Jakarta. 27 Oktober 2010 : 07.56 WIB
Mata Reta menerawang jauh dan menatap kosong ke arah dinding kamar mandi. Pikirannya melayang dan masih terbayang dengan kejadian kemarin mengenai Jol, dia, dan Ibunya. Reta merasa sangat berterima kasih dengan adiknya, Fika. Jika Fika tidak membuka kunci kamarnya, mungkin Reta tidak akan pernah keluar dan bertemu dengan Jol. Reta juga cukup salut dengan keberanian Jol menghadapi Ibunya dengan cara jantan dan tidak lari dari kenyataan bahwa Jol memang mencintainya.
Sesekali di usap perutnya sendiri. Bentuk perutnya sudah agak membesar karena usia janin yang sudah dua bulan lebih. Jol tidak pernah mengetahui kalau Reta hamil dan Jol baru mengetahui itu kemarin. Tapi yang membuat Reta sangat bahagia adalah, Jol mengatakan akan menjadi orang tua anak yang sedang di kandungnya. Meskipun Reta tidak tahu bagaimana prosesnya, tapi Reta senang karena dia tidak harus menghadapi kesakitan di meja operasi karena aborsi.
Saat ini Jol sedang pergi untuk mengurus parportnya dan visanya bersama Avi. Pagi tadi Avi sudah kembali ke kontrakan Aju dengan membawa berkas-berkas yang di minta Jol. Untuk pertama kalinya setelah dia hidup sekian lama, Reta merasa sangat bebas dan bahagia tanpa tekanan. Meskipun dia harus menyakiti Ibunya. Tapi sampai detik ini juga Reta masih belum paham mengapa Ibunya nekat menyuruh kakak iparnya untuk turun ranjang. Sedangkan masih begitu banyak wanita-wanita di luar sana yang bisa di nikahi oleh Vino.
“Biar aku aja yang nyuci. Kamu istirahat aja, Ret!”
Jantung Reta hampir melompat dari dadanya begitu mendengar suara Aju dan mendapati anak itu sudah berdiri di luar pintu kamar mandi. Tatapannya lalu beralih ke ember yang berisi pakaiannya serta pakaian Jol.
“Nggak usah. Baju suami gue ini,” kata Reta dengan tersenyum.
“Istri yang baik,” puji Aju sambil membalikkan badannya. Bersiap akan pergi.
“Ju!” seru Reta cepat-cepat. Aju menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arah Reta. “Gue nggak segitu paham masalah rumah tangga di kalangan lesbian. Apa menurut lo, anak gue nantinya bakal dapat pengesahan dari negara?”
Aju terdiam. Terlihat berpikir keras. “Secara teknis sih nggak ada. Itu udah jelas. Karena membuat Akta Kelahiran itu kan harus ada akta nikah orang tuanya. Jadi udah jelas harus ada Ibu dan Bapaknya yang notabene cowok sama cewek. Ini kan Indonesia, bukan Kanada,” jawab Aju sebisanya. “Tapi akan jadi bisa kalau anak kamu nanti di adopsi. Itu cara yang paling mudah. Bisa Kak Jol yang ngadopsi atau saudara kamu. Maksudnya biar anak kamu masih tetap dalam pengawasanmu dan Kak Jol. Karena aku rasa, Kak Jol sangat menginginkan anak itu.”
Ganti Reta yang terdiam. Tapi kemudian kepalanya mengangguk pelan. “Iya, Jol pengen punya anak dan dia udah bilang kalau anak ini akan jadi anaknya. Tapi gue juga takut. Kalau Jol yang ngadopsi anak ini, dan suatu hari nanti ketahuan kalau ternyata Jol itu—pasangan gue. Gue takut—gue dan Jol bakalan pisah.”
Aju menghela nafasnya. “Cinta emang bikin nggak realistis, ya!” ledeknya dengan mengumbar senyum. “Tapi mau gimana lagi, kita tinggal disini. Di negara yang masih konservatif dan normatif. Jadi mau nggak mau kalian harus ikut aturan. Kecuali kamu dan Kak Jol pindah ke Kanada, Belanda, New Zeland, atau Belgia. Mungkin kamu nggak perlu mikirin masalah status anak dan legalisasi pernikahan kalian nanti.”
“Tapi gue nggak boleh egois sama Jol. Dia udah jadi WNI. Akan terasa jahat kalau minta dia pindah ke negara lain dan memulai hidup baru disana.”
“Kenapa enggak? Kakaknya Kak Jol tinggal di Kanada. Mungkin aja kalian bisa tinggal bareng disana!”
“Tapi apa elo sama Avi bakal siap di tinggal Jol?”
Aju merenung dan menjawab pelan. “Gue nggak akan pernah siap.”
“Mungkin, setelah anak ini lahir. Gue pengen agar dia di adopsi sama Tantenya Jol yang nggak punya anak itu. Dengan begitu semua akan aman. Gue dan Jol aman. Dan anak gue punya status yang jelas.”
