Thursday, November 21, 2013

VIOLEY 2 : AVI - "SINCERELY" - Enam

ENAM

tittle : soulmate sculpture, lover statue

Harmoni. 15 Oktober 2012 : 13.14 WIB

Rere dengan badannya yang gempal dan bongsor bertindak sebagai eksekutor. Aju sebagai negoisator. Jol tukang intimidasi. Avi hanya duduk di dalam mobil. Menunggu beres.
Siang itu di daerah Harmoni. Mobil Jol berhenti di depan sebuah rumah kost di jalan Kejujuran. Sebuah bangunan lantai dua dengan nomor 26 di bagian depannya di masuki oleh Jol beserta Aju dan Rere. Setelah mendapat ijin dari Sang Ibu Kost yang langsung memberi ijin mereka bertiga masuk dan dia sendiri langsung pergi, Jol di ijinkan masuk dan bertemu dengan seseorang yang akhir-akhir ini sedang di buru oleh mereka bertiga, sekaligus Avi.
Sejak di usir dan tahu Avi mengalami masalah keuangan, Manda terus saja berpindah-pindah tempat tinggal. Terkadang dia tinggal selibat dengan butch yang baru di kenalnya. Terkadang juga dia berpindah-pindah dari kost satu ke kost yang lain. Melarikan diri dari pantauan Jol dan Avi.
“Hey, Mand!” sapa Jol begitu melihat sosok cewek dengan rambut di kucir kuda itu turun ke lantai bawah masih dengan menggunakan hot pants.
Aju melihat Manda dengan tatapan kesal bercampur gemas. Ingin sekali dia membalas apa yang sudah di lakukan cewek itu terhadap Avi. Tapi sayangnya, Jol menahan Aju agar dia tetap duduk di ruang tamu untuk mengawasi keadaan. Sedangkan Jol dan Rere langsung berjalan ke arah Manda dan merangkul cewek itu.
“Kita naik ke atas ya, cantik. Udah lama kan kita nggak ngobrol!” kata Jol seraya merangkul Manda.
“Jangan macem-macem, ntar gue teriak, loh!” ujar Manda panik. Langkah Manda tertahan dan menolak untuk mengikuti ajakan Jol karena ingat mengenai ‘eksekusi’ yang di katakan Avi tempo hari saat anak itu mengusirnya. Tapi Rere dengan paksa mendorong Manda agar cewek itu mau melangkah.
“Gue bawa polisi. Mau lo teriak juga nggak bakal di gubris orang. Sekarang ayo ke atas!” ancam Rere dengan ketus.
“Ngapain lo bawa-bawa polisi? Atas tuduhan apa? gue menganiaya adiknya Avi? Jangan ngarang, ya!”
“Atas tuduhan penipuan dan penggelapan! Lo udah bawa kabur duitnya Avi!”
Mau tidak mau Manda akhirnya mengikuti kemauan Jol untuk naik ke atas, ke kamar Manda. Aju mengetik sebuah pesan kepada Avi dan mengatakan keadaan didalam rumah itu sedang aman karena Ibu kost Manda sedang pergi ke minimarket depan komplek.
Tidak berapa lama, Avi masuk kedalam rumah dan sudah mendapati Manda turun ke lantai bawah lagi bersama Jol dan Rere. Jol lantas melemparkan sebuah dompet berukuran agak besar pda Avi. Dengan cekatan Avi langsung membukanya dan menemukan apa yang dia cari. Sebuah rekening tabungan BCA dan sebuah ATM CIMB NIAGA. Avi membuka buku rekening itu dan melihat nominal di bagian saldonya: Rp. 34.567.765,-
