Hey!” sapa  suara dewasa di seberang. “Sibuk?”
Aju melihat ke arah jam dinding. Dia baru sadar kalau sudah waktunya makan siang. “Enggak. Barusan habis nge-art. Are you oke?
I’m fine.” Jawab Margaret. “Aju, aku mau ke Jakarta!”
Aju terperangah. “What? Padahal aku yang mau kesana. Aku udah ijin sama Kak Jol,”
Terdengar suara tawa kecil Margaret. “Kalau gitu aku ke Violey aja, ya!”
“Hah?”
“Pesan capuchino. Motif apa yang sederhana tapi paling cantik?”
Aju mengerutkan keningnya. Heran dengan pertanyaan dan telepon Margaret yang tiba-tiba. sudah hampir dua tahun ini dia dan Margaret menjalani hubungan yang tidak bisa di namai. Meskipun Aju mengatakan pada Dena bahwa dia pacaran dengan Margaret, tapi kenyataannya Margaret tidak pernah memberikan jawaban atau penyataan bahwa dia mau menerima Aju.
“Selamat datang!”
Terdengar suara Avi yang menggema sampai di dalam bilik penyimpanan barang.
“Mana nih baristanya? Kok hilang?” tanya Margaret di telepon.
Aju terkesiap. Dengan cepat dia langsung berlari keluar dari bilik penyimpanan dan mendapati Margaret sudah duduk di deretan meja bar dan tersenyum padanya. Berkali-kali Aju mengerjab seperti bintang tua. Memastikan kalau dia tidak salah lihat. Dan itu memang Margaret. Aju langsung berlari ke arahnya dan memeluk Margaret dengan erat.
Tawa Margaret membahana karena senang bisa bertemu Aju lagi setelah sekian lama, begitupula dengan Aju. Margaret tidak pernah di perbolehkan Dena untuk menemui Aju lagi. Sedangkan Aju sendiri di sibukkan dengan berbagai kegiatannya di Jakarta. Mulai dari sekolah hingga bekerja di Cafe. Meskipun sebenarnya Aju bisa menyusul Margaret dan tinggal di Bali. Tapi Aju hanya memilih hubungan yang aman saja dengan Margaret melalui telepon. Hampir setiap hari Aju menelepon Margaret atau sebaliknya.
“Surprise!” seru Margaret seraya melepas pelukan Aju. Tapi Aju masih tetap memeluk pinggang Margaret.
“Kita bicara di atas!” ajak Aju yang langsung menyambar tangan Margaret dan membawanya naik menyusuri anak tangga. Lalu memasukkan Margaret di dalam kamar yang ada di lantai dua. Bekas kamarnya saat pertama kali dia datang ke Violey dulu.
Dalam kamar itu, Aju tak bisa menahan dirinya lagi dan langsung menubruk Margaret. Memeluknya dengan erat dan tidak mau melepaskan cewek itu.
“Aku mau merrid, Ju!”
Aju terhenyak. Waktu serasa berhenti mendadak. Sejak Aju bertemu Margaret beberapa menit lalu. Semua panca indra Aju sangat sensitif. Tapi ketika mendengar kalimat yang di ucapkan Margaret barusan, sepertinya Aju akan pergi mengunjungi Dokter THT dalam waktu dekat.
Margaret pasti salah bicara.
“Aku udah ketemu sama cowok yang cocok buatku dan mau menerimaku apa adanya!”
Aju mulai gelagapan. Apa yang di dengarnya barusan itu nyata dan benar adanya. Telinganya tidak sedang sakit. “A-a-a-apa? coba ulangi?”
Margaret menatap Aju dengan lembut. Berusaha terlihat bijak di hadapan anak itu. Telapak tangan Margaret membelai pipi Aju. Kini Aju sudah sedikit lebih tinggi darinya.
“Sorry. Tapi aku rasa selama ini kamu salah paham sama aku.”
“SALAH PAHAM GIMANA??” Aju mulai naik darah. “Kamu suka aku, kan? Kamu cinta aku, kan? Bukannya kamu bilang gitu? delapan tahun lalu. Bukannya kamu bilang gitu sebelum balik ke Bali? Dan dua tahun lalu bukannya kamu juga bilang hal yang sama lagi?”