“Briliant! kamu udah mikir itu dari jauh-jauh hari, ya?”
Reta mengangguk. “Sewaktu gue sadar kalau gue hamil. Gue nggak berani ngasih tahu Jol. Tapi setelah Jol tahu masalah ini dan mau nerima anak ini jadi anaknya, semalaman gue mikir masalah ini. Dan gue rasa itu jalan terakhir yang bisa gue usahakan buat anak ini. Gue akan tetap bisa mengasuhnya.”
“Kak Jol pasti bakalan dukung, Ret. Aku yakin!” kata Aju dengan antusias. “Dan kerjaan kamu gimana?”
“Jadi SPG itu terserah kita. Bisa keluar setiap saat dan masuk kapanpun.” Jawab Reta sambil tersenyum.
“Dan Vino?”
“Gue harap dia nggak bakal nyari gue. Gue harap dia nggak berani sok preman lagi. Gue nggak bakal segan-segan lapor polisi.”
“Tapi gimana kalau malah kamu dan Kak Jol yang di laporkan duluan? Gimanapun Kak Jol bisa di tuduh penculik dan nama para Butchdi negara ini akan makin suram. Apalagi Kak Jol itu senior kami. Pendiri Violey.”
“Gue harap Fika bisa ngasih pengertian Ibu dan memohon pada Ibu agar mau ngelepasin gue. Dengan begitu mungkin Ibu bisa ngasuh tahu Vino biar nggak ngurusin aku lagi,”
Aju mendekati Reta, lalu memegang bahu cewek itu. “Aku punya saran. Lebih baik sesekali kamu jenguk Ibumu atau telepon dia dan beritahu mereka bahwa kamu baik-baik saja bersama Kak Jol. Kirimi foto-fotomu dalam keadaan baik setiap hari. Lakukan itu untuk meyakinkan mereka bahwa kamu baik-baik saja. Bukan di culik. Dan tunjukkan pada mereka bahwa Kak Jol jauh lebih baik dari apa yang mereka pikirkan.”
Reta tersenyum penuh rasa terima kasih pada Aju. Bagaimanapun juga dia merasa lebih nyaman ketika bersama dengan Jol, Aju dan Avi daripada harus tinggal bersama dengan kakak iparnya. Laki-laki yang sudah menghamilinya.
Violey Cafe. 29 Oktober 2010 : 01.48 WIB
Dengan tergopoh-gopoh Reta dan Aju menyusul Jol di Violey Cafe. Ketika mereka berdua masuk ke dalam Cafe, tatapan Reta langsung terfokus pada Vino yang sedang duduk berhadapan dengan Jol. Di belakang Vino berdiri dua orang cowok dengan badan yang kekar dan bersikap siaga. Di belakang Jol, Avi juga bersikap sama siaganya. Aju langsung menghampiri Avi. Sangat jelas bisa di rasakannya bahwa aura di sekeliling mereka sangat tidak baik untuk kesehatan. Suram.
“Kesepakatan terakhir atau gue lapor polisi?” tanya Vino pelan sambil matanya menatap datar ke arah Jol.
Jol membalas tatapan Vino tanpa bergeming. “Keputusannya sudah jelas. Reta milih gue dan gue juga nggak akan menyerahkan Reta sama siapapun.”
“Tapi Reta lagi hamil anak gue.”
“Sejak kapan lo ngaku kalau anak ini adalah anak elo, Bang?” tanya Reta menyela.
Semua mata memandang ke arah Reta yang ekspresinya sudah geram. Jol tetap tidak bergeming dan tatapannya kembali lagi pada Vino, begitu juga sebaliknya. Aju menyentuh bahu Reta, menyuruhnya untuk tenang. Tapi Reta menjauhkan tangan Aju darinya.
“Pelecehan, hinaan, fitnah, apapun yang gue terima kemarin itu belum cukup bikin lo puas? Apa yang bikin elo masih ngejar gue? Gue nggak punya apa-apa buat elo, Bang. Elo bisa nyari cewek lain yang bisa elo manfaatin. Bayar aja perek, kelar!”
“Kita udah di jodohkan, Ret!” sahut Vino dingin.
“Omong kosong! Mungkin satu-satunya hal yang lo mau itu pengen lihat gue mati dan nggak bawa-bawa nama lo,” tukas Reta ketus.
Vino menghela nafas panjang. “Oke, itu artinya lapor polisi.”
“Gue juga bisa laporin elo balik, Vin.” Kata Jol dengan tatapan mata penuh keberanian. “Yang menghamili Reta bukan gue. Itu udah jelas.”
“Tapi gue udah di kasih restu orang tuanya buat nikahin Reta. Itu untungnya,” kata Vino dengan senyum penuh kemenangan.
“Tapi Reta itu di perkosa.”