Avi menghela nafas. Tapi tentu saja dia tidak bisa tenang semudah itu karena melihat ATM miliknya sudah memiliki goresan lurus horizontal. Padahal dulu dia menyerahkan ATM itu kepada Manda dalam keadaan baru. Avi ingat betul ATM dan buku tabungan itu dulu di titipkan pada Manda hanya untuk di ambil sebagian kecil saat Manda akan pergi clubing. Tapi Avi lupa memintanya kembali. Avi langsung geram dan meraih wajah Manda. Mencengkeran pipi Manda hingga Manda kesakitan.
“Tinggal berapa isinya?” tanya Avi dingin. Tidak peduli dengan kesakitan Manda.
“Apa sih, Beib. Sakit!” protes Manda dengan mimik kesakitan.
“Tinggal berapa isinya?” Avi mengulangi pertanyaannya.
“Aku lupa. Lagian bukannya kamu dulu sengaja bikin ATM itu buat aku. Kenapa sekarang malah di ambil. Dasar pelit!”
Avi malah mencengkeram pipi Manda hingga cewek itu menjerit kesakitan. Jol langsung menekan pergelangan tangan Avi, menyuruh agar Avi melepas cengkeramannya pada Manda.
“Lepasin. Lo nggak boleh terlalu kasar,” kata Jol seraya menurunkan tangan Avi.
“Ini bawa juga, nggak?” tanya Rere saat menunjukkan sebuah Iphone Apple terbaru beserta tablet PC kepada Avi.
Avi langsung merebut benda itu bersamaan dengan Manda. Tapi Manda kurang cepat dan benda itu langsung di masukkan Avi kedalam saku jaketnya sebelum Manda menyerbunya.
“Udah, ayo pulang!” ajak Jol begitu melihat urusannya selesai.
Jol langsung membalikkan tubuh Avi dan menyuruh anak itu berjalan lebih dulu.  Kemudian di ikuti olehnya dan Rere. Sedang mereka semua berjalan keluar, Aju masih duduk di tempatnya. Memandang Manda dengan sorot mata kebencian. Dia lantas bangkit dan berdiri sejajar dengan Manda.
“Tadinya tugas gue sebagai negoisator. Tapi sayangnya itu nggak berlaku,” Aju berkata dengan datar kepada Manda. Cewek itu menatap Aju tidak paham. Kemudian Aju melanjutkan. “Gue awasin lo dari tempat gue berdiri. Selama gue masih hidup, gue nggak akan pernah ngelepas lo gitu aja. Kalau sampai gue ngelihat lo berusaha nyakitin Avi atau adiknya atau siapapun yang ada di deket gue. Gue dan Kak Jol nggak akan segan-segan eksekusi lo diwaktu yang sama!”
Wajah Manda langsung pias. Tapi seolah tidak ingin terintimidasi, Manda membalas tatapan Aju dengan sok berani. “Emangnya banci kayak kalian bisa apa?”
Aju mengarahkan tangannya ke leher Manda dan masih menatap cewek itu dengan dingin. “Ngebunuh lo sekarang juga gue bisa.”
“Lepasin, Ju. Gue teriak, nih!”
“Sebelum lo teriak, lo udah mati!”
“Lo brengsek! Kalian semua brengsek! Bajingan!!!”seru Manda dengan suara mengecil.
“AJU!!!”
Mendadak Aju merasakan tubuhnya menjauh dari Manda dan cengkeraman tangannya dari Manda sudah terlepas. Sebuah tangan besar menariknya dan membawanya keluar dari rumah itu, lalu melemparkannya kedalam mobil. Aju berusaha protes. Dia langsung bangkit dan hendak keluar dari mobil karena tidak ingin dirinya di cegah. Tapi sayangnya mobil sudah berjalan dan tubuh Jol menghalangi pintu. Menatap Aju dengan mata yang berkilat marah. Dan  Aju pun surut di tempat duduknya.
“Mau lo apain tuh duit?” tanya Rere sambil menyetir dan mobil keluar dari gang.
“Kita ke Sekuritas!” komando Avi dengan wajah datar.


