Thursday, November 21, 2013

VIOLEY 1 : JOLIE - "Venus Saga" - Satu

SATU


Violey Cafe. 24 Oktober 2010 : 11.10 WIB
Aju sedang menyemprotkan whipped creampada kopinya. Dia paling  suka membuat Art Coffee. Tapi dia tidak begitu suka membuat Art Coffee untuk dirinya sendiri.  Dia butuh kopi bukan untuk kesenian. Hal itu hanya kadang kala dia lakukan. Tapi dia paling suka menyemprotkan whipped cream saja ke dalam kopinya jika dia benar-benar sedang butuh minum kopi.
“Coffee latte, Ju!”
Kepala Aju menoleh ke belakang. Sosok yang sama maskulin dengannya sudah duduk di depan meja bar. Di tatapnya wajah itu dengan prihatin. “Muka kucel amat, Kak. Lagi suntuk?”
Oh shut up! Kepala gue lagi puyeng nih,” sahut Jol sambil memegangi kepalanya dengan frustasi. “Meti mana?” tanyannya begitu dia tidak melihat salah satu karyawan kesayangannya, Meti Si Koki. Tapi begitu melihat seorang cewek tinggi langsing dengan pakaian koki keluar dari dapur dalam, Jol langsung tersenyum padanya dan Meti langsung kembali lagi ke dapur. Cewek itu tidak banyak bicara dan hanya muncul kala Jol datang saja.
Aju hanya menggeleng sambil tersenyum. Bukan hal biasa memang melihat Si Pemilik Violey Cafe itu memasang wajah lusuh. Bahkan Aju adalah orang  yang mengenal baik kepribadian seniornya itu.
“Kak, lo nggak ada niat nambah karyawan lagi?” tanya Aju begitu memasang cangkirnya pada mesin kopi.
“Iya, sejak Lori pergi delapan bulan lalu, kalian jadi kualahan,” renung Jol.
Aju hanya tersenyum sekilas. Jelas Aju tahu apa sebab Lori pergi dari Cafe. Karena femme itu putus dengan Jol, lalu pergi begitu saja dan kembali ke Belanda.
“Mau heart?” tanya Aju begitu selesai menuangkan latte dalam kopi dan bersiap mengelak-kelokkan tekstur foam di atas  kopi yang sudah di campur dengan bubuk coklat.
“Ah, enggak, biasa aja. Nggak keburu nikmatin hiasan!”
Aju sedikit keheranan. Langsung disodorkan secangkir kopi ke hadapan Jol. Seniornya itu langsung meminum kopi buatan Aju dengan sekali teguk. Mata Aju melotot.
“Kak, lo lagi minum air putih? Itu kan kopi. Nikmatin dikit lah hasil kerja keras gue!”
“Sorry. Nggak sempet,” jawab Jol asal. “Lagi!” Jol menyodorkan cangkir kopinya balik pada Aju.
Aju menaikkan sebelah alisnya. “Hey, ini kopi. Bukan bubur ayam!”
“Gue tahu. Buruan!”
Aju menghela nafasnya. Meminggirkan cangkir kopinya ke sisi lain dan tidak mengikuti kemauan Jol. Kalau dia mengikuti keinginan Jol, bisa jadi malah memperburuk keadaan karena dampak dari terlalu banyak minum kopi.
Di tatapnya senior yang sangat di hormatinya itu baik-baik. Selama ini mereka sudah seperti saudara dan tidak terpisahkan. Sebagai sesama Butchi. Sebagai sesama lesbi. Sebagai  orang  yang memiliki kecenderungan yang sama. Dan akhirnya mereka terbentuk dalam satu ikatan keluarga. Disini, di Violey Cafe ini mereka membentuk sebuah komunitas terselubung dan pada akhirnya banyak memiliki anggota. Tentu saja yang sama orientasi seksualnya dengan mereka.
What’s the matter?
