Friday, November 22, 2013

VIOLEY 3 : AJU - "WORLD IN MY EYES" - Empat

EMPAT



 SMP Fatmawati. 8 Desember 2003

Guru-guru dan murid-murid di sekolah di buat terkejut oleh berita yang sangat mengejutkan mengenai skorsing  yang di dapat  Bimo dan Yasi juga teman-teman yang sekongkol dengan mereka pada keesokan harinya. Tapi itu tidak membuat Aju untuk urung datang ke sekolah. Meskipun sebelum masuk kedalam kelas tadi dia sempat di hadang oleh guru BP dan menyuruh Aju masuk ke dalam kantor BP lebih dulu.
“Kenapa kamu masuk? Bukannya akan lebih baik kalau kamu di rumah aja?”
“Saya sudah janji sama teman saya buat ikut ulangan Bahasa Inggris,”
“Janji sama teman?” tanya Guru BP-nya bingung.
“Iya,” jawab Aju mantap. “Demi ulangan itu saya harus sekolah. Lagian kalau nggak ikut ulangan, nilai saya bisa nol,”
“Kamu yakin sama kondisi kamu?”
“Jika ada tanda-tanda gangguan kejiwaan berupa trauma, saya akan langsung ke psikiater. Jangan khawatir.”
Guru BP-nya terdiam. Sebelumnya dia tidak mengenal baik bagaimana Aju. Tapi kali ini dia di buat paham bagaimana karakter Aju yang keras kepala.
“Orang tua kamu udah tahu, kan?”
Aju mengangguk. “Setelah baca surat dari Kepala Sekolah kemarin mereka kaget.”
“Mereka akan datang?”
Aju mengangguk lagi. “Papa yang akan datang.”
Guru BP-nya tersenyum. “Jangan paksa diri kamu. Kamu nanti masih harus duduk di kelas dan ketemu sama teman-teman kamu. Apa kamu sanggup?”
“Setelah kejadian kemarin. Saya rasa teman-teman saya nggak akan ada yang berani ngelihat muka saya, Pak.” Jawab Aju sambil memamerkan senyumannya.
“Kamu udah minum obat?”
Aju menggeleng. Senyumnya mengembang. “Saya nggak perlu obat. Kemarin saya emang shock. Tapi saya nggak punya pilihan lain.”
“Ya udah, kamu boleh ke kelas. Saya antar.”
Aju berjalan lebih dulu dan guru BP-nya mengekor di belakang. Aju tidak peduli dengan hal itu. Bahkan ketika dia masuk dan merasakan semua teman-temannya memandangnya dengan aneh, Aju tetap tidak peduli. Guru BP-nya masuk dan menyapa Guru Bahasa Inggris yang saat itu sedang mengajar. Guru BP-nya hanya ingin memastikan Aju duduk dengan nyaman dan mengikuti pelajaran dengan biasa.
Di bangkunya, Tika menyambut Aju dengan senyum sumringah. Senang karena teman sebangkunya tidak begitu larut dalam kesedihan dan memilih untuk masuk sekolah dari pada mendekam di dalam kamar.
Aju mengikuti pelajaran seperti biasa di kelas. Meskipun semua teman sekelasnya memandangnya aneh karena Aju tidak terlihat seperti korban pelecehan seksual. Tapi Aju tidak peduli karena masih ada Tika yang mau mengajaknya bicara. Meskipun yang mereka bicarakan bukan hal pada umumnya yang di bicarakan oleh anak SMP. Tapi Aju dan Tika lebih banyak bicara mengenai polotik dan berita kriminal yang ada dalam negeri.
Tika juga mengait-kaitkan kejadian yang menimpa Aju itu dengan kejadian yang menimpa beberapa keturunan etnis Tionghoa pada Mei tahun 1998. Aju terdiam kala itu. Dia tidak berpikir sampai kesana. Karena saat kejadian itu terjadi,  Aju tidak berada di Jakarta. Aju berada di Bali. Dia dan kakaknya di ungsikan kesana oleh Papa dan Mamanya untuk sementara.
Percakapan Aju dan Tika sudah seperti diskusi anak kuliahan yang membahas tentang wawasan yang lebih luas selain mata pelajaran yang mereka pahami didalam kelas. Bahkan sesekali Tika bertanya mengenai bidang kedokteran pada Aju dan dengan senang hati Aju menjelaskan mengenai paramedis yang di pahaminya melalui buku yang dia pelajari milik Mamanya.
Hingga jam pelajaran terakhir, Aju masih tetap bertahan di Sekolah. Sesekali Guru BP dan Wakil Kesiswaan mengeceknya di dalam kelas. Bahkan ketika ada pertemuan wali murid di kantor BP yang diikuti oleh para orang tua anak-anak yang mendapat skorsiing kemarin beserta Papa Aju, Aju sama sekali tidak tahu kapan pertemuan itu terjadi.


