TIGA
4 Desember 2003
Dena mendobrak kamar Aju dengan kesal. Aju tahu apa yang akan di katakan Kakaknya. Karena itu dia sudah bersiap menerima semburan kemarahan kakaknya dengan memasang mentalnya sebaik mungkin. Tapi Aju tidak berpikir kalau Kakaknya akan meraih kerah kaosnya dan menyeret Aju di hadapan Papa dan Mamanya. Ada Margaret disana. Aju menatapnya dingin.
“Minta maaf!” perintah kakaknya tegas.
Aju diam. Memaksa tangan kakaknya agar mau lepas dari bajunya. Aju hanya menatap kedua orang tuanya yang lebih dulu memandangnya dengan heran.
“Sorry, Pa! Ma!” ujar Aju setenang mungkin.
Plaakk!!
Dena memukul kepala adiknya dengan keras. “Bilang kalau kamu udah berani nyium Margaret!”
“AKU TAHU!!” bentak Aju balik pada kakaknya. Dena membelalakkan matanya, kaget. Perhatian Aju kembali lagi pada kedua orang tuanya. “Sorry, aku udah nyium Margaret!” Aju melirik ke arah Margaret. Cewek itu memalingkan muka. Aju tersenyum sinis.
Mama Aju langsung menutup bibirnya dengan tangan gemetar. “Aju...” bisiknya.
“Aju udah bilang sama Mama dan Papa kalau Aju ini nggak bisa kayak cewek-cewek kebanyakan. Aju ya kayak gini. Kalau sampai Aju nyium Margaret, anggep aja itu khilaf atau impulsif!”
“Apa? coba di ulang lagi! impulsif?” Dena memukul kepala Aju lagi. Tapi Aju tetap berdiri tegak dan tidak mau memegangi kepalanya meskipun terasa sakit. “Lo bego apa gimana? Margaret tuh udah kayak kakak lo!”
“Kalau aku nggak bisa nganggep dia Kakak gimana? Emang kenapa sih? Gitu aja jadi masalah? Jangan bilang kalau kemarin itu ciuman pertama lo, Ret!” kata Aju dengan tatapan tajam ke arah Margaret. Cewek itu terkejut. Aju tersenyum mengejek. “Oh, ciuman pertama ya!”
“Aju, lo keterlaluan!” bentak Dena.
Aju mengalihkan perhatiannya pada kakaknya. “Emangnya kenapa sih? Cece tahu ndiri kan kalau dari dulu aku emang nggak bisa bergaul sama anak cewek? bahkan aku nggak terbiasa dengan permainan anak cewek. Kalian semua nyebut aku tomboy, kan? Dan sekarang kalian harus terima kenyataan kalau aku juga lesbian!”
Plaaakk!!
Kali ini bukan Kakaknya yang menampar Aju. Bukan juga Margaret. Tapi Papanya. Mama Aju lebih rapat menutup mulutnya. Tidak percaya dengan apa yang sudah di lakukan suaminya pada anaknya. Meskipun Aju di didik dengan keras, Tapi Aju tidak pernah di kasari. Apalagi di tampar atau disakiti secara fisik.
“Papa nggak pernah ngedidik anak jadi salah orientasi. Sejak kecil kamu udah belajar banyak tentang dunia medis. Jelas kamu tahu juga tentang penyimpangan seksual. Dan Papa mau sekarang juga kamu minta maaf sama Margaret!”
Aju menatap Margaret dengan datar. “Sorry!”
Margaret menatapnya bingung. Antara tidak enak hati dan kesal. Sekaligus kasihan pada Aju. Tapi Aju tidak banyak bicara lagi. Dia langsung berlari masuk ke dalam kamarnya yang berdekatan dengan ruang tengah tempat mereka semua tadi berkumpul.
Masih bisa di dengar jelas oleh Aju melalui balik pintu kamarnya. Papa dan Mamanya berbicara mengenai dirinya. Mereka jelas menganggap perbuatan Aju salah. Dan itu yang membuat Aju tidak tahu harus bagaimana lagi dengan masa depannya.