♀ ♀ ♀


Kelapa Gading. 18 Oktober 2012 : 14. 45 WIB

“Ini, minum!” perintah Amel sambil menyerahkan botol minuman pereda rasa nyeri saat haid pada Avi.
Avi yang sedang meringkuk di tempat tidur langsung mendongak dan melihat Amel terus menyodorkan botol minuman itu padanya. “Sialan!!” rutuk Avi berkali-kali seraya memegangi perutnya. Tapi menerima minuman itu juga.
Amel menatapnya jengkel. “Gue emang nggak pernah ngerasain nyeri haid. Tapi banyak orang yang minum itu kalau lagi sakit, kan?”
“Aku nggak tahu!” jawabnya seraya meneguk habis minuman itu. Setelah minum, ekspresinya langsung aneh dan kelihatan Avi tidak menyukainya. Bahkan berkali-kali Avi sampai mual.
“Rasanya nggak enak, ya?” tanya Amel dengan ekspresi geli.
“Kamu nggak pernah minum?” tanya Avi balik.
Amel menggeleng. “Sakit aja nggak pernah, mana mungkin gue minum kayak gituan. Dan lagi, jangan terlalu sering minum yang kayak gitu. Kata nyokap gue, bisa bikin mandul.”
“Gue nggak peduli. Mau mandul atau apalah itu, gue nggak pernah peduli,” katanya sambil berbaring. “Tapi... emangnya ada kandungan apa di dalam minuman itu yang bisa bikin mandul?”
“Ya... nggak semua obat pereda rasa nyeri itu bikin mandul juga sih. Cuma beberapa, kayak yang ada di golongannya antiprostaglandin. Namanya aja udah anti, berarti dia itu penghambat produksi hormon prostaglandin. Kalau terlalu lama di biarkan, bisa bikin peradangan dalam tubuh.”
“Korelasinya apa kok bisa kayak gitu? lagian, kok kamu tahu? Mama kamu Dokter, ya?”
“Dari yang gue tahu karena nyokap gue paham obat-obatan, Korelasi antara obat pereda nyeri saat menstruasi dan kehamilan yaitu dimana antiprostaglandin mampu untuk menghambat sistem reproduksi yang menghasilkan hormon prostaglandin. Sedangkan hormon prostaglandin itu merupakan tempat dimana sel telur dimatangkan. Kalau nggak ada sel telur yang matang maka nggak akan terjadi pembuahan. Kalau nggak terjadi pembuahan, maka kehamilan tidak akan pernah didapatkan oleh wanita.”
“Itu nasehat yang cocok buat kalian para  cewek dan kalian yang ngaku cewek.”
Avi kembali meringkuk di tempat tidur dan memegangi perutnya lagi. Amel mendekatinya dan hanya bisa tersenyum.
“Jadi, butchi kalau lagi haid kayak gini, toh?” tanya Amel dengan nada meledek.
Avi tidak menggubris. Dia hanya memejamkan matanya. Tapi sebentar kemudian dia angkat bicara. “Kamu tahu Inuyasha kan, Mel? Kalau ketemu bulan purnama, dia bakal berubah jadi manusia. Lemah dan bahkan selalu menghindar dari kejaran musuh. Aku juga kayak gitu, tuh!”
“Maksudnya, lo mau bilang kalau lo itu siluman anjing?”
“Bukan, aku cuma mau bilang kalau aku ganteng!”
Amel menoyor kepala Avi. Tapi Avi malah tersenyum. “Dasar kepedean!”
Kamar Avi terasa panas. Setidaknya itu yang dirasakan Amel. Meskipun cewek itu biasa berpanas-panasan didalam ruangan. Tapi kali ini dia benar-benar merasa kalau kamar Avi sangat panas. Bisa jadi itu di karenakan mendung dan suhu yang lembab karena akan turun hujan.
“Jadi, lo tadi jemput gue kesini cuman buat di jadiin perawat, gitu?” tanya Amel begitu kembali lagi membaca majalah otomotif. Sebenarnya dia merasa bosan. Karena kamar Avi jauh beda dari yang di bayangkannya. Selain hanya bisa bermain ponsel, Amel hanya bisa membaca tumpukan majalan otomotif di meja belajar Avi. Tidak ada TV, tidak ada hiburan lain. Itu semua di karenakan fasilitas Avi sudah di sita bersih.
“Sabarlah, Mel. Aku kayak gini tuh cuma tiga hari sekali dalam tiga bulan. Jadi tolong temani aku.”
“Kenapa nggak ke Dokter aja, sih?”
Avi langsung membuka matanya. “NGGAK!!”
“Kenapa? Takut di ketawain dokternya gara-gara lo butchitapi bisa juga sakit gara-gara PMS?”
Avi mengangguk. “Itu sama dengan menyakiti harga diriku.” Tidak bisa di bayangkannya kalau dia menemui Dokter Nathalie dalam keadaan pucat pasi hanya karena nyeri haid.
Bola mata Amel berputar ke atas. Jengah. “Jadi lo lebih milih kesakitan kayak gini dari pada minta obat dokter?”
“Selama ini Aju yang selalu ngasih aku obat. Kalau aku kesakitan kayak gini, dia yang bakal nganterin obat buat aku. Meskipun dia bukan perawat, tapi dia itu dokter pribadiku.”
“Emangnya dia selalu ngasih obat apa?”
Mata Avi melirik ke kanan atas. Seolah mengingat-ingat obat apa saja yang pernah di berikan Aju padanya. “Hmm, kalau Analgesik sih jelas. Lalu... Fluoxetine atau Paroxetine, setidaknya itu yang aku ingat. Soalnya dua obat itu kan yang bisa menekan emosi dan mengontrol suasana hati. Aju sih bilangnya kita nggak boleh minum semacam Diuretics,”
Amel melongo. “Dari apa yang lo sebutin itu, gue lebih banyak paham tentang Fluoxetine atau prozac. Soalnya nyokap gue bilang kalau itu salah satu jenis obat antidepressant. Mungkin sama jenisnya sama Paroxetine atau paxil.”
