LIMA
Setia Budi. 09 Desember 2003 : 17.46 WIB
Hujan seperti menjadi sebuah elemen penting kota Jakarta di akhir Januari. Matahari belum sepenuhnya bisa mengusir awan gelap yang menggantung di atas kota. Rinai-rinai hujan yang masih terus berjuang turun membasahi jalan, juga membasahi Aju.
Aju berjalan di trotoar jalan sekitar Setia Budi. Entah sudah berapa lama dia berjalan, bahkan kakinya melangkah lebih jauh dari yang sudah di duganya. Tidak sadar bahwa dia sudah berjalan berpuluh-puluh kilo dari Sekolahnya ke daerah yang harusnya bisa dia jamah dengan bis kota. Tapi hujan membawanya pergi dan berjalan-jalan. Menyatu bersama angin dan badai yang melintas. Dia tidak peduli dengan badannya yang basah. Tasnya basah dan buku-bukunya basah. Sejak tadi yang ada dalam otaknya hanya satu. Mati.
Aju keluar dari sekolahnya sudah sejak jam satu siang. Tanpa arah dan tujuan, dia menolak ajakan Tika untuk pulang bersama. Selain rumah Aju yang lebih jauh, dia juga sedang merencanakan suatu hal yang masih tetap terus di pikirkannya. Bunuh diri.
Di setiap langkah kakinya. Di dalam kepala Aju terus saja berputar nama Margaret dan apa yang sudah mereka lakukan kemarin. Satu sisi diri Aju merasa sangat malu dan dia tidak ingin kembali ke rumah. Apalagi bertemu dengan Margaret. Aju tidak ingin cewek itu takut padanya. Dan jika di ingat lagi, kemarin itu benar-benar kesalahan besar yang patut di nikmati. Aju merasa itu tidak benar. Tapi ketika mengingat ciuman Margaret, hati Aju langsung merasa tegar, sekaligus hancur lagi.
Aju sudah melakukan seperti yang Bimo lakukan. Semalaman Aju merutuki kebodohannya. Aju tidak menyangka bahwa dirinya bisa begitu tolol dan konyol seperti Bimo. Lalu bayangannya beralih pada Papanya dan wanita yang menjadi selingkuhannya. Aju terlalu terobsesi dengan rasa penasarannya hingga mengorbankan Margaret. Merendahkan cewek yang di pujanya dan membuat Margaret tampak murahan di matanya sendiri. Saking stressnya, Aju sampai tidak bisa berpikir dan rasanya ingin mati. Dia benar-benar ingin mati,
Sejak keluar dari sekolah, dia terus memikirkan banyak kemungkinan. Tentang mati. Tentang bagaimana cara bunuh diri yang baik dan benar agar nyawanya cepat hilang tanpa kesakitan dan tubuhnya masih bisa di kenali keluarganya, agar dia tetap bisa di kubur di dalam peti mati, lalu di tanam di bawah tanah. Tentang bagaimana reaksi keluarganya nanti jika melihat mayatnya yang sudah terbujur kaku di tutup koran di pinggir jalan atau bahkan mungkin di selokan. Juga tentang senyuman Margaret yang selalu membayanginya seharian ini. Juga tentang hubungan mereka kemarin.
Sejak kejadian kemarin siang itu, Margaret terus menghindarinya. Bahkan ketika tidak sengaja bertemu di setiap sudut rumah, Margaret tidak mau menatap matanya. Sedangkan ada hal lain lagi yang lebih membuat Aju frustasi. Papanya pulang larut dalam keadaan mabuk. Suatu hal yang tidak pernah di lihat Aju dari Papanya seumur hidup.
Mata Aju melihat sekeliling. Meliriik kesempatan. Mencari-cari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Tapi sayangnya, Jakarta sedang macet dan Aju kehilangan kesempatan itu. Dia merasa sial karena harus berada disaat jam pulang kerja orang kantoran. Keramaian sama dengan kemacetan. Kemacetan sama dengan lambat. Lambat sama dengan sakit jika dia nekat bunuh diri.
Aju terus berjalan menyusuri trotoar. Mencari jembatan penyeberangan. Tapi banyak orang. Tidak jadi. Dia terus berjalan, mencari jalur cepat, tapi polisi sedang patroli. Aju menghindari petugas-petugass berseragam coklat dengan rompi hijau menyala itu karena dia tidak ingin di giring ke kantor polisi dalam keadaan yang lebih memalukan, yaitu sebelum dia mati.