13.24 WIB

Di pelataran parkir, Aju berlari mengejar Papanya. Hati Aju terasa ringan begitu melihat Papanya berjalan mendahuluinya dan tidak tahu bahwa anaknya sedang berlari-lari kecil mengejarnya dari belakang. Aju sempat melihat beberapa orang tua murid teman-temannya kemarin yang mendapat skorsing. Aju berhenti sejenak untuk memperhatiikan mereka satu persatu.
Seorang bapak-bapak dengan kemeja lusuh berjalan membawa sebuah amplop berwarna putih. Aju sudah bisa menebak apa isi amplop  itu. Surat yang di berikan kepala sekolah untuk anak-anak mereka kemarin. Bapak-bapak itu terlihat sedikit lusuh. Kilitnya gosong tersengat Matahari. Otot-otot tangannya menonjol. Wajahnya keriput tapi Aju bisa tahu bahwa bapak-bapak itu masih belum terlalu tua.  
Bapak-bapak itu melintasinya. Aju diam saja dan hanya memperhatikan. Dia berjalan ke arah yang sama dengan Papanya. Aju mengikutinya. Bapak-bapak itu langkahnya makin cepat saat melihat mobil Papa Aju yang ada di pelataran parkir. Aju berhenti dan mengintip dari balik tembok yang ada di dekat situ.
Dalam hati Aju berdoa, semoga Papanya tidak memarahi bapak-bapak itu atas kelakuan anak-anak mereka pada Aju. Tapi sayangnya harapan itu tidak sesuai dengan keinginan Aju. Papanya memang tidak terlihat marah dan galak. Hanya berlaku sinis dan terkesan merendahkan Bapak-bapak itu. Padahal sudah jelas kalau Bapak-bapak itu datang untuk meminta maaf atas perbuatan anaknya.
Orang tua itu bukan Ayah Bimo atau Yasi. Aju tahu itu. Karena ayah Bimo bekerja sebagai PNS dan ayah Yasi adalah seorang Koki di restaurant Jepang. Aju pernah melihat Ayah Yasi sekali saat mengambil raport. Diam-diam hati Aju merasa simpati dengan Bapak-bapak itu. Dia ingin mendatangi Papa dan bapak itu hanya sekedar untuk mengatakan bahwa dia sudah bisa memaafkan anak bapak itu, sekaligus teman-temannya yang lain. Tapi saat kaki Aju akan melangkah, seorang wanita dengan rambut lurus sebahu dan stelan baju berwarna jingga keluar dari mobil Papanya. Kakinya jenjang karena rok yang di kenakan wanita itu jauh di atas lutut.
Model?
Aju mengernyit. Tatapannya terfokus pada sosok wanita yang bersama dengan Papanya. Dan ketika wanita itu muncul, Papa Aju langsung menyuruh bapak-bapak itu pergi. Aju langsung gelagapan, dia bingung harus ke arah mana lebih dulu. Satu sisi, dia ingin bicara dengan bapak itu. Satu sisi lain, dia ingin bertanya pada Papanya, siapa wanita itu. Dan naluri Aju mengajaknya untuk mendekati mobil Papanya. Aju berlari menuju mobil Papanya.
“Pa!!” seru Aju sebelum Papanya masuk ke dalam mobil.
Papanya terperangah. Terlihat raut panik tergambar jelas di wajah paruh baya itu. Aju cepat-cepat mendekatinya. Ketika sudah berdiri di depan Papanya, Aju melirik ke arah wanita cantik dengan make up tipis itu. Kulitnya putih. Perhiasannya tertempel di setiap sudut tubuhnya. Aju memperhatikan itu dengan baik. Ada tahi lalat di sudut bibirnya dan bibir wanita itu juga sedikit... bengkak.
“Kamu mau pulang? Naik angkot ya. Nih!” Papanya langsung menyerahkan selembar uang seratus ribu untuk Aju. Tatapan Aju beralih pada Papanya yang sudah lebih dulu meletakkan uang itu di tangannya. “Kamu boleh pulang malem kalau mau.”
Aju terdiam. Memperhatikan wajah Papanya baik-baik. Kemudian tatapannya beralih ke wanita itu. Wanita itu tidak bicara, tapi langsung masuk kedalam mobil. Bahkan dia tidak tersenyum pada Aju.
“Siapa?” tanya Aju pada Papanya.
“Teman.”
Aju menunjuk bagian pangkal lehernya. “Aku melihat ada tanda merah  disini,” Aju menunjuknya berkali-kali.
Seolah mengerti dengan kode anaknya. Papa Aju langsung membuka dompetnya lagi dan memberikan dua lembar seratus ribuan pada Aju.
“Jangan bilang sama Mama,” katanya sambil memasukkan dompet kedalam saku celana. “Udah, Papa mau pergi dulu. Jangan pulang larut! Jangan pakai narkoba!” tambah Papanya lagi seraya masuk ke dalam mobil, lalu menstarternya.
Aju terpaku di tempatnya berdiri. Menatap mobil Papanya yang menjauh pergi meninggalkannya. Aju meremas kuat-kuat uang itu di tangannya. Terdengar suara gemeletuk dari dalam mulutnya. Matanya memerah dan satu-satunya hal yang dia inginkan hanyalah mengejar mobil Papanya, lalu mendorongnya ke jurang. Meskipun dia tahu, dia bukan Hulk.


