ENAM
Mangga Dua. 12 Juni 2004 : 14.46 WIB
Plang pada bangunan itu bertuliskan SUPA TAEKWONDO CLUB. Aju mengerutkan alisnya. Dari dalam mobil, Aju bisa melihat jelas bengunan satu lantai dan memanjang ke belakang. Ragu-ragu Aju membuka pintu mobilnya. Tapi tangan Jol menepuk bahunya.
“Kalau ragu, mending nyari tempat lain. Mungkin lo butuh Thai Boxing,”
“Emang harus banget gue latihan karate atau sejenisnya ya, Kak?”
Jol terkekeh. “Gue tahu, yang menarik buat lo itu cuma buku dan pengetahuan. Dan lo ngerasa nggak perlu dengan yang namanya sportatau bahkan bela diri. Padahal, kalau lo pengen jadi butchi sejati. Maka lo harus mempelajari apa yang ada sama cowok. Katanya pengen maskulin. Gimana mau maskulin kalau otot aja nggak punya?”
Aju melenguh. Dia tidak begitu tertarik dengan bela diri. Bahkan tidak pernah menganggap hal itu perlu sama sekali. Satu-satunya hal yang dia butuhkan hanya rasa nyaman dan aman saja. Tapi ketika mengingat perlakuan Bimo, Aju sama sekali bingung bagaimana harus membalasnya. Namun kini Aju bisa mencoba untuk memantapkan diri.
“Semua itu bukan buat elo doang, Ju. Tapi nanti hal itu pasti akan elo butuhkan. Suatu hari. Buat elo, teman lo and you’re girlfriend!”
“My girlfriend?” gumam Aju dengan mata menerawang. Bayangan Margaret melintas di benaknya.
“Let’s go! Aku antar kamu masuk. Kita daftar dulu,”
Tanpa membuang waktu. Jol segera membuka pintu mobilnya dan berjalan lebih dulu. Dengan hati yang sedikit ragu, Aju akhirnya luluh juga dan mau ikut Jol masuk ke dalam bangunan bercat putih itu. Bangunan sederhana dan terlihat tidak begitu istimewa. Tapi tampak bersih dan benar-benar berbau korea dengan beberapa ornamen-ornamen khas korea saat Aju dan Jol masuk ke lobi.
Mereka langsung di sambut seorang wanita dengan rambut sebahu dan penampilannya sangat biasa. Aju memilih duduk di ruang tunggu, sementara Jol yang mengurus semuanya. Ketika Jol memberikan lembaran formulir pendaftaran, perhatian mereka langsung tertuju pada satu sosok tinggi, putih, wajah yang ceria dan terlebih lagi dia lebih baik di sebut tampan daripada cantik atau mirip cewek.
Mulut Aju membentuk huruf O menatap anak itu. Aju bisa menduga bahwa usia mereka sepantaran. Anak itu melenggang dengan tenang dan biasa masuk ke dalam sanggar dan di sambut oleh resepsionis sanggar taekwondo itu. Jol tersenyum saat anak itu melintas di sampingnya dan bersikap cuek.
“Dia...” Jol memulai percakapan dengan resepsionis sambil menunjuk anak yang baru saja masuk itu.
“Oh, namanya Avril,” sahut resepsionis dengan tersenyum. “Dia murid juga. Masih sabuk merah.”
Aju membelalakkan matanya. “Masih sabuk merah?” tanyanya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah kenapa Aju merasa anak itu lebih hebat darinya.
“Look, you have a friend!” kata Jol saat menoleh ke arah Aju.
Aju mengangguk. Mungkin dia bisa mencoba berteman dengan anak itu. Jika anak itu mau. Aju cepat-cepat mengisi formulir pendaftarannya dan langsung menyerahkan pada Jol sekalian dengan persyaratan lain berupa foto berukuran 4x6.
“Bisa ikut latihan hari ini kalau mau,” kata si resepsionis.
Jol melihat ke arah Aju. Tapi Aju menggeleng. Dia masih terlalu malu untuk terjun langsung ke medan yang sebelumnya belum pernah dia jamah. Jol tersenyum ke arah resepsionis. Dan menggelengkan kepalanya.