“Gue mikir semalaman,” Jol mulai bicara. Tapi pandangannya ke arah lain. Seolah ada makhluk lain yang berada disana. “Gue mau berjuang buat  Reta.”
Aju mengangguk-anggukkan kepalanya. Menyimak. “Apa kita akan mulai debut membuat legenda Venus Saga?” tanya Aju sambil menopang dagu. “Lalu?”
“Haruskah gue datang ke rumah Reta?”
“Lo mau cari mati!”
“Gue tahu!”
Aju menatapnya dingin. “Mungkin Avi punya saran.”
Jol membenturkan kepalanya ke meja. Frustasi. Aju hanya menatapnya bingung. Mungkin jika kepala Jol adalah benda pecah belah, bisa di pastikan saat ini sudah tidak ada lem yang bisa merekatkannya.
“Kemana dia?” Jol menanyakan sosok lain yang biasanya datang ke Cafe, tapi kali ini makhluk itu belum ada. Avi.
Aju melihat ke arah jam tangannya. “Lima  belas menit juga nyampe. Jam segitu dia baru pulang kuliah. Ini hari senin, biasanya dia pulang lebih cepet. Kuliahnya kan nggak pernah serius,” jawab Aju dengan senyum mengejek.
Oh, Shit!” umpat Jol lagi. Dia tidak memperhatikan jawaban Aju. “Otak gue bener-bener nggak mau kerja. Apa yang harus gue lakuin? Ini udah kayak bertaruh hidup atau mati.”
“Ya emang bertaruh hidup dan mati, Kak!” Aju membenarkan.
Aju dan Jol menoleh ke arah pintu yang terbuka tiba-tiba. Kepala anak berambut cepak dan dengan dandanan maskulin sama seperti mereka berdua menyembul masuk. Helm dan tas  yang ada di tangannya langsung di letakkan di sebuah box khusus di Cafe itu.
Jol melongok ke arah jam tangannya. Baru jam sebelas lewat sepuluh menit. Masih pagi. Butchi dengan dandanan super laki-laki itu langsung duduk di sebelah Jol dan menebarkan senyum anehnya.
“Lo nggak kuliah?” tanya Jol begitu melihat Avi duduk di sebelahnya.
Avi menggeleng. “Nggak ada latihan teater. Ya udah, bolos aja. Bosen gue!”
Aju mendengus. “Kelakuan anak Papi ya kayak gini ini. Bisanya buang-buang duit doang. Pacaran. Nggak jelas banget hidupnya. Inget, suatu hari nanti lo bakal ngerasain gimana nggak enaknya nyari duit beneran. Dan lo bakal milih buat belajar aja dari pada susah-susah kerja.”
Avi pura-pura menutup telinganya. Teman dekatnya. Sahabat karibnya.  Dan lebih mirip seperti saudara kembarnya itu lebih bawel dari pada kelihatannya.
“Kita bahas masalah Kak Jol,” Avi mulai bicara untuk mengalihkan perhatian Aju darinya.
Hening mendadak. Suasana langsung berubah serius. Avi melihat ke arah Jol dengan tatapan penuh perhatian, begitupula dengan Aju. Cafe itu baru benar-benar buka saat jam dua belas. Dimana baik pekerja kantor  dan anak sekolah akan masuk kesitu hanya sekedar untuk makan cake atau minum kopi atau menikmati makanan lain yang menjadi menu Violey Cafe.
“Mungkin memang belum pertunangan. Tapi baru masih dalam tahap di jodohkan. Tapi apa iya kalau jaman sekarang itu masih ada adat Siti Nurbaya—cerita yang terkenal dari Indonesia itu?” dengan tatapan kosong Jol membuka ceritanya.
Why not?” Avi mengangkat bahunya. “Kalau Datuk Maringginya keren dan tajir, siapa tahu? Lagian Reta itu cewek normal, Kak. Seberapa besarpun usaha lo buat ngebelokin dia. Nggak bakal belok!”