 14.12 WIB

Bangunan minimalis bercat putih di padu dengan warna hitam di bagian dindingnya itu membuat Aju sedikit surut untuk masuk. Ditatapnya sebuah kamar berjendla lebar di lantai dua dengan gorden warna abu-abu  yang menutupinya. Aju ragu untuk melangkah membuka pagar. Tapi satu sosok cewek tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Keluar dengan bungkusan hitam di tangannya. Ketika cewek itu membuka pagar dan melihat Aju berdiri disana, cewek itu langsung membelalakkan mata seolah sedang melihat orang  gila yang muncul mendadak.
Aju diam dengan mata terus menatapnya. Bahkan ketika cewek itu berjalan ke arah tong sampah yang ada di depan rumah, Aju terus memperhatikannya.
Margaret, lo cantik!
“Baru pulang, Ju?” sapa Margaret kaku. Seolah basa-basi pada Aju adalah sebuah hal wajib yang harus dilakukannya.
Aju tidak menjawab. Bahkan tidak mengangguk. Dia lantas berjalan masuk dan tidak peduli pada Margaret yang sedang memperhatikannya dengan tatapan sedih.
Ketika dikamar, Aju segera mengunci pintu. Melepas seluruh pakaiannya dan langsung pergi ke kamar mandi. Tanpa menutup pintu kamar mandi, Aju langsung menyalakan keran shower dan air itu muncerat mengenainya. Mengguyur kepalanya. Tapi sayangnya air itu tidak bisa memberikan efek yang  dia harapkan. Padahal selama ini jika dia merasa marah atau kalut, hanya air yang bisa menjernihkan pikirannya.
Tidak ada orang yang bisa di ajaknya bicara.  Tidak ada satupun. Dena, kakaknya. Pasti akan menganggapnya pembohong jika Aju mengatakan kenyataan bahwa Papanya selingkuh. Dan Mamanya tak akan pernah mau menerima kenyataan itu. Karena Papanya adalah figur Ayah yang selalu menjadi contoh kebanggaan bagi keluarganya. Karena Papanya adalah sosok yang selalu Aju tiru. Aju selalu ingin seperti Papanya. Berwibawa, bijaksana, tidak banyak bicara, meskipun bisa jadi pemarah dan... tukang selingkuh.
“Sialan!!” Aju meninju tembok kamar mandinya.
Saat ini dia benar-benar ingin mencari pelampiasan yang lain. Dia benar-benar ingin memukul seseorang, bahkan membunuhnya. Bayangan wanita itu begitu lekat di otak Aju. Hingga Aju sangat ingin membakar wanita itu hidup-hidup.
Tapi kenyataannya, Aju malah mengambil sabun dan membersihkan seluruh badannya dari ujung kepala  hingga ujung kaki. Berharap bayangan Papanya yang bermesraan dengan wanita tadi lenyap oleh buih sabun yang di bawa air ke selokan.
Setelah selesai mandi, Aju langsung meraih handuk dan menutupi tubuhnya seadanya. Ketika Aju berjalan ke arah lemari baju, terdengar ketukan pintu kamarnya dari luar dan suara Margaret terdengar kecil dari sana memanggil namanya. Aju buru-buru mengambil sebuah kaos oblong ukuran jumbo dan langsung memakainya. Lalu berjalan menuju pintu kamar dan mendapati Margaret dengan kikuk sudah berdiri disana.
“Dena belum pulang?” tanya Aju datar.
Margaret menggeleng. “Belum. Kamu belum makan, kan? Aku tadi nyoba bikin puding. Mau nyoba?”
Lupakan. Gue lebih milih makan lo dari pada puding.
Aju langsung menarik tubuh Margaret ke dalam kamar. Menutup pintu kamarnya dengan cepat dan menguncinya.
“AJU!!” protes Margaret begitu berada dalam kamar Aju dan menatap Aju dengan panik.
Aju menatapnya datar. Menikmati rasa panik Margaret. Langkahnya mendekati Margaret lalu meraih tangannya dan menyentakkan Margaret ke tempat tidur. Ada yang menarik di mata Aju melihat Margaret dengan rambut panjangnya terbaring di sana. Seperti mimpi rasanya melihat Margaret tidur di kasurnya dengan wajah panik, namun cantik.
