Saturday, November 9, 2013

TERNYATA ZAHRA ITU...

Cerpen

TERNYATA ZAHRA ITU...



Berbeda denganku, Zahra akan diam saja bila ada yang mengatainya atau bahkan menyindirnya. Sedangkan aku, aku bukan manusia penyabar yang bisa begitu saja menerima hinaan. Aku tak segan-segan akan menghajar mereka jika sampai ada yang berbuat seperti itu padaku. Terus terang, aku geram juga melihat Rena And The Gank ‘menganiaya’ Zahra. Dan bodohnya, cewek kurus itu hanya diam saja. Seperti yang sudah kuduga, Rena And The Gank mulai naik darah. Kali ini....
Byuuuurrr!!
Aku terkesiap, begitupula dengan Nanda yang duduk disebelahku. Tapi dia hanya diam dan malah menarik-narik ujung jaketku.
"Nggak ada yang bisa kita lakuin buat Zahra?" tanya Nanda cemas.
"Cuma dia yang bisa menyelamatkan dirinya," jawabku dingin.
"Lo juga nggak berani ama Rena, Jo? bukannya lo dulu pernah satu Geng ama dia?"
“Itu masa lalu, Nan. Sekarang gue nggak mau lagi ikut campur ama urusan mereka!" jawabku sambil bertolak langkah dan meninggalkan Nanda sendirian di taman dekat kelas.