“Iya, karena antidepressant bekerja meningkatkan kimia-kimia dalam otak yang mempengaruhi hormon ovari.” Tambah Avi dengan mata menerawang.
Amel menganggukkan kepalanya. “Jadi, intinya Aju itu pinter!” kata Amel sambil tersenyum. “Dan buku apa aja yang udah di pelajari sama Aju sampai dia punya pengetahuan banyak kayak gitu?”
Avi mengerucutkan bibirnya. “Dia tergila-gila sama Farmakologi Molekuler,” jawab Avi seraya mengangkat selimut dan menutupi badannya hingga ke leher. “Dan intinya aku juga lebih ganteng dari Aju!” katanya lagi sambil nyengir.
Amel menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasa lucu dengan tingkah Avi jika sedang PMS. Ini memang bukan pertama kalinya dia tahu mengenai Avi yang sedang PMS. Tapi Amel baru tahu kalau ternyata Avi bisa begitu pucat dan banyak mengeluarkan keringat dingin saat PMS.
“Gimana sama duit yang ada di ATM CIMB lo, Vril?” tanya Amel begitu melihat Avi menutup matanya lagi.
“Hah, Amel... aku kan mau istirahat. Masalah itu kita bahas nanti aja, deh. Yang jelas aku udah rada tenang soalnya aku bakal bisa balikin duit Papi yang seratus juta. Meskipun aku harus rela semua perabot dan barang-barangku di sita, yang penting bukan Neji!”
“Ya udah, tidur gih!” Amel kembali lagi dengan majalahnya. Tapi detik berikutnya mulutnya terbuka lagi. “Tapi, Vril. Natal ntar lo jadi ke Palembang? Ketemu Vega, dong!” tapi sayangnya Avi sudah terlelap. Selain prozac, Amel menduga di dalam minuman pereda rasa nyeri itu tadi terdapat CTM atau bahkan chloroform.
Amel bosan berada di dalam kamar Avi. Selain membaca majalah otomotif yang tidak di pahaminya, dia hanya bisa bermain dengan ponselnya yang sudah bulukan atau hanya mendengarkan musik. Karena itu dia memutuskan untuk turun ke bawah dan bertemu dengan Esa yang sedang duduk di ruang tengah sambil menonton kartun di Animax TV.
“Udah pulang, Sa?” tanya Amel begitu mendekati Esa. Anak itu hanya menjawab dengan anggukan. Matanya sedang terfokus ke acara anime yang selalu di ikutinya. Fairy Tail.
“Bokap mana?” tanya Amel lagi.
Esa hanya mengarahkan tangannya ke sebuah kamar di ruang depan. Kepala Amel mengikuti arah telunjuk Esa dan sekilas dia melihat bayangan Daniel yang sedang berdiri di ambang pintu. Perhatian Amel kembali lagi ke acara TV setelah memperhatikan Daniel sekilas.
Tidak berapa lama, Daniel mendatangi Amel dan Esa yang sedang asik menonton TV. Cowok jangkung itu langsung duduk di sofa sebelah Esa.
“Papi kamu tadi makan apa?” Tanya Daniel saat menghadap Esa.
“Makan apa? Cuma mampir di warung padang, terus pulangnya dia minum soda!”
“Astaga...” Daniel menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu tahu, nggak? Papi kamu jantungnya kumat, tuh!”
Amel dan Esa sontak menoleh ke arah Daniel. Kaget. Bingung. Tidak percaya.
“Tadi nggak apa, kok. Jadi... yang masuk barusan ke kamar Papi itu Dokter?” tanya Esa dengan khawatir. Daniel menganggukkan kepalanya dan Esa langsung melesat ke kamar Papinya.
“Jantung... tahap awal kan, Ko?” tanya Amel dengan prihatin.
Daniel mengangguk. “Jangan sampai masuk Rumah Sakit. Bisa stress tuh ntar Si Esa.” Katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya karena stress.  “Gara-gara Lea, sih!”
“Tapi nggak boleh nyalahin Avril banyak-banyak sih, Ko. Gimanapun juga kan Avril udah berusaha tanggung jawab. Kalau di salahin terus-terusan. Bisa frustasi, depresi dan ujung-ujungnya ntar malah milih di kremasi!”
Daniel tersenyum hambar. “Lea itu bakal di suruh pindah ke Balikpapan.”
“Hah?” Amel membuka mulutnya lebar-lebar.
“Barusan Papinya bilang kalau Lea bakal di suruh ke Balikpapan aja. Melihat kuliahnya dia disini yang hancur lebur dan nggak ada hasil. Mending dia bantu-bantu kerja di sana. Sampai hutang ke Papinya lunas dan nanti baru Lea bakal di kuliahin dengan syarat dia mau kuliah dengan benar.”
“Kenapa Koko cerita ke aku lagi?”
“Karena kamu di percaya Lea dan aku percaya sama kamu kalau bisa menyampaikan berita ini ke Lea. Di rumah ini, Lea hampir nggak pernah terbuka dalam masalah apapun. Melihat kamu dan dia saling terbuka, aku pikir hubungan pertemanan kalian sangat baik. Meskipun aku nggak tahu dasar apa yang udah bikin kalian bisa sangat dekat.”
Amel menghela nafas. “Tapi kita harus realistis, kan? Kalau pindah ke Balikpapan itu bisa merubah sifat buruknya biar nggak hedonis lagi.  Aku rasa Avril mau.”
Daniel menggeleng. “Belum tentu dia mau. Karena disana nanti. Dia bukan kerja kayak disini. Dimana dia bisa duduk santai dan nunggu pelanggan datang. Tapi disana, dia harus kerja di gudang dan posisinya setara sama karyawan lain. Dia nggak akan dapet keistimewaan sebagai anak Boss!”
Amel melongo. Pasti Avril bakal lebih milih bunuh diri!