Tatapannya beralih ke sebuah cermin. Dia menatap tubuhnya dari atas hingga bawah, lalu ke atas lagi, dan ke bawah lagi. Ada satu pemandangan yang membuatnya sedikit risih. Dadanya. Dari dulu dia selalu berpikir, kenapa dia tidak lahir sebagai anak laki-laki.
Aju menatap dadanya lagi, lalu memegangnya. Dada itu terlalu menonjol. Aju segera berlari ke arah lemari dan mengambil syal yang dulu pernah di berikan papanya dari Madrid. Aju segera melepas kaosnya, juga bra yang di kenakannya hingga topless. Dia segera membebatkan syal itu di dadanya. Seperti memakai kemben. Setelah selesai. Aju memakai kaosnya lagi. Lalu menatap ke cermin.
Aju tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. Itu dirinya. Dia meraba dadanya, rata. Meskipun sedikit. Aju berkaca dan memperhatikan dirinya dari atas hingga ke bawah. Lalu melihat dirinya dari sisi samping. Rata. Dia tersenyum.
Seperti orang gila. Aju berkaca dan bergaya sekeren mungkin. Mencoba berbagai pose yang sekiranya membuat dirinya terlihat sangat maskulin. Dan dia puas. Dia menjentikkan jarinya dan tersenyum lebar. Tapi setelah sepuluh menit dia membebat dadanya, dia mulai merasa sesak. Nafasnya tarik ulur seperti pengait yang karatan. Aju segera melepas syal itu dari dadanya. Kemudian terjatuh lemas.
“Sial, kalau kayak gini. Gue bisa mati kurang dari lima belas menit!” gumamnya.
♀♀ ♀
SMP Fatmawati. 7 Desember 2003 : 13.00
Jam terakhir sudah berakhir. Semua anak segera mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas. Sebelum mereka berdoa untuk pulang, Guru Bahasa Inggris mengumumkan mengenai ulangan yang ada di adakan besok. Sebagian isi kelas langsung menanggapi dengan lemas. Tapi tidak dengan Aju dan Tika yang saling lirik dan tersenyum lebar.
“Yang kalah, harus nraktir!” kata Tika.
“Siapa takut. Kalau lo kalah juga nggak boleh nyesel!”
“Nggak bakal!” Tika menyodorkan jari kelingkingnya. “Janji ya!”
Aju menyambutnya. Kelingking mereka bertaut. “Promise!”
Mereka berdua tertawa lepas. Tapi begitu mendengar Ketua Kelas memberi komando agar berdoa dulu sebelum pulang, Aju dan Tika langsung menundukkan kepalanya sambil tersenyum.
Setelah berdoa. Berbondong-bondong anak-anak keluar dari kelas. Aju paling senang saat-saat pulang sekolah. Dia bisa melihat anak-anak yang ramai menyusuri koridor kelas untuk mencapai satu pintu di sekolah itu. Semua anak berseragam putih biru bercampur, baik senior maupun junior. Mengobrol setelah pulang sekolah itu memang menyenangkan.
Aju berjalan di belakang Tika. Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat tas ranselnya di tarik oleh seseorang dari belakang. Aju menatap siapa yang sudah berani menghalanginya untuk pulang. Tapi belum sempat Aju memperhatikan mereka semua. Mulut Aju langsung di bekap dan di tarik ke pojokan ruangan. Aju baru menyadari kalau kelas sudah sepi dan tinggal mereka saja. Anak-anak cowok yang waktu itu mengerjainya.
Pintu kelas di tutup oleh salah seorang temannya yang lain. Aju meronta-ronta dan berteriak. Tapi sayang, teriakannya terbungkam oleh bekapan salah satu temannya yang badannya sangat kekar. Seorang lagi langsung melucuti sabuk yang di kenakan Aju dan mengangkat roknya.