 ***

Ciiiiiiittttttt
Kututup mataku rapat-rapat. Dalam hati, aku sudah merapal jutaan do'a-do'a taubat dan meperkirakan mobil Jeep itu menyentuh tubuhku dan membuatku terpental hingga menabrak tembok pagar sekolah. Tapi yang terjadi malah aku terjatuh di sebuah hamparan tanah kering dengan kerikil-kerikil kecil yang mencederai lenganku.
Saat mataku terbuka, seorang cewek dengan jilbab putihnya yang kotor karena debu memelukku sambil menutup matanya juga.
"Zah...ra..." gumamku pelan. "Zahra!!" kuguncang badannya yang lemas di pelukanku.
Anak itu diam saja dan saat kubalikkan badannya agar dia terlentang, dia tidak bergerak. Kuguncang-guncang lagi tubuhnya, dia tetap diam. Sekali ini kucoba menekan pangkal lehernya, dia masih bernafas. Dia hanya pingsan.
Beberapa orang berkerumun di antara kami dan langsung memberi pertolongan pertama. Zahra dibawa seorang Bapak-bapak yang bahkan aku belum mengenalnya, dia dibopong untuk berteduh masuk kedalam sekolah. Aku panik luar biasa, takut Zahra kenapa-napa.
" Kamu sih, nyeberang nggak lihat-lihat," ujar Pak Tarjo, Satpam Sekolah kami. Dia menyalahkanku.
"Maaf, Pak. saya tadi buru-buru,"
Aku harap tidak ada seorangpun disini yang menyalahkanku lagi karena kejadian barusan. Pemilik mobil juga melarikan diri setelah dia hampir menabrak seorang pelajar SMA  dan tidak mau minta maaf. Bagus sekali kelakuan orang semacam itu, sangat labil dan tidak punya hati seorang manusia. Dia pasti orang kaya.
"Zahra,"
Untuk pertama kalinya aku di buat panik oleh anak orang. Tapi kenapa juga anak ini bisa datang menyelamatkanku?
Beberapa orang yang tadi membantu kami sudah ada yang pergi, hanya ada aku, Pak Tarjo dan Mas Riri, OB  sekolah yang kebetulan belum pulang.
"Itu bajunya Zahra kenapa, Jo? kok bisa basah dan kotor gitu? perasaan di luar nggak hujan," tanya Mas Riri sambil membawakan obat merah untuk Zahra.
"Biar aku aja, Mas," kataku sambil meraih obat merah dan kapas yang ada di tangan Mas Riri.
"Yakin nih nggak perlu ke Rumah Sakit?"
"Nggak tahu, Mas. Kalau lima menit lagi belum juga bangun. Kayaknya harus kesono deh, aku takut kepalanya kebentur batu,"
"Iya, ‘ntar minta tolong Pak Tarjo buat panggil Ambulance kalau perlu,"
"Oke,"
Kegugupanku segera sirna saat kulihat Zahra mulai menggerakkan kepalanya dan pelan-pelan matanya terbuka.
"Lo Nggak apa, Ra?" tanyaku begitu melihatnya sadar.
"Gue yang harusnya nanya, lo nggak apa, Jo?" tanyanya balik dengan tatapan khawatir.
Aku terdiam. Menundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku bahkan tidak berani menatapnya karena rasa malu menyerangku bertubi-tubi hingga rasanya akan lebih baik kalau wajahku ini dikuliti saja.
Untuk mengalihkan perhatian, tanganku mulai bergerak untuk membantu Zahra mengobati luka baretnya. Ada beberapa luka parut di lengannya, pasti itu tadi karena goresan kerikil.  Saat aku membersihkan lukanya, dia meringis.  Sekilas aku juga melihat ada bekas lebam yang masih kemerahan di pipinya. Aku tidak yakin itu tadi karena menolongku. Dan entah kenapa aku menyentuhnya secara reflek.  Dia meringis.
"Itu tadi jangan-jangan...."
"Ini kejedot tembok!" katanya sambil menghindarkan tanganku dengan halus.
Aku menggeleng, "Itu pasti gara-gara Rena, kan?"
Zahra terdiam. Pandangannya dibuang kearah lain. Ada setitik air mata yang menggenag dimatanya. Sekali lagi aku hanya tertunduk dalam dan mengutuk rasa maluku yang tiba-tiba saja hadir.
"Sorry, gue nggak pernah bisa bantuin lo,"
"Bantuin apa, Jo?"
"Harusnya, sebagai teman sebangku, gue bisa bertindak tegas waktu ada yang nyakitin elo,"
Pelan-pelan Zahra bangun dan duduk bersandar. Matanya yang jernih menatapku tajam. Aku merasa seperti dihakimi. Dan aku benci perasaan seperti ini.
"Sorry kalau ternyata kelemahan gue membuat beban tersendiri buat elo, Jo. gue nggak ada maksud kayak gitu,"
Aku melongok ke arahnya. Tidak percaya dengan kata-katanya.
"Gue nggak pernah mau bikin masalah sama Rena dan teman-temannya. Bukan karena gue lemah dan gue nggak mau ngelawan. Tapi emang gue nggak ada urusan buat bikin masalah jadi tambah runyam,"
"Tapi kali ini, bukannya mereka udah keterlaluan sama lo, Ra? mereka udah nyiram lo pake air dan bikin seragam lo basah. Gue pikir juga lo tadi udah pulang, tapi kenapa malah belom ?"
"Duit gue di saku basah, jadi terpaksa gue jemur dulu. biar gue bisa naik angkot. Tapi gue malah lihat lo jalan meleng dan nggak lihat-lihat ada mobil jalannya kenceng banget,"
"Kenapa lo nggak pinjam duit anak-anak aja?"
"Gue nggak mau ngerepotin orang, Jo. Terlebih lagi, gue nggak suka pinjem-pinjem duit,"
"Sekali lagi gue minta maaf, Ra. Gue bener-bener temen yang nggak ada gunanya,"
"Bukan nggak ada gunanya. Tapi lo nggak mau aja ikut campur urusan Rena lagi. Gue paham, kok. Dia emang populer di sekolah ini dan semua anak disekolah tahu siapa dia. Bukanya gue takut juga, tapi gue ngerasa nggak penting aja kalau sampai nanggepin dia,"
"Kenapa?"
"Ini hanya masa sekolah, Jo. Ini hanya masa peralihan. Besok, ketika kita udah kuliah dan kerja, kita bakal melihat dunia yang jauh lebih luas. Pergaulan nggak berkutat disini aja. Mungkin sekarang Rena masih labil dan kekanakan. Suka ngerjain temen-temennya, suka berbuat sesuka hatinya, suka nge-bully temen-temennya. Tapi siapa yang tahu hari esok? siapa yang bisa tahu dunia luar? ini hanya sekolah dan Rena hanya bisa menancapkan taringnya di sekolah, nggak di tempat lain,"
Hanya sekolah? hanya peralihan? kepalaku di buat bingung oleh kata-kata Zahra. Tapi sedikit bisa kupahami kalau dia memang tidak ingin membuat masalah dengan Rena, karena itu dia tidak mau membalas semua perbuatan Rena. Aku juga sama, aku tidak ingin ikut campur dan berurusan dengan Rena lagi, bukan karena aku takut. Tapi karena itu tidak penting sama sekali.
Namun, saat melihat Zahra seperti ini, rasanya besok pasti aku tak akan tinggal diam melihat teman sebangkuku di bully dan di kerjai. Tanganku terkepal tanpa sadar. Aku siap membuat perhitungan dan perang.