Langkah kaki Aju masih terus maju selangkah demi selangkah dan tidak peduli dengan cemoohan atau godaan bibir para laki-laki yang sedang duduk tidak ada kerjaan di pinggir jalan. Aju terus berjalan. Tanpa takut dirinya di rampok preman atau di culik penjahat. Kemungkinan paling besar yang bisa di pikirkannya saat ini adalah, jika memang dia di culik, maka Aju akan menyerahkan dirinya untuk di bedah dan di ambil semua organ-organnya secara ilegal. Itu akan lebih baik daripada dia harus di giring dan dijual ke pulau seberang untuk di jadikan pelacur. Itu nasib yang payah.
Bruukk!!
Aju terpental hingga mundur ke belakang. Kepalanya mendongak dan mendapati sebuah kantung besar berwarna hitam di depan matanya. Aju meraih kantung itu dan merendahkannya agar bisa melihat siapa yang ada di belakang kantung besar itu. Tanpa Aju duga, sosok itu lebih tinggi darinya entah berapa senti. Rambutnya cepak. Dandanannya maskulin. Kulit putih bersih dan wajah Indo. Tapi apron coklat yang di kenakannya membuat Aju langsung bisa menduga profesi orang itu. Pelayan restaurant. Di dada apron itu bertuliskan ‘Violey Caffe’ dengan lambang huruf V yang membayang.
Orang itu menatap Aju sekilas. Tapi kemudian tidak peduli dan berjalan melewati Aju yang sedang terpaku menatapnya. Orang itu melemparkan kantung hitam besar itu ke dekat tempat sampah yang sudah di sediakan oleh pengurus lingkungan. Aju masih terpaku di tempatnya begitu orang itu selesai membuang sampah.
“Mau mampir?” tanya orang itu pada Aju sambil matanya melirik ke sebuah bangunan mungil dan lucu berwarna cream dengan pintu dan jendela kaca yang lebar. Aju mengangguk.
Orang itu mendahului Aju dan membukakan pintu untuknya. Aju tidak menyangka kalau orang itu sangat fasih berbahasa Indonesia. Setelah masuk kedalam, suasana sepi. Hanya ada seorang cewek Indo berambut keriting dan panjang yang langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Tapi ekspresinya langsung berubah begitu melihat penampilan Aju yang basah kuyup dari atas hingga bawah.
“Lori, bisa bawa dia ke atas?” tanya orang tadi kepada si cewek berambut panjang.
Cewek itu langsung mengangguk dan menggandeng lengan Aju. Tanpa protes, Aju hanya mengikuti kemana cewek itu membawanya. Aroma mint menguap dari tubuh cewek itu hingga membuat Aju makin kedinginan, tapi juga suka. Sementara orang tadi menyebut nama Meti dengan berseru dan menyuruh untuk membuat makanan hangat.
“Tunggu disini. Siapa namamu?” tanya cewek bernama Lori setelah menyuruh Aju duduk ke sebuah kursi kayu yang menghadap ke Jalan raya di lantai dua bangunan itu.
“Aju,” jawab Aju pendek. Matanya terus terpaku pada Lori. Terpesona. Karena dia cantik dan dewasa. Di tambah lagi, bahasa Indonesianya juga bagus.
Cewek itu berbalik dan masuk ke sebuah pintu yang di baliknya berupa kamar. Tidak lama kemudian dia sudah kembali dengan baju ganti beserta dalamannya, lalu menyerahkan pada Aju.
“Semoga muat,” katanya dengan senyum manis. “Kamu bisa ganti didalam sana!” tunjuknya pada sebuah kamar lain yang berada tepat di sebelah kamar yang di masuki cewek tadi.
Aju melihat penampilannya sebelum beranjak dari tempat duduk. Lalu menatap ragu-ragu ke kamar yang di tunjuk cewek tadi. Tapi dia tidak ada pilihan lain. Aju segera berjalan ke arah pintu berwarna coklat terang itu dan seperti yang sudah di duganya, itu adalah kamar mandi. Bersih. Wangi. Tanpa menunggu lama, Aju segera melepas pakaiannya begitu melihat air di bak mandi. Tiba-tiba wajahnya terasa gatal karena air hujan. Badannya terasa lepek dan dia butuh mandi.
Dua puluh menit kemudian, Aju turun ke lantai bawah dengan pakaian bersih yang di pinjami cewek tadi. Cafe itu tetap seperti tadi. Sepi. Aju duduk di meja bar yang terhubung dengan meja dapur.
“Bajunya cocok,” komentar orang berambut cepak yang tadi membawanya masuk kedalam Cafe.
Aju menatap orang itu dengan pandangan yang masih sama seperti tadi. Terkesima.
“Lo bisa ngomong, kan?” tanya orang itu. Kali ini dengan tatapan khawatir.
“Bisa,” jawab Aju pendek. Tapi tetap dengan mata kagum menatap sosok butchi yang ada di hadapannya. “Anda indo apa?” tanya Aju untuk menghilangkan rasa penasarannya.