“Waktu itu kita belum kelar, kan?”
Aju membelalakkan matanya. Seumur hidupnya, Aju tak akan pernah mengampuni anak itu. Teman yang dulu sangat dekat dengannya. Sekaligus teman yang di percayainya. Bimo.
Aju terus meronta. Tapi gerombolan Bimo malah menertawakan Aju. Melihat mereka menertawakan dirinya, Aju langsung berhenti meronta dan menatap mereka dengan sinis.
“Kenapa? Meskipun lo ngaku kalau tomboy. Tapi lo itu tetep cewek. Cewek ya cewek aja. Di ‘masukin’ juga udah bisa hamil. Ya, nggak?” tanya Bimo pada teman-temannya seolah mencari persetujuan.
Teman-temannya yang lain tertawa. “Lo dulu, Mo!” kata temannya. Febri, anak paling bandel di kelas.
Bimo bersiap dengan apa yang ingin dilakukannya pada Aju. Rok Aju di naikkan tinggi-tinggi. Ajo mulai meronta-ronta dengan keras. Tangan dan kakinya di kunci oleh teman-temannya. Mulutnya di bekap. Aju meronta sekuat tenaga.
“AJUUU!!! TOLOOONGGG!!!”
Aju menyentakkan kepalanya. Suara Tika di luar kelas berteriak mencari pertolongan. Tidak lama kemudian beberapa anak cowok dari kelas sebelah berusaha mendobrak kelas dan mereka berhambur masuk. Teman-temannya yang tadi mengerjainya langsung minggir dan berusaha lari. Tapi beberapa anak cowok dari kelas lain itu langsung mengejar. Aju melihat Tika yang berlari ke arahnya. Aju melindungi dirinya. Menutup pahanya yang terbuka.
Tika langsung memeluknya. “Lo nggak apa, kan?”
Aju mengangguk. Tatapannya beralih ke teman-temannya tadi. Mereka semua panik dan berteriak-teriak mengatakan bahwa Aju yang lebih dulu menggodanya. Tika langsung menatap mereka dengan marah.
“BOHONG!! Mereka pasti yang duluan! Aju nggak mungkin kayak gitu!”
“Udah, laporin guru. Cepatan!” kata salah satu anak dari kelas sebelah. “Paaaakkk!!” teriaknya kemudian ke salah satu Guru yang sedang melintas.
Aju dan Tika sontak menolek ke luar jendela. Melihat Guru Fisika yang mengajak mereka di kelas dua dulu yang langsung datang mendekat.
“Kenapa?” tanya Guru Fisikanya.
“Mereka mau merkosa Aju!” kata anak kelas sebelah yang memanggil Guru Fisika tadi.
Sekilas Guru Fisika itu memandang Aju tak percaya. Tika tahu Guru itu tidak bisa mempercayai Aju karena penampilan Aju yang tomboy.
“Udah, Pak. Bawa ke kantor aja. Ayo!” ajak anak-anak kelas sebelah.
“Beneran, Pak. Mereka tadi nyekap Aju!” Tika meyakinkan.
“Kamu tahu darimana?”
“Saya lihat dari jendela sebelah sana!” tunjuk Tika ke jendela yang ada di dekat pintu kelas.
Guru itu tampak ragu dan langsung berjalan ke arah jendela dan seolah sedang melakukan percobaan. Tika langsung geram dan langsung menggandeng Aju ke arah Guru Fisika itu.
“Teman saya hampir di perkosa dan bapak malah nggak percaya. Bapak mau ngurus apa enggak?” bentak Tika geram. “Kalau nggak mau ngurus, biar saya lapor orang tuanya Aju dan biar mereka yang langsung lapor polisi!” ujar Tika mengintimidasi.
Tika menoleh ke arah Aju dan melihat baju Aju sudah berantakan. Bahkan tali tasnya putus. Tika langsung meraih ransel Aju dan membawakannya. Lalu melepas sabuk Aju yang sudah terbuka.
