TIGA
Kuningan. 21 September 2012 : 22.34WIB
“Kapan nyokap lo pulang?” tanya Aju begitu duduk berdua bersama Avi di kontrakan rumahnya.
Mereka biasa menikmati Mix Max saat sedang bosan dan jenuh karena rutinitas sehari-hari. Tapi tidak terlalu sering, mereka hanya melakukan dengan sembunyi-sembunyi manakala Jol tidak datang ke kontrakan Aju. Karena senior mereka itu akan selalu bawel dan memarahi mereka jika ada satu saja kaleng bir yang berserakan. Bahkan Jol juga tidak segan-segan melakukan sweeping di rumah kontrakan Aju bila sedang tidak ada kegiatan.
“Besok.”
“Jadi lo nginep disini lagi?” tanya Aju sambil meletakkan minumannya di meja, lalu berbaring di tempat tidur.
Avi ikut-ikutan berbaring di samping sahabatnya. “Kak Jol udah balik dari Kuala Lumpur apa belum sih?”
“Kenapa? Lo mau curhat?”
Avi tidak menjawab. Kedua tangannya di tangkupkan di atas perut. Lamunannya melayang ke Maminya dan kata-kata Maminya kemarin siang. Bukannya tidak pernah berpikir, tapi justru Avi selalu memikirkan Mami dan adiknya yang keduanya sama-sama perempuan.
Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dan semuanya perempuan, Avi selalu ingin menjadi orang yang bisa di andalkan baik oleh Maminya, Papinya atau semua saudara-saudaranya. Kakaknya sudah menikah akibat hamil di luar nikah. Itu yang menyebabkan Avi mulai tidak bisa menyukai laki-laki. Ada sesuatu dalam diri laki-laki yang membuatnya sangat geli. Avi tidak bisa mendeskripsikannya. Tapi belakangan Avi bisa membodohkan mereka; karena laki-laki selalu berpikir bahwa wanita hanya objek untuk membuat anak. Meskipun terkadang para laki-laki tidak sadar hal itu. Yang mereka pikirkan hanya kenikmatan sesaat. Tanpa mau berpikir lebih.
Avi memutuskan untuk menjadi seorang Butchbukan tanpa alasan. Banyak sekali alasan yang mendasarinya. Dari alasan yang mengada-ada, hingga alasaan sesungguhnya. Terkadang dia berpikir bahwa dirinya sangat munafik. Dia mencemooh makhluk laki-laki, tapi dia juga ingin seperti mereka yang memiliki keteguhan hati untuk melindungi wanitanya. Itulah tujuan Avi yang sebenarnya. Dia hanya ingin menjadi lebih kuat dengan dirinya saat ini, dia ingin melindungi wanita-wanita yang sering disakiti oleh laki-laki. Dan Avi ingin hadir menjadi sosok lain yang bisa di kagumi wanita dan berjanji untuk tidak menyakiti mereka.
“Ngelamun apa?” tanya Aju tiba-tiba mengagetkannya.
“Nothing!” jawab Avi cepat.
“Lo yakin nggak mau tidur di rumah aja? Lo kan nggak pernah di kelonin sama nyokap lo. Mumpung ada orangnya tuh!” ledek Aju.
“Gue lebih nyaman di kelonin Popo gue daripada nyokap,” jawab Avi datar.
“Hey!” panggil Aju.
“Hmmm?”
“Gue pengen ketemu cewek itu.”
“Siapa?”
“Amel. Yang sering lo ceritain itu,”
Avi menoleh sekilas ke arah Aju. “Kenapa?”
“Nggak tahu kenapa. Gue punya feeling sama dia,”
“What?”
“Bukan feeling kayak yang itu... tapi lebih ke elo malah. Nggak tahu kenapa, kalau denger cerita dari lo soal dia, gue jadi inget sama Tika.”
“Maksud lo?”
“Percaya atau nggak. Nggak tahu kenapa juga gue ngerasa saat-saat lo berfoya-foya bakal berakhir sejak kedatangan cewek itu dalam hidup lo.”
“Jadi lo mau bilang kalau cewek itu yang bakal punya kontribusi besar buat ngerubah gue?”
“Mungkin nggak juga. Tapi gue cuma mikir kalau kedatangan cewek itu akan jadi pertanda kehancuran masa labil lo,”
Avi melongo.
♀ ♀ ♀
Bandara Soekarno-Hatta. 22 September 2012 : 13.12 WIB
Avi memeluk Maminya erat-erat sebelum mereka berpisah di Airport. Esa melambaikan tangannya pada Maminya begitu wanita itu masuk ke dalam. Daniel juga melakukan hal yang sama.