Margaret menatap Aju dengan bingung. “Kapan?”
Aju mencengkeram telapak tangan Margaret yang sedang membelai pipinya. “Lalu selama ini apa? kita berhubungan melalui telepon dan kita... kita...”
Kita tidur bersama!
Aju menepuk keningnya. Merasa konyol.
“Aju. Maksud kamu apa? yang mana?” Margaret masih tetap memandang Aju dengan bingung. “Selama ini kita terus intens komunikasi karena kamu udah aku nggap adikku sendiri. Nggak lebih, dan mengenai... hubungan waktu itu... kamu salah paham. Aku sama sekali nggak menikmatinya. Female couples aren’t normal, right?
Kali ini gantian Aju yang kebingungan. Bahkan Aju tidak bisa melihat mana itu kebenaran dan mana itu yang di sebut dengan kemunafikan. Aju yakin betul saat itu Margaret tidur dengannya dan mereka menikmatinya. Aju memang menyebut diri mereka couples. Aju mengatakan itu pada Dena dan Papanya juga tahu mengenai hal ini. Bahkan selama ini Aju menahan diri untuk tidak pacaran dengan cewek lain selain Margaret karena Aju tahu, hanya Margaret yang mampu membuatnya utuh.
But in my world, female couples are normal!” jawab Aju dingin. Suaranya tiba-tiba serak dan dia tidak mampu menatap mata Margaret lagi. “Kalau kamu bilang nggak menikmatinya. Apa mau aku ingatkan lagi dengan rasa yang waktu itu?” tanya Aju seraya meraih pinggang Margaret dan menariknya dalam pelukannya. “Udah delapan tahun, kan? I’ll help you remember the taste of it until you’re satisfied!
“Aju, jangan lagi!” kata Margaret. Kali ini dia tegas dan ketus.
Aju bisa melihat bara amarah di mata Margaret. Dimana mata cantik itu dulu tidak pernah menampakkan kemarahan seperti yang di lihatnya saat ini. Bahkan Aju harus melihat kedua bola mata itu secara bergantian untuk memastikan bahwa itu mata Margaret. Bukan mata orang lain yang bisa saja mentransformasi amarahnya pada Margaret.
“Lepasin!” kata Margaret lagi seolah benar-benar mengintimidasi.
Aju melepaskannya tanpa sadar. Jantungnya terasa merosot hingga ke perut dan membuatnya kehilangan satu-satunya alat untuk memompa darah. Aju mati rasa. Bahkan dia tidak bisa merasakan apa-apa saat Margaret mendorong tubuhnya hingga minggir di pinggir pintu.
Disaat yang sama, terdengar ketukan dari luar. Suara Jol terdengar kecil dari arah luar. Margaret memandangi Aju sesaat, melihat rasa frustasi yang tergambar jelas di wajah itu. Tapi seolah tidak peduli, Margaret membuka pintu kamar dan mendapati Jol sudah berdiri di luar pintu seraya tersenyum padanya.
“Margaret?” tanya Jol seolah berusaha menebak. Karena sebelumnya belum pernah bertemu dengan cewek bernama Margaret sama sekali.
Margaret tersenyum ramah. Lalu menganggukkan kepalanya. Tapi sebentar kemudian dia langsung melangkah pergi melintasi Jol. Sayangnya sebelum Margaret menjauh, Jol langsung menangkap lengan Margaret.
“Tunggu di bawah dulu. Ada yang perlu aku omongin. Bisa?” tanya Jol dengan mimik muka yang serius.
Margaret melepaskan tangan Jol yang sedang memegangnya. “Pesawatku jam tiga. Aku harus cepat-cepat ke bandara.” Kata Margaret. “Oh, iya!” katanya lagi seraya meraih sesuatu dari dalam tasnya. “Ini buat kalian. Jol, Avi dan Aju. Aku mau merrid dua minggu lagi.” Margaret menyerahkan tiga buah undangan berwarna perak ke tangan Jol.