“Nama gue Jol. Panggil gitu aja.”
“Jol...” Aju menggumam. “Jol?”
“Jolie. Tapi gue lebih suka kalau lo manggil gue Jol aja. Nama lo siapa?”
“Aju.”
“Aju?”
“Aku menyingkat namaku. Angel Jaseline.”
Jol mengangguk pelan. Meskipun sedikit tidak bisa paham kenapa Angel Jaseline harus menjadi A.J.U.
“Ada masalah di sekolah sampai lo harus pulang hujan-hujan kayak gini? Atau lo habis di rampok?”
Aju menggeleng. “Aku pengen jalan-jalan.”
Jol memperhatikan dengan datar. “Lo kayak anak nggak punya harapan.”
Aju mengangkat kepalanya. Jol menyebut sesuatu yang sebelumnya sangat tidak ingin dia dengar.
“Ada lagi yang pengen lo bilang?” tanya Jol dengan suara pelan.
Dengan tatapan datar. Aju memandang Jol yang sedang balas menatapnya. Tapi kemudian Jol mencondongkan tubuhnya ke arah Aju.
“Bintang lo Aquarius, ya?” tanya Jol tiba-tiba.
Aju mengangkat sebelah alisnya. Heran. Tapi perhatiannya tertuju pada telunjuk Jol yang bermain-main di depan mukanya seolah sedang mempelajari garis wajahnya. Matanya. Tatapannya. Juga pikirannya.
“Gue suka elo!” kata Jol begitu tiba-tiba hingga membuat Aju terlonjak.
“Ada deskripsi lain yang bisa aku pahami?” tanya Aju bingung. Lebih bingung dari sebelumnya.
“Jadi zodiak lo beneran Aquarius. Dan lo tadi nggak jadi mati gara-gara pikiran lo yang terlalu objektif.” Jol berdecak. “Lo itu terlalu realistis buat melakukan yang namanya bunuh diri.”
“Tahu darimana kalau aku...”
“Muka lo terlalu desperate!” potong Jol seraya kembali ke posisinya. “Lo itu jenius. Dan Jenius itu matinya susah.”
Aju terpana. Tapi belum sempat dia bicara, sosok cewek yang tadi memberinya baju ganti datang mendekat dan menyodorkan secangkir kopi hangat untuk Aju. Dengan tatapan senang sekaligus tertarik, Aju memperhatikan baik-baik art coffee yang ada di dalam cangkirnya. Sebuah gambar bunga yang cantik. Itu pertama kalinya Aju melihat dan akhirnya begitu tertarik dengan art coffee. Meskipun gambarnya sangat sederhana. Tapi tiba-tiba semangat Aju kembali lagi seperti semula.
“Lo bisa belajar Art coffee dari Lori. Dia teman gue.” Kata Aju sambil merangkul Lori dengan mesra. “Dia baru aja balik dari Itali dan gue ngajak dia buat buka Cafe. Cafe ini baru berdiri satu tahun lalu. Kalau lo mau, lo bisa main kesini dan belajar Art Coffee dari Lori. Gratis!”
Mata Aju berbinar-binar. “Yang bener?”
Aju mencondongkan tubuhnya ke hadapan Aju lagi. “Karena gue tahu potensi lo. Karena itu gue pengen lo ada disini. Gimana?”
“Beib, apa nggak terlalu...” protes Lori. Tapi belum selesai dia dengan kalimatnya, Jol segera menukas.
“Don’t worry, Beib. Kamu nggak akan pernah nyesel punya murid kayak dia,” tukas Jol dengan tatapan serius ke arah Aju.
“Thank you!” wajah Aju berseri-seri seperti kejora yang sinarnya kembali terang.
Dua jam setelah itu, Jol memberikan sebuah apron pada Aju. Meminta Aju kembali ke Cafenya lagi besok jika dia benar-benar menunjukkan ketertarikan dan keinginan besarnya belajar Art Coffe.
Aju pamit setelah itu. Dengan semangat 45, Aju berlari keluar Cafe sambil menenteng apron pemberian Jol. Dia lupa pada semua masalahnya di sekolah. Dia lupa pada keinginannya untuk bunuh diri siang tadi. Dia lupa pada Margaret. Dia lupa pada tas sekolahnya. Dan dia juga lupa jika sudah menginjak jalan raya dengan tidak sengaja.