***

Bruuukkk!!
Mata Zahra terbelalak kaget, buku-bukunya jatuh berserakan di sekitar bangkunya. Tubuh Rena tersungkur di atas mejanya, kemudian melihat kearahku dengan penuh kebencian.
"Sialan lo, Joana! berani-beraninya lo ngelawan gue. Lo nggak inget siapa gue?" geram Rena dengan suara melengking.
"Cuma cewek sok tahu, sok berkuasa dan keganjennan!" jawabku dingin. "Sekarang, minta maaf sama Zahra. Kalau perlu, lo sama kawanan lo itu berlutut di bawah kaki temen gue!" bentakku kemudian.
"Apa? berlutut? mimpi apa lo semalem? bangun, anak Mami!!" katanya sembari menepuk-nepuk pipiku. Tapi dengan tangkas langsung kupelitir erat tangannya hingga dia kesakitan.
Ini baru yang namanya pembalasan, tapi masih belum seberapa si bandingkan semua kelakuan mereka yang selalu membuat Zahra teraniaya.
"Joana... jangan! udah nggak apa," ujar Zahra dengan mata memelas.
Aku benci tatapan mata itu. Tatapan mata naif yang bisa menggerakkan hati setiap iblis  dalam diri manusia untuk menginjaknya hingga terperosok didalam kesengsaraan. Tapi sesuai keinginannya, aku melepaskan tangan Rena. Dua temannya yang lain baru datang untuk melihat keadaan Rena. Tapi begitu melihatku, mereka langsung diam di tempatnya masing-masing. Jika saja aku sampai di keroyok tiga orang ini, mungkin bisa jadi perkelahian yang sengit sesama cewek. Tapi tanpa diduga, Zahra malah berdiri di depanku. Badannya yang kurus membuat tameng di hadapanku agar jangan sampai Rena dan Gengnya menyerangku.
"Udah, cukup. Jangan ada yang berantem. Jangan ada yang saling serang. Biarpun kalian pintar karate dan lahir dari perguruan yang sama. Tapi apa nggak lebih baik ilmu kalian itu di gunakan buat hal yang lebih bermafaat? kenapa  harus menganiaya anak orang dan membully yang lemah?"
"Karena lemah itu membuat kami muak!" jawab Rena cepat.
"Aku bukan lemah, aku cuma nggak pengen  nambah masalah."
"Minggir," kataku tegas. Memerintahkan agar Zahra jangan sampai menghalangi amaraku yang sudah di ujung kepala.
Ada dendam tersendiri yang belum aku tuntaskan pada Rena. Dulu, sewaktu aku masih bergabung bersamanya. Hingga aku keluar dari Gengnya karena sebab tertentu. Dia hanya memanfaatkaku saja. Kini, aku tak akan membiarkannya begitu saja. Sudah saatnya aku bertindak, atas nama semua anak yang pernah di bullynya dan di rendahkannya.
"Perang tak akan menyelesaikan masalah, belajarlah untuk dewasa dan jangan menuruti nafsu. Aku bicara seperti ini bukan karena naif. Tapi karena aku paham betul apa yang akan terjadi jika kalian sampai saling serang dan membuat keadaan jadi tambah rumit."
Ada kedewasaan dalam suaranya, aku tahu, Zahra selalu seperti itu. Tapi sudah kepalang basah, aku sudah hampir ingin meloloskan tinjuku ke arah Rena tapi tertahan oleh tangan Zahra yang kuat. Aku melihat ke arahnya. Tak percaya.
"Lo bisa dengerin apa kata Nanda, Jo. Tapi kenapa nggak bisa dengerin gue? gue ini temen lo dan gue nggak akan ngebiarin lo sampai nyesel karena kegoblokan lo yang sesaat ini!"
Tangan Zahra yang kuat terus menekanku. Membuat tinjuku berubah lemah dan tentu saja aku keheranan. Dia sangat kuat. Cengkeraman tangannya mampu menahanku dan menghentikan gerakanku sama sekali. aku tidak percaya, dengan badan sekurus itu, dia bisa memiliki kekuatan yang entah darimana datangnya.
"Lo juga, Ren. Jangan berbuat konyol dan kekanakan lagi!" tegasnya dengan suara kalem, tapi dengan tatapan mata yang dingin dan angkuh.
"Siapa lo berani nasehatin gue? jangan dakwah disiang bolong kayak gini. Jilbab lo itu cuma hiasan. Jadi, akan lebih baik kalau jil...."
Belum selesai Rena dengan kata-kata angkuhnya, tangannya sudah di hentikan oleh gerakan Zahra yang cepat dan dinamis.  Seperti melihat film Kung Fu Hustle, aku bisa memastikan kalau pukulan Zahra tadi bahkan bisa membuat lengan Rena retak. Tapi tidak, anak itu masih bisa menggerakkan tangannya dan hanya sedikit meringis kesakitan.
Dari luar kelas, anak-anak melihat kami yang berkelahi di dalam kelas. Aku tidak percaya kalau Zahra bisa menciderai lawan dengan tepat sasaran hingga dia bisa langsung lemah dan tak bisa berkutik lagi. Rena segera di bawa pergi oleh kedua temannya. sedangkan Zahra hanya menatap Rena dengan pandangan miris.
"Apa gue udah bilang sesuatu sama lo, Nan?" tanyanya begitu Rena pergi dan diluar anak-anak bersorak bertepuk tangan melihat aksi Zahra.
"Apa?"
"Jangan pernah percaya sama siapapun. Bahkan temen sebangku lo sendiri!" katanya sambil membereskan buku-bukunya, lalu dimasukkan kedalam tas dan dia pergi begitu saja.
Aku hanya melongo menatapnya pergi. Apa dia pulang ?