“Gue tahu... gue tahu...” Jol bergumam. “Tapi satu-satunya  orang  yang dia suka itu gue. Dia nggak punya ketertarikan sama yang lain.”
“Ya, soalnya lo tajir!” komentar Avi lagi.
“Lo ngomong gitu seolah-olah lo nggak tajir aja, Vi.” cemooh Aju.
Avi meringis. “Beda kondisi sama Kak Jol. Dia kan senior. Harusnya nggak pake acara curhat gini, dong.”
“Beda kondisi juga. Kak Jol serius  sama perasaannya dan bener-bener punya niat buat married. Sedangkan lo masih stag di acara ‘tinggal selibat’ sama Si Ular,” balas Aju.
“Si Ular?” Avi menaikkan alisnya.
“Lo tahu nggak siapa nama Ular peliharaannya Orochimaru?”
“Maksud lo Senjutsu Ular punya Orochimaru?” tanya Avi balik.
Aju mengangguk. “Namanya MANDA!”
Oh, shut up! Jangan mulai lagi!”
Aju terkekeh. Tapi tatapannya langsung beralih pada Jol yang sedang berubah jadi pendiam. “Oke, kita mulai serius,” Aju memulai bicaranya lagi dengan memasang ekspresi super serius untuk kali ini.
Forgeted. Gue nggak minat sama temen yang nggak serius disaat gue punya masalah,” sahut Jol seraya berdiri. Tapi belum sempat dia pergi, tangan Avi sudah meraihnya dan mendudukkan Jol kembali ke tempat semula.
“Sorry, Kak. Tadi itu Aju cuma bercanda.” Kata Avi sambil menatap Aju dengan omelan tanpa suara. Aju hanya membalas dengan mengangkat bahunya.
“Kak. Apa nggak sebaiknya realistis aja?” tanya Aju tiba-tiba.
Jol mengangkat wajahnya. Menatap Aju dengan tatapan dingin dan tajam. “Lo nyuruh gue nyerah? Lo anggep perjuangan gue ini nggak realistis?”
“Bagi mereka yang merasa orientasi seksualnya normal. Bukannya kita ini seperti kotoran? Mereka memandang rendah kita dan menganggap kita ini makhluk yang tidak beradab. Mereka jelas Homophobia.” Terang Aju lagi dengan sikap pesimis.
“Seks itu hanya seperti makanan pokok, Ju. Jika mereka yang normal adalah nasi, maka kita adalah alternatifnya.” Jawab Jol.
“Dan nasi itu bisa di gabung sama jagung atau kentang, iya kan, Kak?” tambah Avi. “Yang penting itu cinta, Men!”
Aju melirik ke arah Avi yang sepertinya terlihat pro dengan Jol. “Aku tahu. Tapi apa harus kakak sampai berjalan jauh kayak gini? Meminta Reta pada keluarganya, sama juga dengan menyerahkan nyawa kakak ke tangan orang tuanya, juga abangnya.”
“Apa kalian pernah mengalami hal kayak gue?” tanya Jol seraya mengedarkan pandangannya pada Avi dan Aju. Anak-anak yang sudah di anggap seperti adiknya sendiri.
Avi menggeleng. Kemudian mengangkat bahu. “Kasus gue sama Vega dulu... rasanya itu waktu...” dia bingung untuk menjelaskannya. Terlebih lagi, nama Vega sudah meluncur dari mulutnya begitu saja. Aju dan Jol tahu bahwa Avi tak akan pernah melanjutkan kata-katanya. Dan Jol ataupun Aju tak akan pernah menunggu cerita itu di lanjutkan.
“Kayaknya gue bener-bener fix bakal ke rumah Reta. No matter what, I’m ready.