Sebuah sinar berwarna kuning cerah melaju ke arah Aju. Bayangan di belakang sinar itu begitu besar. Mula-mula berwarna hitam. Tapi seiring mendekat ke arah Aju, dia bisa memastikan bayangan hitam tadi ternyata berwarna putih. Suara klakson yang tadinya menggema biasa di telinga Aju, kini malah tidak bersuara lagi seiring mendekatnya benda besar itu. Sebuah truk pengangkut barang yang besar langsung menyerempet dan melemparkannya hingga dua meter. Badan Aju menabrak tembok pagar, lalu jatuh begitu saja di trotoar. Semua menjadi gelap. Sangat gelap karena malam yang terlihat semakin pekat. Aju tak bisa membuka matanya. Tubuhnya lemas. Dan seolah ada sesuatu yang sudah tertarik dari ubun-ubunnya dengan sangat kencang. Aju tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
♀ ♀ ♀
Sebuah pagar besar dan berwarna putih terbuka dengan sendirinya. Aju berjalan masuk kesana dan mendapati dirinya ada di sebuah bangunan tua bergaya eropa abad pertengahan. Beberapa orang berjalan hilir mudik tanpa memperhatikannya. Mereka semua berpakaian putih. Semua wanita. Mereka semua cantik. Aju memperhatikan mereka yang melintas dan tersenyum dengan bebasnya. Ada yang duduk di bawah pohon besar. Ada juga yang bercengkerama di anak tangga. Ada juga yang bergandengan tangan dan berjalan bersama. Aju memperhatikan mereka semuanya tanpa berkedip.
“Aju.”
Aju menoleh ke belakang. Satu meter darinya sudah berdiri Margaret dengan senyumannya. Bibirnya merah merekah dengan baju berwarna jingga yang roknya tinggi di atas lutut. Kaki Margaret terlihat jenjang karena di padu dengan sepatu hak tiinggi yang di kenakannya. Saat Margaret mendekat, Aju harus sedikit mendongak karena Margaret tiba-tiba seperti bertambah tinggi beberapa sentimeter di atas kepalanya.
“Margaret, lo tinggi banget,” gumam Aju dengan tatapan kagum.
“Aju...” Margaret meraih kepala Aju dan mendekapnya di dada. Aju balas memeluknya. Lalu detik berikutnya Margaret mencium bibir Aju dengan panas.
“Margaret...” bisik Aju tak percaya. “You kiss me,”
Margaret mengangguk. “Gue suka sama lo, Ju. Suka...”
Kata-kata ‘suka’ itu seolah menggema di seluruh tempat itu hingga membuat Aju mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Aju tersenyum gembira. Margaret membawa Aju dalam pelukannya.
“Aju, aku mau pulang ke Bali. Kamu harus bangun...”
Aju mengernyit. Menatap Margaret bingung. “Bangun?”
“Iya.” Margaret mengangguk. “Cepat bangun. Aku mau pergi hari ini. bye...” Margaret melepaskan pelukannya pada Aju. Lalu membalikkan badannya dan berlari menjauh pergi.
Tanpa sadar Aju langsung mengejar Margaret yang sedang berlari di atas sepatu hak tingginya. Aju terus meneriaki Margaret agar dia mau kembali. Tapi Margaret tidak menoleh. Dia terus berlari dan menjauh pergi. Aju mengejarnya. Hingga merasa sesak dan lelah. Langkah kakinya tiba-tiba terasa lambat dan tidak bisa mengejar Margaret meskipun dia sudah berusaha untuk secepat mungkin berlari. Seolah ada sesuatu yang menahannya hingga gerakannya menjadi lambat. Aju menangis. Dia terus menyebut nama Margaret.
“...Ju... Aju...”
Aju membuka matanya pelan-pelan. Kelopak matanya terasa berat dan lengket untuk di buka. Rasanya dia jadi lupa bagaimana cara membuka mata, seolah dia sudah tidur satu abad. Remang-remang dalam bayangannya, dia menangkap sosok Mamanya, kemudian Dena, lalu Papanya.
“Ma...” bibir Aju terasa kering untuk memanggil Mamanya. Wanita itu tersenyum begitu melihat Aju sadarkan diri. Tangannya terus saja membelai kepala Aju seolah sedang merasakan kehidupan kembali anaknya.
Papanya berdiri di ujung tempat tidur Aju dan memperhatikan anaknya dengan seksama. Dokter yang lain datang dan langsung memeriksa mata Aju, lalu detak jantung Aju. Kemudian memeriksa denyut nadinya.
“Normal, Dok?” tanya Papa Aju pada rekannya.
Dokter yang memeriksa Aju tersenyum. “Masih lemah ya, Dok. Istirahat aja dulu. Imun anak ini kuat. Nanti kita cek kepalanya. Semoga nggak ada yang cedera,” kata Dokter itu. kemudian perhatiannya kembali pada Aju. “Aju, kenal orang ini?” tanya Sang Dokter pada Aju seraya menunjuk Mama Aju.