21.50 WIB

Mengetahui Papinya yang sakit jantung dari berita yang di beritahukan Amel, Avi sangat terpukul dan sedih. Bahkan Avi merutuki dirinya sendiri karena terus merasa bersalah. Saat melihat Papinya tidur di kamar dan kelihatan tersiksa dengan kondisinya, Avi merasa dirinya sangat bodoh.
Pelan-pelan dia membuka pintu kamar Papinya dan masuk mendekati tempat tidur dimana Papinya berbaring dengan dahi berkerut. Avi mengelus tangan Papinya dengan lembut. Saat itu juga mata Papinya langsung terbuka dan mendapati anaknya sudah duduk disampingnya.
“Sakit, Pi?” tanya Avi begitu melihat Papinya terbangun. “Tidur lagi, gih. Lea tungguin disini sampai Papi tidur. Apa mau di pijat?”
Papinya menggeleng sambil tersenyum. “Lea, umur kamu udah berapa?”
“Dua puluh tiga,” jawab Avi cepat.
“Lea, kamu keluar aja deh dari kuliah kamu di IKJ. Mending kamu pindah aja ke Kalimantan. Ikut Papi,”
“Ikut Papi? Tapi gimana sama Esa? Aku nggak bisa ninggalin dia sendirian.”
“Masih ada Daniel.”
“Tunggu, Papi mau kita secepatnya ke Balikpapan? Terus gimana sama kuliahku? Aku kan masih jalan, Pi. Dua minggu lagi aku UTS.”
Papinya mengelus lembut kepala anaknya. “Papi tahu kamu nggak pernah serius kuliah. Nilai kamu hancur dan kamu lebih banyak latihan teater daripada menekuni Desain Komunikasi Visual. Papi pengen kamu itu belajar, bukan hura-hura.”
“Papi kan udah menyita semua fasilitasku. Kalau Aku di suruh nggak kuliah juga, itu artinya Papi bener-bener niat ngambil Neji juga?”
“Itu cuma motor, Nak.”
Tapi dia teman seperjuanganku, Pi. Nggak ada seorangpun di dunia ini yang ngerti aku selain Neji. Dan kalau aku pisah sama Neji. Itu artinya aku... nggak bakal bisa kemana-mana. Karena aku nggak punya kendaraan.
“Ini bukan permintaan atau permohonan, Le. Tapi lebih pada perintah dan Papi pengen kamu mengikutinya. Kamu pindah secepatnya!”
Avi terdiam. Kepalanya tertunduk dalam seolah sedang merenung. “Kapan kita ke Balikpapan?” tanyanya kemudian.
“Januari. Setelah Imlek, kita bakal kesana. Kita akan merayakan Natal dulu di Palembang. Setelah itu kamu bisa tinggal dengan Mami kamu di Palembang selama satu bulan sampai Imlek tiba, dan kalau memang Popo kamu minta sekalian Cap Go Meh, terserah. Papi nggak ngelarang. Tapi Papi mau, Februari awal kamu harus udah di Balikpapan dan kerja disana.”
Avi mendongakkan kepalanya. Menatap Papinya tidak percaya. Barisan kalimat yang di ucapkan Papinya tadi itu lebih tepat seperti vonis pengasingan selamanya, dan perayaan Natal maupun Imlek bersama dengan Maminya di Palembang itu lebih suka di sebut Avi sebagai hadiah terakhir. Avi lemas. Dia menyerah. Demi Papinya, dia akan melakukann segalanya. Harus.