***

"Nih!" Nanda memberikanku selembar foto yang dikeluarkan dari dalam tasnya.
"Apa ini?" tanyaku heran, terpaksa tidak kuindahkan dulu Baksoku dan fokus menatap barisan anak-anak remaja putri memakai dobok. Ada satu wajah yang lebih membuatku tertarik dan dia berdiri di barisan paling pojok. Aku tidak bisa lupa bagaimana cara memakai jilbabnya. Sangat khas di wajahnya yang manis. Meskipun dia kurus.
"Zahra itu ternyata seorang Sabeum. Ayahnya dan Ibunya seorang Sabeum Nim. intinya, Zahra di besarkan dalam keluarga Tae kwon do. Tiga bulan sekali Zahra ada pertemuan di Soul dengan Organisasi Tae Kwon do yang diikuti Ayahnya. Satu tahun lalu, Ayahnya meninggal dan yang menggantikan tugas Ayahnya ya Zahra,"
Aku melongo. Mataku hanya bisa berkedip-kedip, tak bisa percaya apa yang di katakan Nanda begitu saja.
"Jurus yang paling di kuasai Zahra itu Pyo Jeok Chigi. Gue juga nggak segitu ngerti, tapi pas gue tanya sunbaegue, ternyata itu nama jurus hantaman telapak tangan. Wajar aja kalau pukulan lo bisa di hadang dengan sekali genggam aja. Belum lagi Rena yang sampai harus di rawat gara-gara lengannya masih sakit. Untung nggak patah,"
Tak bisa lagi kusembunyikan rasa kagetku.  Zahra? cewek yang badannya kurus itu? cewek yang diam saja waktu di bully sama Rena? cewek temen sebangku gue itu ternyata....
"Gue sering lihat sih banyak pelatih-pelatih muda yang emang bener-bener muda. Tapi gue nggak nyangka aja kalau Si Zahra yang usianya aja masih sepantaran kita, baru juga tujuh belas tahun dan dia udah punya pengalaman nggak karu-karuan. Hebatnya, dia sering bolak-balik Jakarta-Korea. Gue harus bilang apa, ya?" Nanda mengomel sendiri.
Aku segera beranjak dari kantin dan berlari sekencang munhgkin menuju kelas. Tapi aku tak mendapati seorangpun disana. Hari ini Zahra memang tidak masuk. Tapi entah kenapa, aku merasa seolah di laci mejanya tersimpan sesuatu, mungkin saja ada pesan disana. Tapi saat aku mendekati meja itu dan kepalaku melongok kesana, tidak ada apapun. Kosong.
Tanpa buang banyak waktu, aku langsung berlari keluar kelas, tapi langkahku segera terhenti saat melihat Nanda sudah berdiri di depan kelasku.
"Kalau lo mau nyari Zahra, lo nggak bisa. Dia udah pindah sekolah ke luar kota. Soalnya Kakak Zahra minta dia buat ngelatih di Dojang baru milik kakaknya itu,"
Kakiku lemas seketika. "Lo tahu darimana sih, Nan?"
"Gue tahu dari senior gue kemarin. Kita iseng ngobrol soal Dojang dan ternyata senior gue itu mau di angkat jadi pelatih di Dojang baru milik kakaknya Zahra. Disitu mulailah gue tahu, kalau Zahra temen sebangku lo itu bukan cewek biasa, Jo!"
"Gue nggak bisa percaya,"
"Terang aja. Ilmu lo aja belum ada apa-apanya tapi lo udah congkak sana-sini. Lo ama Zahra sama-sama cewek. Badan lo lebih besar dari Zahra. Tapi lo nggak akan nyangka kalau orang-orang kayak Zahra itu tersebar luas di dunia ini,"
Ini hanya masa sekolah. Ini hanya masa peralihan. Besok, ketika kita udah kuliah dan kerja, kita bakal melihat dunia yang jauh lebih luas. Pergaulan nggak berkutat disini aja.

Barisan kata itu terus saja mendengung di telingaku dan menggema di setiap sudut otakku. Bagaimana bisa aku kalah satu langkah dari cewek kurus itu? dan ternyata Zahra itu... Wonderful.

-----END-----

No comments:

Post a Comment