“Kalau gitu bisa langsung latihan minggu depan. Nanti langsung di kasih seragamnya,”
Jol dan Aju kompak menganggukkan kepalanya. Tapi sebelum pergi, Jol mengajak Aju untuk melihat-lihat keadaan didalam sanggar terlebih dulu. Tanpa di duga Aju, sanggar itu masih sepi dan tidak terlihat satupun anak yang latihan. Jol melirik jam tangannya dan dia baru sadar kalau sudah jam tiga sore. Sejak tadi Aju dan jol berkeliling Jakarta untuk mencari tempat latihan bela diri yang cocok untuk Aju. Tapi sayangnya Aju seolah tidak begitu tertarik. Tapi Jol sudah bertekad akan memasukkan anak itu ke dalam sangggar bela diri agar Aju bisa terlihat lebih sempurna dengan penampilannya. Baik dari luar maupun dalam.
“Dia juga butchi,” kata Jol begitu memperhatikan anak yang sedang menendang samsak. Anak yang tadi bertemu dengan mereka di lobi.
Jol tersenyum begitu melihat anak itu ternyata lebih kuat dari yang di bayangkannya. Aju juga ikut memperhatikan anak itu. Bisa di lihatnya bahwa anak itu sangat luar biasa dan terlihat... nasionalis. Mungkin karena seragam putihnya berpadu dengan sabuk merah yang di kenakannya.
“Dia latihan sendiri?” tanya Aju keheranan karena tidak melihat partner anak itu.
Jol menggeleng. “Pasti ada. Mungkin belum datang,” jawabnya datar. “Malah bagus, kan?” tanyanya seraya menoleh pada Aju. “Lo bisa latihan jam segini sama dia.”
Aju tersenyum. Lalu menganggukkan kepalanya. “Aku mau!”
♀♀ ♀
Violey Cafe. 17 Juni 2004 : 21.00 WIB
Jol memotivasi Aju dengan kata-katanya. Banyak sekali hal yang di pelajari Aju dari orang yang sudah menolong sekaligus membantunya dengan kehidupan barunya itu. Jol juga sepertinya tidak menganggap Aju sebagai orang lain. Karena dia memperlakukan Aju seperti adiknya sendiri dengan benar-benar total.
Aju melewati masa-masa SMP-nya dengan sangat baik setelah insiden pelecehan itu. Terlebih lagi, Aju berhasil menyabet juara umum sekolah di ujian akhir. Nilainya sempurna. Jika ada pertemuan wali murid, Aju hanya menelepon kakaknya dan meminta Dena untuk datang. Bukan Mama atau Papanya.
Seiring dengan itu, Dena mulai menyadari kedekatan Aju dan Jol lebih dari sekedar sahabat. Jol bertindak sebagai kakak jauh lebih baik dari pada Dena sendiri. Karena itu, terkadang Dena mengunjungi Aju di rumah kontranya yang sudah di carikan Jol sejak Aju memutuskan untuk tinggal di tempat lain dan bukan di Cafe. Tapi begitu melihat kenyataan bahwa adiknya bekerja di sebuah Cafe, dimana Aju harus total berpenampilan butchi, Dena benar-benar marah. Bahkan ketika Aju mengatakan pada kakaknya bahwa dia memiliki seorang girlfriend, Dena langsung datang ke kontrakan Aju dan memaksa adiknya untuk pulang ke rumah. Tapi sayangnya, Aju tidak akan pernah lagi menginjakkan kakinya di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan antara dia dengan Papanya.
Ketika Aju memutuskan ingin masuk ke sebuah Sekolah Kejuruan, Jol menyambut baik keinginan Aju. Tapi tidak dengan Dena yang lebih menyuruh adiknya masuk di SMA biasa saja dan mengambil jurusan IPA. Dena tetap ingin adiknya ikut menjadi generasi dokter dalam keluarganya. Tapi Dena tahu, hal itu tidak akan pernah terjadi. Aju sudah keluar dari garis lurus yang di tetapkan keluarganya. Dia lebih memilih kehidupannya dan Jol dari pada Dena dan keluarganya. Juga masa depannya sebagai Dokter.