♀ ♀ ♀



Violey Cafe. 26 November 2012 : 22.34 WIB

Jol dan Aju duduk berdampingan di hadapan Avi. Malam ini Avi ingin mendatangi Violey dan berbincang-bincang dengan Aju dan Jol seolah-olah tidak ada hari esok lagi.  Tiba-tiba Aju menyodorkan sebuah ponsel di hadapan Avi.
“Buat apa?” tanya Avi bingung.
“Telepon Amel!” jawab Aju sambil melirik ke arah ponsel yang di sodorkannya untuk Avi. “Gue yakin lo juga pengen ngomong banyak sama dia.”
Ragu-ragu, Avi meraih ponsel itu dan menekan nomor Hp Amel. Avi menghafalnya, nomor Amel seolah seperti deretan pin ATM yang dimilikinya.  Terdengar bunyi nada tunggu sebentar, lalu kemudian telepon di angkat dan suara Amel menyapa dari seberang.
Tatapan Avi tertuju pada Jol dan Aju yang sedang memandanginya balik. Tapi Aju dan Jol tidak memberikan reaksi apa-apa. Sambil menatap mereka berdua, Avi mulai basa-basi pada Amel dan seperti biasa, cewek itu akan dengan ketus membalas kata-katanya. Meskipun begitu, Avi tidak pernah merasa tersinggung. Dia sudah mengenal baik Amel sejak dua tahun lalu dan dia memang seperti itu. Tidak ada alasan untuk marah.
“Aku mau pamit,” kata Avi kemudian setelah basa-basi yang panjang.
“Pamit? Natal kan masih jauh. Lo juga belum UTS.”
“Mungkin aku nggak ikut UTS.”
“Kenapa?” suara Amel mulai terdengar khawatir. “Jadi lo seriusan harus ke Balikpapan?”
Avi mengerutkan keningnya. “Tahu darimana?”
“Ko Daniel yang ngasih tahu.”
“Apa maksudnya dia ngasih tahu kamu? Kapan?”
“Gue juga nggak negrti kenapa gue di kasih tahu. Mungkin dia mikir kalau kita ini best friend forever dan gue paham betul lo kayak gimana!”
“Omong kosong!” cibir Avi. “Seminggu sebelum Natal aku bakal ke Palembang. Habis  dari Palembang, aku langsung ke Balikpapan.”
“Hah? Maksud lo apa?” terdengar suara terkejut Amel yang membuat Avi merasa aneh. “Lo nggak bakal balik lagi kesini, gitu? lo nggak nemuin gue?”
“Mungkin, Mel!”
“Nggak boleh! Lo harus pamit sama gue. Lo harus nemuin gue. Lo nggak bisa seenaknya, Pae...”
“Pae?”
Hening sesaat. Avi tidak tahu apa yang sedang di rasakan Amel saat ini. Tapi Avi bisa merasakan jika Amel sedang sedih karena tidak akan bisa bertemu dengannya lagi. Avi juga merasakan hal yang sama. Sejak dulu Amel selalu mengatakan pada dirinya bahwa dia tidak suka jika di tinggal pergi begitu saja tanpa pamit. Tanpa bertemu muka. Itu akan mengingatkan Amel pada masa lalunya. Avi tidak ingin menjadi bagian masa lalu itu.
“Mel, aku minta maaf. Tapi semesta nggak mendukung.”
“Gue harap lo cuma bercanda sama omongan lo, Pae!”
“Pae?” lagi-lagi Avi mengerutkan keningnya. Untuk kedua kalinya Amel menyebutnya ‘Pae’. “Pae itu apa? Pae Nanas atau Pae Apel?”
Tidak ada jawaban lagi. Hening. Kali ini lebih lama dari yang tadi. Avi sudah tidak sabar lagi. “Oke, aku tutup aja deh ya. Kamu buruan tidur.”
“Kak Jol ngasih nama lo Avi. Semua anak di komun nyebut lo dengan nama Avi. Dan semua karyawan-karyawan lo manggil lo Boss Avi. Mami dan Papi lo nyebut lo Lea. Semua keluarga besar lo di Palembang manggil lo Lea. Apa nggak boleh gue ngasih lo nama kayak mereka?”
“Ngasih nama?”
Hening di seberang. Tapi sedetik kemudian Amel mulai melanjutkan. “Hopi. Gue kasih lo nama Hopi. Hopi Avril. Avril, nama panggilan lo sejak dulu selama di Jakarta, sebelum lo dapet nama Avi. Gue juga manggil lo dengan nama Avril. Tapi kali ini, gue pengen manggil lo Hopi. Karena gue punya harapan ke elo.”
“Harapan?” Avi tambah bingung lagi.
“Kayak nama lo. Kiera Asa Avrilea. Gue nggak tahu apa tujuannya bonyok lo ngasih nama Asa. Tapi gue yakin, mereka pasti punya harapan. Asa. Hope. Hopi!”
Tanpa memikirkan bagaimana wajah serius Amel saat ini, Avi langsung terbahak-bahak di tempatnya hingga membuat pengunjung Violey menoleh padanya. Bahkan ada beberapa yang mengatai Avi sinting. Tapi Avi tidak bisa menahan gelak tawanya saat mendengar nama yang di berikan Amel padanya. Jol dan Aju saling berpandangan. Bingung.
“Jadi, kenapa bisa Pae?”
“Ya... gue suka aja manggil elo Hopae...”
Lagi-lagi Avi terpingkal-pingkal. “Absurd!”
“Lo tahu kan kalau dari dulu gue emang terkenal absurd. Tapi gue tulus pengen manggil lo kayak gitu. Sejak dulu malah. Jadi gue pengen mang...”
“Iya, Mel. Aku suka kok. Panggil aja sesuka kamu. Kayaknya nama Hopi itu emang cocok buat aku. Dan rasanya, aku kayak lahir lagi.”
“Oh, jadi lo udah lahir berapa kali?”
“Hitung aja berapa nama julukanku.” Avi tergelak. “Aku nggak tahu kalau telepon kamu malam ini ternyata bisa bikin aku makin tenang. Apa kamu itu mengandung Amphetamine?”
“Bukan, tapi gue ini prozac buat elo.”
Prozac... hmmm.” Avi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bye,Mel.”
“Pae, lo jangan bercanda. Gue nggak mau lo pergi kayak gini!”
But I gotta go, Mel. Aku nggak mau sakit Papi makin parah.”
“Lo bisa kan ketemu gue di kampus besok? Gue mohon...”
Avi berpikir sejenak. “Yeah... mungkin aku nanti bakal kesana sama Aju.”
Thanks, Pae! Love you! See ya tommorow!
Bipp. Sambungan mati. Avi melihat ke arah ponselnya yang sudah memberikan tanda sambungan berhenti. Aju dan Jol memandangi Avi dengan bingung.
“Pae??” tanya Jol dan Aju hampir bersamaan.
Avi tersenyum geli. “Mulai sekarang jangan panggil gue Avi. Tapi panggil gue Hopi. Hopi Avril. Itu nikc name gue sekarang!”
“Hahh?” Jol dan Aju saling berpandangan. “HOPII??”