Dengan tatapan dungu, Jol membiarkan Margaret menuruni anak tangga. Tapi ketika dia mencapai tangga kedua, langkahnya terhenti karena sebuah teriakan Aju yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar.
Margaret! You the same. Abnormal, distorted, and mistake!
Margaret menoleh ke belakang dan menatap Aju tanpa ekspresi. “I gotta go. Bye!
Aju menatap ke arah Margaret dengan pandangan sakit. Lututnya mendadak lemas dan Aju terjatuh di lantai begitu saja. Jol langsung membantu Aju berdiri dan memasukkan anak itu lagi ke dalam kamar. Membiarkan Margaret pergi begitu saja.
Lima menit kemudian Avi masuk dan sudah mendapati Aju terbaring di tempat tidur dengan sangat menyedihkan. Tapi anak itu tidak menangis. Aju hanya diam seperti manekin tanpa ekspresi.
“Siapa yang mau ikut gue perggi ke Bali?” tanya Aju datar.
“Gue mau ikut. Asal di sana lo nggak boleh bikin kacau!” jawab Avi dengan tangan bersendekap memperhatikan Aju.
“Gue nggak bisa jamin!” jawab Aju seraya memiringkan tubuhnya.




Bali. 28 Desember 2011 : 10.34 WIB

Setelah sekian lama Aju pergi meninggalkan rumah. Baru kali ini dia bisa bertemu lagi dengan Mama dan Papanya di ruang terbuka. Juga saat yang tepat sekaligus merayakan Natal yang sebelumnya selalu terlewat tanpa mereka. Meskipun tanggal 25 juga sudah lewat tiga hari lalu.
Aju menatap mereka berdua bergantian, tapi tidak lama kemudian Papanya pergi meninggalkan Aju bersama Mamanya. Dalam keramaian itu, Aju masih merasa sendiri dan sama sekali tidak begitu bahagia bertemu dengan Papaanya lagi. Sejak masuk kedalam acara pernikahan dengan konsep garden party di sebuah Hotel itu, Aju tidak menemukan Avi. Entah dimana anak itu, tapi Aju pasti bisa segera menemukannya.
Mama Aju sangat bahagia bisa melihat anaknya lagi. Aju hanya menatap Mamanya dengan perasaan miris. Bagaimana tidak, meskipun sama-sama tinggal di Jakarta, tapi baik Aju maupun Mamanya sama-sama tidak ada yang mau berusaha untuk saling bertemu satu sama lain. Mereka hanya menitipkan pesan dan kado melalui kurir atau melalui Dena.
Tentang Dena sendiri. Aju melihat kakaknya itu berdandan cantik seperti bidadari hari ini, dengan gaun putih untuk pengiring mempelai wanita. Kakaknya tadi sempat melambai begitu melihat Aju berdiri di barisan paling belakang saat upacara pernikahan Margaret. Ketika upacara tadi selesai, Dena langsung menghampirinya dan seperti biasa, marah. Dena mengomeli Aju karena adiknya datang dengan pakaian yang terlihat sangat mengganggu. Hanya sebuah kemeja dan celana skinny dan di padu dengan blazer saja. penampilannya sangat sederhana, terlalu butch dan Dena tidak menyukainya.
“Mau ketemu Margaret?” tanya Mamanya begitu melihat anaknya celingak-celinguk mencari seseorang.
Aju menatap Mamanya lembut lalu menggeleng. “Enggak. Aju nyari temen Aju. Kayaknya dia lagi nyari minuman, deh.”
“Kamu nggak pengen ketemu Papa?”
Kali ini Aju benar-benar memperhatikan Mamanya. Wanita itu terlihat lebih tua dan ringkih. Padahal dia Dokter. Aju tidak tahu kalau Mamanya bisa berubah sangat drastis seperti ini. Tapi Dena bilang, bahwa Mamanya sedang melakukan diet.
“Aku nggak ada kepentingan sama Papa.” Jawab Aju dingin.
Mamanya menepuk bahu Aju lembut. “Ju. Kamu bisa janji sama Mama, nggak?”
Aju menatap Mamanya datar. “Apa?”
“Kamu pulang ke rumah jika waktunya nanti tiba.”