Sebelum mereka berpisah tadi. Mami Avi sudah mewanti-wanti kedua anaknya untuk tidak saling bertengkar. Dia juga mengingatkan Avi agar tidak terlalu sombong dan angkuh dengan apa yang sudah di nikmatinya saat ini. terlebih lagi, Maminya meminta agar Avi menjaga baik-baik usaha Papinya yang kini sedang di jaganya.
Ketika Maminya sudah menghilang di balik kerumunan orang. Avi dan Esa beserta Daniel langsung bertolak kembali ke dalam mobil dan terpaksa menahan udara panas yang berhembus di luar Bandara. Ketika sudah masuk ke dalam mobil dan Daniel menyalakan AC. Mereka semua langsung merasa nyaman.
“Langsung pulang aja, Ko. Aku pengen tidur,” kata Esa yang duduk di kursi belakang.
Daniel melirik Avi sekilas. “Pulang? Nggak makan dulu?”
“Makannya beli aja deh. Kayaknya Esa lagi nggak enak badan. Habis pulang sekolah tadi kayaknya dia lesu banget,” jawab Avi tanpa melepaskan perhatian dari adiknya. “Kamu nggak apa kan, Sa?”
Esa memegang dahinya. “Nafasku panas. Kayaknya aku demam deh, Kak.”
Avi terbelalak. “Kok tiba-tiba?” tanya Avi dengan panik seraya pindah duduk di kursi belakang menemani adiknya. Telapak tangannya menyentuh dahi adiknya. Benar. Dia demam. “Kita ke dokter deh, Ko.” Kata Avi saat sudah memeluk adiknya dan menidurkan kepala Esa di pangkuannya.
Avi melepas jaketnya dan langsung menutupi tubuh Esa agar anak itu tidak kedinginan dengan AC mobil. Daniel mengangguk dan langsung menstarter mobilnya. Mereka pulang.
Selama dalam perjalanan. Tidak ada yang mereka bicarakan sama sekali. Avi tidak bertanya ini maupun itu pada Daniel dan begitu pula sebaliknya. Kecuali ketika Daniel bertanya mengenai Esa yang sedang tertidur berselimutkan jaket Avi.
Perjalanan dari Airport menuju Kelapa Gading sekitar satu setengah jam di sertai macet. Saat sudah memasuki daerah Kelapa Gading, di jalan Pegangsaan Dua, Daniel langsung membelokkan mobilnya ke sebuah bangunan klinik 24 jam yang ada di jajaran ruko. Klinik yang biasa menjadi langganan Avi.
Setelah memarkir mobilnya, Daniel segera turun lebih dulu tanpa mematikan mobil. Avi membiarkannya. Dia tahu kalau Daniel pasti sedang mendaftarkan dulu nama Esa. Tidak lama kemudian Daniel sudah muncul dengan sebuah kartu di tangannya.
“Yuk, turun. Mumpung dapet giliran kedua,” ajak Daniel sambil mematikan mobilnya. Lalu membuka pintu belakang mobil untuk Avi turun.
Avi menepuk lengan adiknya agar anak itu bangun. “Bangun, yuk. Udah nyampe!”
Esa mengerjabkan matanya. Tatapannya sayu dan terlihat lemas. “Dimana?” tanyanya saat berusaha mengenali dulu sekelilingnya.
“Di klinik. Ke dokter dulu, yuk!” ajak Avi seraya membenahi rambut panjang adiknya yang acak-acakan. “Udah, yuk!” Avi turun lebih dulu, lalu di ikuti Esa yang langsung meraih lengan kakaknya. Avi bisa merasakan kulitnya terasa panas saat tubuh Esa bersentuhan dengannya.
Mereka bertiga masuk kedalam klinik dan duduk di ruang tunggu dokter umum. Tidak lama kemudian pasien sebelumnya yang di periksa sudah keluar. Avi lantas mengajak Esa masuk dan mendapati seorang wanita cantik berjas putih sudah duduk di belakang meja sambil tersenyum ke arah mereka.
“Avi!” serunya begitu melihat Avi sambil menggandeng adiknya dan langsung menyuruh adiknya berbaring di tempat tidur pasien. “Loh, kok... siapa yang sakit, nih?”
“Esa, Dokter Nathalie.” Jawab Avi sambil menebar senyum ramah.
“Kirain kamu sakit lagi,” goda Dokter Nathalie.