Aju tidak bisa mengangguk. Kepalanya terasa pening. Dia hanya mengedipkan matanya lama. Lalu Sang Dokter menunjuk Papa Aju. Lagi-lagi Aju mengedipkan matanya lama. Papanya langsung menghela nafas lega. Lalu Sang Dokter juga menunjuk Kakak Aju. Kali ini Aju sedikit mengangguk lebih karena reflek sambil tersenyum. Tapi kemudian matanya terasa berkunang-kunang. Bayangan seluruh orang di ruangan itu terasa kabur. Dan Aju menutup matanya lagi. Telinganya masih bisa mendengar obrolan orang-orang di sekitarnya dengan jelas. Tapi lama-kelamaan suara-suara itu menghilang. Bahkan Aju tidak bisa merasakan lagi tubuhnya di guncang-guncang Mamanya yang menangis karena panik. Dia tidak bisa mendengar teriakan Dena. Semua terasa kosong Aju kini berada di dalam ruangan yang gelap. Sekaligus dingin.
Bayangan demi bayangan seolah melintas seperti jalinan mutiara kalung yang terlepas. Jatuh ke lantai. Lalu menghilang di bawah kursi, jatuh ke got atau bahkan hilang entah kemana.
Kemudian Aju seperti sedang berada di dalam ruang yang remang dan hanya di sinari cahaya Matahari saja. Itu kelasnya. Aju melihat semua teman-teman sekelasnya memandangnya aneh. Tatapan mereka seolah menyiratkan rasa jijik yang berlebihan pada Aju, sekaligus benci. Tapi tidak dengan teman sebangkunya, Tika. Anak itu tetap tersenyum dan tertawa bersamanya.
Lalu Aju seolah di bawa kabur sebuah bayangan dan kini di antarkan pada sebuah kejadian dimana Bimo dan kawan-kawannya menarik tubuhnya, memeganginya dengan erat. Lalu salah seorang anak menyingkap roknya. Kali ini Aju bisa menendangnya. Tapi sebuah tendangan yang lemah. Karena tendangan itu, anak-anak itu kembali lagi memeganginya dan terus menekan tubuhnya hingga Aju rasanya ambles ke dalam bumi dan jatuh di jurang gelap tak berdasar.
Tiba-tiba Aju merasakan tubuhnya jatuh di kasur yang empuk. Dan dia mendapati dirinya tanpa selembar benang. Dia merasakan marah yang amat sangat karena dia merasa Bimo dan kawan-kawannya yang sudah melepas semua pakaiannya sebelum dia jatuh tadi. Aju mengumpat kesal. Dia bangun dan meninju kasurnya. Tapi saat dia marah tanpa alasan itu, seseorang dengan dadanya yang empuk memeluknya dari belakang. Saat Aju menoleh, dia mendapati Margaret dalam kondisi yang sama. Tanpa selembar benang.
Aju sangat senang saat mendapati Margaret ada di pelukannya. Dia langsung memeluk dan mencium Margaret. Menjatuhkan tubuh Margaret di atas kasur dan mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Tiba-tiba Aju merasa hangat. Margaret membaringkannya. Lalu mengusap kepala Aju. Kemudian Margaret tidur di sisi Aju, lalu menyelimuti tubuh mereka sampai ke leher. Aju dan Margaret saling berpelukan.
“I love you, Ju...” bisik Margaret.
Aju membelai Margaret. “Me too,” Aju memeluk Margaret. Tapi tiba-tiba di rasakannya tubuh Margaret berbulu dan sedikit lentur. Namun Aju tidak peduli, karena Margaret terus tersenyum padanya. Tapi ketika Aju mencubit kulit Margaret, tiba-tiba kulit Margaret terasa empuk dan melar, lalu kempes.
Margaret...
Pelan-pelan Aju mulai berpikir bahwa makhluk cantik yang ada di hadapannya bukan Margaret. Lalu ingatannya kembali pada Mama, Dena dan Papanya. Juga Dokter.
Aku... Aku kan di Rumah Sakit!
Aju langsung membuka matanya. Tatapannya tertuju pada langit-langit kamarnya. Putih. Aju menoleh ke samping dan mendapati Tika tersenyum padanya.
“You woke up?”
“Tika?” Aju seolah heran melihat Tika. Tapi mendadak dia merasa heran pada dirinya sendiri. Sekarang dia merasa sadar sepenuhnya dan suaranya sudah kembali. Hanya saja tubuhnya masih sedikit lemas dan seolah tidak bisa di gerakkan.
Apa aku lumpuh?
Aju mengingat-ingat sebab mengapa dia tidur di kamar yang berbau karbol itu. Suhu dingin ruangan menyentuh kulitnya. Aju baru ingat kalau dia baru saja di tabrak.
Aaahhh!