“Itu bisa di atur jadi perbuatan suka sama suka, kan?”
Reta menggeram. “Enggak. Gue sama sekali nggak suka!”
Aju dan Avi saling berpandangan. Aju sadar betul dalam hal ini kedudukan Jol sangat lemah. Begitu juga dengan kesaksian maupun belaan Reta, tidak akan bisa membuat pendapatnya mampu menyelamatkan Jol dari masalah jika sampai polisi ikut campur.
Vino seolah tidak peduli dengan ucapan Reta. Dia lantas berdiri setelah mengintimidasi Jol. Dua orang yang dia bawa terlihat langsung mengendurkan urat syarafnya begitu Vino mengajak mereka beranjak pergi.
“Bang!” panggil Reta begitu Vino akan mencapai pintu. “Pilih salah satunya yang lo mau. Gue yang mati? anak ini yang mati? atau elo aja yang mati?”
Vino membalikkan badan dan menatap Reta dari kejauhan. “Aku sayang kamu melebihi rasa sayangku ke kakakmu, Ret. Karena itu aku nggak mau kamu mati!” jawab Vino dengan senyum lembut.
“Oke. Karena gue juga nggak mau mati dan gue juga nggak mau bunuh anak dalam perut gue. Karena itu akan lebih baik kalau elo aja yang mati!”
Tanpa disadari Aju, Avi dan Jol. Reta langsung melesat ke dapur, kemudian kembali lagi dengan membawa pisau daging dan mengarahkannya ke arah Vino. Tapi dua orang yang sejak tadi bersama Vino langsung melindunginya dari pisau yang di arahkan Reta ke pada Vino. Seorang dari dua orang itu terluka di bagian lengan. Karena bacokan Reta yang membabi buta. Hingga salah satunya yang tidak terluka langsung menampar Reta hingga dia terhuyung jatuh. Jol langsung cepat-cepat berlari dan membantu Reta berdiri.
“Ayo pergi!” kata Vino begitu melihat salah satu temannya terluka parah di lengan. “Urusan kita masih belum selesai. Gue bakal ngejar kemanapun kalian pergi!” ancam Vino seraya membawa temannya pergi.
Suasana sudah lewat tengah malam saat ini. Cafe juga sudah tutup. Tadi Aju sudah pulang lebih dulu bersama dengan Reta atas perintah Jol. Tapi Aju tidak tahu jika ternyata Jol dan Avi akan mengadakan pertemuan dengan Vino di Cafe. Aju juga sangat bingung mengapa mereka harus memilih Violey sebagai tempat pertemuan. Padahal Jol selalu menyuruh Aju untuk baik-baik menjaga Cafe dan tidak mau ada orang yang merusak Cafenya. Aju sudah was-was karena tidak ingin Cafe yang sudah di jaganya selama ini hancur karena ada perkelahian.
Ketika Aju sudah ada di rumah, Avi mengirimkan sebuah pesan pada Aju dan mengatakan bahwa terjadi ketegangan diskusi antara Vino dan Jol. Karena itu Avi menginginkan Aju untuk ikut datang. Tapi ternyata Reta tahu dan cewek itu memilih ikut dengan Aju kembali ke Violey.
“Kamu jangan berbuat kayak gitu lagi. Aku nggak mau kamu keluar kendali kayak tadi!” Jol memarahi Reta. Tapi cewek itu malah langsung memeluk Jol dan menangis didadanya.
“Jol, kita pergi. Aku pengen pergi!” Reta mulai menangis.
Jol menatap dua sahabatnya. Dan dua anak itu melemparkan senyuman ke arahnya.
“Oke. Kita ke Bangkok. Aku bikinin kamu visa jangka pendek. Kamu bisa tinggal selama tiga bulan disana. Sementara itu, aku tetap kerja di sini.”
“Maksudnya? Kamu ninggalin aku sendirian disana?” tanya Reta seraya mendongakkan kepalanya.
Jol tersenyum. “Bukan, sayang. Aku bakal bawa kamu ketiga tempat selama satu minggu. Kita nikah, sesuai janjiku. Aku besok mau ngatur cuti di kantor. Secepatnya setelah aku dapat cuti, kita berangkat. Sementara ini, kamu tinggal di kontrakan Aju aja dulu. Lebih aman.”
“Cuti berapa lama, kak?” tanya Aju.
“Seminggu. Setelah itu aku ninggalin Reta di Bangkok. Biar dia tinggal sama Mamaku dulu buat sementara disana,” jawabnya pada Aju. Lalu pandangannya mengarah kepada Reta. “Tenang, aku bakal ke Bangkok setiap weekend, kok. Jangan takut.”
“Selama tiga bulan?” Avi tak percaya.
Jol mengangguk mantap. Avi dan Aju hanya bisa melongo serta menggeleng-gelengkan kepalanya.
♀♀ ♀
No comments:
Post a Comment