Avi hanya tersenyum sambil terus memandangi Dokter cantik yang ada di hadapannya. Dokter itu kelihatan luar biasa dengan stetoskop yang menggantung di lehernya dan kini mulai memasang stetoskop di telinganya, lalu memeriksa kondisi adiknya.
“Dokter apa kabar?” tanya Avi dengan suara lembut.
Dokter Nathalie melirik sekilas ke arah Avi, lalu tersenyum. “Baik. semua baik. Baru kemarin juga kan kamu kesini?”
Avi tidak melepaskan pandangan lembutnya ke arah Dokter Nathalie. Seolah tahu jika dirinya di perhatikan, Dokter Nathalie hanya tersipu.
“Coba buka mulutnya!” perintah Dokter Nathalie seraya mengarahkan senter kecilnya ke mulut Esa. “Lidahnya di julurin, coba!” Dokter Nathalie memperhatikan lebih dalam bagian dalam mulut Esa. “Radang. Pasti kamu ketularan kakak kamu,” katanya sambil memasang stetoskopnya dan mematikan senter kecilnya. Tangannya mulai menekan bagian ulu hati Esa. “Sakit?” tanyanya. Esa meringis dan hanya bisa mengangguk. “Kamu nggak pernah di kasih makan kakak kamu ya? udah kurus kering. Maag, lagi!” godanya sambil melirik ke arah Avi. Kali ini dia memeriksa tensi darah Esa. Avi masih tetap memperhatikannya dengan baik hingga Dokter Nathalie mengejutkannya. “Tekanan darahnya normal. Cuma nggak pernah makan pasti.”
“Orang Esa nggak makan nasi, Dok. Dia kan makan beling.” Jawab Avi balas menggoda.
“Makan beling? Kamu pikir kuda lumping!”
“Orang dia biasa makan menyan juga,” goda Avi. Adiknya malah cemberut.
“Udah. bangun! Nggak ada keluhan lain, kan?” tanya Dokter Nathalie pada Esa. “Pusing nggak?” tidak ada jawaban, Esa hanya mengangguk. Dokter Nathalie langsung kembali ke meja kerjanya dan membuat resep.
“Minta surat ijin juga, Dok.” Kata Avi sambil duduk di depan meja Dokter Nathalie.
Dokter Nathalie mengangguk dan memberikan kertas berisi resep dokter lebih dulu pada Avi. Lalu Avi memberikannya pada Esa.
“Ini. Kasih Koko dulu. Aku nungguin Dokter bikin surat ijin buat kamu,” kata Avi sambil membenarkan poni Esa yang sedikit acak-acakan. Adiknya mengangguk dan langsung berjalan keluar ruangan. Avi memperhatikan adiknya hingga dia menutup pintu ruangan itu.
“Mau berapa hari?” tanya Dokter.
“Dua hari,” bisik Avi yang tiba-tiba sudah berada di samping Dokter Nathalie.
Dokter Nathalie merasakan bulu kuduknya berdiri begitu nafas Avi berhembus di lehernya yang terbuka. Saat dia menoleh, bibir Avi sudah mendarat di bibir Dokter Nathalie. Lama. Meskipun tidak bergerak. Tapi keduanya seolah menikmati sentuhan itu.
“Vi, aku udah janji sama diriku sendiri dan anakku, kalau...”
“Aku tahu,” tukas Avi. “Aku tahu,” bisiknya dengan suara parau. Ada satu bagian dirinya yang tidak rela melepaskan dokter cantik itu. Tapi satu bagian dirinya yang lain segera menariknya jauh-jauh dari Dokter Nathalie yang sudah dekat dengannya hampir tujuh tahun. Sejak Avi masih duduk di kelas satu SMA. “Thanks,” kata Avi kemudian. “Aku akan sering-sering kemari,”
Dokter Nathalie hanya tersenyum manis. “Hanya kalau benar-benar sakit!” katanya memperingatkan.
“Sakit pikiran juga termasuk?”
Dokter Nathalie menggeleng. “Ini!” katanya seraya menyerahkan surat ijin untuk Esa yang sudah di letakkan dalam amlop.
“You really beautyful, Dok.” Kata Avi sebelum keluar dan menutup pintu.
14.13 WIB
Saat mobil sudah sampai rumah, Esa langsung turun lebih dulu dan ambruk di sofa ruang tengah. Avi memeriksanya sebentar. Dia tidak apa-apa. Daniel segera mengambil kunci motor Avi dan menuju garasi.
“Mau kemana, Ko?” tanya Avi.
“Nyari makan. Mau makan apa?”