“Mama mau cerai sama Papa?”
Mamanya menggeleng. “Mama sayang kamu. Apapun yang terjadi dalam diri kamu. Mama tetap sayang kamu. Jadi tolong, kamu pulang...”
“Aku udah janji sama Papa. Aku nggak akan pulang, Ma!”
Mamanya menundukkan wajah. “Apa dalam duniamu. Semua menjadi tampak egois?”
Aju mengangguk. “Iya. Sangat. Aku bahkan nggak tahu lagi siapa orang yang bisa aku percaya. Aku hanya percaya pada diriku sendiri. Karena satu persatu orang yang berada di dekatku dan aku sayangi malah menghianatiku. Bersikap seolah nggak ada apa-apa, tapi ternyata mereka sangat munafik. Papa, Margaret, teman-teman di kelasku. Mereka semua munafik.”
“Lalu gimana sama dua teman kamu itu? kamu percaya sama mereka?”
Aju ragu-ragu untuk menjawab. Tatapannya kosong.  Tiba-tiba saja Aju seperti di lempar ke masa lalu kembali. Pada hari-hari dimana dia, Jol dan Avi saling bercanda dan bercerita. Mereka saling berbagi keluh kesah dan saling membantu satu sama lain seperti saudara. Jol selalu ada untuk Aju. Avi juga selalu datang di saat Aju memikirkannya dan membutuhkan bantuan. Jol seperti kakaknya yang selalu melindunginya. Avi seperti adiknya yang selalu melengkapi kebahagiaannya. Apapun masalah yang ada pada diri Avi, Aju tahu. Aju memahami anak itu seperti memahami hatinya sendiri. Ketika Jol ada masalah, Aju akan selalu menjadi orang pertama yang di beri tahu. Begitu pula sebaliknya. Bukan hanya duka yang mereka bagi. Tapi juga bahagia. Entah sudah berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk tertawa dan menangis bersama. Dari mereka, Aju belajar tentang apa yang namanya empati dan juga simpati.
“Ma, aku harus pergi!” kata Aju seolah baru menyadari sesuatu.
“Aju, mau kemana? Mama masih mau ngomong!”
Aju meremas tangan Mamanya. “Ma, aku janji. Setelah pulang ke Jakarta nanti. Aju bakal nemuin Mama. oke?”
“Kamu janji?”
Aju tersenyum meyakinkan. “Janji. Sekarang Aju harus nyari teman Aju dulu!” katanya seraya menjauh pergi meninggalkan Mamanya.
“Kamu nggak mau ketemu Margaret?”
Aju menggeleng dari kejauhan. “Margaret udah nggak penting lagi!” jawabnya seraya melambaikan tangannya ke arah Mamanya.
Setelah Aju pergi, Mamanya berdiam diri di tempatnya. Terpaku menatap kepergian anaknya yang hilang begitu saja di balik kerumunan tamu. Tapi dari balik kerumunan yang lain, Avi muncul dan langsung mendekati wanita baya itu seraya menepuk bahunya.
“Tante!” sapa Avi dengan memamerkan senyumannya pada wanita baya itu.
“Avi...”
“Tante jangan khawatir. Aju aman kok sama kami. Saya dan Kak Jol bakal jagain Aju. Jadi Tante maupun Dena jangan khawatir. Oke?” katanya dengan ceria.
Mamanya Aju tersenyum lega. “Tante nggak tahu pemikiran Aju sekarang itu seperti apa. Tapi Tante yakin kalau kalian nggak bakal berbuat yang aneh-aneh. Terima kasih selama ini sudah mau jagain anak Tante. Tolong, ya...”
“Tante jaga diri aja baik-baik. Berat badan Tante harus naik. Jangan banyak makan yang manis-manis. Jangan banyak pikiran juga. Tante bebasin aja pikiran Tante. Tante harus sehat dan jangan pernah khawatir sama Aju.”
“Sejak kenal kamu beberapa tahun lalu. Tante yakin kalau kamu bisa jadi teman yang baik buat Aju. Tolong bilang permintaan Tante ke Aju. Bilang sama dia mengenai pernikahan Margaret itu sebenarnya...”