Dalam dua tahun terakhir saat Aju sudah nyaman dengan kehidupan dan kegiatannya. Juga nyaman dengan pelajaran bartender Coffee-nya bersama Lori, Aju mulai melirik kegiatan lain selain membuat Art Coffee dan belajar Taekwondo setiap akhir pekan bersama Avril, teman yang sudah membantunya untuk latihan selama ini. Aju ingin membuat perpustakaan di Cafe itu. Tapi sayangnya Jol tidak mengijinkan.
Saat dia menginjak usia tujuh belas tahun, Aju mendapat sebuah kado dari Mama dan kakaknya. Jol merayakan ulang tahun Aju seolah tidak pernah mengadakan acara ulang tahun sebelumnya. Jol mengundang semua teman-temannya di Cafe dan membuat acara pesta untuk Aju. Dan itu menjadi acara party sekaligus deklarasi komunitas lesbian yang di dirikan oleh Jol. Komunitas dengan nama yang sama dengan nama Cafe Jol. Violey.
“Violey itu sebenarnya hanya plesetan dari violet. Karena Mamaku suka Lavmder,” kata Jol saat sedang duduk bertiga dengan Aju dan Lori.
“Bunga lavender berwarna ungu. Ungu adalah violet. Sederhana saja!” tambah Lori sambil mengendikkan bahunya.
Aju menatap mereka berdua. Masih belum paham.
“You know what, Aju. Lavender itu juga terkenal dengan identitas kaum lesbian.”
Aju membelalakkan matanya. Cakupan pengetahuannya tentang dunia ‘sebelah’ ini benar-benar masih sempit. Tidak ada yang Aju pahami selain istilah-istilah medis. Tapi selama hampir dua tahun ini dia di paksa untuk memahami istilah lain dari ‘dunia lain’.
“Masihkah kita terpaku pada hal-hal semacam itu?” tanya Aju datar.
Jol menggeleng. “Nggak juga. Sebenarnya Cafe ini aku bangun atas cintaku pada Mama. Juga cinta Papaku pada Mama. Tapi... aku juga ingin menemukan pasanganku melalui Cafe yang aku dirikan ini,” kata Jol dengan tatapan sedih.
“Pasti nanti akan bertemu yang terbaik, darling.” Kata Lori seraya memeluk Jol.
Aju memandang mereka dengan tersenyum. Hubungan Jol dengan Lori, hampir seperti pertemanan Aju dengan Tika. Meskipun sebenarnya antara Jol dan Lori hubungannya lebih complicated. Terkadang bisa jadi teman, dna terkadang bisa menjadi pacar. Terkadang mengakui kalau mereka pacaran, tapi terkadang juga menolak untuk di sebut pasangan satu sama lain. Setidaknya itulah yang di pikirkan Aju. Dan mengenai Tika sendiri, sayangnya Aju sudah tidak bertemu dengan Tika lagi setelah Aju memutuskan untuk masuk ke Sekolah Kejuruan. Sedangkan Tika memilih pindah ke Bandung. Ikut dengan kakaknya. Karena itu, sejak tidak bisa mengobrol dengan Tika, Aju sedikit merasa kesepian.
Meskipun ada Jol dan Lori yang biasa menemaninya. Tapi kehidupan Aju seolah hanya berkutat dengan mereka berdua. Selebihnya, Aju menjalani hari-harinya di sekolah seperti masa yang sudah-sudah dia lewati. Tidak ada perubahan. Jika ada teman lain, itupun adalah Avril yang masih bisa dia temui setiap minggu ketika mereka latihan dan mereka akah sharing mengenai kehidupan masing-masing. Tentu saja beserta suka dukanya.
“Ju, bukannya lo punya teman anak taekwondo itu? kenapa nggak di undang?” tanya Jol tiba-tiba.