“Apa aja. Padang juga boleh,”
Daniel menstarter motor Avi dan langsung melesat begitu saja dari pintu garasi yang sebelumnya sudah dia buka. Avi memandangnya bingung. Meskipun Avi tahu, Daniel selalu begitu setiap kali Avi mengunjungi Dokter Nathalie. Tapi tidak biasanya juga Daniel berlaku aneh dan sedikit emosi. Daniel yang dia kenal adalah sosok cowok yang kalem tapi bisa menguasai dirinya. Santai, tapi bisa serius di saat yang tepat.
“Kak, mau ganti baju!” rintih Esa begitu melihat Avi melintas di ruang tengah.
Avi hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Seperti biasa jika adiknya sakit, anak itu pasti akan berubah menjadi super manja yang bahkan untuk ganti baju saja harus ada yang membantunya. Avi masuk ke kamar Esa dan langsung membuka lemari adiknya. Segala perabot berwarna pink dan putih menghiasi setiap sudut ruangan adiknya. Mulai dari meja, lemari, sprei, hingga pernak-pernik seperti bingkai foto dan ornamen-ornamen khas anak cewek yang berwarna pink. Lalu cat kamar itu yang berwarna putih. Boneka bear Esa yang berwarna putih dan rata-rata baju di dalam lemari yang tertata rapi, semua berwarna putih. Rapi. Avi mengambil celana pendek dan kaos tanpa lengan untuk adiknya. Juga selimut.
“Sini, ganti baju dulu!” Avi meletakkan baju ganti untuk adiknya di meja. Esa sama sekali tidak bergeming dan tidak mau bangun. Avi menghela nafasnya. Tangannya mulai meraih kancing celana adiknya dan melepasnya. Langsung di gantikannya dengan celana pendek dan begitu pula dengan kemejanya yang langsung di ganti dengan kaos. Setelah selesai, Avi langsung menyelimutinya. “Tidur dulu. Ntar jam dua belas kakak bangunin. Makan, ya!”
Esa mengangguk kecil tanpa membuka matanya.
“Avi!” panggil Kang Daduk seraya berlari-lari kecil masuk kedalam rumah.
“Iya, Kang?”
“Ada orang beli. Toko lagi rame. Bisa bantuin, nggak?”
Avi segera berlari keluar rumah dan meningggalkan Esa begitu saja. Dia dan keryawan kepercayaan Papinya itu langsung menuju bangunan toko yang ada di seberang jalan rumahnya. Seperti kata karyawannya. Pelanggan hari ini meningkat tidak seperti biasa dan mereka terlihat sedang ramai melihat-lihat beberapa furniture yang di jual oleh Toko Avi.
“Lagi nyari yang kualitasnya jati bagus, Pak?” tanya Avi begitu mendekati seorang bapak-bapak yang berdiri di depan sebuah kursi cantik. Avi bisa menaksir harta kekayaan orang itu meskipun hanya sekali melihat saja. Dan dia siap pasang harga.
“Yang ini berapa harganya?” tanya bapak-bapak paruh baya itu sambil memegang lengan kursi cantik yang di hias bantalan itu.
“Ini sofa mawar Jepara. Bahan bakunya kayu jati asli. Perhutani,” Avi melirik bapak-bapak itu. “Yang ini lima juta.” Katanya mantap.
“Jati?”
“Jati!” jawab Avi sambil mengetuk-ketukkan jemarinya di atas kayu itu untuk memastikan kualitasnya. Meskipun itu tidak ada pengaruhnya juga.
Bapak itu terlihat berpikir-pikir lagi. Avi tahu orang yang seperti ini tidak akan memfokuskan pada satu pilihan. Karena itu dia membawa pelanggannya ke sebuah sofa yang sama cantik dengan harga yang bisa di pikirkan pelanggannya lagi.
“Yang ini mahoni. Ini sofa malas,” Avi menunjuk ke salah satu furniture sofa cantik dengan model yang unik, sedikit melengkung ke atas empat puluh lima derajat dan terlihat nyaman untuk di tiduri.
“Boleh di duduki?” tanya pelanggannya.
Avi mempersilakannya. Pelanggannya terlihat lebih nyaman dengan pilihan keduanya. Senyumnya mengembang sana-sini. Dan Avi juga bisa melihat dia akan membuka dompetnya.
“Tapi mahoni, ya?” tanyanya.
Avi mengangguk mantap. “Yang jenisnya ini semua mahoni, Pak.”
“Catnya gold semua, ya?”
