BAGIAN TIGA
AJU
“WORLD IN MY EYES”
PROLOG
Violey Cafe. 1 Desember 2011
Dena menggebrak meja bar dengan tatapan seolah ingin menelan Aju bulat-bulat kedalam kerongkongannya. Tidak ada benda-benda berat yang bisa di lemparkannya pada Aju di meja itu. hanya ada kotak tissyu dari kardus dan beberapa ornamen lain yang hanya bisa membuat luka lecet saja jika dilemparkan.
“Jangan-jangan Jol juga pengikut aliran sesat yang tega misahin anak sama orang tuanya? Dan korbannya itu termasuk kamu!” tudingnya
Aju menatap kakaknya dengan sorot mata yang sangat santai, bahkan hampir tidak peduli sama sekali kalau kakaknya itu sedang marah. “Jol orang baik. Tanpa dia, Cece nggak bakal bisa ngelihat aku masih menginjakkan kaki di tanah,” ujarnya kalem.
“Dia itu sesat! Dia yang udah bikin lo pergi dari rumah dan... apa ini?” Dena menunjuk Aju dengan tangannya dari atas sampai ke bawah, lalu ke atas lagi dan ke bawah lagi. Berulang-ulang.
“Udahlah, Ce. Cece pulang aja. Aku nyaman kok di kontrakan. Aku juga nyaman sama anak-anak. Dan aku punya kerjaan jelas,”
“No. You must go home!”
“Ce, aku udah punya pacar!”
“Persetan ya sama pacar-pacar lu yang nggak jelas itu. Kalian itu sama-sama cewek dan gue nggak ngerti gimana kalian—”
“Aku sayang sama dia dan Cece juga tahu anaknya, dia Margaret!”
Dena menelan ludahnya. Tapi entah kenapa kerongkongannya terasa begitu sakit saat menelan. Dia tidak percaya dengan apa yang di dengar dari adik kandungnya itu. Margaret adalah anak rekan bisnis Ayah mereka. Hubungan keluarga juga sangat dekat. Di tambah lagi, usia Margaret berada di atas Aju. Hampir sepantaran dengan Dena. Usia Dena hampir menginjak dua puluh sembilan tahun. Hanya saja, wajah Margaret memang tidak seperti cewek-cewek usia dua puluh sembilan kebanyakan. Dia masih terlihat manis dan muda seperti anak sekolah. Bahkan semua orang juga tidak akan menyangka kalau usia Margaret sudah mau menginjak kepala tiga. Dan Margaret belum menikah.
“Cuma satu yang pengen gue lakukan kalau ketemu sama lo saat ini,” desisnya. “Mending lo mati aja dari pada ngerusak anak orang jadi kayak lo!”
Aju menatap kakaknya dengan tatapan dingin. “Aku udah pernah mati dan Tuhan menghidupkanku lagi melalui tangan Kak Jol. Dan ini hidupku. Aku nggak mau mati lagi, Ce!”
Dena bingung harus berkata apalagi pada adiknya. Setiap kali bertemu dengan Aju, darahnya langsung naik sampai ke ubun-ubun dan dia tidak bisa santai atau menggunakan kepala dinginnya. Aju terlalu santai menanggapi keseriusannya. Sehingga Dena tidak bisa menahan emosinya.
“Jol itu sesat dan dia menyesatkan banyak anak orang. Dia memisahkan anak dari keluarganya dan bikin kalian semua jadi kayak gini. Apa dia bikin alkitab versi dia sendiri untuk para lesbian?”
Masih tetap menatap dingin ke arah kakaknya. Aju mencondongkan tubuh ke arah kakaknya. “Urusan Cece udah kelar dan sekarang Cece boleh pergi. Pintunya ada disana,” ujar Aju seraya menunjuk pintu keluar Caffe. “Jangan kesasar. Salam buat Mama dan Papa. Bilang sama mereka, selama mereka ngotot minta aku pulang lagi, selama itulah aku nggak akan pernah pulang. Aku udah punya kehidupan sendiri dan aku yang memilihnya. Jadi jangan ikut campur urusanku!”
“Dunia lo ini nggak realistis, Ju!”
“Salah besar. Justru yang ada di hadapan Cece ini manusia super realistis,”
“Dan egois!” Dena menambahkan. “Juga Hopeless!”
Aju menatap kakaknya lama. Dena juga membalass tatapannya. Mereka tidak bicara hingga suara pintu terbuka dan Avi masuk dengan tergopoh-gopoh seraya melepas jaket, helm dan tasnya. Kemudian meletakkan barang-barang itu di box belakang dekat dapur.
“Dena!” seru Avi begitu melihat kakak Aju.
Dena melotot pada Avi. Memasang wajah yang langsung membuat Avi mundur selangkah. “Jangan sok akrab sama gue!”
Avi mengangguk ragu dengan memasang wajahnya yang dungu, “Oke.”
Aju masih memandangi kakaknya dengan dingin. Hingga kakaknya langsung menenteng tasnya dan mendorong tempat duduknya ke belakang dengan kasar. Aju masih terus memperhatikan kakaknya hingga kakaknya keluar Caffe dan membanting pintu itu dengan keras.
Hujan pagi di daerah Setia Budi membuat suasana hati Aju menjadi semakin dingin. Dia terus memerhatikan kakaknya yang berlari di tengah rintik hujan menuju mobilnya. Setelah kakaknya masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba tubuh Aju langsung ambruk ke lantai. Tulang-tulangnya seolah meleleh. Kedinginan yang dia ciptakan saat berhadapan dengan kakaknya tadi, kini musnah dengan sendirinya. Dia tidak pernah ingin berbuat seperti itu pada kakaknya. Tapi karena akhir-akhir ini Dena sering datang menemuinya dan menginginkan Aju untuk pulang, dia terpaksa membuat barikade untuk kakaknya.
Avi langsung mendekat dan membantu Aju berdiri dan mendudukkannya di kursi Caffe dekat pintu masuk. Wajah Aju menjadi sangat pucat secara tiba-tiba dan tatapannya kosong.
“Lo nggak apa, Ju?” tanya Avi dengan tatapan khawatir.
“Gue butuh libur, Vi. Gue mau ke Bali,”
“Ke tempat Margaret?”
Aju mengangguk.
----------------
No comments:
Post a Comment