Tika menunjukkan sabuk itu ke arah Guru Fisikanya. “Penampilan Aju nggak mungkin bohong!”
Guru Fisikanya langsung mengangguk dan menyuruh anak-anak dari kelas sebelah itu menggiring teman-teman yang tadi menjahili Aju.
Meskipun dengan meronta dan menolak tuduhan. Bimo dan teman-temannya tidak bisa mengelak dari kesalahan mereka. Saat di kantor Kepala Sekolah. Anak-anak dari kelas sebelah dan Tika menjadi saksi. Aju dan Bimo di dudukkan di depan meja Kepala Sekolah. Aju tidak banyak bicara. Tika yang lebih banyak membelanya. Sedangkan Bimo dan teman-temannya tetap menyatakan bahwa mereka tidak bersalah. Tapi baju Aju yang kotor dan bekas merah di lengan dan kakinya saat semua Geng Bimo memeganginya tadi membuat Bimo dan teman-temannya akhirnya mendapat keputusan di skors oleh Kepala Sekolah langsung. Bukti itu sudah cukup membuat pihak sekolah percaya.
Tapi kasus itu tidak berhenti disitu saja. Karena Bimo mengatakan bahwa dia tidak ingin di skors sendirian. Karena perbuatannaya itu ada yang menyuruh, yaitu Yasi dan dua temannya. Bimo mengatakan pada pihak sekolah, bahwa ada anak dari kelasnya juga yang tidak suka dengan Aju dan menyuruh Bimo beserta Gengnya untuk mengerjai Aju dan mem-bullynya. Tika juga ikut menambahi tentang kesaksiannya. Bahwa gossip mengenai Aju yang di bully beberapa waktu lalu sudah beredar. Dan itu yang menyebabkan Aju tidak masuk sekolah selama empat hari dengan alasan sakit.
Pihak sekolah langsung menahan Bimo beserta Gengnya, juga Aju. Tika dan beberapa anak dari kelas sebelah beserta Guru Fisikanya tadi di suruh untuk mencari anak-anak perempuan dari kelas Aju yang sudah menjadi otak dari bullying terhadap Aju.
Butuh waktu selama dua puluh menit untuk mencari mereka. Karena mereka mengira kalau Yasi dan dua temannya sudah pulang sekolah. Tapi ternyata mereka bertiga berada di kantin sekolah. Ketiganya langsung panik dan bingung saat Tika, Guru Fisikanya dan beberapa anak dari kelas sebelah mengajak untuk ke kantor Kepala Sekolah.
Saat sudah berada di kantor Kepala Sekolah, Yasi langsung di dudukkan di depan meja Kepala Sekolah. di samping Bimo, Yasi memasang wajah tak berdosanya. Sedangkan Aju memasang wajah tanpa ekspresi.
Setelah di desak oleh Guru BP dan Pembina Kesiswaan beserta Kepala Sekolah, akhirnya Yasi mengaku. Aju tidak begitu banyak bicara saat di tanya mengenai apa yang sudah di lakukan mereka.
“Mereka mengangkat rok saya,” jawab Aju ketika di tanya oleh Guru BP tentang apa yang di lakukan oleh Bimo dan kawan-kawannya.
“Apa mereka mencium kamu?” tanya Guru BP lagi.
Aju menoleh ke belakang dengan ekspresi datar. Di tatapnya dua wajah yang selalu membuatnya muak. “Dia... dan dia...” tunjuk Aju pada dua teman dekat Bimo. “Juga dia,” tunjuk Aju pada Bimo.
Mereka bertiga terkejut dan siap melakukan pembelaan. Guru BP melihat ketiganya dengan geram. Tapi kemudian perhatiannya tertuju pada Aju lagi.
“Lalu apa lagi?”