Avi tetap memasang senyumannya yang paling ramah meskipun pelanggannya kali ini sedikit bawel. Tapi Avi bisa memaklumi. Karena pelanggan yang seperti ini sudah kelihatan jarang membeli perabotan kayu dengan desain yang antik.
“Finishing-nya gold semua, Pak. Tapi kalau Bapak mau. Ada yang non finishing bisa di pakai warnanya sesuai kemauan bapak.”
“Rumah saya sih catnya Orange. Bagusnya kalau pakai furniture kayu, warnanya apa, ya?”
“Kalau saya menyarankan. Mending kayunya golddan sofanya warna yang rada soft, Pak. Bisa salom, bisa juga cream.”
“Yang ini cream, ya?”
Avi mengangguk. “Iya, Pak.”
“Oke. Ambil yang ini aja kalau gitu. Soalnya ngeliatnya aja udah pengen tidur.”
Avi terkekeh. “Namanya juga sofa malas, Pak.”
“Wah, malas juga nih pasti harganya,” sindir pelanggannya sambil tersenyum, “Berapa?”
“Cukup tiga setengah aja, Pak!”
Bapak-bapak itu terlihat heran. “Tiga setegah... tiga juta lima ratus? Tiga puluh lima juta? Atau tiga ratus lima puluh ribu?”
Avi tersenyum geli. “Bapak ini bisa aja. Ya Tiga juta lima ratus ribu lah, Pak!”
“Hah?”
“Kenapa, Pak? Malas harga, ya?”
“Kok lebih murah?”
“Kan mahoni, Pak.”
“Tapi desainnya lebih bagus dari yang tadi.”
“Taktik pemasaran dong, Pak,” gurau Avi.
Bapak-bapak itu langsung menyerahkan ATM-nya pada Avi dan Avi menggiringnya ke meja kasir untuk melakukan pembayaran.
“Nggak sekalian sofa santainya, Pak?” tanya Avi begitu melihat pelangganya masih suka memperhatikan koleksi furniture di toko Avi.
“Yang mana itu?”
Avi berjalan ke arah satu kursi dengan empat kaki dan memiliki bantalan yang empuk. Cocok untuk di letakkan di depan TV. Pelanggannya ikut mendekat.
“Waah, saya tinggalnya sama empat cucu. Kalau mereka lonjak-lonjak disana, bisa amsyong ‘ntar.”
Avi terkekeh geli. “Kalau gitu di letakkan di kamar Bapak aja. Di taruh dekat jendela. Kan enak gitu, sore-sore sambil duduk berdua sama istri. Minum kopi di kamar.”
“Minum kopi di kamar...”
“Loh, kan romantis, Pak.”
Pelanggannya tertawa terbahak-bahak. “Udah aki-aki. Udah nggak cocok romantisan. Ntar kalo romantisannya bablas. Bisa brojol anak lagi.”
“Ah, Bapak kurang taktik. Ya jangan sampai bablas lah. Yang namanya wanita itu kan maunya di sayang-sayang, di rayu-rayu, di puji cantik. Meskipun udah jadi nini-nini sekalipun.”
Pelanggannya terlihat berpikir lagi. “Klasifikasinya gimana itu?” tanyanya seraya mengarahkan pandangannya ke kursi.
“Ini kayu jati, Pak. Warnanya juga nggak terlalu coklat. Desainnya halus. Kalau bapak nyari yang mahoni juga ada, tapi non finishing. Kalau mau, bapak pesan dulu dan jadinya dua hari lagi. Gimana?”
“Yang ini berapa?”
Avi meringis, “Yang ini rada di atas yang tadi, Pak.”
“Yang malas tadi?”
Avi mengangguk. “Yang ini sepuluh juta lima ratus,”
Bapak-bapak itu melotot. “Ini?” tanyanya tak percaya. “Biasa gini!”
“Desain emang biasa, Pak. Tapi kuat dan sofanya jauh lebih nyaman,”
“Mahal di kayu atau mahal di sofa?”
“Keduanya, Pak. Boleh di dudukin,” kata Avi seraya meraih bahu pelanggannya dan memaksa bapak-bapak itu duduk di kursi yang masih terbungkus plastik. “Gimana?”
“Nyaman banget,”
Avi tersenyum. Tapi ekspresinya langsung berubah begitu melihat pelanggannya menggeleng.
“Mending aku ngambil yang mawar tadi aja.”
“Maksudnya?” Avi terlihat bingung.
“Aku ambil dua. Yang malas sama yang mawar.”
Avi tersenyum lebar. Bingo!!
♀ ♀ ♀
No comments:
Post a Comment