Bayangan truck besar dengan lampunya yang terang seolah melintas cepat di kepala Aju dan Aju merasakan tubuhnya terlempar. Tapi begitu dia membuka mata lagi, dia tahu bahwa dirinya selamat. Dia tidak apa-apa. Aju langsung bangun dan duduk di tempat tidur, seolah ingin memastikan anggota tubuhnya tidak cedera dan dia tidak lumpuh. Tangannya langsung menyingkap selimut tidurnya dan mendapati kedua kakinya baik-baik saja.
“Aju! Lo kenapa?” tanya Tika khawatir. “Jangan bangun dulu!”
Aju menatap Tika dengan pandangan penuh tanya. “Gue nggak kenapa-napa, kan? Gue nggak lumpuh, kan? Ini beneran kaki gue, kan? Dan ini juga kepala gue...” Aju memegangi kepalanya. Bersyukur karena masih menempel di lehernya.
Tika langsung tersenyum lebar dan memeluk tubuh Aju. “Lo nggak apa-apa, kok. Lo sehat. Lo hidup. Lo nggak mati. Padahal kemarin kami pikir kalau lo bakal mati,”
“Oke,” Aju melepas pelukan Tika. Tapi disaat yang sama seseorang dengan dandanan maskulin masuk dengan membawa sebuah kotak. Aju tahu apa isi kotak itu. Cake. “Kak Jol!” sapa Aju dengan sumringah.
Jol kaget, tapi kemudian langsung tersenyum mendapati Aju mengenalinya. “Lo udah sadar? Gue pikir lo bakal amnesia kayak yang di film-film itu,” goda Jol.
Tika menatap Jol dengan heran. Lebih heran lagi saat dia tahu kalau Aju mengenalnya. “Siapa?”
Aju memandang Tika dengan senyum lebar. “Teman. Dia baik banget. Dia juga bisa tahu zodiak lo dengan sekali lihat doang,”
“Oh ya?” Tika mencibir. “Tunggu, jangan-jangan Kak Jol ini yang udah bawa elo ke Rumah Sakit, Ju!” tebaknya.
“Hey, sugar!” sapa Jol begitu mendekat ke arah Tika. “Ini buat kamu.” Katanya seraya menyerahkan sekotak cake itu pada Tika. Dengan bingung ABG itu menerimanya. Sedangkan Aju melotot heran. Jol tahu apa yang ada di dalam pikiran dua anak itu. “Soalnya Aju nggak mungkin boleh makan-makanan kayak gini,”
“Tapi aku lapar, Kak.” Kata Aju begitu Jol duduk di sisi tempat tidurnya.
“Lo kan udah makan cairan infus,”
Aju menatap lengannya dan dia langsung shock saat menyadari sebuah selang tersambung ke lengannya dan dia juga baru sadar kalau lengannya terasa ngilu berdenyut-denyut. Itu lebih karena dia sadar bahwa ada jarum yang tertanam di bawah kulitnya. Dia mulai sadar sedikit demi sedikit dengan rasa sakit yang di deritanya.
Di waktu yang sama, Dena datang. Saat dia melihat Jol ada di sisi Aju. Tatapannya langsung heran dan tidak suka. Tapi begitu melihat Aju sudah bisa duduk tegak di atas tempat tidur, Dena langsung menghampirinya.
“Kok bangun. Elo nggak apa-apa? nggak pusing?” tanya Dena begitu mendapati adiknya sudah bertingkah seperti orang normal. Tapi tapannya kemudian beralih pada Jol. “Gue ngebolehin lo jenguk adek gue itu lebih karena gue ngerasa berterima kasih,” ujar Dena sinis pada Jol. Tapi Jol kelihatan tidak begitu peduli.
Jol tersenyum ramah. “Aku datang hanya untuk melihatnya. Aku ingin memastikan adikmu baik-baik saja. Bagaimanapun juga aku merasa bertanggung jawab. Karena kesalahanku, dia jadi begitu bahagia.”
Aju masih mencerna percakapan mereka dan tidak bisa banyak bicara. Perhatiannya terus bergantian antara Jol dan Kakaknya. Dan terlebih lagi, sepertinya Dena tidak begitu menyukai Jol.
“Kak Jol yang udah bawa aku ke rumah sakit?” tanya Aju penasaran.
Jol tersenyum pada Aju. “Iya. Kemarin lusa.”
“Lusa?”
“Lo udah nggak sadar selama... dua hari tepat sepuluh menit lalu,” sahut Tika setelah menengok pada arlojinya.
Aju menatap dirinya bingung. Mungkin sepuluh menit lalu dia memang merasa lemah dan tidak bisa menggerakkan badannya. Tubuhnya terasa sakit semua dan dia sangat ingin pijat. Tulang-tulangnya seolah bergeser ke tempat yang tidak seharusnya. Tapi begitu melihat Jol, semangat dan kebugaran tubuhnya seolah langsung kembali segar.