“Tante!” potong Avi. “Jangan sampai Aju tahu kalau pernikahan ini idenya dari Tante dan Dena. Meskipun saya juga marah karena Tante dan Dena udah memutus harapan Aju. Tapi kalau ini memang demi kebaikan Margaret, saya rasa...”
Mama Aju langsung meraih baju Avi dan menundukkan wajahnya di dada anak itu. Avi sangat terkejut dan hanya bisa berdiri mematung. Wanita itu menangis.
“Margaret harus nikah. Semua demi masa depannya biar nggak di ganggu dengan perasaan Aju terus. Gimanapun juga, Margaret itu anak dari keluarga terpandang. Kalau sampai ketahuan Margaret berhubungan dengan Aju, mau di taruh mana muka Papa Aju dan Papa Margaret?”
Avi menghela nafasnya. Tangannya memegang lembut bahu Mama Aju. “Perasaan orang-orang seperti kami memang selalu di pandang salah, Tante. Mereka semua selalu berpikir bahwa cinta yang kami punya adalah sesuatu hal yang mengada-ada. Nggak realistis dan konyol. Tapi bagi kami. Dalam dunia yang kami pandang, cinta itu tidak berarti harus antara laki-laki kepada perempuan.”
Mama Aju terdiam dan menatap ke lantai yang di injaknya. Memikirkan anaknya yang mungkin saja suatu hari nanti akan membencinya karena dia sudah memutus satu-satunya harapan anaknya untuk bahagia. Kini, Mamanya merasa tidak lebih baik dari Papa Aju. Sama-sama menjadi penghianat.
Tanpa mereka sadari, Aju yang berada di balik kerumunan orang-orang di dekat mereka. Memandang Avi dan Mamanya dengan geram.




Jakarta, Ancol : 17.12 WIB

“Woy, kok kita kesini, sih?” tanya Avi dengan gusar setelah mendapati dia dan Aju duduk di pinggir pantai.
“Nikmatin Sunset Beach, brai!” jawab Aju datar. Tatapannya mengarah ke garis horizon yang membentangkan panorama alam berwarna jingga.
Avi menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue nggak percaya. Harusnya kita di Kuta, tanah lot atau dimana gitu, kek. Bukannya di Ancol!”
“Sama-sama pantai. Sama-sama bisa lihat laut. Kenapa elo bawel banget, sih?”
“Masalahnya elo aneh. Ngapain kita jauh-jauh ke Bali kalau ujung-ujungnya malah duduk di pantai Ancol?”
“Biar deket dari rumah.”
Avi mulai frustasi. “Cukup. Gue bisa gila dadakan kalau lo kayak gini terus. Setidaknya lo marah, kek. Atau maki gue!”
Aju menggeleng. “Sekali-kali gue juga pengen kayak kalian. Kayak elo, Papa, Mama, teman-teman gue di kelas atau orang-orang lain yang gue percaya tapi malah jadi penghianat.”
Avi menghela nafasnya. Saat di acara pernikahan tadi, ketika Avi dan Mama Aju sedang membicarakan masalah Margaret yang menikah karena ide dari Mama Aju dan hal itu di rahasiakan. Aju tiba-tiba datang menemui Mamanya kembali dan sempat mendengar tentang obrolan antara Avi yang ternyata ikut andil dalam rencana itu. Aju sangat kecewa. Marah bahwa ternyata Avi juga ikut andil dalam hal ini. Karena itu, Aju segera memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan Avi juga ikut kembali bersama Aju. Hingga mereka terdampar di pantai yang penuh sesak dengan rombongan wisatawan Jakarta saat weekend itu.
“Margaret cewek normal, Ju. Lo harus bisa melupakan dia.”
Aju mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gue bisa lupa, kok. Bahkan udah sejak enam jam lalu gue lupa sama dia.”
“Lalu? rencana lo sekarang apa?” tanya Avi di tengah hembusan angin pantai yang membelai lembut di sore hari.