♀ ♀ ♀


27 November 2012 : 17.00 WIB

Esok harinya, Avi menepati janjinya pada Amel untuk datang ke kampus dan pamit pada cewek itu sebelum dia memutuskan pergi ke Palembang minggu depan. Masa-masa pengasingannya terus di percepat oleh Papinya. Dia juga mengatakan pada Amel bahwa sudah membuka akun untuk saham lokal sesuai dengan saran Amel dan menyembunyikan harta penunggu hidupnya itu dengan aman tanpa di ketahui oleh Papinya. Walaupun Papinya tahu sekalipun, Avi akan mengatakan pada Papinya bahwa dia ingin belajar bermain saham dengan cara aman. Persis sesuai dengan nasehat dari Amel.
Di rumah, Esa terus menerus mengekor kemanapun Avi pergi. Ke dapur, Esa akan ikut. Ke kamar, Esa juga ikut. Ke Toko, Esa akan menyusul. Avi tahu, adiknya sedang ingin selalu dekat dengannya sebelum dia meninggalkan Esa ke Balikpapan. Bahkan Esa membuat acara menginap bersama di rumah. Esa mengundang Aju, Jol, Daniel dan juga Amel. Tapi sayangnya Amel tidak akan pernah di ijinkan oleh orang tuanya untuk mengikuti acara tidak jelas semacam itu.
Akan tetapi pada akhirnya, acara menginap bersama itu hanya di ikuti oleh Daniel, Avi dan Esa. Tanpa Jol dan Aju. Jol sibuk dengan anaknya—anak Reta, yang mereka sebut sebagai ‘anak kami’. Meskipun Andries (nama anak Reta) sudah menggenggam identitas sebagai anak angkat Tantenya Jol, tapi masalah pengasuhan, Jol melakukannya sendiri. Jol hanya menumpang identitas untuk Andries saja.
Aju sedang sibuk mempersiapkan diri dengan skripsinya di Fakultas Tekhnik Informatika. Karena itu, Avi lebih sering merasa sendirian dan makin terpuruk. Bagaimana tidak, satu persatu masalah datang menghantamnya. Dan kini dua sahabatnya sedang sibuk dengan urusan mereka. Avi berusaha sabar dengan itu semua. Meskipun dia yakin bahwa sebenarnya yang membuat Avi masih terus bertahan adalah cowok yang duduk di sebelahnya saat ini. Daniel. Orang yang selalu ada setiap kali Avi memikirkannya.
Esa sedang senang bermanja-manja dengan Avi. Adiknya itu sedang senang tiduran di pangkuan Avi dan memeluk Avi dengan erat. Avi juga balas memeluk tubuh mungil itu. Mendekapnya, seperti rasanya Avi kembali ke masa lalu saat mereka masih kanak-kanak. Dimana Avi paling  sering membela Esa jika ada anak lain yang mengerjai adiknya. Avi tidak akan pernah tanggung-tanggung menghajar mereka dan tidak peduli mau itu anak cowok atau cewek, Avi akan memukul mereka hingga mereka menangis dan Avi langsung di datangi orang tua anak-anak itu. Bahkan pernah Mami Avi sampai harus membawa anak orang ke rumah sakit karena ulah Avi. Gara-garanya Avi mematahkan hidung seorang anak cowok yang sudah mengintip rok Esa dan membuat adiknya itu menangis.
Sekarang Esa sudah besar dan sudah bisa pacaran karena masa puber. Avi memaklumi itu. Tapi tetap saja Avi masih belum bisa terima  jika Esa terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk pacaran dengan anak cowok bernama Rengga. Teman sekolah Esa.
Di ruang tengah itu, mereka duduk bertiga. Tiduran di atas sebuah kasur yang di gelar untuk tidur bersama. Avi berada di tengah-tengah dan Daniel berada di sisi kirinya. Esa sudah memeluk Avi di sisi kanan dan mata anak itu sudah terpejam. Avi memandang Daniel. Cowok itu masih belum bereaksi. Tapi Avi memandangnya lama-lama seolah dia tidak pernah memperhatikan Daniel hingga detil. Bahkan Avi baru sadar kalau Daniel memiliki sebuah bekas lubang  tindik di telinga kanannya. Di bawah telinga Daniel juga terdapat sebuah tahi lalat tipis.
“Kenapa, gue ganteng, ya?” tanya Daniel tanpa menoleh ke arah Avi dan tetap fokus dengan acara TV.
Avi mengangguk. “Iya, lo ganteng. Sampai-sampai gue bingung. Kenapa elo di comblangin ke gue sama Papi dan Papa lo. Apa ada yang salah?”
“Mungkin itu karena cowok nggak beruntung itu adalah aku, Vi.”
Avi tersenyum sinis. “Mungkin karena gue di minta berubah sama Papi. Biar gue bisa ngasih keturunan dengan membuahi sperma lo.”