“Gue udah siap kalau lo lapor sama Mama atau Papa. Silakan!” ujar Aju datar. Dia langsung melompat dan duduk di atas perut Margaret.
Jadi begini rasanya? Apa yang di rasakan Bimo juga begini? 
Aju mengangkat kaos Margaret tinggi-tinggi dan matanya langsung terbelalak. Sangat putih. Kulit Margaret sangat putih. Jantung Aju berdegub seperti sedang bertabuh membentuk irama kasar di malam api unggun. Seolah ada ribuan indian yang mengelilinginya dan memberikan seruan semangat. Kepalanya berdentum-dentum. Merasakan pening, ngilu, sekaligus reaksi yang  sebelumnya tidak pernah dia bayangkan.
“Pernah gue cium kan sebelumnya?” tanya Aju dengan senyum sinis.
“Aju! Gue cewek!”
“Gue juga cewek!” tandas Aju. Dan detik berikutnya, Aju sudah mendaratkan bibirnya di bibir Margaret.
Tangan Margaret terus memukulnya. Tapi Aju tak peduli. Saat Aju mengangkat kepalanya, dia langsung meraih lengan Margaret dan membentangkannya. Mengunci gerakan Margaret.
“Aju lo gila!”
“GUE HOMO, INGAT ITU!!” bentak Aju seolah ingin dirinya di akui.
Margaret terkesiap begitu bibir Aju turun di pangkal leher Margaret. Aju ingin tahu, bagaimana cara membuat tanda merah seperti yang di buat Papanya pada wanita tadi. Margaret terus meronta dan menghindar. Sekuat tenaga dia berjuang bahkan menendang-nendang kakinya ke udara agar badan Aju bisa menyingkir. Tapi tetap tidak bisa. Disatu sisi, Margaret juga tidak ingin menyakiti Aju. Tidak ingin melukai anak itu. Karena itu Margaret melemahkan perlawanannya. Dia diam. Membiarkan Aju mengeksplore seluruh tubuhnya sesuka hati.
“Aju,” bisik Margaret parau. “Gue... ciuman waktu itu... itu serius first kiss gue,” katanya dengan air mata yang menitik jatuh menetes di bantal Aju.
Aju menatapnya datar. “Apa kayak gini ekspresi seluruh wanita di muka bumi ini kalau di perkosa?”
Margaret menatap Aju bingung. Tapi Aju malah menyeringai.
“Tahu apa yang gue pikir  soal lo, Ret?” tanya Aju sambil menempelkan tubuhnya di atas tubuh Margaret. Memeluknya dengan hangat, lalu mencium leher jenjang Margaret. “Lo cantik... lo cantik,” bisik Aju tulus tepat di bawah telinga Margaret.
Margaret terdiam. Bingung harus bereaksi seperti apa. Di raihnya kepala Aju dan terasa dingin. Tubuh Aju dingin. sama seperti dengan kata-kata dan senyumannya.
“Elo dingin,” bisik Margaret.
Aju makin erat memeluk Margaret. Tiba-tiba Margaret merasakan dadanya panas  oleh air mata. Di perhatikan lagi tubuh Aju yang ada di atasnya, bahu Aju terbuka dan terguncang-guncang.
“Aju, what’s the matter?” tanya Margaret dengan khawatir. Aju tidak menjawab dan terus memeluk tubuh Margaret dengan erat hingga membuat Margaret sesak nafas. “Aju, gue sesak,” tapi sayangnya Aju tidak peduli.
Seperti sedang memeluk anak balita dan menidurkan di atas tubuhnya, Margaret balas memeluk Aju dan membelai kepalanya. Sesaat, Margaret mencium kepala Aju. Tapi kemudian Aju langsung mengangkat kepalanya.
What?
You kiss me!” jawab Aju dengan tatapan tak percaya. “Thanks,” bisik Aju dan langsung mengarahkan ciumannya ke bibir Margaret.
Margaret tidak tahu bahwa ciuman itu ternyata akan sangat lama dan berujung pada sebuah hubungan yang tidak pernah di bayangkan Margaret dan Aju sebelumnya. Tanpa sadar dan tak terkendali, mereka berdua saling  peluk, saling raba, dan saling cium. Aju yang paling menikmatinya. Semuanya. Semua milik Margaret, Aju yang mendapatkannya. Seolah berasal dari insting, Aju bisa melakukannya dengan baik. Suatu hal yang belum pernah di bayangkan Aju sebelumnya. Dan kini dia merasa sempurna.
God, I’m going to die...


No comments:

Post a Comment