Aju melirik ke arah Avi. Mulutnya mengatakan sesuatu tanpa suara. Avi bisa menangkap apa yang ingin di katakan Aju. ‘Ikutan bujuk, dong!’ setidaknya itulah yang di tangkap Avi.
“Apa yang paling di  inginkan cewek normal dalam sebuah hubungan selain cowok tajir, tampang ganteng dan cinta?” tanya Avi tiba-tiba.
Jol menoleh ke arah Avi. Tapi anak itu malah menatapnya balik dengan pandangan datar. “Hamil—anak,” jawab Jol seolah tahu apa yang dipikirkan Avi.
Avi menjentikkan jarinya ke arah Jol, “Tepat! Hamil! Anak! Dan apa kakak bisa ngasih dia anak?”
Jol menegakkan bahunya. Bibirnya mengerucut sebentar. “Gampang. Inseminasi buatan!”
“Kak, kita hanya bisa melakukan seks. Nggak bisa menghasilkan lebih dari itu,” terang Avi seolah tahu benar perannya.
“Cewek memiliki aspek seksual yang misterius. Itu yang gue lihat  dari Reta saat pertama kali dia gue deketin. Gue mendekati dia karena  keyakinan. Gue juga nggak pernah menganggap Reta sama kayak gue. Gue mencintai dia sesuai dengan lahirnya. Apa adanya. Nggak mengkotak-kotakkan dia seperti kita,” Jol menoleh ke arah Avi. “Yang kita punya memang hanya cinta dan keteguhan hati, Vi. Mungkin kita memang tidak bisa menghasilkan lebih. Tapi kita bisa jika kita mau.”
“Dengan cara menyerahkan diri pada cowok yang jelas-jelas punya kromosom Y, meskipun kita merasa punya setengahnya?”
Jol memandang Avi dengan tatapan lembut dan dewasa. “Aku, kamu, Aju, kita semua yang ada dalam komunitas ini. Semua bisa hamil. Semua bisa punya anak kalau kita mau. Banyak cara yang bisa di lakukan selama kita masih punya rahim. Begitu pula dengan Reta. Jadi intinya hanya kemauan. Tapi masalah hamil dan menghamili, bukannya sekarang bisa pakai metode lain?”
Avi melengos. Mendengus. “Gue nggak bisa hamil. Kakak tahu itu!”
“Tepatnya nggak mau!” Jol mengangguk lemah.
“Semua orang juga tahu kalau hubungan intim itu nggak selalu menimbulkan kehamilan. Ovulasi dapat terjadi jika sel telur udah matang dan jumlah sperma memadai untuk membuahi sel telur. Ovum siap di buahi oleh sperma itu kan hanya dua belas sampai dua puluh empat jam. Jika melebihi waktu tersebut, maka telur bisa hancur.” Terang Aju. “Dan semua cewek bisa hamil jika sudah memasuki masa produktif atau menstruasi. Mungkin elo bilang nggak bisa hamil lantaran lo ngerasa masa menstruasi lo nggak pernah lancar. Tapi itu bukan kendala selama lo masih bisa menstruasi dan punya kantong rahim, Vi.”
Avi mengetuk-ketukkan jemarinya di meja. “Hamil itu bikin gendut. Dan melahirkan itu sakit!”
“Darimana lo tahu kalau melahirkan itu sakit? Sedangkan elo nggak pernah ngelihat proses persalinan atau bahkan melahirkan sekalipun,” cibir Aju. “Yang menimbulkan rasa sakit itu bukan karena mengeluarkan janin dari liang vagina. Tapi karena kontraksi otot rahim dan dinding perut. Begitu juga waktu lo sering ngerasa sakit perut waktu PMS. Itu karena kontraksi otot rahim yang sama halnya terjadi waktu melahirkan.”
Avi tidak begitu memperhatikan penjelasan Aju. Tapi dia malah fokus memperhatikan Jol yang sedang murung dengan tatapan kosong. Avi melihatnya dengan pandangan prihatin.