“Gimanapun juga Ovum kamu itu ada batasnya.”
Avi mengangguk. Tapi kemudian dia menghela nafas. “Apa aku boleh ngeluh, Ko?”
Daniel menggeleng. “Perjalanan kamu masih panjang. Sekarang ini masih belum apa-apa. Kamu masih harus ngelewatin banyak tahap kehidupan sebagai ganti hari-hari kamu yang kemarin udah hilang sia-sia. Mulai saat ini, kamu harus lebih kuat, lebih berani, lebih matang, lebih dewasa dan harus lebih tegas. Jangan jadi Butchi lembek. Harus jantan. Yang Macho!” kata Daniel sambil mengepalkan tangannya.
“Apa ketulusanku ini nanti akan berbuah hasil?” tanya Avi dengan mata yang menerawang menatap langit-langit.
Daniel memiringkan tubuhnya menghadap Avi, menatap serius anak itu. “Sincerely!
Avi menoleh ke arah Daniel sekilas. “Sincerely?”
Daniel mengangguk. “Aku pernah baca buku Dan Brown. Sincerely itu ternyata berasal dari perubahan etimologi bahasa spanyol. Dimana Sin yang berarti tidak, dan Cera yang berarti lilin. Sejarahnya, terjadi pada jaman renaisans dimana para pematung Spanyol yang membuat kesalahan saat memahat marmer mahal, biasanya menambal bagian yang rusak dengan lilin. Sedangkan sebuah patung yang tidak rusak atau tidak bercela biasanya tanpa lilin. Kemudian frasa Sin dan Cera itu berubah arti menjadi jujur atau tulus.”
Avi menatap Daniel. Masih bingung. “Hubungannya sama aku?”
“Hubungannya denganmu adalah ketulusanmu yang murni. Terlepas dari apa yang sudah kamu lakukan. Tapi kamu serius dalam mencintai. Begitu juga dengan  apa yang kamu hadapi saat ini. Kamu bertanggung jawab karena kamu merasa harus. Kamu merasa harus karena pada dasarnya kamu punya hati yang tulus.”
Avi tersenyum lebar. Hidungnya kembang kempis karena semangat yang mulai terbakar lagi di dalam dadanya. Dia tidak pernah menyangka jika Daniel akan memberikan kata-kata semangat seperti itu untuk memotivasinya.
“Apa aku disana nanti akan kuliah lagi?”
“Tergantung kamu. Mau apa enggak. Rajin apa enggak. Papi kamu jelas bakal mikir dua kali buat nguliahin kamu. Secara, kamu udah bikin dia kecewa.”
Avi menundukkan kepalanya. “Lo tahu, Ko? Gue iri sama temen gue.”
“Siapa?”
“Aju!”
“Pasalnya?”
“Aju itu anak yang kuat dan mandiri. Setelah dia memutuskan buat jadi butch dan keluar dari rumah, akhirnya dia mutusin buat kerja sambil sekolah. padahal dia masih SMA. Belum lagi Kak Jol baik banget sama dia. Kak Jol bilang, Aju itu cerdas. Jenius. Dan dia selalu mantap dengan pilihannya. Terkadang aku mikir, kalau aja aku bisa menjadwalkan setiap detik kehidupanku dan menjalaninya secara normal. Apa mungkin aku bisa kayak Aju?”
“Semua orang bisa jika dia mau, Vi.”
Avi mengangguk. “Tapi sayangnya aku nggak bisa serius dengan kuliahku karena aku merasa salah mengambil jurusan. Bukankah itu bodoh?”
“Siapa yang tahu? Bisa saja pilihan yang kamu anggap salah di pilih ini malah nantinya membuatmu sukses. Dan justru sebaliknya, pilihan yang kamu anggap benar malah nantinya nggak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Meskipun orang bisa karena biasa. Tapi banyak juga kan orang yang bisa karena berusaha?”
Sekali lagi Avi menganggukkan kepalanya. “Thanks, Bro. Aku nggak tahu apa jadinya aku ini tanpa nasehat dan semua bantuan dari Koko. Meskipun aku tahu kalau apa yang aku alami ini akibat ulah Koko juga. Tapi aku tahu, Koko melakukan itu semua demi aku. Biar aku bisa lebih dewasa. Dan aku udah banyak belajar dari kehidupanku selama dua minggu ini.”
“Lakukan yang terbaik demi membuat kedua orang tuamu bangga, Lea. Jika bukan kamu, siapa lagi?”
Avi terhenyak. Iya, jika bukan aku, siapa lagi? jika bukan sekarang, kapan lagi?
Dan malam itu menjadi malam terakhir mereka bisa bercengkrama bersama. Karena waktu keberangkatan Avi Ke Palembang sudah di percepat. Saat Avi berusaha memejamkan mata, ada yang Avi sadari Kalau malam itu dia memakai sebutan ‘aku’ dan ‘kamu’ dengan Daniel.

♀ ♀ ♀

No comments:

Post a Comment