Aju tersentak. Dia melewatkan seseorang yang selama ini sudah menjadi temannya di sanggar Taekwondo. Aju memang tidak begitu dekat sebagai sahabat dengan Avril. Aju hanya menganggap teman biasa. Selebihnya, Aju sama sekali tidak peduli. Tapi hati kecilnya merasa sangat menyesal juga karena sudah melewatkan anak itu.
“Namanya siapa, Ju. Gue lupa... Avi?”
“Avril!” ralat Aju.
“Avril.” Ulang Jol.
“Undang dia ke sini kapan-kapan.”
Aju meneguk minuman sodanya. “Boleh.”
Lori mencondongkan tubuhnya pada Aju. “Hadiah apa yang kamu dapat dari Mamamu?”
Aju meletakkan minumannya dengan pelan. Matanya menatap tajam ke arah Lori. “Belum gue buka.” Jawabnya seraya berdiri. “Kak, gue naik dulu.”
Jol mengangguk. Jarum pendek jam di dinding Cafe itu menunjuk ke arah angka tiga. Jol langsung menatap ke sekitarnya. Kearah tamu-tamu sekaligus teman-teman yang dia himpun untuk masuk ke dalam komunitasnya agar para Lesbian di Jakarta memiliki wadah untuk bertukar informasi. Dan terlebih lagi, Jol ingin mengajarkan pada mereka untuk tidak lupa pada lingkungannya dan menghentikan heterophobia mereka. Jol ingin mengajarkan pada mereka apa itu dewasa. Meskipun dengan orientasi yang menyimpang, Tapi Jol ingin mereka tetap hidup sehat. Jauh dari free seks.
Kali ini Aju sengaja menginap di Cafe dulu untuk semalam. Diia ingin menikmati pestanya bersama dengan Jol dan Lori. Meskipun Meti tidak ikut karena paling benci dengan suasana party. Tapi Aju tetap ingin di Violey dulu.
Di dalam kamarnya, Aju membuka dua bungkus kotak yang di kirimkan Dena tadi siang melalui kurir. Sebuah kotak berwarna biru cerah adalah kado dari Dena, Aju membukanya dan matanya langsung bersinar saat membentangkan sebuah jaket hoody berwarna senada dengan bungkus kado milik Dena, sky blue.
Kemudian Aju beralih pada sebuah kotak berwarna merah pemberian dari Mamanya. Kotak itu lebih kecil dan hanya sebesar genggaman telapak tangan. Saat Aju membukanya, Aju mendapati kotak beludru berwarna merah. Ketika Aju membukanya. Isinya berupa anting dari emas putih dan bermata hitam. Aju tidak tahu batu apa yang menjadi matanya. Tapi bentuknya yang bulat membuat Aju tertarik untuk langsung memakainya. Saat anting itu tersemat di telinganya, Aju langsung tersenyum. Kemudian menyentuh mata anting itu. Terlihat cocok dengan kulitnya yang putih dan juga penampilannya.
Saat Aju mengemasi bungkus kado itu, sebuah amplop berwarna putih melompat keluar dari kotak pembungkus kado dari Dena. Aju langsung memungut dan membukanya. Sebuah surat dan Aju langsung membukanya. Sambil berdiri Aju membacanya.
Dear My Aju
Cece senang kamu sekarang udah 17 tahun. Cece senang Aju udah bisa kerja dan ngebiayain sekolah Aju sendiri. Meskipun itu artinya kita harus jauh dan Aju memutuskan untuk pergi dari rumah.
Setelah Aju pergi, Cece kesepian. Beberapa kali Margaret telepon Cece dan dia nanya soal kamu. Cece kaget waktu dia bilang kalau udah... sama kamu. Terus terang Cece shock. Adek Cece yang udah di didik dengan keras. Ternyata malah jadi bumerang buat keluarga. Yang masih belum bisa Cece percaya, kenapa kamu nggak bilang Cece dulu apa sebab kamu keluar dari rumah. Kalau udah kayak gini, Cece terpaksa harus menanggung semua sendiri. Kamu egois. Kamu memutuskan pilihan kamu sendiri dan nggak pernah diskusi sama Cece. Kamu anggap Cece ini apa? satpam?