Aju merasa salah tingkah. Sebenarnya dia paling benci terlibat dengan obrolan yang panjang dan menyangkut tentang masalah percintaan dan juga produktifitas wanita. Meskipun dia sendiri juga sadar bahwa hidupnya tidak akan berhenti disini. Dia juga masih belum tahu bagaimana kedepannya nanti dengan pacarnya, Margaret.
“Oke. Kita tunda dulu obrolannya. Udah mau jam dua belas. Jadi sebaiknya kalian siap-siap bantuin gue buka Cafe!” kata Aju akhirnya memecah suasana.
Jol langsung turun dari kursinya dan berjalan masuk ke arah bar dengan malas. Mengambil celemek dan langsung meraih lap. Mengelap semua cangkir bersih yang sudah tertata rapi di dalam lemari penyimpanan perabot. Aju melemparkan pandangannya pada Avi. Yang di pandang malah hanya bisa mengangkat bahu.




Setia Budi. 25 Oktober 2010 : 18.46 WIB
Malam itu, hujan baru saja turun membasahi Daerah Kuningan Setia Budi. Rintik hujan masih mengguyur seperti serpihan kaca yang turun dari langit. Jol berlari-lari pendek di trotoar jalan menuju Violey Cafe setelah pulang kerja. Tapi belum sampai masuk di halaman parkir Cafe, dia dikejutkan oleh sosok dua orang laki-laki gempal yang sudah berdiri di hadapannya.
“Jol?” tanya dua laki-laki itu hampir bersamaan.
Jol tidak menjawab. Bahkan dia tidak mengangguk. Dia tidak bisa melakukan itu karena tiba-tiba saja dua laki-laki itu menggiringnya masuk ke dalam Alpard hitam yang sudah terparkir di pinggir jalan.
Didalam mobil, Jol tidak melawan. Meskipun belum mengenal mereka berdua, tapi Jol sudah tahu apa mau mereka. Beberapa hari yang lalu Reta sudah mengingatkan pada Jol agar berhati-hati, karena bisa saja teman-teman atau orang suruhan Vino akan mencarinya.
Mobil terus berjalan ke arah daerah Jakarta Timur. Jol berpikir kalau mereka akan membawanya ke daerah Mampang, ke rumah Reta. Tapi ini malah jauh melewati itu. Pikiran Jol mulai kalut dan bingung. Hingga selama hampir satu jam perjalanan Jol di turunkan di daerah yang belum dia kenali sebelumnya. Tapi otaknya bisa berpikir bahwa dia sedang berada di pinggiran Bekasi. Karena ada batu pembatas di pinggir jalan raya dengan tulisan: Pondok Gede 15 km.
“Siniin jaket lo!” kata salah seorang di antara mereka yang badannya lebih sangar dan menarik jaket Jol  dengan paksa.
Jol memberontak dan berusaha menendang laki-laki itu sekuat tenaga. Dia tidak menunggu waktu lagi. Jol lari sekencang-kencangnya dan masuk di pemukiman penduduk yang ada di sekitar situ. Kakinya terus berlari ketika menyadari salah satu di antara mereka mengejarnya. Tapi Jol terus saja berlari dan mencari tempat perlindungan yang bisa menyembunyikan badannya. Nafasnya ngos-ngosan ketika Jol mendapati beberapa orang berkerumun di sebuah pos penjagaan. Jol tidak membuang kesempatan dan langsung berjalan dengan pura-pura santai ke arah mereka. Sesekali Jol menoleh ke belakang dan mendapati  dua laki-laki tadi tidak terlihat mengejarnya lagi. Jol lega.
“Mereka cuma mau gertak gue doang,” gumamnya pelan.
Jol meraih ponsel yang masih ada di dalam saku celananya. Jarinya langsung memencet sebuat tombol panggilan cepat di sana.
“Vi, jemput gue. Buruan!”

No comments:

Post a Comment