Aju terdiam. Menggigit bibirnya. Menundukkan kepalanya. Meremas-remas jemarinya. Pahanya di tutup rapat-rapat. Guru BP-nya memperhatikan gerak-gerik Aju. Bahasa tubuhnya sudah membuatnya bisa membaca apa yang di lakukan oleh Bimo dan kawan-kawannya.
“Lalu tentang Yasi. Apa yang sudah dia lakukan sama kamu?”
“Dia cuma nyuruh,” jawab Aju pelan.
“Nyuruh siapa?”
“Nyuruh Bimo,”
“Nyuruh apa?”
“Nyuruh buka baju saya.”
“Lalu?”
“Nyuruh...” Aju meremas baju seragamnya.
“Oke, dan dua temannya itu ngapain?”
“Saya nggak inget,”
“Mereka nggak nyuruh juga kayak Yasi?”
“Mereka ketawa,”
“Ngetawain kamu?”
Aju mengangguk pelan. Dua teman Yasi langsung protes dan mengatakan bahwa mereka ada disitu karena Yasi yang mengajaknya. Dan mereka berdua tidak ikut-ikutan. Tika memandangi mereka dengan tatapan jengkel.
“Bagaimana hubungan kamu sama teman-teman kamu selama ini?” tanya Wakil kesiswaan pada Aju.
Aju menggeleng. “Saya dekat dengan Bimo,”
“Pacaran?”
Aju menggeleng. “Kami teman. Guru olah raga paling hafal dengan kami. Kami selalu jadi tim setiap kali olahraga,”
Wakil Kesiswaan mengangguk. Dia percaya apa yang di katakan Aju. Karena Aju bukan murid biasa di sekolah itu. Aju adalah salah satu Maskot terbaik yang dimiliki sekolah itu karena Aju sering memenangkan lomba Sains baik dari tingkat sekolah, sampai tingkat provinsi. Mengenai Aju yang tomboy, semua warga sekolah juga tahu. Juga tentang kecenderungannya bermain dengan anak laki-laki, semua guru-guru juga tahu. Karena itu, melihat kejadian itu, Wakil Kesiswaan sedikit tidak bisa percaya. Bukan pada Aju, tapi pada Bimo yang bisa bergitu ingin melakukan pelecehan seksual pada Aju.
Seorang petugas TU masuk ke kantor kepala sekolah dan memberikan setumpuk amplop pada Kepala Sekolah. Di luar amplop itu sudah tertulis nama masing-masing murid yang bermasalah dan Kepala sekolah segera membagikan pada para pelaku.
“Itu surat undangan untuk orang tua kalian. Saya mau besok orang tuanya datang ke sekolah. Kalau ada yang nggak datang, guru BP akan datang ke rumah kalian. Dan surat itu juga sekaligus pernyataan skors dari sekolah untuk kalian. Kalian di skors selama satu minggu, mulai besok.” kata Kepala Sekolah.
Yasi beserta teman-temannya langsung terkejut. Tidak beda jauh dengan Bimo dan kawan-kawannya.
Meskipun surat pengumuman skors sudah di turunkan. Tapi sesi tanya jawab yang di rekam oleh guru BP itu masih terus berlanjut hingga jam empat sore. Tika masih setia menemani Aju di ruang Kantor Kepala sekolah dan membantu Aju menjawab apa yang selama ini terjadi pada Aju akibat ulah teman-temannya.
Sesekali Aju menoleh ke arah Tika. Aju tidak percaya jika ternyata Tika tahu jauh lebih banyak mengenai keadaan di kelas selama ini. Sejauh apa yang Aju tahu, Tika hanyalah tembok tinggi dan dingin yang sering tidak peduli meskipun tsunami akan meruntuhkannya. Ketika Tika mengatakan mengenai Aju seolah dia sangat memahami Aju, Aju sangat terkejut bahwa ternyata Tika mengenal dirinya sudah sangat jauh. Bahkan bukan hanya Aju saja. Tika juga mengetahui dengan baik mengenai semua teman-teman di kelasnya.
♀♀ ♀
No comments:
Post a Comment