Tapi mau gimana lagi, Cece harus tetap jagain Mama. Dan asal kamu tahu, Cece udah tahu mengenai perselingkuhan Papa sejak lama. Mama juga tahu. Tapi kami diam. Mungkin kesannya bodoh dan nggak masuk akal. Tapi kami cuma pengen melindungi keutuhan rumah tangga Mama. Kata Mama, itu demi kita. Agar kita nggak di pandang sebelah mata sama calon mertua kalau sampai kita ntar mau merrid.
Kamu tahu kan kalau perceraian itu nggak baik dan di benci Tuhan. Tapi ternyata... adik Cece udah menjadi satu makhluk yang di benci Tuhan. Cece menyesal karena selama ini Cece terlalu keras sama kamu. Mama juga sama. Bahkan Mama nggak pernah berhenti nangis kalau lewat depan kamar kamu. Papa juga sekarang lebih banyak diam, tapi lebih sering tepat waktu di rumah. Tanpa kami sadari, kamu itu ternyata salah satu kunci segel keluarga. Cece kangen kamu. Sangat. Dan kamu mau sampai kapan berada di dunia sana? Dunia yang nggak pernah kamu pahami. Dunia yang di pandang rendah oleh masyarakat. Dunia yang ada di matamu sendiri.
Rumah selalu terbuka buat kamu, Ju. Cece mau kamu pulang. Ini semua mim;pi buruk buat Cece. Tapi kamu sepertinya nggak pernah paham. Tapi bagaimanapun juga, Cece percaya. Kamu selalu berada dalam lindungan Tuhan. Dan Tuhan akan selalu tetap menyayangi kamu selama kamu nggak melakukan perbuatan yang di bencinya. Satu pesan Cece, jangan lupa selalu ibadah. Jangan tinggalkan gereja agar Tuhan tetap mengampuni kamu.
Cece mohon, kembalilah pulang...
Aju menitikkan air matanya. Surat itu terlalu keras menohok jantungnya. Hingga membuat dada Aju berdarah-darah. Dalam sekejab, Aju jatuh lemas di lantai dan menangis tanpa suara. Tapi Aju tidak bisa menghianati dirinya dan jalan yang sudah di pilihnya. Dalam persimpangan itu, Aju memilih untuk belok ke arah lain. Sebuah sisi lain dunia yang di pandang rendah orang berkaca mata normal. Butchi.
But, this is world in my eyes, Ce!
♀♀ ♀
Mangga Dua. 3 Juli 2004 : 15.11 WIB
Aju memasang sabuknya baik-baik. Di hadapannya sudah berdiri lawan yang penampilannya sama dengan dia. Rambut cepak dan lebih kelihatan maskulin. Hanya saja anak itu tumbuh sedikit lebih tinggi darinya. Sabuknya sudah berwarna hitam, dia sudah memasuki tingkat DAN. Aju tersenyum dan memasang kuda-kudanya. Kini Aju sudah memiliki sabuk biru strip merah. Sedikit lagi dia pasti akan bisa menyusul anak itu. Aju menatap anak itu dan tersenyum.
“Udah siap, Vril?” tanya Aju begitu melihat Anak di depannya itu sedang membenahi sabuknya karena dia datang telat ke sanggar.
“Udah, maju aja. Nggak perlu sungkan,” ujar lawan bicaranya itu dengan nada cuek.
Aju menyukai anak itu. Dia teman yang selama ini ikut melatih dan memberikan bimbingan mengenai dasar-dasar Taekwondo. Bahkan dia dulu mengajari Aju beberapa jurus yang seharusnya di dapat Aju pada tingkat Geup lima. Meskipun terkadang Aju merasa anak itu sedikit angkuh dengan apa yang di kuasainya, apalagi saat ini anak itu sudah memiliki sebutan Master, Aju tetap menganggapnya sebagai teman yang sepantaran dengannya. Walaupun Aju tahu dengan jelas sejak dua tahun lalu bahwa Avril usianya dua tahun di bawahnya. Anak itu saat ini baru menginjak usia lima belas tahun. Dan dia mengerikan.