Sayangnya ada lagi satu hal yang dia rasa. Perutnya terasa melilit dan kantung kemihnya terasa penuh. Dia ingin ke kamar mandi. Aju buru-buru menyingkap selimutnya. Dan langsung menginjakkan kakinya di lantai. Tapi dalam sekejab kakinya langsung di angkat kembali naik ke tempat tidur.
“Kenapa?” tanya Dena bingung.
“Dingin!” jawab Aju sambil merapatkan jari-jari kakinya.
Dena tersenyum. “Semua?” tanyanya untuk memastikan bahwa saraf-saraf di kaki Aju sudah kembali seperti sedia kala.
Aju mengangguk. “Ada sendal, nggak?”
Tika langsung membuka lemari pasien dan menemukan sepasang sendal di sana. Langsung di berikan pada Aju. Tapi sebelum Aju pergi, Tika menahan tangannya.
“Tunggu, Ju. Ini berapa?” tanya Tika sambil membentangkan kedua telapak tangannya di depan Aju.
“Aduh, apa sih. Gue udah kebelet nih. Sepuluh!” jawabnya sambil buru-buru meraih kantung infus dan di bawanya ke kamar mandi meskipun dengan langkah yang terseret-seret di bantu oleh kakaknya.
“Dia bener-bener anak ajaib. Tanpa mukjizat. Nggak mungkin dia bisa hidup,” gumam Jol dengan tatapan kagum sekaligus heran.
“Aju punya keinginan hidup yang besar. Dia jenius yang tersembunyi. Tapi dia tidak pernah menunjukkan pada banyak orang. Dia cukup pendiam dan pemilih dalam berteman. Tapi dia baik dan ramah. Sebenarnya dia suka berteman. Hanya saja, itu bukan anak-anak cewek. Aju selalu menganggap anak cewek itu biang kerepotan. Juga selalu berpikir kalau anak cewek itu lawan jenisnya.” Tika menerangkan pandangannya tentang Jol.
Jol tersenyum memandang Tika. “Lain kali kamu boleh mampir ke Cafeku. Nanti aku kasih lemon cake. Makanan itu cocok buat Cancer girl,” kata Jol seraya turun dari tempat tidur Aju dan pergi meninggalkan Tika sendiri.
♀ ♀ ♀
RS. Fatmawati. 21 Desember 2003 : 12.36 WIB
Tidak butuh waktu lama bagi Aju untuk pulih seperti sedia kala. Hanya butuh waktu sepuluh hari hingga dia benar-benar sehat dan pada akhirnya bisa beraktifitas normal seperti biasa. Tapi semua kesehatan itu tidak di bayar Aju dengan murah. Meskipun dia bisa bergerak dengan leluasa dan anggota tubuhnya tidak ada yang hilang. Tapi Aju merasakan hatinya lumpuh. Margaret benar-benar kembali ke Bali dan meninggalkannya.
Aju ingat tentang mimpinya sewaktu dia di rumah sakit tentang Margaret yang pamit padanya lalu menjauh pergi. Aju merasa Margaret benar-benar datang pada waktu itu dan pamit padanya. Dan hanya satu hal yang bisa membuatnya terus bertahan hingga saat ini setelah kepergian Margaret, yaitu ketika Margaret mengatakan padanya bahwa Margaret menyukainya. Bahkan cinta. Meskipun di dalam mimpi. Tapi Aju meyakininya. Mereka sudah pernah tidur bersama. Karena itu Aju bisa tetap merasa kuat dan terus bertahan meskipun hatinya sudah lumpuh karena hanya Margaret yang bisa menyangganya.
Selain itu masih ada satu masalah lagi yang membebaninya. Papanya masih bertindak sebagai kepala keluarga yang baik di balik perselingkuhannya. Dan Aju terpaksa bertindak sebagai anak yang baik, tidak banyak bicara dan melindungi rahasia Papanya. Hingga Aju tidak bisa terus bersikap pura-pura lagi di depan Papanya. Karena dia memutuskan untuk datang ke Rumah Sakit tempat Papanya bekerja.
Siang itu di lobi rumah sakit, Aju duduk di rest area dan sibuk dengan pikirannya mengenai harus bagaimana dia akan bicara dengan Papanya. Sebisa mungkin Aju menyiapkan rangkaian kata-kata yang bisa membuat Papanya sadar. Tapi sayangnya Aju tak akan pernah bicara baik-baik dengan Papanya.
Wanita yang waktu itu bersama Papa Aju tiba-tiba muncul dari dalam lift. Aju menatapnya dan berulang kali harus memasang baik-baik pengelihatannya. Memastikan bahwa dia benar-benar wanita yang sama dengan kala itu. Tinggi, cantik, dan rambutnya sebahu. Mirip model. Aju langsung berlari mengejarnya, tapi sayang wanita itu dengan cepat menghilang dari pandangan matanya. Karena itu Aju langsung bertolak langkah dan kali ini naik lift menuju ruangan Papanya.