“Gue nggak punya rencana. Gue cuma pengen menikmati hidup kayak elo. Tapi mungkin juga gue pengen kayak Kak Jol. Suatu hari nanti ketemu cewek normal yang bisa gue pacarin, lalu merrid deh. Tapi ntar gue ngajak honey moon-nya bukan ke Belanda, Bangkok atau bahkan Kanada. Tapi gue mau ngajak dia ke tembok besar china. Gue kan orang Tionghoa. Seenggaknya gue harus sowan ke Negeri Nenek Moyang!”
Bibir Avi membentuk huruf O. “Lo tremor, ya? butuh gue bawa ke Rumah Sakit? atau mungkin elo bakal baikan kalau ketemu Dokter Nathalie!”
Aju menatap sinis ke arah sahabatnya. “Gue emang gerontophobia. Tapi gue nggak demen-demen banget sama yang udah punya suami dan anak. Gue lebih milih Lori!”
“Hah? Mantan Kak Jol mau lo embat juga?”
“Dia guru gue, Men!”
“Jadi?”
“Tahun baru ntar gue mau ikut Kak Jol ke Belanda. Gue mau ketemu Lori disana. Gue yakin... dia pasti suka ketemu gue!”
Avi menatap Aju tanpa ekspresi. Anak itu sudah mulai sinting. Lori memang orang yang sangat penting dalam kehidupan Aju. Tanpa Lori yang dengan suka rela mengajarkan Aju mengenai teknik art coffee, tidak mungkin Aju bisa melangkah hingga sejauh ini. Setelah Lori putus dengan Jol dan memilih untuk kembali ke Belanda. Aju mulai di beri kepercayaan Jol untuk menggantikan Lori menjadi barista Violey Cafe. Meskipun sudah pindah ke Belanda, tapi hubungan Aju dan Lori sangat intens di telepon. Karena itu, Aju hanya memiliki tiga nomor kontak cewek di ponselnya. Yaitu Margaret, Dena dan Lori. Selebihnya adalah deretan butchi-butchidalam komunitas Violey. Termasuk Avi dan Jol. Aju tidak akan pernah menyimpan nomor femme lain. Apalagi anak ABG yang usianya baru di bawahnya.
Dengan tatapan penuh simpati, Avi mencoba untuk memahami apa yang ada dalam kepala Aju. Tapi anak itu balik memandangnya. Avi jadi salah tingkah.
“Kenapa?” tanya Aju.
“Lo beneran nggak mau marah?”
Aju menghela nafasnya. Matanya menatap jauh ke ujung lautan, melihat matahari yang mulai tenggelam di makan samudera. “Setelah gue pikir-pikir lagi. Gue juga salah. Gue juga bukan orang baik, dan di dunia ini nggak ada satupun orang yang nggak bersalah. Gue nggak bener-bener bersih, jadi kenapa gue harus marah?”
“Serius lo nggak marah?”
Aju tertawa kecil seraya mendongakkan kepalanya. “Bohong!” jawabnya, kali ini sambil memandang Avi. “Gue marah. Gue pengen banget gamparin lo saat ini, Vi. Tapi sayangnya gue nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena lo soib gue. Karena elo dan Kak Jol itu separuh dari diri gue. Mana mungkin gue menyakiti kalian? Itu sama juga menyakiti diri gue sendiri. Bukannya yang namanya sahabat seperti itu?”
“Apa dengan begini lo mulai bisa belajar tentang arti penghianatan?”
Aju mengangguk. “Penghianatan itu nggak selalu buruk. Apa yang di lakukan Mama, semua demi masa depan Margaret. Mungkin Mama udah memperhitungkan semuanya. Termasuk sexual deviant gue yang di anggap kayak terror buat Margaret. Tapi karena cinta gue ke Margaret, gue rela dia merrid. Itu karena gue masih punya kalian. Elo dan Kak Jol. Dan bisa aja di masa depan nanti masih banyak penghianat-penghianat lain yang bisa menyebabkan kesakitan berlebih selain hari ini ke gue. Karena itu, akan lebih baik kalau gue belajar jadi orang yang nggak terlalu naif lagi. Kali ini, gue bener-bener nggak mau percaya sama orang lain. Meskipun itu elo atau Kak Jol sekalipun.”



No comments:

Post a Comment