Aju memulai langkahnya dengan langsung menyerang. Mereka berdua sengaja tidak menggunakan pelindung. Avril mengatakan pada Aju bahwa pelindung itu hanya di gunakan oleh anak-anak kecil yang sedang menyandang Geup sepuluh hingga sembilan. Avril juga mengajari Aju agar berani untuk merasakan sakit. Akan lebih baik jika rasa itu menjadi sahabatnya. Dengan begitu, Aju bisa menikmati bagaimana dunia itu bermain dan apa itu Taekwondo yang sebenarnya.
Kaki Aju terus menendang dengan menggunakan berbagai teknik jurus yang sudah di ajarkan Avril. Tapi anak itu dengan sigap bisa menangkisnya. Mendadak pikiran Aju terasa terbang dan bebas. Dia seolah bisa bebas mengendalikan semuanya. Tubuhnya, tangannya, kakinya, bahkan udara yang berhenbus di sekitarnya. Aju bisa merasakannya. Satu penyesalan yang ada di dalam hati Aju ketika dia sedang melakukan latihan dengan Avril. Kenapa dia tidak mengenal anak itu sepuluh tahun lebih cepat? Kenapa dia tidak mau belajar Taekwondo atau seni bela diri lainnya sejak dulu? dan dia baru menyadari bahwa Taekwondo itu indah. Sangat indah. Hingga Aju bisa menyatu dengannya. Seperti tarian.
“Son!” seru Avril begitu Aju terus melayangkan tendangannya.
Aju langsung mengganti serangannya dengan tangan.
“Wen!” seru Avril lagi. Menyuruh Aju mengarahkan serangannya ke kiri. Aju mengikutinya. “Oreon!” perintah Avril. Menyuruh Aju mengarahkan serangannya ke kanan sementara Avril terus menangis dan menahan.
Avril terus memberikan perintah kepada Aju dengan bergantian menggunakan anggota tubuhnya untuk menyerang. Mulai dari kepala, hingga kaki. Aju mengikuti intruksi itu dengan cepat dan secepat itu pula Avril menangkis dan menahannya. Tapi terkadang Avril juga terpojok hingga ke sudut ruangan dan Aju masih terus dengan serangannya. Apalagi Avril makin terpojok saat Aju menggunakan pukulan oreon jireugi. Sebuah pukulan sambil menendang. Jika sudah begitu, Aju akan tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Tapi bukan Avril namanya jika tidak bisa menghindar. Bahkan terkadang memberikan pukulan Are Jireugi untuk sekedar menahan atau membalas serangan Aju agar serangannya longgar. Tapi kali ini Avril tidak bisa mengelak saat Aju tiga-tiba melayangkan Palkup pyojeok chigi, sebuah sabetan memutar dengan siku tangan. Avril terkejut dan tidak sepat mengelak dan sabetan keras itu mengenai pipinya. Avril terhuyung ke samping. Tapi Aju tidak mau kehilangan kesempatan dan langsung menyerang Avril dengan dwi changi, sebuah tendangan belakang. Avril langsung jatuh bersimpuh membelakangi Aju. Dalam sekejab Aju langsung menghentikan serangannya.
“Lo nggak apa?” tanya Aju dengan nafas terengah-engah tapi menatap khawatir ke arah Avril.
Avril membalikkan tubuhnya. Senyumannya mengembang. Tapi Aju lebih senang menyebut senyuman itu sebuah seringai. Karena jika memang itu senyuman, Aju tidak tahu makna senyuman Avril. Karena Aju tidak bisa membaca raut ‘baik-baik saja’ dari senyuman itu.
“Kita istirahat, Ju.” Kata Avril begtu bangkit dan berjalan ke arah kursi. Mengambil handuk dan mengelap keringatnya.