Jam tangannya menunjukkan jam satu siang. Sebenarnya Aju sudah janji untuk datang setiap hari ke Cafe Jol, tapi dua hari lalu Jol sudah menyarankan Aju agar mau bicara baik-baik dengan Papanya mengenai masalah perselingkuhan itu. Karena itu kali ini Aju akan mengakhiri semuanya. Satu titik langkah yang akan di laluinya untuk bisa melangkah ke jalan yang benar-benar di pilihnya.
“Pa, aku mau bicara!” kata Aju begitu masuk dan mendapati Papanya sedang membereskan ruang kerjanya.
“Jangan sekarang. Papa ada urusan,” jawab Papanya cuek.
“Sama wanita itu?” tanya Aju seraya meraih lengan Papanya.
Dengan tatapan tajam, Papa Aju memandang anaknya heran. “Apa maksud kamu?”
“Aju lihat wanita itu tadi. Karena itu Aju pengen ngomong sama Papa,”
Papa Aju langsung berhenti dari kegiatannya. Dia memperhatikan anaknya sambil bersandar di kursi.
“Aku nggak akan bilang sama Mama atau Dena. Tapi aku mau Papa turuti syaratku,”
Papa Aju mengernyit. “Apa?”
“I am Les. I am homo. I love Margaret so much. Jadi aku mau Papa ngijinin aku untuk itu.”
“Maksudmu, kamu minta Papa maklum sama orientasi seksualmu yang salah itu? dan kamu berpikir kalau Papa bakal setuju?”
“Kalau dimasa depan kelak anak Papa yang cantik ada yang menjadi simpanan orang lain, aku harap Papa nggak marah dan harus maklum. Karena itu, biar saja hal itu terjadi sama Dena. Aku nggak mau desperate kayak gitu. Karena itu aku memilih jalanku. Aku akan jadi butch. Papa nggak boleh protes. Dan aku janji, aku nggak akan pernah jadi simpanan orang lain.”
“APA MAKSUD KAMU??”
“Karma, Pa. Suatu hari nanti hal itu pasti akan terjadi. Entah Dena atau aku, semua pasti akan terjadi. Jadi biarkan aku memilih jalanku. Hatiku cuma buat Margaret.”
“AJU!!!”
“Aku akan keluar dari rumah. Aku akan kerja sendiri. Aku akan membiayai hidupku sendiri. Jadi Papa jangan takut.”
Plaaakkk!!!
Aju merasakan pipinya panas. Matanya langsung nyalang menatap Papanya yang sudah menatapnya balik penuh amarah.
“Aku akan keluar dari rumah. Kalau aku nggak pulang, tolong bilang sama Mama. Aku pergi ke tempat Kak Jol. Jangan menyusulku. Jangan cari aku!” kata Aju sambil membalikkan badannya. “Dan tolong...” Aju menatap Papanya dengan penuh harap. “Jangan cerai sama Mama. Bagaimanapun, Mama udah rela tinggal di sisi Papa selama ini tanpa meminta hal-hal yang menyulitkan Papa. Aku memang masih kecil. Umurku jauh tiga puluh tahun di bawah Papa. Tapi aku tahu kalau apa yang Papa lakukan salah. Karena itu... jangan cerai. Rahasia Papa aman sama aku. Biarkan aku memilih jalanku dan tetaplah jadi Papa yang baik buat Dena dan suami yang baik buat Mama,”
Itu adalah kata-kata terakhir Aju pada Papanya sebelum dia pergi dan tak pernah kembali lagi ke rumah orang tuanya. Dengan penuh rasa menyesal, Papa Aju melihat anaknya pergi dan tak pernah melihat anak itu lagi hingga beberapa tahun kemudian.
Sore itu, Aju berdiri di depan Violey Cafe milik Jol dengan tas ranselnya yang lebih besar. Dia membawa beberapa lembar pakaiannya dan seragam sekolahnya. Buku-bukunya sudah lebih dulu di paketkan ke cafe itu melalui kurir. Dan Aju siap tinggal di Caffe itu.
Jol, Lori dan Meti menyambut Aju dengan senyuman hangat. Membukakan pintu Violey Cafe dengan lebar agar Aju masuk kedalamnya. Lori menatap Aju dengan senyuman senang bercampur gelisah di balik meja dapur. Tapi Aju melemparkan senyuman manisnya pada Lori. Meyakinkan cewek Indo itu bahwa dia sangat kuat dan konsisten dengan pilihannya.
♀ ♀ ♀
No comments:
Post a Comment