Aju mengikuti langkah Avril dan melakukan hal yang sama. Meskipun tidak memperhatikan banyak sikap Avril hari ini, tapi Aju bisa menebak jika anak itu sedang ada masalah. Bahkan Avril melakukan hal yang tidak biasa. Jika setelah latihan mereka akan duduk berdua sambil minum di rest area. Tapi kali ini Avril lebih memilih pergi ke ruangan sebelah di mana terdapat samsak di tengah ruangan. Aril langsung melayangkan tendangannya kesana. Menggunakan berbagai teknik jurus yang dia kuasai. Aju hanya memperhatikan anak itu dari kejauhan. Tendangannya bukan seperti latihan. Tapi lebih pada rasa frustasi.
“Ada masalah?” tanya Aju dengan seluruh rasa simpatinya. Meskipun sebelumnya dia tidak pernah melakukan itu ke semua orang yang ada di sekelilingnya.
Avril menggeleng. Tendangan dan pukulannya terhenti. Tangannya langsung memeluk samsak dan membenturkan kepalanya berkali-kali kesana.
“Gimana rasanya jadi butchi?” tanya Avril tiba-tiba.
Aju melongo. “Elo...”
“Selama ini kita teman, kan?”
Aju lebih melongo lagi. Masih terlalu terkejut dengan pertanyaan Avril. “Iya.” Jawab Aju akhirnya. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Kemarin. Cewek sekaligus motivator gue pergi ninggalin gue. Dia balik ke Palembang.”
“Apa?”
Avril mengangguk. “Ya karena kami udah lulus. Dia balik ke Palembang. Padahal selama ini kami tinggal selibat.”
Aju membungkam mulutnya. Dia tidak percaya. Kenyataan dan istilah tinggal selibat itu di dapat Aju dari Jol pada awalnya. Dimana Jol memilih seorang girlfrienddari teman yang dia kenal dan mau jadi pacar Jol. Tapi Aju bisa maklum karena mereka sudah dewasa dan usianya sudah di atas kepala dua. Jadi Aju berpikir jika hal itu sah-sah saja. Tapi Aju tidak menyangka jika Avril sudah melakukan hal yang sama dengan Jol disaat dia masih SMP.
“Udah berapa lama?” tanya Aju akhirnya.
“Apanya?”
“Pacaran kalian—tinggal selibat maksud gue.”
Avril memutar matanya ke arah kanan atas. Seolah mengingat-ingat. “Dua tahun, mungkin.”
Aju mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mau ikut gue? Dari dulu gue pengen ngenalin lo sama seseorang.”
“Siapa?”
“Kak Jol!”
Avril mengeryitkan alisnya.
Violey Cafe. 19.18 WIB
“Jadi gitu... emangnya kemarin kalian berantem, apa?” tanya Jol begitu Avril duduk di deretan meja barnya.
Avril menggeleng. “Nggak pernah. Sama sekali nggak pernah. Hubungan kami selama ini baik-baik aja. Mungkin lebih karena dia nggak bisa mandiri di sini. Karena kami nggak ada yang jagain,”
“Nggak ada yang jaga?” Aju terkejut.
“Gue sama dia dia tinggal selibat. Di rumah punya bokap gue. Setelah bonyok gue cerai, bokap lebih milih ngurusin bisnisnya di Kalimantan dan rumah itu di biarin gitu aja. Lalu nyuruh temennya buat nge-handle bisnis meubelnya. Tapi setelah gue SMP kelas tiga kemarin, bisnis itu di awasi sama anaknya temen Papi gue itu. Namanya Daniel. Dan berhubung kata Daniel kalau gue udah cukup umur. Makanya gue di ajarin buat bisnis. Atas instruksi bokap gue, Daniel ngajarin gue bisnis ala orang Tionghoa. Sebagai keturunan Tionghoa yang baik, makanya gue belajar bisnis bener-bener.” Ujar Avril sambil menyeringai lebar.
Jol terkekeh geli mendengar Avril yang menceritakan kehidupan pribadinya dengan sangat gamblang. Bahkan seolah tidak di tutupi.
“Lo nggak pernah nutupin rahasia lo ya?” tanya Aju dengan heran.
Avril mengerutkan dahinya. “Rahasia? Rahasia apa?”
“Y-y-yaaa rahasia kalau lo itu butchi dan... dan elo tinggal selibat sama GF lo... dan elo juga punya bisnis punya bokap... dan...”
“Gue nggak pernah mau nutupin apa yang seharusnya nggak gue tutupin. Hidup gue terbuka dan gue nggak pernah ngelarang orang lain buat tahu. Asal jangan banyak tanya dan nggak ikut campur urusan gue aja. Mereka cukup sekedar tahu aja gue kayak gimana. Di tambah lagi ini bukan rahasia. Bahwa gue butchi dan gue bangga!”
Jol menatap tajam ke arah Avril. Melihat jauh kedalam mata anak itu, dan untuk kesekian kalinya setelah bertemu muka dengan Avril sejak setengah jam lalu, Jol kagum padanya.
“Vi, mau kerja di Cafe gue?” tanya Jol tiba-tiba.
Avril menatap Jol sambil menautkan alisnya. Begitu pula dengan Aju. Tapi tatapan tak percaya Avril malah langsung di iringi tawa besar hingga membuat Jol dan Aju saling melemparkan pandangan. Bingung.
“Tadi lo manggil gue apa?” tanya Avril dengan mata yang masih menyipit karena tawanya belum bisa reda.
Jol menoleh ke arah Aju sekali lagi. Lalu menatap polos ke arah Avril. “Avi!” ulangnya.
Mungkin Aju tidak tahu banyak apa yang membuat Avril tertawa. Tapi pada akhirnya Aju ikut tertawa terbahak-bahak. Hingga Lori yang sedang ada di dapur langsung keluar untuk melihat apa yang terjadi.
“What’s the matter?” tanya Lori dengan tatapan bingung. “Jolie, what happend?” ulang Lori. Tapi hanya di sambut Jol dengan angkat bahu.
“Nothing!” jawab Aju sambil menatap lori dan mengibaskan tangannya di depan muka cewek indo itu.
“Emangnya apa yang lo ketawain, Ju?” tanya Jol bingung.
“ Kak, lo biasa salah sebut nama orang, ya?” tanya Avril begitu tawanya reda. “Nama gue Avril! A-V-R-I-L! AVRIL!! Bukan AVI!”
“Oh, sorry... sorry, habis lidah gue kadang suka belibet. Lebih enak manggil Avi, sih.”
Di luar dugaan. Aju mengarahkan jempolnya pada Jol. “Sipp, Kak. Aku juga lebih suka nyebut gitu. Nggak ribet.”
“Daripada gitu. Mending kalian manggil gue Lea,” sahut Avril dengan wajah cemberut. “Nama gue, Kiera Asa Avrilea. Lea!”
“Lea?” Jol terlihat berpikir keras. “Bagus. Tapi kok aneh ya?”
“Boleh juga. Lea... tapi kenapa harus Lea? Kenapa bukan Kiera?”
“Lea itu nama panggilan gue kalau gue pulang ke Palembang. Di jakarta, panggilan gue Avril. Lagian nama Kiera itu kesannya cewek banget, ogah gue. Tapi kalau udah nyebut nama Avril, pasti semua orang yang denger nama gue itu langsung nyanyi lagunya Avril Lavigne. Itung-itung numpang nyeleb, lah!”
Jol menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan Avril. “No, no, no... you’re nickname is Avi and welcome to Violey Caffe!”
Avril menatap Jol bingung. Suka tidak suka. Hati kecilnya mengatakan ‘tidak apa-apa’ dengan julukan Avi yang di berikan Jol. Entah itu terlepas dari Jol yang sedikit susah menyebut huruf R atau memang nama itu terlihat cocok untuknya. Tapi pada akhirnya Avril tidak pernah menggunakan nama aslinya sejak saat itu. Dia menggunakan nama Avi. Kemanapun. Dimanapun. Selama itu di Jakarta. Tapi juga tidak pernah melarang orang lain memanggilnya dengan nama Avril atau Lea. Asal bukan Kiera.
♀♀ ♀
No comments:
Post a Comment